2 . Extended Fund Facilities EFF.

Pencairan dana pinjaman seharusnya dilakukan tiap bulan sebesar 1 miliar dollar AS telah dilakukan sejak 4 Mei 1998. 45 Namun Juni 1998, IMF lagi-lagi menunda pencairan bantuannya, karena Indonesia di guncang krisis sosial dan politik yang ditandai dengan mundurnya presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. IMF pun kembali mengkaji program bantuannya di Indonesia. Pencairan selanjutnya dilakukan Juli, Agustus dan September.

a.2 . Extended Fund Facilities EFF.

Pada pencairan di bulan Agustus 1998, dewan eksekutif IMF setuju menempatkan Indonesia dalam fasilitas pinjaman yang di perluas Extended Final FacilityEFP . Fasilitas ini menggantikan sistem pinjaman siaga stand by loan. Fasilitas ini merupakan suatu bentuk pinjaman IMF kepada negara-negara anggota yang sedang melakukan program reformasi ekonomi yang bersifat struktural sehingga memerlukan waktu yang lebih panjang untuk penyelesaiannya maupun jangka waktu pelunasannya. 46 Fasilitas EFF yang berlaku 26 bulan termasuk penarikan SBA yang belum ditarik senilai US 6,3 miliar. Berdasarkan fasilitas EFP, jadwal pencairan selanjutnya adalah sebesar SDR 684,3 juta 25 November 1998 dan SDR 684,3 juta 15 Febuari 1998 seterusnya dana yang dicairkan tiap tahapnya adalah SDR 171,2 juta. 47 Dengan adanya perubahan skema pemberian bantuan ini, Indonesia telah 45 Ibid 46 Arief Budisusilo, Menggugat IMF : Pergulatan Indonesia Bangkit dari Krisis, P.T. Bina Rena Pariwara, 2001, hlm. 53. 47 Ibid menerima bantuan IMF sejumlah 3,7 miliar SDR atau setara dengan 4,9 miliar dollar AS. 48 Sampai dengan akhir tahun 1999, jumlah pinjaman IMF kepada Indonesia mencapai SDR 7.465,7 juta. Jumlah pinjaman IMF dalam dollar AS selalu berubah dari waktu ke waktu karena adanya perubahan nilai tukar mata uang yang menjadi anggota SDR tersebut. Perkembangan pinjaman IMF tersebut adalah sebagaimana tampak pada tabel berikut Tabel III.1 Perkembangan Jumlah Pinjaman IMF Tanggal Pencairan Jenis Pinjaman Baru review Jumlah Pencairan Jumlah Kumulatif 1997 5 November Stand-by Arrangement Pinjaman Baru : sebesar 7.338 juta SDR sekitar US10,14 miliar 2.200 juta SDR 2.200 juta SDR 1998 4 Mei Review pertama 733,8 juta SDR 2.933,8 juta SDR 15 Juli Review kedua: Menaikkan plafond pinjaman menjadi 8,3 miliar SDR 734 juta SDR 3.667,8 juta SDR 25 Agustus Extended Fund Facility Pinjaman baru menggantikan SBA sebesar 4,7 miliar SDR 734 juta SDR 4.401,8 juta SDR 25 September Review pertama 684,3 juta SDR 5.086,1 juta SDR 6 November Review kedua 684,3 juta SDR 5.770,4 juta SDR 15 Desember Review ketiga 684,3 juta SDR 6.454,7 juta SDR 1999 25 Maret Review keempat 337 juta SDR 6.791,7 juta SDR 7 Juni Review kelima 337 juta SDR 7.128,7 juta SDR 3 Agustus Review keenam 337 juta SDR 7.465,7 juta SDR Sumber : Diolah dari Cyrillus Harinowo, IMF : Penanganan Krisis Indonesia Pasca-IMF, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004. 48 Tulus Tambunan, Perekonomian Indonesia ; teori dan tujuan empiris, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2001, hlm 31. III.2. Program Restrukturisasi Perbankan III.2.1. Likuidasi 16 Bank pada November 1997 Sebagai langkah awal penyehatan perbankan yang dirumuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan dukungan IMF disepakati bahwa tindakan melikuidasi bank yang tidak solvent merupakan sesuatu yang perlu dilakukan dalam rangka restrukturisasi perbankan. Kesepakatan ini tertuang dalam Letter of Intent LoI, kesepakatan tersebut berisi kebijakan ekonomi makro secara umum yang meliputi pertumbuhan ekonomi, fiscal sustainability, inflasi dan defisit neraca berjalan, serta kebijakan reformasi ekonomi yang meliputi perdagangan, investasi, institusi keuangan dan perbankan, juga infrastuktur pasar. Salah satu program kebijakan tersebut bertujuan untuk memulihkan sektor perbankan Indonesia. Bahkan tampaknya tindakan tersebut merupakan syarat awal dari bantuan IMF. 49 Likuidasi 16 bank yang tidak solvent tercantum dalam Memorandum of Economic and Financial Policies di butir 23 menyatakan : 23.. The government has already taken decisive action to implement a comprehensive program of bank restructuring aimed at restoring the soundness of the banking system. On November 1, 1997, sixteen insolvent banks were closed. The bank closures made it clear to the market that owners would lose their stake in banks that become unviable . Pembahasan antara Bank Indonesia dengan tim IMF mengenai jumlah bank yang akan ditutup berjalan alot. Dalam rapat direksi Bank Indonesia 21 Oktober 1997 dikemukakan bahwa pihak Bank Indonesia menyampaikan tujuh bank swasta nasional yang layak dicabut izin usaha mereka. Namun, tim IMF tidak puas dengan tujuh bank, karena menurut mereka market menghendaki lebih dari tujuh bank. Tujuh 49 J. Soedrajad Djiwandono, Op.Cit., hlm. 112 bak tersebut adalah Bank Anrico, South East Asia Bank, Bank Pinaesaan, Bank Umum Majapahit Jaya, Bank Pacific, Bank Citra, dan Bank Dwipa Semesta. 50 Setelah melalui serangkaian kajian, akhirnya disepakati 16 bank yang harus segera dilikuidasi. Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Keuangan melaporkan likuidasi 16 bank tersebut kepada Presiden. Keenambelas bank yang dilikuidasi adalah sebagai berikut : 1. Bank Harapan Santosa 9. Bank Jakarta 2. Sejahtera Bank Umum 10. Bank Astria Raya 3. Bank Pacific 11. Bank Guna Internasional 4. South East Asia Bank 12. Bank Dwipa Semesta 5. Bank Pinaesaan 13. Bank Kosagraha Semesta 6. Bank Anrico 14. Bank Citrahasta Danamanunggal 7. Bank Umum Majapahit Jaya 15. Bank Andromeda 8. Bank Industri 16. Bank Mataram Dhanaarta Likuidasi 16 bank tersebut menjadi salah satu butir yang dicantumkan dalam kesepakatan IMF untuk membantu Indonesia yang tertuang dalam dokumen yang dinamakan Memorandum of Economic and Financial Policies MEFP. Dokumen tersebut dikirim dengan surat pengantar atau Letter of Intent LoI yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia kepada Direktur Pelaksana IMF, Michael Camdessus 31 Oktober 1997. 50 Bank Indonesia, Sejarah Bank Indonesia Periode V: 1997-1999, Jakarta, Bank Indonesia, 2006, hlm. 268. Sebagai tindak lanjut penutupan 16 bank ini, pemerintah melalui otoritas moneternya memberi jaminan terhadap deposan yang memiliki deposito sampai dengan Rp 10 juta. BI langsung melakukan pembayaran kepada deposan yang memenuhi syarat melalui bank yang ditunjuk sebagai bank pembayar. Jaminan ini meliputi 90 dari para deposan, namun nilai depositonya kurang dari 25. Penjaminan atas seluruh deposan tidak dilakukan pemerintah karena dikhawatirkan terjadi moral hazard. Pada saat itu kebanyakan bank yang telah ditutup, sebelumnya menawarkan suku bunga deposito yang sangat tinggi melebihi tingkat suku bunga pasar, dimana sebenarnya masyarakat telah mengetahui bahwa bank-bank tersebut mengalami kesulitan. III.2.2. Pembentukan BPPN Dalam rangka mengatasi dampak yang ditimbulkan oleh gejolak moneter dan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat khususnya terhadap sistem perbankan nasional, pemerintah telah memberikan jaminan kepada masyarakat khususnya terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada seluruh deposan dan kreditur sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998. Sebagai pelaksana jaminan pemerintah terhadap kewajiban bank tersebut diatas, maka dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank, dibentuklah Badan Penyehatan Perbankan Nasional BPPN. 51 51 Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan Edisi Ketiga, Jakarta, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi universitas Indonesia. 2001, hal. 79. BPPN didirikan pada tanggal 26 Januari 1998 berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 27 Tahun 1998 tertanggal 26 Januari 1998 Keppres No.27. melemahnya industri perbankan nasional akibat gejolak moneter yang dapat mengakibatkan dampak yang membahayakan perekonomian nasional yang membuat pemerintah memandang perlu untuk membentuk suatu badan khusus dalam rangka pengawasan, pembinaan dan upaya penyehatan bank. BPPN merupakan badan khusus yang dibentuk dalam rangka penanggulangan krisis yang terjadi di sektor perbankan. Apabila menurut penilaian pemerintah badan khusus tersebut telah menyelesaikan tugasnya, pemerintah dapat menyatakan berakhirnya masa tugas badan khusus tersebut. Pembentukan BPPN diharapkan akan dapat memulihkan sistem perbankan dengan yang seefisien mungkin bagi pemerintah. Dalam hal ini BPPN memiliki dua fungsi pokok yaitu : Pertama, akan melakukan pengawasan terhadap bank-bank yang memerlukan restrukturisasi dan akan mengelola proses restrukturisasi. Kedua, BPPN akan menjadi pengelola asset sehubungan dengan restrukturisasi bank. Selanjutnya dalam rangka merestrukturisasi perbankan, Bank Indonesia meneliti kondisi bank- bank. Bank-bank yang tidak berhasil memenuhi standar yang ditetapkan akan dievaluasi lebih lanjut oleh BPPN. Apabila kondisi bank memungkinkan untuk dapat melanjutkan operasinya pemegang saham bank diberikan kesempatan untuk menambah modal banknya. 52 Apabila penambahan modal tidak dilakukan, sehingga bank yang bersangkutan gagal memenuhi persyaratan BPPN, maka BPPN akan mengambil alih 52 Ibid, hal. 80. sepenuhnya kewenangan terhadap bank tersebut. Selanjutnya BPPN akan mempertimbangkan cara-cara untuk melakukan upaya penyehatan bank-bank, antara lain penambahan modal, merger atau akuisisi dengan maksud agar sekecil mungkin membebani masyarakat. BPPN dibentuk mengikuti lembaga yang sama seperti di Swedia sebagai modelnya. Lembaga ini dibidani oleh tiga serangkai yakni, Richard Roulier dari Bank Dunia, Charles Enoch dari Dana Moneter Internasional IMF, dan Steven Ingves yang saat itu Deputi Bank Sentral Swedia, bekerja sama dengan pejabat Departemen Keuangan dan BI. Dalam model itu, restrukturisasi perbankan dilakukan dengan melepas aset buruk ke lembaga yang baru dibentuk sehingga bank-bank yang hanya ditinggali aset yang baik. Untuk itu, aset-aset buruk lalu diganti dengan obligasi pemerintah sehingga akhirnya bank-bank itu akan menjadi sehat kembali. 53 Latar belakang didirikannya BPPN adalah untuk membatasi aliran dana bantuan kepada bank dan menciptakan dana bantuan tersebut agar dapat menjadi pemasukan bagi sistem keuangan bank serta mendapatkan kembali kontrol keuangan. Hal ini dapat dilihat dari Indonesia-Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies, pada butir kedelapan yaitu, Bank restructuring is being accelerated and the Indonesia Bank Restructuring Agency IBRA strengthened. This crucial for stoping the flow of likuidity support to bank and regaining monetary control. The most urgent priority is to effectively take over 7 bank that account for the bulk of likuidity support that has been provided to the banking system. 54 53 Cyrillus H,arinowo, Menimbang Sukses BPPN. Bisa diakses di www.kompas.com online Rabu, 03 Maret 2004. 54 Indonesia- Supplementary Memorandum of Economic and Financial Policies. Bisa diakses di www.geocities.com . Latar belakang ini muncul dari konsep yang dibangun oleh Washington Consenssus. Menurut Washington Consenssus salah satu upaya terciptanya stabilitas perekonomian adalah melakukan stabilisasi output dan mendorong pertumbuhan jangka panjang. Stabilisasi output dapat dilakukan dengan menyediakan sumber pendanaan yang cukup di sektor bisnis karena siklus bisnis juga bisa membawa dampak yang berarti bagi pertumbuhan jangka panjang. Terbatasnya sumber pendanaan bagi pembiayaan aktivitas riset dan pengembangan membuat perusahaan harus merampingkan anggaran riset mereka saat siklus bisnis tengah lesu. 55 Hal ini dapat menyebabkan merosotnya pertumbuhan produksi dimasa depan. Maka oleh karena itu dibutuhkannya pembenahan sistem regulasi dan pengawasan, penerapan penjaminan simpanan dan insentif-insentif yang tepat bagi lembaga finansial agar meredam skala dan frekuensi terjadinya kepanikan finansial. III.2.3. Rekapitalisasi Perbankan Rekapitalisasi perbankan merupakan suatu keharusan sebagai upaya untuk menyehatkan sistem perbankan yang diharapkan merupakan salah satu pilar dalam memulihkan perekonomian nasional. Keberhasilan program rekapitalisasi perbankan telah dapat kita lihat dari pengalaman negara tetangga yaitu Thailand. Negara itu telah mengeluarkan biaya US19.5 miliar untuk memperbaiki sistem perbankannya. Program rekapitalisasi perbankan dimaksudkan untuk menjaga atau mempertahankan keberadaan bank-bank yang memiliki prospek untuk hidup dan 55 Joseph E. Stiglitz, Washington Consenssus ; Arah Menuju Jurang Kemiskinan, Jakarta, INFID, 2002, hlm. 14 berkembang melalui restrukturisasi kepemilikan penyuntikan modal. Bank-bank yang diikutsertakan dalam program ini meliputi bank-bank persero, bank swasta nasional dan bank pemerintah daerah, baik yang telah go public maupun yang belum go public . Di dalam program rekpitalisasi tersebut, bank umum dikelompokkan menjadi tiga kategori: 1. Kategori A, yaitu ban-bank yang memiliki rasio kecukupan modal CAR 4 atau lebih 2. Kategori B, yaitu bank yang memiliki rasio kecukupan modal antara minus 25 sampai dengan 4 3. Kategori C, yaitu bank yang memiliki rasio kecukupan modal kurang dari minus 25. 56 Agar program rekapitalisasi bank umum yang dijalankan memperoleh kredibilitas internasional dan juga mampu menunjukkan transparansi dalam kriteria, cara penilaian dan proses pelaksanaannya, maka penggolongan bank dalam kategori A, B atau C tersebut dilakukan melalui due diligence oleh auditor internasional yang disepakati IMF, World Bank dan ADB. Dari 150 bank yang telah dilakukan due diligence menghasilkan 54 bank kategori A, 56 bank kategori B, dan 40 kategori C, sedangkan 16 bank lainnya masih dalam proses due diligence. 57 Bank kategori A merupakan kelompok bank yang dapat melanjutkan operasinya dan tidak perlu mengikuti program rekapitalisasi perbankan, sehingga 56 DR.Syahril Sabirin, Perjuangan Keluar dari Krisis, Yogyakarta, BPFE-Yogyakarta, 2003. Hlm. xxiv 57 Drs. Djoko Purwanto MBA, Dilema Rekapitalisasi Perbankan. Dapat diakses di http:dipi.solo.tripod.comartikelrekap tidak memerlukan lagi suntikan dana bagi pencapaian CAR 4. Bank kategori B merupakan kelompok bank yang masih memiliki harapan hidup dan diharuskan untuk mengikuti program rekapitalisasi perbankan dengan catatan diwajibkan untuk menyediakan tambahan dana segar sekurang-kurangnya 20 dari kekurangan modal , sedangkan Pemerintah menyediakan maksimal 80 dari kekurangannya untuk mencapai CAR 4. Sedangkan kategori C merupakan kelompok bank yang sedang menunggu nasib terus beroperasi, mati sendiri atau ditutup alias likuidasi. Untuk dapat mengikuti program rekapitalisasi perbankan, kelompok bank kategori C tersebut harus naik peringkat dulu ke kategori B. Kalau tidak bisa menaikkan peringkatnya maka akan dilakukan penutupan oleh Bank Indonesia. Khusus untuk bank-bank pemerintah bank BUMN meskipun masuk dalam kategori C terdapat pertimbangan-pertimbangan khusus, antara lain: BRI ikut dalam program rekapitaliasi mengingat aktifitasnya mengarah pada usaha kecil, menengah, dan koperasi; bank-bank BUMN yang tergabung dalam Bank Mandiri rekapitalisasinya dipersiapkan oleh Bank Mandiri; dan BNI rekapitalisasinya dilakukan melalui right issue dalam pasar modal. Dilihat dari biaya yang harus ditanggung, nampaknya pemerintah akan memilih melakukan program rekapitalisasi perbankan daripada harus melikuidasi bank-bank yang bermasalah. Untuk itu program rekapitalisasi perbankan pemerintah perlu menyediakan dana sekitar Rp. 257,54 triliun untuk 56 bank kategori B Bank Swasta Nasional 45 bank dan Bank Pembangunan Daerah 11 bank. Konon dana sebesar itu masih lebih murah, seandainya pemerintah melikuidasi semua bank-bank kategori B dan C dengan biaya likuidasi sekitar Rp. 556,37 triliun. Sehingga masih ada sekitar 54 bank yang masuk ketegori A plus bank asing 10 bank dan bank campuran 32 bank atau total 96 bank. Untuk mendanai rekapitalisasi perbankan pemerintah akan melakukan penyertaan modal setinggi-tingginya 80 melalui penerbitan surat utang obligasi dan sisanya sekurang-kurangnya 20 harus disediakan oleh pemegang saham bank yang mengikuti program rekapitalisasi . Menurut sebuah sumber, bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah sekitar Rp. 50 triliun, dan jumlah tersebut yang konon harus dianggarkan melalui APBN. Kalau dana yang diperlukan untuk rekapitalisasi perbankan sebesar Rp. 257,45 triliun, sedangkan bunga obligasi yang dibayarkan sebesar Rp. 50 triliun, maka besarnya suku bunga obligasi diperkirakan mencapai sekitar 20. Dari sisi pemerintah, penentuan suku bunga obligasi sebesar 20 tentunya melalui berbagai pertimbangan yang matang sehingga tidak terlalu membebani pemerintah. Namun, dari sisi investor bank yang masuk rekapitalisasi tentunya akan lebih menguntungkan kalau suku bunga obligasinya lebih besar dari 20, sebab tanpa mengeluarkan uang untuk membeli obligasi, mereka akan memperoleh bunga tinggi lihat Pilar no.25. si pemerintah. III.2.4. Perubahan Perundang-Undangan Perbankan dan Bank Indonesia Sejak awal terjadinya krisis, IMF telah memaksakan independensi Bank Sentral atau BI, karena lembaga ini dianggap yang paling bertanggung jawab terhadap krisis moneter, yang berakibat sangat jauh ke segenap aspek ekonomi,sosial dan politik. Perubahan sangat diperlukan karena sektor keuangan dengan seluruh sistem ekonomi berkaitan erat sehingga krisis moneter yang terjadi tidak hanya berdampak pada dunia perbankan dan usaha tetapi juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial politik. 58 Maka dalam butir kesepakatan yang tercantum dalam Memorandum of Economic and Financial Policies disebutkan bahwa pemerintah Indonesia diwajibkan untuk membuat Undang-Undang Bank Indonesia yang otonom, dan peraturan perundang-undangan yang memberikan kesempatan kepada swasta untuk memiliki saham bank pemerintah minimal sebesar 20 paling tidak pada satu bank pemerintah. Hal ini tercantum dalam butir ke 30 dari Memorandum of Economic and Financial Policies yaitu: c level the playing field for foreign investors in banking. As part of its WTO negotiations for liberalizing trade in financial services, the government has decided to: lift restrictions on branching of foreign banks by February 1998; in addition, it will submit to the Parliament a draft law to eliminate restrictions on foreign investment in listed banks by June 1998. Akhirnya pemerintah membuat Undang-Undang tentang independensi Bank Indonesia seperti yang disyaratkan oleh IMF. Maka lahirlah Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Alasan diterbitkannya undang-undang independensi bank ini karena menuntut adanya tanggung jawab pejabat publik yang membawahi sistem keuangan itu ke bidang-bidang kehidupan lain. Hal ini jelas, tanggung jawab itu berada ditangan otoritas moneter, karena krisis moneter yang bermula dari kejatuhan nilai tukar, dan otoritas moneter merupakan lembaga yang terkait langsung dengan masalah tersebut. Maka kemandiriannya Bank Indonesia 58 Prof. Dr. Didik. J. Rachbini, Analisis Kritis Ekonomi Politik Indonesia, Jakarta, Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 150. sebagai bank sentral, dituntut berperan menjaga stabilitas moneter baik nilai tukar, tingkat suku bunga, termasuk didalamnya inflasi. Dengan Undang-Undang ini Bank Indonesia akhirnya mendapatkan otonominya yang penuh, tidak ada siapapun yang bisa mempengaruhi kebijakan dari Bank Indonesia Pasal 4 ayat 2 termasuk pemerintah Indonesia. Tetapi justru Bank Indonesia tidak lepas dari pengaruh IMF karena harus tunduk pada Articles of Agreement of the IMF yang diatur antara lain dalam beberapa contoh pasal-pasal berikut ini : Article V Section 1 : Menyatakan bahwa IMF hanya berhubungan dengan bank sentral atau institusi sejenis, tetapi bukan pemerintah dari negara anggota Article IV Section 2 Menyatakan bahwa sebagai anggota IMF Indoensia harus mengikuti aturan IMF dalam hal nilai tukarnya, termasuk didalamnya larangan menggunakan emas sebagai patokan nilai tukar. Article IV Section 3.a Menyatakan bahwa IMF memiliki hak untuk mengawasi kebijakan moneter yang ditempuh oleh anggota, termasuk mengawasi kepatuhan negara anggota terhadap aturan IMF. Article VIII Section 5 Menyatakan bahwa sebagai anggota harus selalu melaporkan ke IMF untuk hal-hal yang menyangkut cadangan emas, produksi emas, ekspor-impor emas, neraca perdagangan internasional. Lalu sejalan dengan tuntutan IMF agar diterbitkan undang-undang yang mengawasi sistem perbankan Indonesia maka pada 10 November 1998 dikeluarkan Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang untuk selanjutnya disebut Undang-undang Perbankan 1998. Dalam perubahan undang-undang tersebut banyak pasal yang diubah, ditambah atau dikurangi, bahkan dihapuskan. Alasan perubahan tersebut adalah untuk menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang senantiasa bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang makin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju. Dibawah ini dikemukakan beberapa perubahan substansial dalam Undang- undang Perbankan 1998 dan kaitannya dengan program restrukturisasi. a. Pengalihan wewenang perizinan di bidang perbankan termasuk pencabutan izin usaha bank dari Menteri Keuangan kepada Pimpinan Bank Indonesia. b. Pemilikan bank oleh pihak asing pada bank campuran tidak dibatasi tetapi tetap memperhatikan prinsip kemitraan. Perubahan ini berkaitan dengan upaya agar bank campuran yang kemudian harus direkapitalisasi tidak akan mengalami kendala karena pihak partner Indonesia pada bank-bank campuran, yaitu bank-bank nasional yang sedang mengalami kesulitan keuangan tidak dapat ikut serta melakukan penambahan modal. Penambahan modal oleh pihak asing menyebabkan terjadinya perubahan komposisi kepemilikan saham yang tadinya ditetapkan maksimum 85 . c. Perubahan cakupan rahasia bank yang semula meliputi sisi aktiva dan pasiva menjadi hanya meliputi nasabah penyimpan dan simpanannya. Dengan perubahan ini, maka hal-hal yang berkaitan dengan pemberian kredit oleh bank termasuk informasi mengenai debiturnya tidak lagi menjadi rahasia bank. Perubahan ini berkaitan dengan upaya agar pengalihan kredit-kredit bank, khususnya kredit yang macet dan diragukan dari bank-bank yang direkapitalisasi kepada badan yang ditunjuk Pemerintah untuk mengambil alih kredit, tidak terhambat oleh adanya kendala rahasia bank. d. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan LPS dengan penetapan dasar hukum pembentukan lembaga dimaksud karena program jaminan pemerintah yang berlaku saat itu hanya bersifat sementara. e. Pendirian badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan. Ketentuan ini berkaitan dengan upaya untuk memberikan landasan hukum yang lebih kokoh bagi BPPN, terutama yang berkaitan dengan kewenangan hukum BPPN dalam menyelesaikan masalah penyehatan bank serta pengambilalihan aset, termasuk kredit, dari bank-bank yang ditangani oleh BPPN. Ketentuan pelaksanaan yang terkait dengan BPPN kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tanggal 27 Febuari 1999. f. Bank berdasarkan prinsip syariah lebih diperluas cakupan usahanya termasuk aspek kelembagaannya. Salah satu ketentuan baru yang tertuang dalam Undang-undang tersebut adalah bank konvensional diperkenankan untuk membuka kantor cabang syariah. Dengan penetapan Bank Indonesia dalam Undang-undang Perbankan 1998 sebagai instansi yang berwenang di bidang perizinan kelembagaan perbankan, yaitu pendirian bank dan pembukaan kantor cabang serta kewenangan pencabutan izin usaha bank, telah terjadi suatu babak baru dalam pengawasan bank. Dengan demikian, untuk pertama kali dalam sejarah, seluruh fungsi pengawasan bank mulai dari perizinan, pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan pencabutan izin usaha bank berada pada satu otoritas. Perubahan-perubahan dalam perundang-undangan tersebut sejalan dengan paket kebijakan deregulasi IMF, yakni, intervensi pemerintah harus dihilangkan, atau diminumkan karena dianggap telah menimbulkan distorsi pasar, memperbesar dan memperlancar arus masuk asing. Ini dilator belakangi oleh prinsip-prinsip Washington Konsenssus. Hal-hal yang dibicarakan diatas merupakan upaya untuk meningkatkan efisiensi perekonomian yang menjadi butir kunci dari Washington Consenssus. Washington Consenssus sebutan bagi Bank Dunia, IMF, Departemen Keuangan AS, yang bermarkas di Washington. Washington Consenssus menyatakan bahwa kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro serta penerapan kebijakan harga tetap. IMF yang menganut paham liberal mengimplementasikan Washington Consenssus dengan cara menggunakan kekuatan perjanjian mereka kepada pemerintahan Indonesia. Washington Consenssua lahir sebagai reaksi atas kebekuan pembangunan akibat intervensi birokrasi pemerintah yang menghambat dinamika pembangunan. 59 Washington Consenssus dipicu oleh pengalaman-pengalaman negara-negara Amerika Latin tahun 1980-an. Saat itu mekanisme pasar di wilayah tersebut tidak berfungsi dengan baik akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang kacau. Washington Consenssus diformulasikan oleh para pejabat ekonomi Amerika Serikat serta kalangan IMF dan Bank Dunia ditengah menyeruaknya permasalahan tersebut. III.3. Dampak Restrukturisasi Perbankan Terhadap Perekonomian Indonesia Setelah program restrukturisasi perbankan berjalan selama program tersebut telah menampakkan hasil yang nyata walaupun dalam tahap pelaksanaannya menyerap dana dan social costs yang sangat besar. Setelah program restrukturisasi perbankan berjalan lima tahun beberapa indikator perbankan telah menampakkan hasilnya. Tingkat permodalan bank-bank dalam bentuk CAR meningkat dari –15,7 pada tahun 1998 menjadi 23 pada akhir triwulan III2003, yang berarti jauh diatas CAR 8 yang merupakan standar internasional, aset perbankan juga meningkat seiring dengan adanya konsolidasi jumlah bank, dan non performing loans NPLs net menurun dari 35,1 menjadi 1,1 untuk periode yang sama, yang berarti jauh dibawah persyaratan maksimal 5. Indikator-indikator tersebut membuktikan bahwa progam restrukturisasi perbankan yang telah kita laksanakan selama lima tahun tersebut memang berjalan dengan baik dan berhasil, sehingga kita sudah memiliki pondasi perbankan yang lebih kuat 59 Emil Salim, Sertifikasi Sumber Daya Alam dalam Perspektif Ekonomi Politik Global. Bisa diakses di www.lei.or.id . dibandingkan dengan lima tahun silam. Dengan adanya fondasi yang kuat tersebut kita akan lebih optimis bahwa untuk ke depan perbankan nasional akan tetap siap dalam melaksanakan dan meneruskan upaya-upaya restrukturisasi perbankan yang selama ini masih berjalan. Program privatisasi bank-bank rekap yang dilaksanakan pemerintah telah berjalan dengan baik dan mampu menarik investor asing sebagai pemilik bank yang baru. Kredit baru perbankan perlahan-lahan terus mulai mengucur seiring dengan semakin mengecilnya pangsa obligasi rekap di dalam aset bank-bank. Para bankir kita sudah memiliki pengalaman yang cukup kaya dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998. Mereka tentunya akan lebih berhati-hati dan melihat faktor risiko sebagai suatu prioritas utama dalam menjalankan kegiatan operasional perbankan. Hal ini terbukti dengan masih berhati-hatinya bank-bank memberikan kredit untuk sektor korporasi maupun kredit ke sektor-sektor tertentu Namun dampak yang dihasilkan dari program restrukturisasi perbankan yang telah berjalan selama 5 tahun tidak hanya menimbulkan dampak yang positif terhadap perekonomian Indonesia tetapi juga masih menimbulkan dampak negative dari beberapa program yang dijalankaan dan tidak dapat membalikkan arak memburuknya perekonomian Indonesia. Dampak awal atas penutupan bank-bank tersebut dinilai cukup positif oleh berbagai kalangan. 60 Hal ini terlihat dari penguatan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika yang sebelumnya terdepresiasi cukup tajam, juga timbulnya kepercayaan sebagian masyarakat dengan ditutupnya bank-bank yang mempunyai 60 Lihat artikel Enoch, Charles, Barbara Baldwin, Oliver Frecaut and Arto Kovanen. “Indonesia: Anatomy of a Banking Crisis Two Years of Living Dangerously, 1997-1999”, IMF Working Paper no. 52, 2001. afiliasi dengan keluarga Soeharto. Namun sayangnya momentum positif ini hanya berlangsung sementara. Dalam beberapa minggu kepercayaan masyarakat mulai pudar dan kondisi perekonomian makin memburuk. 61 Hal yang terjadi akibat penutupan ke-16 bank pada bulan November 1997 adalah semakin tererosinya kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan nasional dengan menarik dana mereka di bank. Sebagai dampak dari perkembangan tersebut, terdapat tiga fenomena penting yang terjadi dalam masyarakat perbankan waktu itu : 1 Flight to quality : yaitu berpindahnya dana-dana dari bank yang dianggap memiliki resiko tinggi ke bank-bank yang dianggap memilki resiko yang lebih rendah, yaitu bank-bank Pemerintah dan terutama bank-bank asing yang besar. 2 Flight to safety : yaitu berpindahnya dana-dana dari dalam negeri yang dianggap beresiko tinggi penanamannya ke luar negeri. Disinilah capital flight memperoleh justifikasinya. 3 Flight to currency : yaitu berpindahnya penanaman dari yang bersifat tabungan atau deposito menjadi penanaman dalam bentuk uang kas. Uang kas itu disimpan di rumah, di brankas, di bawah bantal bahkan juga di safe deposit di bank-bank. 62 61 Ahmad Deni Daruri, BPPN Garbage In-Garbage Out, Jakarta, Center For Banking Crisis CBC, 2002. hlm. 49. 62 Cyrillus Harinowo, Utang Pemerintah Perkembangan Prospek, dan Pengelolaannya, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000. Hlm. 77 Penutupan ke-16 bank itu juga membuat sekitar 8.000 pegawai atau karyawan bank kehilangan pekerjaannya. Kelompok ekonom yang tergabung dalam “Indonesia Bangkit” menyatakan bahwa kerjasama dengan IMF, terutama likuidasi 16 bank, telah membawa dampak buruk, dimana meluasnya kebangkrutan usaha akibat tingginya suku bunga kredit yang menghambat penyaluran kredit, hancurnya perbankan nasional, pengangguran meningkat, dan menggelembungkan beban utang dalam negeri. 63 Program rekapitalisasi perbankan sebesar kurang lebih Rp450 triliun juga telah memporak porandakan anggaran pemerintah yang seharusnya digunakan untuk kegiatan lain di luar perbankan. Penerbitan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan sebagai upaya merekepitalisasi bank-bank merupakan langkah yang akan membebani pembayar pajak luar biasa beratnya untuk jangka waktu yang sangat panjang. Rekpitalisasi yang dilakukan pemerintah memperoleh dana melalui penerbitan Obligasi, dan tentu saja program ini menyerap dana yang tidak sedikit. Bank-bank yang menjalani program rekapitalisasi akan disubsidi dananya oleh pemerintah melalui Obligasi yang diterbitkan pemerintah. Namun setelah disubsidi besar-besaran oleh pemerintah selama 4 tahun, bank-bank yang direkapitalisasi tetap saja mengalami kerugian besar kalau subsidi oleh pemerintah dihentikan. 63 Revrisond Baswir, “Sidang Tahunan MPR 2003 Harus Gugat Kejahatan IMF” , Pikiran Rakyat, 6 Agustus 2003. BAB IV PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Peranan Uni Eropa Dan International Monetary Fund Sebagai Organisasi Internasional Dalam Penanganan Krisis Uni Eropa

9 109 161

Implementasi Economic Adjustment Program International Monetary Fund Dalam Penyelesaian Krisis Finansial Di Cyprus

1 7 9

IMPLEMENTASI ECONOMIC ADJUSTMENT PROGRAM INTERNATIONAL MONETARY FUND DALAM PENYELESAIAN KRISIS FINANSIAL DI CYPRUS

1 10 17

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

2 22 96

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 0 12

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 0 1

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 0 15

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 1 16

PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK INDONESIA PADA INTERNATIONAL MONETARY FUND

0 0 4

WORLD TRADE ORGANIZATION, INTERNATIONAL MONETARY FUND DAN PERUBAHAN SISTEM PERBANKAN

0 0 15