kemungkinan: menguat atau melemah. Dengan kata lain, pemerintah masih percaya bahwa guncangan terhadap rupiah merupakan tindakan spekulatif yang bersifat
sementara. Konsentrasi kredit perbankan ke sektor property, pengawasan sistem
perbankan yang tidak efektif, keteledoran para bankir dalam menyalurkan pinjaman, besarnya utang jangka pendek, masalah korupsi dalam birokrasi pemerintah dan
swasta sehingga memicu inesifisiensi perekonomian selama bertahun-tahun, serta tidak adanya mekanisme pemantauan dalam lalu lintas devisa, akhirnya
mengakibatkan krisis pada akhir 1997.
II.1.3. Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Krisis Periode 1997-1999
Tahun 19971998 merupakan tahun terberat dalam tiga puluh tahun pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh krisis nilai tukar yang
terjadi sejak Juli tahun 1997, kemudian krisis berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang.
Memasuki pertengahan tahun 1997, situasi moneter berubah dengan cepat. Rupiah mendapatkan tekanan-tekanan depresiatif yang sangat besar yang berawal
dari krisis nilai tukar mata uang Thailand dan kemudian menyebar ke negara ASEAN lainnya termasuk Indonesia. Penyebab utama tekanan nilai tukar tersebut adalah
menurunnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia karena adanya kesamaan karakteristik perekonomian dengan Thailand. Hal ini menyebabkan
turunnya arus modal luar negeri yang selama ini menjadi bagian penting dari pembiayaan pembangunan nasional. Keadaan ini diperburuk dengan kegiatan
spekulasi baik di dalam maupun di luar negeri dengan memanfaatkan merebaknya berbagai isu politik yang menambah ketidakpastian berusaha. Perkembangan tersebut
mengakibatkan nilai rupiah selama paruh kedua tahun19971998 bergejolak dan terdepresiasi ke tingkat yang sangat rendah. Lemahnya nilai tukar rupiah dan
tingginya suku bunga sebagai bagian upaya mengatasi tekanan rupiah tersebut kemudian menyebabkan tekanan likuiditas pada perbankan.
Dalam rangka mengatasi gejolak nilai tukar rupiah tersebut, Pemerintah pada awalnya hanya bertumpu pada kebijakan moneter dengan pertimbangan bahwa
gejolak nilai tukar akan berlangsung sementara. Pada awal krisis, Bank Indonseia melebarkan rentang kendali nilai tukar dari 8 menjadi 12 yang disertai dengan
intervensi. Dengan semakin kuatnya tekanan terhadap rupiah, pada 14 Agustus 1997 pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang
terkendali menjadi sistem mengambang bebas. Pengetatan likuiditas dan tingginya suku bunga dalam periode Juli-Agustus
1997 telah menyebabkan tekanan yang sangat berat pada sektor perbankan dan sektor riil. Mengingat semakin tertekannya sektor riil dan semakin memburuknya kondisi
perbankan, maka Pemerintah mencanangkan paket kebijakan 3 September 1997 yang mencakup sepuluh langkah pemerintah untuk memulihkan ekonomi. secara umum
paket kebijakan tersebut tetap ditujukan untuk menciptakan stabilisasi makroekonomi. Namun, kebijakan yang diambil tidak lagi hanya bertumpu pada
kebijakan moneter, tetapi mencakup pula langkah-langkah di bidang fiskal, perbankan, dan pasar modal. Langkah-langkah dimaksud antara lain meliputi
penghematan anggaran, pelonggaran moneter secara berhati-hati sesuai dengan
kondisi likuiditas perekonomian, penyehatan sistem keuangan terutama perbankan, dan penghapusan batas maksimum pembelian saham oleh investor asing di pasar
modal. Langkah-langkah tersebut tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.
32
Memasuki tahun 1998, situasi moneter dan perekonomian semakin tidak menentu yang disebabkan antara lain asumsi-asumsi yang digunakan dalam
Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara RAPBN 19981999 kurang mencerminkan kenyataan. Pengumuman Pemerintah tentang RAPBN 19981999
ditanggapi secara negatif oleh pelaku pasar sehingga nilai tukar rupiah merosot tajam. Disamping itu, berita-berita tentang pemutusan hubungan kerja dan ditutupnya
berbagai cabang usaha telah menambah kekhawatiran masyarakat terhadap situasi perekonomian yang semakin memburuk. Ketidakjelasan informasi tentang besarnya
utang luar negeri swasta yang jatuh tempo juga semakin menambah ketidakpastian yang mendorong tindakan-tindakan spekulatif di pasar valas. Hal ini mengakibatkan
nilai tukar rupiah semakin merosot sehingga mencapai Rp.9.500 per US pada akhir minggu pertama Januari 1998.
Selama tahun 1999, proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang berat sejak pertengahan tahun 1997.
Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah
memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional. Dengan latar belakang permasalahan yang terjadi dalam tahun
32
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 19971998. hlm.8
1997 dan 1998, kebijakan yang diambil dalam tahun 1999 diarahkan untuk membenahi tiga mata rantai yang menghambat pemulihan ekonomi, yaitu
ketidakstabilan moneter, kondisi perbankan yang lemah, dan kondisi dunia usaha yang dililit utang.
