prosedur karena dianggap banyaknya prosedur dan aturan tersebut justru hanya menghambat kelancaran perkembangan ekonomi nasional.
Restrukturisasi merupakan instrument yang dipergunakan IMF kepada Indonesia dengan melalui perjanjian antara IMF-RI. Perjanjian antara Indonesia
dengan IMF dituangkan dalam sebuah dokumen yang dinamakan nota kesepakatan atau Letter of Intent LoI.
Dalam rangka memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia, IMF menentukan kebijakan ekonomi dan menetapkan sejumlah langkah stabilisasi dan
restrukturisasi ekonomi. Kebijakan ekonomi yang ditetapkan IMF untuk Indonesia adalah structural adjustment program SAP, dan kebijakan deregulasi.
a. Letter Of Intent LoI
Nota Kesepakatan atau Letter of Intent LoI adalah dokumen yang menetapkan apa yang harus dilakukan oleh sebuah negara agar bisa memperoleh
pinjaman IMF. LoI didahului dengan negosiasi antara kementrian keuangan dengan negara yang bersangkutan dan IMF. Dokumen tersebut biasanya ditandatangani oleh
Menteri Keuangan dan Kepala bank sentral. LoI memuat kebijakan-kebijakan berskala besar yang harus diimplementasikan oleh pemerintah. Tidak jarang, LoI
sangat jauh jangkauannya. Unsur-unsurnya sering mencakup antara lain: sasaran anggaran berimbang, sasaran pengadaan uang dan inflasi, kebijakan nilai tukar uang,
keseimbangan perdagangan dan kebijakan perdagangan, reformasi hukum perburuhan, reformasi struktur PNS, privatisasi, dan perubahan perundang-undangan.
Kadang-kadang Memorandum tambahan disertakan pada LoI.
Dari aspek legal, Letter of Intent sebenarnya merupakan duri dalam proses politik secara formal di Indonesia. Terlepas dari persoalan substansi yang sebagian
diakui cukup baik untuk obat bagi penyembuhan ekonomi nasional, tetapi posisi yang menyerah mutlak pada proses formal lembaga di luar negara tetap merupakan
persoalan tersendiri, yang memilukan nasib kita sendiri. Akan tetapi, hal ini tidak disadari sebagai persoalan yang serius karena transaksi IMF dengan Indonesia
dianggap sebagai suatu transaksi normal dan wajar. Dalam memberikan pinjaman kepada negara-negara anggota termasuk
didalamnya Indonesia guna membantu mereka mengatasi defisit neraca pembayarannya, IMF memerlukan suatu jaminan agar uang yang dipinjamkannnya
dapat dikembalikan lagi oleh negara peminjam. Atas dasar itu, IMF menetapkan kebijakan-kebijakan stabilisasi stabilization policies yang harus ditempuh oleh
negara penerima yang secara umum disebut kondisionalitas condicionality. Bagi IMF, secara keseluruhan program tersebut merupakan suatu “policy
program” program kebijakan suatu negara yang dideskripsikan dalam suatu Letter
of Intent LoI yang sering disertai dengan suatu Memorandum of Economic and
Financial Policies untuk diajukan sebagai permohonan pinjaman.
Berikut adalah perkembangan terjadinya awal kerjasama Indonesia dengan IMF sampai dengan disepakatinya program restrukturisasi perbankan : Pertama,
keputusan untuk meminta bantuan IMF awal Oktober 1997. Kedua, perundingan dengan IMF yang menghasilkan Letter of Intent pertama, pada 31 Oktober 1997.
Program yang akan diimplementasikan meliputi kebijakan pengendalian moneter dan nilai tukar, kebijakan fiskal, restrukturisasi sektor finansial, dan restrukturisasi sektor
riil. Ketiga, kebijakan pencabutan ijin usaha 16 bank dan implikasinya. Keempat, pencairan pinjaman tahap pertama US 3 miliar dari pinjaman IMF US 10 miliar
sebagai bagian dari paket US 43 miliar. Kelima, proses terjadinya Letter of Intent kedua, 15 Januari 1998. Keenam, pelaksanaan restrukturisasi perbankan di Agustus
1998 hingga Desember 1999.
37
b . Structural Adjustment Program SAP dan Kebijakan Deregulasi
Structural adjustment program atau kebijakan penyesuaian struktural adalah paket kebijakan yang direkomendasikan IMF pada waktu masalah neraca pembayaran
mulai mengganggu posisi keuangan internasional negara-negara berkembang. Paket kebijakan penyesuaian struktural, terdiri dari empat komponen utama, komponen
yang pertama ialah liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran sumber-sumber keuangan secara bebas. Komponen yang kedua adalah devaluasi. Komponen yang
ketiga ialah pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal di dalam negeri yang terdiri dari pembatasan kredit, pengenaan tingkat bunga yang relatif tinggi, penghapusan
subsidi, peningkatan tariff pajak, peningkatan harga public utility, dan penekanan tuntutan kenaikan tingkat upah. Dan komponen yang keempat adalah pemasukan
investasi asing yang lebih lancar. Kebijakan deregulasi adalah paket kebijakan ekonomi yang direkomendasikan
IMF pada waktu negara-negara berkembang penghutang besar mulai menunjukkan
37
J. Soedrajad Djiwandono, Krisis dan Pembaharuan Ekonomi-Moneter, Bisa diakases di www.pacific.net.id
online 17 Juni 1998
gejala-gejala hutang sebagai akibat likuiditas keuangan internasional mereka bertambah parah.
Paket kebijakan deregulasi terdiri dari empat komponen pula, pertama intervensi pemerintah harus dihilangkan, atau diminimumkan, karena dianggap telah
menimbulkan distorsi pasar. Kedua, privatisasi yang seluas-luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai negara. Ketiga,
liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi dan segala jenis proteksi harus diilangkan. Keempat,
memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.
III.1.2. Struktur Keuangan a.
Pinjaman
IMF membiayai pinjaman kepada negara-negara anggotanya melalui berbagai fasilitas seperti Regular IMF Facilities, Concessional IMF Facility, dan Special IMF
Facilities . Dalam memanfaatkan fasilitas tersebut, kecuali untuk PRGFProverty
Reduction and Growth Facility, negara anggota memanfaatkan dari sumber dana
keuangan IMF melalui pembelian purchase mata uang negara-negara anggota lain atau SDR dengan suatu jumlah yang sama nilainya dengan mata uang miliknya.
Selanjutnya IMF memungut charges dari pembelian ini dan mewajibkan negara anggota untuk membeli kembali repurchase mata uangnya dari IMF setelah jangka
waktu tertentu. Sementara itu, fasilitas regular meliputi :
Stand-by Arrangements SBA,
dibentuk untuk memberikan bantuan bagi negara anggota yang mengalami defisit neraca pembayaran jangka pendek,
yakni untuk jangka waktu 12 atau 18 bulan. Pencairan pinjaman purchase dilakukan secara bertahap, biasanya secara triwulan. Pada setiap tahap
pencairan, negara peminjam diwajibkan memenuhi syarat-syarat performance criteria
dan penyelesaian penilaian program secara berkala periodic program review.
Repurchase dilakukan 3 hingga 5 tahun setelah purchase.
Extended Fund Facilities EFF , dibentuk untuk mendukung program jangka
menengah yang biasanya berlaku untuk 3 tahun. EFF dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan neraca pembayaran negara anggota akibat permasalahan
makroekonomi dan problema struktural. Dalam hal ini syarat-syarat performance criteria
juga diterapkan dan repurchase harus dilakukan dalam tempo 4,5 hingga 10 tahun.
Concessional IMF Facility,
merupakan fasilitas yang dirancang untuk membantu negara-negara anggota berpendapatan rendah yang mengalami
masalah neraca pembayaran secara berturut-turut. Fasilitas ini awalnya bernama ESAF Enhanced Structural Adjustment Facility dan dibentuk pada
tahun 1987. Mengingat penggunaan fasilitas ini semakin berkembang dan cakupannya juga meluas, maka ESAF dirubah menjadi PRGF Poverty
Reduction and Growth Facility. Penarikan PRGF adalah loans dan bukan
merupakan purchases mata uang negara uang anggota lain. Loans tersebut
dipergunakan untuk mendukung program berjangka waktu 3 tahun dengan bunga 0,5 dan grace periode 5,5 tahun serta batas waktu 10 tahun.
Untuk menangani krisis yang terjadi pada tahun 1997 Indonesia meminta bantuan IMF, yang kemudian IMF memberikan fasilitas pinjaman yaitu : Stand-by
Arrangements SBA dan Extended Fund Facilities EFF.
a.1. Stand-by Arrangement SBA