1
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis ekonomi yang melanda negara-negara di Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan dunia usaha kesulitan untuk
mengembangkan kemampuan usahanya, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usaha tidak mudah. Kesulitan tersebut sangat
mempengaruhi kemampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya kepada Kreditor, sehingga mengakibatkan timbulnya masalah-masalah
yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya.
Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat dunia usaha
suatu perusahaan tidak selalu berjalan baik, dan acap kali keadaan keuangannya sudah sedemikian rupa sehingga perusahaan tersebut tidak lagi sanggup
membayar utang-utangnya.
3
Mengantisipasi kondisi permasalahan tersebut diperlukan produk hukum nasional yang dapat menjamin kepastian, ketertiban, penegakan dan perlindungan
hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran yang diharapkan akan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian adil dan produktif,
budaya sosial politik yang demokratis, serta dapat mengamankan dan mendukung
3
Victor M. Situmorang dan Hendri Soekarso, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia Jakarta : Rineka Cipta, 1994 hlm. 3
2
2
pembangunan nasional yang dapat memberikan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyat secara merata dalam lingkungan multi dimensi yang stabil, seimbang,
harmonis, aman dan tertib. Produk hukum nasional itu diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian nasional, serta
mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional.
4
Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disebut Undang-Undang 1945 diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang dilakukan dengan
pembentukan hukum baru, khususnya produk hukum yang dibutuhkan untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional. Salah satu sarana hukum yang
diperlukan dalam menunjang pembangunan perekonomian nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan tentang penundaan kewajiban
pembayaran utang yang semula diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan Faillissements-verordening Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348.
Tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat 1 Undang-UndangD 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan
dilakukan oleh karena Undang-Undang tentang Kepailitan Faillisements verordenirng, Staatsblad 1905:217 juncto Staatsblad 1906:348 yang merupakan
peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, sudah
4
Sinaga M, Syamsudin. Hukum Kepailitan Indonesia Jakarta: Tatanusa, 2012,hlm : 6
3
3
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang-piutang.
5
Perubahan terhadap Undang-Undang tentang Kepailitan tersebut di atas yang
dilakukan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
dan perkembangan hukum dalam masyarakat, jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Beberapa faktor
perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu untuk menghindari terjadinya hal-hal sebagai berikut:
6
1. Perebutan harta Debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa Kreditor
yang menagih piutangnya dari Debitor. 2.
Adanya Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik Debitor tanpa memperhatikan kepentingan
Debitor atau para Kreditor lainnya. 3.
Adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang Kreditor atau Debitor sendiri. Misalnya, Debitor berusaha untuk memberi keuntungan
kepada seorang atau beberapa orang Kreditor tertentu sehingga Kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari Debitor untuk melarikan
semua harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap para Kreditor.
5
Indonesia, Undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaaan Kewajiban Pembayaran Hutang, Undang-Undang No.37 Tahun 2004, LN No.131 Tahun 2004, TLN
No.4443, penjelasan umum alinea 3 dan 7.
6
Ibid, alinea 12
4
4
Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, perlu dibentuk Undang- undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, yang merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum masyarakat. Tepat tanggal 18 Oktober 2004,
diterbitkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU sebagai dasar pengaturan hubungan antara Kreditor dan Debitor dalam dunia usaha.
Perubahan dan perkembangan peraturan perundang-undangan mengenai Kepailitan dan PKPU memiliki dampak yang sangat besar dalam meningkatkan
penyelesaian hutang piutang antara Debitor dan Kreditor. Tujuan akhir dari Kepailitan dan PKPU adalah terciptanya perdamaian antara Debitor dan Kreditor.
Perdamaian tersebut dapat diajukan oleh Debitor dalam bentuk Rencana Perdamaian. Pengaturan mengenai Perdamaian dalam Undang-undang Kepailitan
dan PKPU diatur dalam Bagian Kedua dari Bab III yaitu dari Pasal 265 sampai Pasal 294.
7
Adanya permintaan penundaan kewajiban pembayaran utang oleh Debitor, maka kepada Debitor diberi kesempatan untuk melakukan restrukturisasi
utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada Kreditor konkuren Kreditor yang tidak memegang agunan dan yang tidak
7
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 2010, hal.363.
5
5
mempunyai hak istimewa dan yang tagihannya tidak diakui atau diakui secara bersyarat.
8
Penundaan kewajiban pembayaran utang adalah untuk mencegah kepailitan seorang Debitor yang tidak dapat membayar tetapi yang mungkin dapat
membayar di masa yang akan datang. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang memberikan keringanan sementara kepada Debitor dalam menghadapi para
Kreditor yang menekan dalam rangka mereorganisasi dan melanjutkan usaha dan akhirnya memenuhi kewajiban Debitor terhadap tagihan-tagihan para
Kreditor.
9
Debitor boleh mengajukan sebuah permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri. Umumnya Debitor hanya
mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang sebagai tanggapan atas suatu permohonan kepailitan terhadap Debitor yang diajukan oleh
Kreditor, dikarenakan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU menentukan bahwa apabila permohonan-permohonan untuk penundaan kewajiban utang dan
kepailitan diperiksa oleh Pengadilan Niaga pada waktu yang bersamaan, maka permohonan untuk penundaan kewajiban pembayaran utang akan diperiksa dan
diputus terlebih dahulu. Sehingga penundaan kewajiban pembayaran utang hanya Adanya keringanan sementara tersebut banyak Debitor yang lebih
memilih mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap utang- utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih daripada harus dimohonkan
untuk dipailitkan oleh para Kreditornya.