Dalam tahun 1999, beberapa kebijakan yang telah diambil telah mulai memberikan hasil yang positif dan proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan
mantap. Kondisi moneter dan perkembangan sosial politik semakin stabil dan kondisi perekonomian dunia yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan
aktifitas ekonomi. indikator-indikator kestabilan moneter seperti nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga, dan pasar modal menunjukkan perkembangan yang
menggembirakan.
33
Nilai tukar rupiah yang selama empat bulan pertama tahun 1999 mengalami depresiasi, pada akhir Juni 1999 telah menguat menjadi Rp6.630 per
USD. Pada bulan berikutnya rupiah relatif stabil pada kisaran Rp6.800 hingga Rp7.400.
II.2. Krisis Perbankan di Indonesia Periode 1997-1999 II.2.1. Kondisi Perbankan Indonesia Sebelum dan Awal Krisis
Salah satu kelemahan mendasar dari “cirri sistem ekonomi kita” adalah macetnya peran lembaga-lembaga institusional, perbankan dalam grand design
perekonomian nasional. Jika lembaga-lembaga semacam ini perbankan kita abaikan, maka perekonomian sulit diramalkan perilakunya.
33
Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1999. Jakarta. hlm. 1
Perbankan nasional, baik bank pemerintah maupun bank swasta, pada sebelum tahun 1997 sebenarnya sudah kolaps karena dikelola secara tidak prudent
hati-hati dan oleh pemiliknya digunakan sebagai kasir untuk membiayai proyek- proyek dalam satu kelompok perusahaan. Hampir semua bank swasta besar seperti
Bank BCA, Bank Danamon, BDNI Bank Dagang Negara Indonesia, Bank Niaga, Bank Dharmapala, dll, sebagian besar alokasi kreditnya diberikan kepada perusahaan
dalam satu kelompok usaha banyak dilanggar, dan ketika perusahaan itu macet sehingga tidak mampu mengangsur kewajibannya, seketika itu juga perusahaan itu
macet. Begitu juga dengan keberadaan bank-bank BUMN milik pemerintah semacam Bank Mandiri, BNI, BTN, dan BRI.
Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat
pesat sementara ekspansi kredit masih tetap kuat, terutama ke sektor propeti. Ekspansi berlebihan juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta
asing, khususnya pada bank swasta nasional, meningkat tajam sebagaimana tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening
Kelemahan fundamental mikroekonomi, yang tercermin dari struktur perbankan ini dan mengakibatkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi antara lain
disebabkan oleh lima faktor : 1.
adanya jaminan terselubung implicit guarantee dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam
industri perbankan telah menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola dan pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser risiko yang dihadapi
perbankan ke bank sentral serta mendorong perbankan untuk mengambil utang yang berlebihan dan memberikan kredit ke sektor-sektor yang berisiko tinggi.
2. Sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya
dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Apalagi independensi bank sentral pada periode tersebut sangat kurang
sehingga menyebabkan langkah-langkah koreksi tidak dapat dilakukan secara efektif. Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip
kehati-hatian dalam kegiatan operasional yang telah ditetapkan. 3.
Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individukelompok usaha yang terkait dengan bank connected
lending telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi
bank. 4.
Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini
diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi
risiko yang berlebihan.
34
Awal kesulitan mulai terjadi ketika nilai tukar rupiah melemah sejak Juli 1997, perbankan nasional sudah mulai terkena imbasnya. Melemahnya nilai tukar
rupiah mengakibatkan kewajiban bank dalam mata uang rupiah untuk memenuhi kewajiban yang berdenominasi valuta asing naik secara tajam. Di lain pihak, tagihan
bank dalam bentuk kredit valuta asing, nilai ekivalen rupiahnya dalam pembukuan
34
Laporan Tahunan Bank Indonesia Tahun 19971998 Hal. 2‐3
bank juga mengalami kenaikan sehingga debitur yang bersangkutan tidak mampu membayar kembali hutangnya kepada bank. Akibatnya, bank-bank mengalami
kesulitan untuk memenuhi penarikan dana oleh para krediturnya. Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu awal gelombang kesulitan likuiditas pada perbankan
yang kemudian berlanjut sehingga kesulitan yang dialami perbankan makin bertambah besar.
Kesulitan likuiditas semakin terasa ketika penabung, deposan, dan kreditur lainnya mulai menarik dana dari beberapa bank. Akibatnya, banyak bank melanggar
ketentuan Giro Wajib Minimum GWM dan bahkan mengalami saldo negatif pada rekening giro mereka pada Bank Indonesia. Kesulitan likuiditas akibat penarikan
dana oleh masyarakat terus berlangsung dan meluas pada sejumlah bank sehingga terjadinya saldo debet pada rekening giro bank-bank pada Bank Indonesia tidak dapat
dihindari dan jumlahnya juga semakin besar. Bank-bank yang tergolong sehat pun mengalami kesulitan likuiditas sehingga juga mengalami saldo debet pada
rekeningnya di Bank Indonesia. Penarikan dana tersebut sebagian besar dilakukan melalui kliring. Hingga 31 Desember 1997 terdapat saldo giro negatif 25 bank
sebesar Rp20,9 triliun.
II.2.2. Penyebab Terjadinya Krisis Perbankan 19971998