8
Kartini Mulyadi, Suara Pembaruan, 20 Oktober 2005.
9
Jeffry Hoff, Undang-undang Kepailitan di Indonesia Penerjemah Kartini Mulyadi, Cet.1, Jakarta : Tatanusa, 2000 , hal.187.
6
6
boleh dikabulkan apabila putusan yang menyatakan kepailitan belum diucapkan oleh Pengadilan Niaga.
10
Menurut pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata, Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Perjanjian yang dibuat antara Debitor dan Kreditor tersebut, terdapat klausula untuk
penyelesaian sengketa apabila terjadi perselisihan antara para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian tersebut. Umumnya para pihak memilih menyelesaikan
melalui lembaga Arbitrase. Menurut pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa untuk
selanjutnya di sebut Undang-undang Arbitrase, Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan
mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul
sengketa.
11
Seperti kasus dibawah ini merupakan suatu contoh dimana PT. Bank
Rakyat Indonesia Persero Tbk Selanjutnya disebut Pemohon, mengajukan
permohonan pembatalan perjanjian perdamaian tertanggal 21 Nopember 2013 yang telah disepakati oleh Pemohon dengan PT. Erakarya Prima, beralamat di
Jalan Asrama Amal Luhur III No. 129, Medan selanjutnya disebut Termohon Debitor dan PT. Bringin Sejahtera Arta Makmur BSAM, beralamat di Jalan
10
Lontoh, dkk. Penyelesaian Utang Piutang, Melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Bandung: Alumni, 2001, hlm: 26.
11
Jono, Hukum Kepailitan Bandung: Sinar Grafika, 2009, hlm : 42
7
7
Gatot Subroto Komp. Pertokoan Plaza Medan Fair No. B-21, Medan selanjutnya disebut Kreditor lain kepada Pengadilan Negeri Niaga Medan dengan register
No. 01
Pdt.KhususPembatalan2014PN.Niaga.Mdn Jo.03PKPU2013PN.NiagaMdn.
Pengadilan Niaga Medan telah menyatakan TermohonDebitor berada dalam keadaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Selanjutnya disingkat
PKPU dengan waktu yang telah ditentukan oleh pengadilan. Selama proses PKPU tersebut, Termohon Debitor telah mengajukan beberapa kali rencana
perdamaian di mana dalam rencana perdamaian terakhir tertanggal 14 Nopember 2013, TermohonDebitor telah menawarkan kepada Pemohon skema penyelesaian
utang TermohonDebitor sebagai berikut : 1.
Down Payment sebesar Rp. 92.450.000.000,- wajib dibayar oleh TermohonDebitor kepada Pemohon dengan jadwal pembayaran sebagai
berikut : 2.
Tahap pertama sebesar Rp. 30.000.000.000,- dibayarkan sebelum Perjannjian Perdamaian disahkan Homologasi oleh Pengadilan Negeri Medan ;
3. Tahap kedua sebesar Rp. 30.000.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-3
setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Negeri Medan ; 4.
Tahap ketiga sebesar Rp. 15.000.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-6 setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Niaga Medan ; dan
5. Tahap keempat sebesar Rp. 17.450.000.000,- dibayarkan pada bulan ke-13
setelah Perjanjian Perdamaian disahkan oleh Pengadilan Niaga Medan ;
8
8
6. Sisa pokok sebesar Rp. 119.550.000.000,- dibayar dengan cara angsuran
sebanyak 35 kali ; 7.
Bunga tertunggak sebesar Rp. 40. 203.539.548,- akan dibayar mulai dari bulan ke-1 sampai dengan bulan ke-48.
Melihat dari skema tersebut masing-masing pihak menyetujui adanya skema penyelesaian utang Termohon kepada Pemohon dan dituangkan pada
perjanjian perdamaian pada tanggal 21 Nopember 2013. Namun seiring berjalannya waktu, Termohon telah lalai dalam memenuhi perjanjian perdamaian
yang telah masing-masing pihak setujui. Menurut Pasal 291 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU
mengatur sebagai berikut “1 Kreditor dapat menurut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila Debitor lalai memenuhi isi perdamaian
tersebut”. Pengadilan Negeri Niaga Medan dengan pertimbangannya kemudian menyatakan bahwa Termohon telah lalai dalam perjanjian perdamaian tersebut
yang dituangkan pada putusan pengadilan dengan register No. 01 Pdt.Khusus Pembatalan 2014 PN.Niaga.Mdn Jo. 03 PKPU 2013 PN.Niaga.Medan bahwa
Termohon PT.Erakarya Prima telah lalai dalam melaksanakan isi Perjanjian Perdamaian tertanggal 21 November 2013 yang telah disahkan melalui Putusan
pengadilan Niaga Medan No. 03PKPU2013PN.Niaga. Medan. Tertanggal 4 Desember 2013.
Berdasarkan uraian kasus diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
pengkajian melalui sebuah penelitian skripsi dengan judul “Akibat Hukum Kelalaian Debitor untuk Memenuhi Perjanjian Perdamaian dalam PKPU
9
9
Studi Putusan No.01 Pdt.Khusus Pembatalan 2014 PN.Niaga.Mdn Jo.03 PKPU 2013 PN.Niaga.Mdn
”. B.
Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah: 1.
Bagaimana pengaturan PKPU oleh Perseroan Terbatas selanjutnya disebut PT sebagai Debitor menurut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ?
2. Bagaimana pembatalan perjanjian perdamaian yang disahkan dalam PKPU?
3. Bagaimana akibat hukum atas kelalaian PT sebagai Debitor untuk memenuhi
perjanjian perdamaian dalam PKPU ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan