Peranan International Monetary Fund Dalam Restrukturisasi Perbankan Di Indonesia

(1)

PERANAN INTERNATIONAL MONETARY FUND DALAM RESTRUKTURISASI PERBANKAN

DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh :

KIKI MEIRINA PRADIPTA NIM : 060906010

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh : Nama : Kiki Meirina Pradipta

Nim : 060906010 Departemen : Ilmu Politik

Judul : Peranan IMF Dalam Restrukturisasi Perbankan di Indonesia

Medan, Juni 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Indra Kesuma Nst, S.IP, Msi Faisal Andri Mahrawa, S.IP. M,Si NIP : 197903062005011002 NIP : 197512222008121002  

 

Ketua Departemen

Drs. Heri Kusmanto, MA NIP 1964100619980312002

a.n Dekan FISIP USU Pembantu Dekan I

HUMAIZI


(3)

Halaman Pernyataan

PERNYATAAN

PERANAN INTERNATIONAL MONETARY FUND DALAM RESTRUKTURISASI PERBANKAN DI INDONESIA

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis, kecuali yang tertulis dalam naskah ini disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2010

Kiki Meirina Pradipta NIM: 060906010


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim

Syukur alhamdullilah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, tuhan bagi seluruh alam dengan nikmat, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya yang telah memberikan pengetahuan dan kekuatan, serta kesehatan lahir bathin kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.

Adalah menjadi kewajiban bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara untuk membuat suatu karya ilmiah sebagai salah satu syarat akademis untuk menyelesaikan program studi ilmu politik. Skripsi ini berjudul Peranan International Monetary Fund Dalam Restrukturisasi Perbankan di Indonesia.

Penulis mengakui bahwa tulisan yang penulis hasilkan ini sangat jauh dari yang dinamakan kesempurnaan, hal itu disebabkan karena keterbatasan pengalaman dan pengetahuan ilmiah penulis, untuk itulah dengan kerendahan hati penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar penulisan ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan serta bagi penulis khususnya.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan penghargaan dan rasa terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih ini penulis tujukan kepada :

1. Kedua orang tua, Bapak Abdul Rahim dan Ibu Hertisna Erfiah yang telah membesarkan, merawat serta tiada hentinya selalu mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepadaku, sehingga ku dapat menyelesaikan studiku dengan


(5)

baik (You’re the one of greatest Mother in the World and I’m very proud to be your daughter). Dan buat kakakku, Putri Marlina Sari yang selalu bersedia menerima keluh kesah ku, terima kasih buat bantuannya selama ini. Serta kakak tertua ku Yuni Safitri dan abang ipar, Bang Irul, maksih buat dukungan nya. Dan tak lupa buat si kecil Alya keponakan yang selalu membuat ku terhibur. Juga buat Bang Wandi, Someone who being my inspiration to survive from my darkness and give me confidence to get up. Thanks for all U’ve done to me!!!

2. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Heri Kusmanto, MA, selaku Ketua Departemen jurusan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

4. Bang Indra Kesuma Nasution, S.IP, M.Si, selaku dosen pembimbing yang banyak membantu penulis dengan saran dan masukan yang membangun bagi penulis sehingga menjadi lebih mengerti dan memahami dalam penulisan skripsi.

5. Bang Faisal Andri Mahrawa, S.IP, M.Si, selaku Dosen Pembimbing II sekaligus reader, yang telah memberikan bimbingannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Ibu Rosmery Sabri, MA selaku dosen wali penulis. Serta seluruh dosen-dosen Ilmu Politik FISIP USU.


(6)

ABSTRAKSI

PERANAN INTERNATIONAL MONETARY FUND DALAM RESTRUKTURISASI PERBANKAN DI INDONESIA

Indra Kesuma Nst* Fisal Andri Mahrawa**

Kiki M Pradipta***

Penelitian ini akan membahas tentang instrument yang dipergunakan oleh IMF dalam upaya mengatasi krisis ekonomi di Indonesia di bidang perbankan. Dalam menyusun penelitian ini digunakan Metode Penelitian deskriptif analitif dengan pendekatan kualitatif, artinya penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang berlaku atau yang terjadi dengan mengumpulkan data dari studi kepustakaan

(library research).

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia di pertengahan tahun 1997 telah berdampak sangat besar terhadap kondisi ekonomi politik Indonesia. Dalam kurun waktu yang singkat saja kondisi perekonomian Indonesia langsung terpuruk. Keterpurukan kondisi ekonomi inilah yang membuat pemerintah meminta bantuan kepada IMF untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu. Bantuan IMF yang mengalir kepada pemerintah Indonesia tidak datang begitu saja dengan percuma, ada berbagai kesepakatan yang harus disepakati antara pemerintah Indonesia dengan IMF. Kesepakatan tersebut tertuang dalam sebuah perjanjian yang tertuang dalam Letter of Intent. Dalam Letter of Intent memuat berbagai kebijakan untuk mengatasi kondisi perekonomian Indonesia. Salah satu butir kesepakatan yang tertuang dalam LoI adalah restrukturisasi perbankan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena IMF menilai bahwa salah satu faktor penyebab dari krisis yang terjadi di Indonesia adalah karena masalah di sektor finansial

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat instrument apa yang digunakan oleh IMF dalam mempengaruhi pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang harus diimplementasikan pemerintah dalam upaya memperbaiki perekonomian Indonesia terutama di sektor perbankan. Dalam penelitian ini juga akan membahas mengenai dampak dari kebijakan-kebijakan restrukturisasi perbankan yang disarankan oleh IMF.

Adapun instrument yang dipergunakan oleh IMF dalam mempengaruhi setiap kebijakan pemerintah adalah struktur pengetahuan dan struktur keuangan. Struktur pengetahuan diimplementasikan dalam bentuk Letter of Intent (LoI) dan Structural Adjustment Program (SAP) dan kebijakan deregulasi. Struktur keuangan diimplementasikan dalam bentuk pinjaman yang ditujukan untuk perbaikan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Adapun program-program dalam upaya merestrukturisasi perbankan seperti yang tertuang dalam LoI yaitu : likuidasi 16 bank yang tidak solvent, pembentukan BPPN, merekapitalisasi perbankan, dan memperkuat pengawasan perbankan dan independensi bank Indonesia yang diimpelmentasikan dengan Undang


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….i

ABSTRAKSI ………...ii

DAFTAR ISI ………...v

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah …...……….1

I.2. Perumusan Masalah ………...………7

I.3. Pembatasan Masalah ………...………...7

I.4. Tujuan Penelitian ………...………7

I.5. Manfaat Penelitian ………...………..8

I.6. Kerangka Teori …………..………...……….8

I.6.1. International Monetary Fund (IMF)…...………8

I.6.2. Ekonomi Politik …...……….12

I.6.3. Restrukturisasi Perbankan………..………...15

I.6.4. Konsensus Washington.……...………..16

I.6.4.1. Liberalisasi Ekonomi ………...19

I.6.5. Struktur Kekuasaan Susan Strange ………...20

I.6.5.1. Strukutur Pengetahuan ………...20

I.6.5.2. Struktur Keuangan ………...22

I.7. Metodologi Penelitia ……….………...25

I.7.1. Jenis Penelitian………..………25

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data…...………..25

I.7.2. Teknik Analisis Data………..………...26


(8)

BAB II Krisis Ekonomi dan Perbankan Di Indonesia

II.1. Krisis Ekonomi di Indonesia ……..……….28

II.1.1. Kondisi Indonesia Sebelum Terjadi Krisis Pada Juli 1997 …………..28

II.1.2. Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia ………...31

II.1.3. Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Krisis Periode 1997-1999 ………...36

II.2. Krisis Perbankan di Indonesia Periode 1997-1999 …………..………...40

II.2.1. Kondisi Perbankan Indonesia Sebelum dan Awal Krisis………..……40

II.2.2. Penyebab Terjadinya Krisis Perbankan ………...43

II.2.3. Kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan IMF ………...44

BAB III Peranan IMF dalam Restrukturisasi Perbankan di Indonesia III.1. Instrument yang Digunakan IMF dalam Restrukturisasi Perbankan di Indonesia...47

III.1.1. Struktur Keuangan ...47

a. Letter of Intent (LoI) ...48

b. Structural Adjustment Program dan Kebijakan Deregulasi ...50

III.1.2. Struktur Keuangan ...51

a. Pinjaman ...51

a.1. Stand-by Agreement ...53

a.2. Extendend Fund Facility ...57

III.2. Program IMF dalam Restrukturisasi Perbankan ...59

III.2.1. Likuidasi 16 Bank pada November 1997 ...59

III.2.2. Pembentukan BPPN ...62

III.2.3. Rekapitalisasi Perbankan ...65

III.2.4. Perubahan Perundang-Undangan Perbankan dan BI ...68


(9)

Bab IV. Penutup

IV.1. Kesimpulan ...78 IV.2. Saran ...80 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAKSI

PERANAN INTERNATIONAL MONETARY FUND DALAM RESTRUKTURISASI PERBANKAN DI INDONESIA

Indra Kesuma Nst* Fisal Andri Mahrawa**

Kiki M Pradipta***

Penelitian ini akan membahas tentang instrument yang dipergunakan oleh IMF dalam upaya mengatasi krisis ekonomi di Indonesia di bidang perbankan. Dalam menyusun penelitian ini digunakan Metode Penelitian deskriptif analitif dengan pendekatan kualitatif, artinya penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang berlaku atau yang terjadi dengan mengumpulkan data dari studi kepustakaan

(library research).

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia di pertengahan tahun 1997 telah berdampak sangat besar terhadap kondisi ekonomi politik Indonesia. Dalam kurun waktu yang singkat saja kondisi perekonomian Indonesia langsung terpuruk. Keterpurukan kondisi ekonomi inilah yang membuat pemerintah meminta bantuan kepada IMF untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu. Bantuan IMF yang mengalir kepada pemerintah Indonesia tidak datang begitu saja dengan percuma, ada berbagai kesepakatan yang harus disepakati antara pemerintah Indonesia dengan IMF. Kesepakatan tersebut tertuang dalam sebuah perjanjian yang tertuang dalam Letter of Intent. Dalam Letter of Intent memuat berbagai kebijakan untuk mengatasi kondisi perekonomian Indonesia. Salah satu butir kesepakatan yang tertuang dalam LoI adalah restrukturisasi perbankan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena IMF menilai bahwa salah satu faktor penyebab dari krisis yang terjadi di Indonesia adalah karena masalah di sektor finansial

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat instrument apa yang digunakan oleh IMF dalam mempengaruhi pemerintah dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang harus diimplementasikan pemerintah dalam upaya memperbaiki perekonomian Indonesia terutama di sektor perbankan. Dalam penelitian ini juga akan membahas mengenai dampak dari kebijakan-kebijakan restrukturisasi perbankan yang disarankan oleh IMF.

Adapun instrument yang dipergunakan oleh IMF dalam mempengaruhi setiap kebijakan pemerintah adalah struktur pengetahuan dan struktur keuangan. Struktur pengetahuan diimplementasikan dalam bentuk Letter of Intent (LoI) dan Structural Adjustment Program (SAP) dan kebijakan deregulasi. Struktur keuangan diimplementasikan dalam bentuk pinjaman yang ditujukan untuk perbaikan pertumbuhan perekonomian Indonesia. Adapun program-program dalam upaya merestrukturisasi perbankan seperti yang tertuang dalam LoI yaitu : likuidasi 16 bank yang tidak solvent, pembentukan BPPN, merekapitalisasi perbankan, dan memperkuat pengawasan perbankan dan independensi bank Indonesia yang diimpelmentasikan dengan Undang


(11)

BAB I PENDAHULUAN I.1.Latar Belakang

Penelitian ini akan membahas tentang bagaimana peranan International Monetary Fund dalam mengatasi krisis ekonomi di Indonesia melalui kebijakan restrukturisasi perbankan. Sebagaimana diketahui salah satu usaha pemerintah dalam menangani krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 adalah dengan melakukan penyehatan perbankan nasional sebagai upaya membangun kembali perekonomian Indonesia. Restrukturisasi industri perbankan diharapkan akan dapat menyehatkan perbankan nasional, sehingga bank dapat menjalankan fungsi intermediasi dana lagi dengan efisien, yang pada akhirnya diharapkan dapat menggerakkan dunia usaha lagi.

Sektor perbankan merupakan suatu sistem yang saling terkait erat satu dengan yang lainnya. Kegagalan satu bank tidak hanya menyebabkan masalah pada individual bank. Lebih jauh lagi, kegagalan bank dapat menimbulkan efek domino dalam industri perbankan. Karena bank menyediakan sarana pembayaran, maka kegagalan di sektor perbankan (bank failure) pada gilirannya akan menimbulkan kegagalan di sektor perusahaan (corporate failure) dimana terjadi hambatan dalam penyelesaian pembayaran (payment settlement). Akibat kegagalan di sektor ini dapat berdampak negatif pada seluruh sistem (systemic risk), maka gagalnya satu bank dapat menyebabkan masalah pada sistem perbankan secara keseluruhan dan dapat menimbulkan penarikan dana secara besar-besaran terhadap bank yang sehat.

Sejak berlangsungnya krisis nilai tukar pada pertengahan 1997 yang diikuti oleh krisis ekonomi terburuk dalam sejarah pembangunan ekonomi Indonesia, hingga


(12)

awal tahun 1999 sistem perbankan semakin terpuruk parah. Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut mengalami krisis yang terjadi di Asia pada awal tahun 1997. Krisis yang terjadi di negara-negara Asia pada awal tahun 1997, diawali karena ketidakmampuan mempertahankan sistem nilai tukar mata uang Bath Thailand sebagai akibat dari permainan para spekulator.1 Para spekulator juga mengincar negara-negara Asia lainnya seperti Malaysia, Korea, Philipina dan Indonesia. Dengan menggunakan transaksi Swap (tukar-menukar) yang berjangka waktu beberapa bulan, bank-bank luar negeri maupun para spekulator di belakangnya akhirnya menumpuk likuiditas rupiah yang ditaruh di dalam rekening-rekening mereka di bank-bank Indonesia.

Virus Thailand ini benar-benar terasa di Indonesia pada hari Jumat 11 Juli 1997, pada hari itu rupiah dihajar spekulan sehingga turun drastis 1% dalam sehari atau sekitar 20 poin dari Rp. 2.412 menjadi Rp. 2.432 per US Dollar, suatu kejadian yang amat sangat jarang terjadi pada saat itu. Karena Indonesia masih menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali.2 Keadaan tersebut terus berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat, sehingga pada akhirnya tanggal 15 Agustus 1997, Pemerintah harus mengambil keputusan yang pahit, yaitu melakukan pengambangan mata uang sebelum pada akhirnya cadangan devisa Pemerintah akan terkuras sebagaimana pengalaman negara tetangga.3

      

1

Cyrillus harinowo, IMF Penanganan Krisis & Indonesia Pasca-IMF, Jakarta , P.T Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 21

2

Arif Budisusilo, Ibid, hlm.12

3 

Cyrillus Harinowo, Utang Pemerintah Perkembangan, Prospek, dan Pengelolaannya, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2002, hlm.75.


(13)

Jatuhnya nilai tukar mata uang tersebut secara berturut-turut merupakan awal terjadinya krisis mata uang (Currency Crisis) yang kemudian berakibat luas menjadi krisis ekonomi. Hal ini meliputi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi, angka investasi yang semakin mengecil, ketidakseimbangan fiskal, naiknya tingkat inflasi, dan beberapa akibat lain yang menunjukkan kemunduran makro ekonomi. Kondisi ekonomi yang semakin memburuk ini pada akhirnya pasti memberikan dampak pada kehidupan sosial politik di Indonesia. Protes-protes banyak bermunculan sekitar ketidakmampuan pemerintah untuk mengatasi krisis tersebut. Pada 1 Agustus 1997, nilai rupiah melemah dari Rp. 2.575,00 menjadi Rp. 2.603,00 per dollar Amerika. Pada minggu keempat September nilai tukar rupiah mendekati angka Rp. 3.000,00 per dollar Amerika. Hal ini menyebabkan beban subsidi BBM makin tinggi karena perhitungan dan impor minyak tanah dinilai dengan dollar.

Merasa akan menghadapi krisis ekonomi yang berat setelah menyadari bahwa merosotnya nilai rupiah terhadap dollar AS tidak dapat dibendung lagi karena cadangan dollar AS di Bank Indonesia sudah mulai menipis4, maka pada bulan Oktober 1997 Indonesia akhirnya terpaksa berpaling kepada IMF untuk meminta bantuan dana.5 Hasilnya ialah komitmen bantuan senilai US$ 23 milyar.6 IMF memberikan komitmen bantuan bukan tanpa prasyarat, namun tetap dengan prasyarat-prasyarat tertentu (condisionalitas) yang mengharuskan pemerintah Indonesia mematuhi berbagai persyaratan yang dicantumkan dalam butir-butir       

4 

Cyrillus Harinowo,Op,.Cit, hlm. 26. 

5 

Ibid., hlm 33 

6 

Jhon Tafbu Ritonga, Krisis Moneter dan Reformasi Pembangunan Ekonomi, Medan, USUpress,2004, hlm 21. 


(14)

kesepakatan Letter Of Intent (LoI). LoI ini dimaksudkan kepada pemerintah untuk dapat memenuhi target bagi usaha penyelamatan dan pemulihan ekonomi nasional.7

Dalam LoI pertama yang ditandatangani tanggal 16 Januari 1998, khusus untuk kebijakan restrukturisasi di sektor finansial antara lain berisikan poin-poin :

 Pemerintah sudah mengambil tindakan untuk melaksanakan program restrukturisasi perbankan yang ditujukan untuk memulihkan sistem perbankan. Pada 1 November 1997, sejumlah 16 bank telah dilikuidasi. Sejumlah bank lainnya, termasuk beberapa bank pembangunan daerah, sudah berada di bawah pengawasan bank sentral dan beberapa di antaranya sedang dalam proses pelaksanaan sementara lainnya berada dalam tahap persiapan.

 Depresiasi rupiah yang terus berlanjut, lambatnya pertumbuhan dan tingginya nilai suku bunga telah memperburuk perekonomian sektor perbankan. Situasi ini semakin diperburuk oleh deposit run dan capital fligh, sehingga mendorong sebagian besar bank meningkatkan dukungan likuiditas kepada bank sentral. Depresiasi dalam jumlah besar terhadap nilai mata uang rupiah dalam beberapa pekan terakhir telah menimbulkan kekhawatiran bahwa masalah ini hanya akan memburuk.

 Dalam kondisi ini, pemerintah yakin bahwa memulihkan kembali kepercayaan atas kemampuan sistem perbankan untuk memenuhi komitmennya dan memainkan peran intermediasinya merupakan hal terpenting. Untuk itu, Bank Indonesia akan bekerjasama dengan para staf ADB (Asian Development Bank), IMF (International Monetery Fund), World Bank untuk menetapkan       

7 


(15)

dan melaksanakan secara tepat peraturan, dan transparasi untuk memulihkan likuidasi dan penyelesaian masalah yang dihadapi bank-bank swasta. Peraturan ini akan diumumkan dalam waktu dekat.

 Dengan bantuan teknis Bank Dunia, pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi bank-bank pemerintah dan telah meyakinkan keamanan dan kesehatan bank-bank tersebut. Tujuan program ini, pemerintah pada bulan Desember 1997 telah mengumumkan bahwa BTI akan menjadi anak perusahaan BNI dan empat bank pemerintah, Bapindo, Bank Bumi Daya, BDN dan Bank Exim akan di merger. Pemerintah menjamin bahwa proses merger akan dimanfaatkan untuk merampingkan operasional bank-bank yang demerger, menjual fasilitas dan kantor cabang yang berlebihan, mengurangi sumber daya manusia, mengekonomiskan sistem otomatis, memaksimalkan keuntungan dari kekuatan berimbang serta mempersiapkan institusi-institusi itu untuk diswastakan. Pemerintah menjamin bahwa sampai program swastanisasi, bank pemerintah akan beroperasi sesuai kriteria dengan kontrak-kontrak yang diajukan, yang dipersiapkan oleh Kementerian Keuangan (Direktorat Jenderal Badan Usaha Milik Negara) dengan bantuan Bank Dunia hingga akhir Maret 1998.

 Sebagai dukungan terhadap swastanisasi seluruh saham perbankan, pemerintah pada akhir Juni 1998 akan mengeluarkan peraturan untuk merubah peraturan perbankan yang untuk mengurangi batasan pemilikan swasta. Bank


(16)

baru hasil merger empat bank pemerintah akan dipimpin oleh Managing Director baru. Manajemen baru ini akan mulai bertugas pada akhir Februari 1998 dan akan merumuskan dan melaksanakan rencana operasional keempat bank yang demerger, termasuk jadwal merger akhir. Jadwal swastanisasi seluruh bank pemerintah akan ditentukan setelah berkonsultasi dengan IMF dan Bank Dunia.

 Sebagai persiapan proses merger dan akuisisi, serta swastanisasi seluruh bank pemerintah (termasuk bank-bank yang tidak demerger) akan dilakukan pemeriksaan dokumen, sistem dan keuangan sehingga memenuhi standar internasional dengan menggunakan tim audit dari perusahaan internasional yang telah ditentukan.

Adapun inti dari kebijakan yang tertuang dalam LoI tersebut adalah restrukturasi perbankan nasional, masalah inilah yang selanjutnya akan dibahas dalam bab-bab selanjutnya.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas maka dengan demikian permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yakni :

1. Instrument apa yang digunakan IMF dalam mengatasi krisis ekonomi Indonesia khususnya dalam bidang restrukturisasi perbankan?


(17)

I.3. Pembatasan Masalah

Hal yang akan dibahas di dalam skripsi ini adalah peranan IMF dalam mengatasi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia dengan fokus kajian restrukturisasi perbankan.

I.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah pernyataan mengenai apa yang hendak kita tuju dan capai. Adapun yang menjadi tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Memahami peranan IMF dalam merestrukturisasi sistem perbankan di Indonesia dalam upaya mengatasi krisis perekonomian.

2. Mengetahui sampai sejauh mana dampak kebijakan Restrukturisasi Perbankan.

I.5.Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini ada tiga jenis manfaat penelitian yaitu :

1. Manfaat bagi penulis, manfaat penelitian ini bagi penulis dapat menambah wawasan yang berarti dalam memahami kajian ekonomi politik. Serta mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis dan sebagai media bagi penulis untuk menghasilkan suatu karya ilmiah..

2. Manfaat akademis, yakni untuk memperkaya pengetahuan penelitian mahasiswa ilmu politik dalam kajian ekonomi politik. Serta menjadi tambahan referensi tentang ekonomi politik bagi Fakultas Ilmu Sosial dan


(18)

Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Ilmu Politik.

I.6. Kerangka Teori

I.6.1. International Monetary Fund (IMF)

Latar belakang lahirnya IMF tidak lepas hubungannya dengan depresi perekonomian global atau yang disebut dengan Great Depression pada tahun 1929-1930-an.8 Depresi ekonomi telah menyebabkan hancurnya ekonomi dunia pada saat itu.

Depresi perekonomian yang cukup lama itu tampaknya menyadarkan banyak negara untuk kembali menata sistem perdagangan dunia. Berkembang pemikiran terutama dari Amerika Serikat dan Inggris bahwa sistem ekonomi dunia hanya dapat diperbaiki dengan memperkuat dan mengembangkan sistem perekonomian liberal. Berbagai usaha mulai dirintis untuk memformulasikan sistem perekonomian liberal tersebut ke dalam sebuah bentuk yang lebih permanen, seperti lembaga internasional dan sebagai realisasinya maka pada tanggal 1-22 Juli 1944 dilaksanakan Konferensi Moneter dan Keuangan Persatuan Bangsa-Bangsa di Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat yang dihadiri 44 negara. Konferensi internasional terseb ut memiliki satu tujuan, yaitu bagaimana membangun kembali ekonomi dunia setelah perang dan bagaimana konferensi tersebut dapat menyepakati hal-hal yang dapat mengurangi kebijakan perdagangan, pembayaran dan nilai tukar yang memiliki dampak yang menghambat perdagangan. Konferensi tersebut disepakati untuk       

8 


(19)

mendirikan dua lembaga internasional, yaitu International Monetary Fund (IMF),

International Bank for Reconstruction and Development (IBRD atau lebih dikenal sebagai World Bank).9 IMF mulai beroperasi pada tanggal 1 Maret 1947.

Secara formal, tujuan pendirian IMF secara jelas tertera dalam Anggaran Dasar pendirian lembaga tersebut. Pasal 1 Anggaran Dasar IMF menyebutkan tujuan pendirian IMF adalah sebagaimana berikut :

a. Untuk mendorong kerjasama moneter internasional melalui sebuah lembaga yang permanen yang menyediakan mekanisme untuk konsultasi dan kerjasama dalam pemecahan permasalahan moneter internasional b. Untuk membantu tercapainya perluasan dan keseimbangan pertumbuhan

perdagangan internasional, dan untuk menyumbang tercapainya tingkat pendapatan nasional yang tinggi serta untuk pengembangan sumber daya produktif dari semua negara anggota sebagai tujuan utama kebijakan ekonomi.

c. Untuk mendorong stabilitas nilai tukar, mempertahankan sistem nilai tukar yang teratur antar negara anggota serta untuk mencegah terjadinya persaingan untuk melakukan depresiasi mata uang

d. Untuk membantu penciptaan dari sistem pembayaran multilateral antar negara anggota dan penghapusan hambatan transaksi valuta asing, yang menghambat pertumbuhan perdagangan dunia.

       9 

Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum Dalam Perdagangan Internasional, Jakarta, P.T. RajaGrafindo Persada,1994  


(20)

e. Untuk menciptakan kembali kepercayaan di negara anggota dengan memberikan bantuan keuangan secara temporer dengan tetap memperhatikan unsur keamanan dana tersebut, sehingga dapat memberikan kesempatan untuk memperbaiki ketidakseimbangan neraca pembayaran tanpa harus menggunakan cara-cara yang merusak kemakmuran nasional atau internasional.10

Dalam perkembangannya IMF sebagai organisasi internasional yang bertanggung jawab mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbagan neraca keuangan masing-masing negara. Salah satu misinya adalah membantu negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi yang serius, dan sebagai imbalannya, negara tersebut diwajibkan melakukan kebijakan-kebijakan tertentu, misalnya privatisasi badan usaha milik negara.

IMF adalah lembaga pemberi pinjaman terbesar kepada Indonesia. Menyusul kemerosotan nilai rupiah yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, pemerintah Indonesia kemudian secara resmi mengundang IMF untuk memulihkan perekonomian Indonesia. Sebagai syarat untuk mencairkan dana bantuan yang disediakan IMF, pemerintah Indonesia wajib melaksanakan paket kebijakan melalui penandatanganan Letter of Intent (LoI).

Nota kesepakatan atau Letter of Intent (LoI) adalah dokumen yang menetapkan apa yang harus dilakukan oleh sebuah negara agar bisa memperoleh pinjaman IMF. LoI memuat kebijakan-kebijakan berskala besar yang harus       

10


(21)

diimplementasikan oleh pemerintah. Adapun inti dari kesepakatan IMF dengan Indonesia adalah :

1. Program Stabilitas, dalam rangka program stabilitas kondisi moneter yang ketat akan tetap dipertahankan dengan memancang suku bunga yang cukup tinggi sampai keadaan membaik, mengubah sasaran program moneter menjadi aktivitas domestik dan bukan lagi uang primer seperti sebelumnya, menyempurnakan Undang-Undang tentang Bank Sentral, serta merevisi target ekonomi dalam RAPBN 1998/1999, kurs dollar dinaikkan menjadi Rp 6000 per dollar AS, dan harga minyak bumi menjadi 14,5 dollar AS per barel

2. Restrukturisasi bank, dalam hal ini pemerintah merencanakan akan mengumumkan kondisi 40 bank yang masih dalam penanganan BPPN 3. Reformasi struktural, dalam hal ini akan disusun UU persaingan subsidi

terhadap beras, sembako, dan obat-obatan akan tetap dipertahankan, disertai penghapusan monopoli kecuali untuk beras dan tepung terigu 4. Menyelesaikan utang swasta, dalam mengatasi utang swasta pemerintah

tidak akan memberikan jaminan atau bantuan apapun. Namun akan menyusun prinsip-prinsip sebagai berikut (a)keikutsertaan dalam skema penyelesaian ini bersifat sukarela (b) resiko komersial tetap dipikul oleh kreditur

5. Bantuan untuk golongan ekonomi lemah, untuk membantu masyarakat golongan ekonomi lemah akan disalurkan kredit murah bagi usaha kecil


(22)

dan koperasi bekerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia, serta pemberian subsidi sembako, khususnya beras dan kedelai.11

1.6.2. Ekonomi Politik

Pemahaman mengenai ilmu ekonomi berarti pemahaman tentang variabel-variabel atau konsep-konsep ekonomi. munculnya paham kapitalis, munculnya revolusi industry, dampak dari perkembangan teknologi dan tidak terkecualinya keadaan politik suatu negara dimana sistem ekonomi itu berasal. Sistem ekonomi yang diwarnai oleh keselarasan yang berlangsung secara otomatis hanya mungkin berlangsung dan menguntungkan semua pihak kalau sistem ini bebas dari campur tangan wewenang politik. Sedangkan unsur-unsur pokok sistem politik adalah kekuasaan, pengaruh dan pembuatan keputusan politik. Politik menentukan kerangka aktivitas ekonomi dan mengarahkannya untuk melayani kepentingan kelompok-kelompok dominan; penggunaan kekuasaan dalam berbagai bentuk yang sangat menentukan hakikat suatu sistem ekonomi. kehidupan politik dan kehidupan ekonomi selalu bertemu dan saling mempengaruhi. Aktivitas politik sulit untuk dipisahkan dari aktivitas ekonomi walaupun kedua kegiatan tersebut terkadang saling bertentangan secara diametral. Dalam setiap tindakan politik ada aspek ekonominya. Demikian pula struktur perekonomian suatu masyarakat dapat mempengaruhi lembaga politik yang sudah dan aka nada dikemudian hari.

Ekonomi politik dilingkupi oleh suatu paradigma berupa proses konsolidasi dan integrasi keilmuan, berbagai gagasan, aliran pemikiran dengan kesamaan asumsi       

11 


(23)

dasar mengenai suatu bidang seperti kerangka konseptual, metodologi, pendekatan-pendekatan atau alat-alat analisis, dan demikian pula dengan teknik analisisnya. Ekonomi politik merupakan seperangkat pengetahuan mengenai ekonomi yang erat kaitannya dengan perubahan-perubahan sosial politik dengan berbagai implikasi masing-masing. Studi ekonomi politik menggambarkan dua bidang tema hubungan yang saling mempengaruhi, melengkapi atau saling berkaitan dan bahkan dikaitkan antara suatu keadaan, kejadian, peristiwa, gejala ataupun fenomena kehidupan dalam dunia ekonomi dan dunia politik, baik hubungan yang bersifat kausal, korelasional dan perkaitan yang erat dengan model deterministik. Pada dasarnya ekonomi politik merupakan serangkaian tali hubungan yang bersifat saling mempengaruhi atau saling berhubungan dan kait-mengait di antara subjek dan objek dari variabel-variabel dasarnya terutama yang berfaktor dari ekonomi, politik dan sosial masyarakat. Ekonomi politik juga mengacu pada seperangkat masalah yang timbul dari interaksi antara aktivitas ekonomi dan politik.

Hal terpenting untuk mengenali ekonomi politik yakni dengan memperhatikan isi substansi dan konteksnya. Dalam situasi anarkis, ekonomi politik internasional berlangsung berdasarkan serangkaian aturan, kebijakan dan deregulasi yang sangat kompleks yang dihasilkan oleh pemerintah dan organisasi-organisasi antar pemerintah.

Adapun kriteria dari pemahaman ekonomi politik dapat diidentifikasikan dari beberapa pokok perhatian yaitu :


(24)

Pertama, Ekonomi Politik dapat dipahami sebagai suatu bidang pengetahuan dan/atau ilmu pengetahuan yang berhubungan antara disiplin ilmu ekonomi dan politik atau hanya merupakan perluasan konsep/teori daripada masing-masing disiplin ilmu tersebut atau pula hanya sebagai perspektif belaka.

Kedua, Ekonomi Politik dapat dipahami sebagai suatu metode dan pendekatan atau suatu cara dan jalan bagi suatu ilmu pengetahuan sebagai alat analisis penelitian atau penyelidikan masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya serta lingkungan hidup manusia.

Ketiga, Ekonomi Politik dapat dipahami sebagai kajian dari berbagai peristiwa, fakta, fenomena, dan gejala yang ditimbulkan oleh efek kebijaksanaan (public strategy) pemerintah dalam berbagai aspek yang langsung berkaitan dengan proses hubungan dimensial antara negara, rakyat, dan lingkungan hidupnya.12

Adanya argumentasi terhadap ekonomi pasar dunia terhadap ekonomi domestik, yakni :

1. Konsekuensi bagi pembangunan, kemunduran ekonomi serta kesejahteraan ekonomi bagi setiap masyarakat.

2. Adanya indikator ekonomi pasar dunia yang mempengaruhi pembangunan ekonomi dari negara-negara berkembang dan mundurnya pertumbuhan ekonomi negara-negara maju.

3. Adanya efek terhadap kesejahteraan domestik

4. Hal ikhwal mengenai faktor tertentu yang mempengaruhi distribusi kekayaan dan power (kekuasaan/kekuatan) diantara masyarakat nasional. 5. Berkenaan dengan sejumlah indikator ekonomi dunia yang cenderung

menuju pada konsentrasi pengejaran kekayaan dan hegemoni kekuasaan/kekuatan politik; salah satu atau mendifusikan keduanya.13

I.6.3. Restrukturisasi Perbankan

Restrukturisasi perbankan merupakan suatu upaya yang dilakukan pemerintah untuk memulihkan kondisi perbankan yang terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menyehatkan kembali sistem perbankan yang selama masa krisis mengalami tekanan akibat banyaknya sektor riil (industry, perdagangan, pariwisata, pertambangan, perhotelan dan lain-lain) tidak       

12

Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional 2. Bandung: Refika Aditama,2007.hal.7

13


(25)

mampu membayar bunga kredit dan angsuran pokok usaha mereka kepada bank yang bersangkutan sehingga menjadi kredit bermasalah.14

Krisis ekonomi yang berkepanjangan dapat mengakibatkan hancurnya sistem perbankan Indonesia. Hilangnya sistem perbankan berarti sistem pembayaran kembali ke sistem primitif yang tidak menunjang untuk melakukan transaksi perdagangan dan proses produksi. Hilangnya sistem perbankan juga akan menghentikan penyaluran modal dari penabung ke pemodal. Tingkat produksi ke sektor riil akan berhenti karena terhentinya penyaluran modal kerja yang berdampak langsung kepada peningkatan pengangguran. Secara ringkas, tidak adanya sistem perbankan dalam sistem perekonomian Indonesia akan menghancurkan sistem dan kinerja perekonomian secara keseluruhan.15

Untuk menghindari hancurnya perekonomian Indonesia secara keseluruhan tersebut, maka pemerintah mengambil kebijakan-kebijakan dalam menyelamatkan perekonomian Indonesia. Yaitu dengan cara merestrukturisasi sistem perbankan Indonesia dengan berdasarkan atas program yang ditetapkan bersama-sama dengan IMF.

I.6.4. Konsensus Washington

Washington Consensus (Kesepakatan Wahington)—sebutan bagi lembaga seperti Bank Dunia, IMF, Departemen Keuangan AS,yang bermarkas diWashington—sangat terkontaminsi berbagai kepentingan. Konsensus Washington       

14 Ir. Drs. Lukman Dendawijaya, M.M,

Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional 1998-203, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004, hal. 16

15 Ibid,


(26)

ini didasarkan pada upaya stabilisasi ekonomi lewat jalur kebijakan penyesuaian struktural yang direkomendasikan oleh organisasi Bretton Woods dan pengambil kebijakan ekonomi pemerintah AS.

Konsensus Washington menekankan kepada pembuatan kebijakan finansial dan makro ekonomi yang hati-hati (prudent), nilai tukar mata uang kompetitif, liberalisasi sektor keuangan dan perdagangan, privatisasi, dan deregulasi. Kebijakan-kebijakan ini secara implisit mengajak pemerintah atau negara “menahan diri” untuk tidak ikut campur langsung dalam kegiatan ekonomi, melainkan justru lebih memfokuskan kepada kebijakan moneter, menjamin hak kepemilikan (property rights), dan menyiapkan infrasturktur pendidikan dasar. Dengan AS sebagai sponsor utama, dengan cepat paket kebijakan tersebut mendapatkan sambutan yang luas.

Dari kebijakan Konsensus Washington tersebut terlihat warna dominan perekonomian diarahkan kepada minimalitas peran negara untuk digantikan pasar. Kebijakan deregulasi, misalnya, ditujukan untuk memberi ruang bagi kegiatan ekonomi secara lebih leluasa dengan menghilangkan banyak peraturan yang justru ditengahi disinsentif bagi pertumbuhan investasi. Kebijakan deregulasi ini diperkuat dengan kebijakan liberalisasi, baik di sektor keuangan maupun perdagangan, sehingga semakin memacu aktivitasnya. Sedangkan kebijakan privatisasi dan penanaman modal asing (PMA) memiliki peran ganda, disamping menggerus peran negara dalam perekonomian juga dimaksudkan untuk mengikis praktek sektor riil yang selama ini sangat tidak sehat, disortif, dan terkonsentrasi. Akhirnya, kepastian aturan tentang hak kepemilikan (property right) merupakan keniscayaan apabila


(27)

tujuan yang diinginkan adalah terdapatnya kepastian berusaha bagi setiap pelaku ekonomi, baik domestik maupun asing.

Dalam literatur ekonomi, paket kebijakan penyesuaian struktural biasa disebut dengan istilah Konsensus Washington (Washington Consensus). Secara eksplisit, paket Konsensus Washington hendak menghilangkan intervensi negara dalam kegiatan ekonomi, misalnya lewat kebijakan deregulasi dan privatisasi. Dalam perjalanannya, kebijakan itu malah menimbulkan ekses yang cukup banyak, bukan saja dalam lapangan ekonomi tetapi juga di bidang sosial dan politik. Pada titik ini, minimalnya campur tangan negara ternyata tidak menjamin kinerja ekonomi menjadi lebih baik. Inilah kesalahan yang paling fatal yang diproduksi oleh kedua lembaga multilateral tersebut.

Konsensus Washington terdiri atas 10 elemen, yang bisa dirangkum menjadi tiga pilar, yakni disiplin anggaran pemerintah, liberalisasi pasar, dan privatisasi BUMN. Secara singkat, isi Konsensus Washington yang sering juga disebut sebagai pendekatan Neoliberal adalah:

1. Disiplin fiskal. Pemerintah diminta untuk menjaga agar anggarannya mengalami surplus. Kalaupun terpaksa defisit, tidak boleh melampui dua persen terhadap produk domestic bruto (PDB).

2. Memberikan prioritas kepada belanja sektor publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan, sebagai upaya memperbaiki distribusi pendapatan. 3. Memperluas basis pemungutan pajak agar dapat dibangun struktur

penerimaan anggran yang sehat.

4. Liberalisasi finansial. Suku bunga harus dijaga positif secara riil ((lebih tinggi daripada laju inflasi) dan hindari kebijakan suku bunga yang mengistimewakan debitur tertentu (preferential interest rates for favored borrowers).

5. Kurs mata uang harus diusahakan kompetitif (tidak terlalu kuat), tetapi kredibel (tidak terlalu lemah).


(28)

6. Mendorong liberalisasi perdagangan melalui upaya menghapus restriksi kuantitatif (hambatan perdagangan, seperti pengenaan tariff, kuota, dan larangan-larangan lainnya).

7. Menerapkan kesamaan perlakuan antara investasi asing dan investasi domestik sebagai insentif untuk menarik sebanyak mugkin investasi asing langsung.

8. Untuk mendorong kinerja badan usaha milik negara (BUMN), seyogyanya dilakukan privatisasi (penjualan saham ke sektor privat).

9. Pasar harus didorong agar lebih kompetitif melalui serangkaian kebijakan deregulasi dan menghilangkan hambatan atau restriksi bagi para pelaku ekonomi baru.

10.Harus ada perlindungan terhadap property rights, baik di sektor formal maupun informal.16

I.6.4.1. Liberalisasi Ekonomi

Istilah liberalisasi menjadi model ekonomi Neoklasik yaitu suatu aliran pemikiran ekonomi yang sangat percaya terhadap kekuatan dan mekanisme pasar sebagai sarana dan wahana terbaik untuk mencapai efisiensi, pertumbuhan, ekonomi dan kemakmuran. Ideologi liberal mencari maksimalisasi kepentingan dan kebebasan individu, lebih menekankan perolehan timbale balik yang muncul dari kerjasama dan saling ketergantungan antar negara. Kaum liberal ekonomi klasik selalu berusaha menghindari imbalan-imbalan kebijakan yang menggunakan langkah-langkah eksternal, dengan berpendapat bahwa aliran modal-barang dan jasa yang bebas di antara negara-negara sangat penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi didalam negeri maupun untuk kemakmuran ekonomi secara global.17

Liberalisasi ekonomi mempengaruhi sistem perekonomian Indonesia khususnya industri keuangan dan perbankan, hal ini disebabkan karena antara satu       

16 Dapat diakses di: http://64.203.71.11/kompas-cetak/0609/25/opini/2978827.htm

17 

Robert A. Isaak, Ekonomi Politik Internasional, Pengantar : DR. Mochtar Mas’oed, Yogyakarta, P.T Tiara Wacana, 1995, hal.81 


(29)

sistem keuangan suatu negara dengan sistem keuangan negara lain saling berinteraksi. Dengan bekerjanya liberalisasi pasar keuangan maka terciptanya kemudahan transaksi keuangan tanpa mengenal batas negara. Liberalisasi mendorong integrasi pasar keuangan yang menyebabkan pergerakan tingkat suku bunga, nilai tukar dan harga saham saling berhubungan antar negara dan antar kawasan satu dengan lainnya. Liberalisasi ekonomi Indonesia dapat dilihat dari tingginya keterbukaan perekonomian Indonesia dan ketergantungan pada sektor luar negri yang cukup besar, hal ini tercermin dari semakin meningkatnya aliran masuk modal asing.

1.6.5. Sturuktur Kekuasaan Susan Strange

Menurut Susan Strange ada beberapa struktur kekuasaan yang mempengaruhi sistem perekonomian internasional, salah satunya adalah ilmu pengetahuan dan struktur keuangan.

1.6.5.1. Struktur Pengetahuan

Menurut Susan Strange struktur pengetahuan ditentukan oleh what knowledge is discovered, how it is stored and who communicates it by what means to whom and what trems. Dan kemudian harus ada upaya pembentukan bahwa struktur pengetahuan tersebut merupakan suatu kebenaran.18 Untuk mewujudkan bahwa struktur pengetahuan tersebut merupakan suatu kebenaran maka pihak yang berkepentingan harus mampu mengontrol pembentukan struktur pengetahuan yang sedang terjadi. Susan Strange juga menjelaskan bahwa struktur pengetahuan adalah       

18

Susan Strange, State and Market, kutipan dari Indra Kesuma Nasution, Politea Militer dan Politik “Rezim Komodifikasi Air”, Departemen Ilmu Politik dan Laboratorium Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2006, hlm.3


(30)

kekuasaan bagi siapa yang bisa membangun struktur pengetahuan kepada orang lain dan mampu menciptakan control atasnya maka akan memperoleh sturktur kekuasaan yang sangat luar biasa. Kekuasaan dan wewenang akan lebih mudah dijaga dan dikontrol, lebih tajam dan sukar ditangkap.19

Dalam hal ini dapat dilihat dari konsep yang dibangun oleh Washington Consenssus. Dimana untuk menciptakan stabilitas perekonomian perlu melakukan stabilisasi output dan mendorong pertumbuhan jangka panjang. Stabilisasi output dapat dilakukan dengan menyediakan sumber pendanaan yang cukup di sektor bisnis karena siklus bisnis juga bisa membawa dampak yang berarti bagi pertumbuhan jangka panjang. Terbatasnya sumber pendanaan bagi pembiayaan aktivitas riset dan pengembangan membuat perusahaan harus merampingkan anggaran riset mereka saat siklus bisnis tengah lesu.20 Sehingga diperlukannya pembenahan sistem regulasi dan pengawasan, penerapan penjaminan simpanan.

Struktur pengetahuan ini diimplementasikan IMF melalui Memorandum Tambahan Tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan, April 1998 : Kelanjutan, Pelengkap dan Modifikasi dari Kesepakatan Januari 1998, yang terdiri atas : Pertama, Fiskal. Kedua, Moneter dan Perbankan. Ketiga, restrukturisasi perbankan. Keempat, inventasi dan deregulasi. Kelima, perdagangan luar negeri.

Berbagai kesepakatan IMF dan pemerintah Indonesia dituangkan dalam bentuk perjanjian yang dinamakan Letter of Intent (LoI). Letter of Intent adalah

      

19

Ibid, hal.4.

20

Joseph E. Stiglitz, Washington Consenssus Arah Menuju Jurang kemiskinan, INFID, Jakarta Selatan, 2002, hlm. 14


(31)

dokumen yang ditandatangani sebuah negara agar memperoleh sejumlah dana pinjaman dari IMF dimana pinjaman tersebut terkait erat dengan kondisionalitas.

LoI tersebut memuat kebijakan-kebijakan berskala besar yang ditetapkan oleh IMF dan harus diimplementasikan oleh pemerintah. Untuk mengontrol apakah kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan tersebut berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan, IMF menggunakan kekuatan dana pinjaman yang mereka berikan, misalnya saja dengan menunda pencairan dana pinjaman yang telah dijanjikan apabila hasil dari penerapan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak sesuai target atau melewati jadwal yang telah ditentukan.

1.6.5.2. Struktur Keuangan

Didalam struktur keuangan Susan Strange menyatakan kredit sangat diperlukan untuk pembangunan sebuah negara. Negara-negara berkembang pada umumnya membutuhkan dana eksternal baik penanaman modal asing dan utang luar negeri. Hal itu dikarenakan pendapatan yang rendah menyebabkan simpanan masyarakat rendah, tetapi dipihak lain rendahnya kehidupan justru mengharuskan terjadinya pembangunan besar-besaran. Oleh karena itu ada jurang antar kebutuhan tabungan sebagai sumber pendanaan dengan kebutuhan untuk investasi.

Sebuah negara atau lembaga internasional akan bisa menciptakan dominasinya terhadap negara lain melalui penciptaan struktur keuangan. Strange menjelaskan struktur keuangan adalah as the sum of all the arrangement governing the avaibility of credits plus all the factors determining the terms on which currencies are exchanged for one other. Artinya bahwa negara ataupun lembaga internasional dapat menciptakan dominasinya terhadap negara lain melalui pemberian credit atau


(32)

pinjaman beserta persyaratan-persyaratan yang menyertai pemberian pinjaman tersebut atau yang lebih dikenal sebagai pinjaman yang bersifat conditionalisme.21

Dalam konteks ini baik utang luar negeri atau penanaman modal asing sangat diperlukan. Utang luar negeri muncul karena dana dari dalam negeri tidak mampu membiayai proyek yang bisa meningkatkan produk nasional. Oleh karena itu pemerintah mencari jalan keluar dengan meminta bantuan luar negeri, defisit eksternal yang bersifat sementara akan diatasi dengan pembiayaan jangka pendek yang bisa dilakukan dengan penarikan oleh bank sentral fasilitas modal yang disediakan oleh dana moneter internasional (IMF).

1.6.6. Joseph E. Stiglitz

Joseph E. Stiglitz merupakan salah satu pemikir yang cukup kritis dalam menilai perilaku IMF. Dengan latar belakangnya sebagai akademisi dan pernah menduduki jabatan tinggi di Bank Dunia serta Dewan Ekonomi Amerika Serikat tentunya ia memiliki argumen yang kuat dalam kritikannya.

Washington Consensus (Kesepakatan Wahington)—sebutan bagi lembaga seperti Bank Dunia, IMF, Departemen Keuangan AS, yang bermarkas di Washington—sangat terkontaminsi berbagai kepentingan. Washington Consensus

menyatakan bahwa kinerja perekonomian yang baik membutuhkan perdagangan bebas, stabilitas makro serta penerapan kebijakan harga yang tepat. Tak dapat disangkal bahwa butir-butir Washington Consensus merupakan syarat bagi berfungsinya mekanisme pasar. Hanya saja, harus diingat bahwa kebijakan-kebijakan       

21 Ibid


(33)

yang direkomendasikannya tidaklah lengkap, bahkan kadangkala salah arah. Mekanisme pasar agar berfungsi dengan baik membutuhkan lebih sekadar tingkat inflasi yang rendah, pasar membutuhkan pula regulasi yang tepat di sektor finansial, kebijakan persaingan usaha, serta kebijakan yang memfasilitasi alih teknologi dan mendorong transparansi. Hal-hal fundamental inilah yang diabaikan dan tidak tercakup dalam Washington Consensus. Dogma liberalisasi, seperti diajukan oleh

Washington Consensus acap kali berubah menjadi tujuan dan bukan lagi berfungsi sebagai alat untuk mewujudkan sistem finansial yang lebih baik.

Letter of Intent yang merupakan persyaratan pengucuran dana telah memaksa kita untuk menurut resep yang ditawarkan IMF. Menurut IMF, dengan menerapkan liberalisasi, deregulasi dan privatisasi maka kita akan lepas dari krisis ekonomi. Padahal, Stiglitz berpendapat butir-butir dogmatik dari Washington Consensus telah gagal memberikan kerangka yang tepat untuk memahami keberhasilan perekonomian Asia Timur ataupun kesulitan yang kini tengah mereka hadapi (termasuk Indonesia). Dengan demikian, respon dunia terhadap krisis Asia yang didasarkan pada perspektif

Washington Consensus adalah tidak tepat bahkan cenderung kontra produktif.

Menurut Stiglitz, pentingnya penguatan sistem finansial seharusnya ditujukan untuk lebih dari sekadar upaya menghindari krisis ekonomi. Sistem finansial merupakan otak dari perekonomian dengan mengumpulkan dan mengagregatkan simpanan dari pihak-pihak yang tengah mengalami kelebihan sumber daya, serta mengalokasikannya pada aktivitas-aktivitas produktif oleh pihak lain. Sistem finansial yang bekerja baik akan memilih penerima dana yang bisa menggunakan dana tersebut untuk aktivitas yang paling produktif sedangkan sistem finansial yang


(34)

buruk akan mengalokasikan dana-dana tersebut pada investai yang tidak produktif. Sistem fnansial juga harus terus menerus memonitor penggunaan dana untuk memastikan penggunaannya yang lain seperti pengurangan resiko, peningkatan likuiditas, serta penyampaian informasi. Semua fungsi ini penting bagi pertumbuhan modal dan peningkatan TFP.

Sistem finansial tidak akan mampu memainkan keseluruhan fungsinya tersebut sendirian. Masalah-masalah seperti ketidaksempurnaan informasi pasar dan tidak lengkapnya perjanjian berpengaruh besar dalam sistem finansial serta acap kali menciptakan tingkat kesetimbangan yang bahkan tidak bisa mencapai constrained Pareto efficient sekalipun (Greenwald dan Stiglitz, 1986).

I.7. Metodologi Penelitian I.7.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitif. Pendekatan deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang berlaku. Penelitian deskriptif ini juga digunakan sebagai suatu cara pemecahan masalah yang diteliti dengan menggunakan analisa mendalam terhadap objek yang diteliti.

I.7.2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik yang digunakan untuk memperoleh data-data dan fakta-fakta dalam rangka pembahasan masalah dalam skripsi ini adalah menggunkan penelitian kepustakaan (library research) yang berupa buku-buku, literature, kamus,


(35)

artikel-artikel dalam majalah, jurnal ilmiah, bulletin, dan juga dokumentasi atas dokumen resmi IMF yang didapat dari akses internet.

I.7.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik deskriptif analitif. Dengan bersumber pada sejarah yang berorientasi kepada problema yang akan berusaha menganalisa cerita-cerita yang sebenarnya menurut topik-topik atau masalah-masalah yang telah dipilih dalam penelitian ini.

I.8. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini direncanakan terdiri dari beberapa bab, kemudian tiap bab terdiri dari beberapa subbab, yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan dan pengantar dari keseluruhan skripsi, dalam bab ini akan dijelaskan dan diuraikan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, landasan teoritis, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan


(36)

BAB II KRISIS EKONOMI DAN PERBANKAN DI INDONESIA

Bab ini akan menggambarkan kondisi perekonomian Indonesia pada saat terjadi krisis ekonomi, penyebab terjadinya krisis serta menggambarkan kondisi perbankan di Indonesia pada saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia dan juga penyebab dari krisis perbankan tersebut.

BAB III Peranan International Monetary Fund dalam Restrukturisasi Perbankan Indonesia

Bab ini akan menguraikan tentang berbagai kebijakan dalam upaya merestrukturisasi perbankan Indonesia serta dampak yang dihadapi dari kebijakan-kebijakan tersebut

BAB IV KESIMPULAN

Bab ini berisikan kesimpulan yang merupakan ringkasan hasil penelitian dan saran-saran yang merupakan rekomendasi atau solusi atas persoalan-persoalan yang ditemukan dalam penelitian.


(37)

BAB II

KRISIS EKONOMI DAN PERBANKAN DI INDONESIA

II.1. Krisis Ekonomi di Indonesia

II.1.1. Kondisi Indonesia Sebelum Terjadi Krisis Pada Juli 1997

Seperti kondisi pada beberapa tahun sebelum tahun 1997, perekonomian Indonesia dalam semester pertama tahun 1997 masih menunjukkan dinamika yang tinggi. Laju inflasi cenderung semakin rendah sehingga mendorong terciptanya iklim yang kondusif bagi dunia usaha. Kegairahan dunia usaha yang didukung oleh kondisi makroekonomi yang stabil telah mengundang lebih banyak modal asing masuk, khususnya ke sektor swasta. Berbagai perkembangan ini, ditambah dengan proses privatisasi yang semakin kuat, telah menjadi faktor pendorong penting bagi tingginya kegiatan ekonomi. permintaan domestik yang didorong oleh kegiatan investasi maupun konsumsi merupakan penggerak utama pertumbuhan tersebut. Dalam paruh pertama tahun 1997, laju inflasi juga masih relatif rendah, yakni hanya 2,5%.22

Sejalan dengan dinamika perekonomian yang masih tinggi, kebijakan moneter hingga pertengahan tahun 1997 masih diarahkan untuk mengendalikan permintaan dalam negeri dalam rangka memelihara stabilitas makroekonomi. Upaya pengendalian permintaan dalam negeri tersebut dilakukan karena ekspansi kredit perbankan ke berbagai sektor property dan sektor konsumtif masih sangat kuat, dan

       22 

Syahril Sabirin, Perjuangan Keluar dari Krisis, Percikan Pemikiran. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta, 2003. hlm.xvii


(38)

pada saat bersamaan didorong pula oleh derasnya arus masuk modal luar negeri, khususnya pinjaman luar negeri swasta yang berjangka pendek. 23

Kegiatan perbankan sampai dengan pertengahan tahun 1997 secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat, sementara ekspansi kredit tetap kuat terutama sektor property. Ekspansi berlebihan juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya bank swasta nasional, meningkat tajam seperti tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening administratif dalam valuta asing perbankan selama tiga tahun terakhir. Di sisi lain, kredit nonlancar pada beberapa bank nasional cenderung meningkat sementara efisiensi usaha memburuk. Perkembangan tersebut menyebabkan tingginya kerentanan perbankan nasional terhadap guncangan-guncangan yang terjadi dalam perekonomian.24

Perkembangan makroekonomi yang mantap sebelum krisis telah memberikan keyakinan investor baik dalam maupun luar negeri atas prospek perekonomian Indonesia sehingga semakin mendorong masuknya arus modal dan semakin memperdalam proses integrasi perekonomian nasional ke dalam perekonomian internasional. Akan tetapi, di sisi lain dinamika perekonomian yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya disertai dengan upaya untuk menata pengelolaan dunia usaha dan menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang baik, sebagaimana tercermin pada kurangnya transparansi dan konsistensi pelaksanaan kebijakan. Sementara itu, kelemahan informasi, baik mutu maupun ketersediaannya, semakin memperburuk       

23 

Bank Indonesia, Laporan Tahunan 1997/1998. Jakarta. hlm.65

24 


(39)

kualitas keputusan yang diambil oleh dunia usaha dan Pemerintah. Berbagai faktor ini memperlemah kondisi fundamental mikroekonomi sehingga meningkatkan kerentanan perekonomian terhadap guncangan-guncangan eksternal.25

Melemahnya fundamental mikroekonomi dapat dilihat pada menurunnya efisiensi pengelolaan dunia usaha dalam beberapa tahun terakhir sebelum krisis. Hal ini berkaitan dengan semakin tingginya distorsi dalam pengalokasian sumber daya yang dilakukan baik oleh sektor swasta maupun oleh sektor pemerintah sehingga mendorong meningkatnya konglomerasi usaha yang monopolistik dan perilaku pencari rente (rente seeking). Meskipun kegiatan investasi dan produksi naik dengan cepat dalam lima tahun terakhir, pemanfaatan sumber daya, terutama modal, menjadi kurang optimal dan cenderung terkonsentrasi pada sektor-sektor yang kurang produktif. Akibatnya, perekonomian menjadi kurang efisien seperti tercermin pada naiknya incremental capital output ratio (ICOR) dalam tahun 1992-1997, yakni menjadi rata-rata sekitar 4,2 dibandingkan dengan rata-rata sekitar 3,1 pada tahun 1988-1991. Kelemahan-kelemahan fundamental mikroekonomi tersbut diatas mengakibatkan ketergantungan pada sektor luar negeri semakin besar, khususnya utang luar negeri sektor swasta. Ketergantungan sektor swasta kepada sektor luar negeri tersebut terus meningkat sejalan dengan pesatnya kegiatan investasi sektor swasta, sehingga hutang luar negeri swasta meningkat tajam. Sejak lima tahun terakhir sebelum krisis, hutang luar negeri swasta meningkat rata-rata sebesar 28,6% per tahun dibandingkan hutang luar negeri pemerintah sebesar 0,4% per tahun sehingga pangsa hutang luar negeri swasta meningkat dari 33,9% pada akhir Maret       

25 


(40)

1994 menjadi 60,7% pada akhir Maret 1998. Keadaan itu bertambah rentan karena semakin besar hutang luar negeri tersebut berjangka pendek dan tidak dilindungi nilai

(unhedged). 26

II.1.2. Penyebab Krisis Ekonomi Indonesia

Krisis moneter yang melanda di negara-negara Asia pada pertengahan tahun 1997 berawal dari krisis keuangan yang terjadi di Thailand27 yaitu pada tanggal 14 Mei 1997 dimana baht dilanda serangan spekulan.28

Pada waktu Thailand dilanda krisis moneter, pemerintah Indonesia dan sejumlah pakar ekonomi, berkeyakinan bahwa krisis moneter di Thailand tersebut tidak akan berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Argumentasi dari pemerintah dan para pakar tersebut adalah tingkat pertumbuhan yang relative cukup tinggi dan laju inflasi terkendali,

       26 

Bank Indonesia, Op. cit., hlm. 1 dan 2

27 

Krisis keuangan di Thailand dipicu lambatnya pertumbuhan ekonomi serta ketidakstabilan politik di negeri itu. Dimulai pada pertengahan tahun 1996, ketika Bangkok Bank of Commerce (BBC) lumpuh. Dalam stehun kemudian perusahaan real estate di lembaga reksadana terbesar di negeri itu ikut runtuh. Rentetan peristiwa ini menyingkap kolusi dan korupsi di dua sektor penting Thailand: industry dan keuangan, khususnya perbankan dan reksadana. Mengetahui kebobrokan itu, bank-bank asing menghentikan pinjaman dan perusahaan-perusahaan reksadana internasional mulai menarik kembali dana mereka dari bank-bank Thailand, serta menukarkan baht ke dollar AS. Maka terjadilah tekanan terhadap nilai tukar mata uang Thailand terhadap dollar. Seperti juga di Indonesia, melihat nilai tukar baht terhadap dollar cenderung melemah, atau mengira baht akan segera di devaluasi, maka para pengusaha domestic pun ramai-ramai melepas baht, membeli dollar AS dalam jumlah besar untuk berbagai tujuan, terutama membayar utang luar negeri, sehingga nilai tukar baht terhadap dollar AS merosot terus. Tulus Tambunan, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1998. hlm. 11-12.

28 

Pada saat serangan tersebut terjadi, Bank Sentral Muangthai mencoba mempertahankan secara mati-matian sistem nilai tukar baht tersebut dengan mempergunakan cadangan devisa mereka, akan tetapi usaha tersebut hanya bertahan sementara, ketika cadangan devisa semakin menipis, akhirnya Bank Sentral Muangthai harus mengakui kekalahan mereka dengan mengambangkan mata uang baht pada tanggal 2 Juli 1997. Langkah tersebut serta merta menjatuhkan nilai mata uang tersebut. Dalam waktu singkat baht turun lebih 30 persen. Cyrillus Harinowo, Op.,Cit., hlm.23 dan 205 


(41)

dibawah dua digit, bahkan tingkat inflasi tahun 1996 lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Krisis yang terjadi di Thailand tersebut akhirnya merambat kemana-mana. Malaysia, Korea, dan Indonesia merupakan beberapa negara yang paling terkena dampaknya. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ikut juga merosot sejak bulan Mei 1997, dimana pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa langkah untuk menghadapi serangan spekulan, diantaranya dengan memperlebar rentang nilai tukar rupiah pada tanggal 11 Juli 1997 dari 8% menjadi 12%. Tetapi langkah tersebut tidak dapat meredakan serangan spekulasi terhadap rupiah.29 Keadaan tersebut terus berlanjut dengan intensitas yang semakin meningkat, sehingga pada akhirnya tanggal 15 Agustus 1997, Pemerintah harus mengambil keputusan yang pahit, yaitu melakukan pengambangan mata uang sebelum pada akhirnya cadangan devisa pemerintah akan terkuras sebagaimana pengalaman negara tetangga. Langkah ini ternyata menimbulkan depresiasi yang hebat sehingga timbullah kepanikan dalam perekonomian pada saat itu.

Panik melihat depresiasi pemerintah yang begitu cepat, pemerintah mengambil langkah lain yaitu memperketat likuidasi dengan menaikkan tingkat suku bunga guna menarik kembali modal ke dalam negeri. Cara ini hanya memperlambat jatuhnya rupiah tetapi tidak dapat mengembalikan nilai rupiah ke posisi sebelumnya.

      

29

Sepekan sejak pelebaran intervensi, rupiah cenderung semakin melemah. Dari posisi Rp.2432/ US$ pada Jum’at 11 Juli, rupiah ditutup pada posisi Rp.2511/ US$ pada Jum’at berikutnya (18 Juli). Dalam sepekan rupiah anjlok 78,25 poin. Rupiah bahkan menembus Rp.2600/ US$ pada 21 Juli 1997, suatu kejadian yang jarang sekali terjadi pada saat itu, karena Indonesia masih menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali. Arif Budisusilo, Menggugat IMF Pergulatan Indonesia Bangkit dari Krisis. Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2001. hal.13.


(42)

Krisis moneter dan perbankan mengakibatkan krisis kepercayaan yang selanjutnya menimbulkan krisis sosial. Kemudian mempercepat terjadinya krisis politik yang sebelumnya memang sudah bergejolak. Krisis politik memperdalam dan mempertebal krisis moneter, krisis kepercayaan, dan krisis sosial, sehingga timbullah krisis ekonomi yang semakin lama semakin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini memperkuat krisis yang lainnya dan begitu seterusnya. Sehingga terjadilah Vircious Circle, krisis ganda bagaikan benang kusut.30

Jatuhnya nilai tukar mata uang tersebut bersama-sama dengan penarikan modal dari beberapa negara oleh pengelola modal asing untuk dialihkan ke negara lain. Dalam konstelasi ekonomi politik internasional sekarang ini, batas-batas negara sudah tidak begitu berpengaruh, sehingga sejumlah investor dapat dengan mudah menempatkan modalnya khususnya modal jangka pendek dimana saja.

Modal jangka pendek ini ditanam disejumlah negara untuk beberapa lama dan tentunya selalu diawasi oleh pengelolanya, karena tujuan utamanya adalah untuk mendapatkan pemulangan keuntungan yang besar. Maka modal ini akan dengan mudah dipindahkan oleh pemiliknya jika situasi tidak menguntungkan.

Secara teori dikatakan bahwa menigkatnya modal jangka pendek secara alamiah akan meningkatkan kerentanan sebuah mata uang, dalam hal ini rupiah terhadap serangan spekulatif.31 Aktivitas ini dipandang sebagai mewakili kapitalisme yang dalam kebaikan maupun keburukannya tergantung dari akibat yang ditimbulkan.

      

30

Umar Basalim, Moch. Rum Alim, Helma Oesman, Perekonomian Indonesia : Krisis dan Strategi Alternatif. Jakarta: UNAS dan PT Pustaka Cidesindo, 2000. hal.7-8.

31 

H.W. Ardnt and Hall Hill, South East Asia’s Economic Crisis, Origin, Lessons, and The Way Forward. Singapore: Seng Lee Press Pte, 1999. hal. 31.


(43)

Sejumlah pemimpin negara, akomodasi, dan analisis pasar dalam sebuah intitusi multilateral meyakini bahwa spekulasi yang tidak terduga dari para pedagang mata uang dalam memicu terjadinya krisis. Spekulator diduga keras meminjam mata uang Asia Timur untuk kemudian dijual dan ditukar dalam bentuk US dollar untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Aktivitas ini sama sekali mengabaikan implikasi negara yang kemungkinan besar terjadi pada mata uang dan perekonomia terkait, dan hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Faktor ini mempengaruhi keyakinan public dan investor yang pada fase berikutnya berpengaruh pada ekonomi sektor riil.

Faktor utama yang menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia ini adalah depresiasi nilai tukar rupiah yang diakibatkan oleh melemahnya nilai tukar mata uang sejumlah negara di kawasan Asia, bukan oleh lemahnya fundamental ekonomi Indonesia. Dengan kata lain, krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia lebih disebabkan oleh Contagion Effect, bukan oleh lemahnya fundamental ekonomi. di lain pihak ada yang berpendapat bahwa krisis ekonomi di Indonesia tidak disebabkan semata-mata oleh Contagion Effect tetapi juga oleh lemahnya fundamental ekonomi. kelemahan ini bukanlah berasal dari fundamental ekonomi makro melainkan dari fundamental ekonomi mikro.

Sebelum Indonesia terkena dampak dari krisis mata uang Thailand, Bank Indonesia masih meramalkan Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan baru dalam perekonomian Indonesia. Proyeksi itu merujuk pada pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dekade 1980-an hingga pertengahn 1990-an; yang dialami juga oleh


(44)

negara Asia Timur termasuk Thailand, Korea Selatan, Taiwan, Cina, Singapura dan Malaysia.

Kinerja perekonomian Asia Timur sebelum krisis sering disebut-sebut sebagai “Keajaiban Asia” atau The Asian Miracle. Tetapi julukan tersebut tidak berarti apa-apa. Sebab pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan berasal dari peningkatan produktivitas dan efisiensi ekonomi melainkan adanya masukan dari modal asing yang menciptakan bubble. Perekonomian menggelembung melebihi kapasitasnya sehingga seperti balon yang mudah meletus. Hal ini terjadi karena sebagian besar keajaiban ekonomi diperoleh berkat derasnya arus modal asing. Modal yang masuk terutama berbentuk investasi langsung, misalnya untuk pendirian pabrik, pinjaman bank atau modal portofolio melalui bursa saham.

Modal asing mengalir masuk dengan derasnya pada masa lalu berkat persepsi positif dan kepercayaan. Para pemilik dana luar negeri percaya terhadap prospek ekonomi dan perusahaan di Indonesia, karena penilaian berbagai lembaga internasional, termasuk Bank Dunia dan IMF selalu positif. Indonesia berpenduduk 200 juta lebih pada dekade 1990-an. Hal ini berarti menyimpan potensi pasar domestik yang luar biasa. Selain itu, kekayaan alam Indonesia merupakan dua atau tiga terbesar dari negara-negara dengan kekayaan alam dunia.

Optimisme sering dikemukan anggota dewan moneter yang terdiri dari Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan Menteri Ekonomi. Beberapa kali Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia menyebutkan fundamental ekonomi cukup baik. Pemerintah juga menilai depresiasi rupiah saat itu merupakan konsekuensi sistem nilai tukar mengambang terkendali,dimana hanya ada dua


(45)

kemungkinan: menguat atau melemah. Dengan kata lain, pemerintah masih percaya bahwa guncangan terhadap rupiah merupakan tindakan spekulatif yang bersifat sementara.

Konsentrasi kredit perbankan ke sektor property, pengawasan sistem perbankan yang tidak efektif, keteledoran para bankir dalam menyalurkan pinjaman, besarnya utang jangka pendek, masalah korupsi dalam birokrasi pemerintah dan swasta sehingga memicu inesifisiensi perekonomian selama bertahun-tahun, serta tidak adanya mekanisme pemantauan dalam lalu lintas devisa, akhirnya mengakibatkan krisis pada akhir 1997.

II.1.3. Kondisi Ekonomi Indonesia Saat Krisis Periode 1997-1999

Tahun 1997/1998 merupakan tahun terberat dalam tiga puluh tahun pelaksanaan pembangunan ekonomi Indonesia. Diawali oleh krisis nilai tukar yang terjadi sejak Juli tahun 1997, kemudian krisis berubah menjadi krisis yang berkepanjangan di berbagai bidang.

Memasuki pertengahan tahun 1997, situasi moneter berubah dengan cepat. Rupiah mendapatkan tekanan-tekanan depresiatif yang sangat besar yang berawal dari krisis nilai tukar mata uang Thailand dan kemudian menyebar ke negara ASEAN lainnya termasuk Indonesia. Penyebab utama tekanan nilai tukar tersebut adalah menurunnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia karena adanya kesamaan karakteristik perekonomian dengan Thailand. Hal ini menyebabkan turunnya arus modal luar negeri yang selama ini menjadi bagian penting dari pembiayaan pembangunan nasional. Keadaan ini diperburuk dengan kegiatan


(46)

spekulasi baik di dalam maupun di luar negeri dengan memanfaatkan merebaknya berbagai isu politik yang menambah ketidakpastian berusaha. Perkembangan tersebut mengakibatkan nilai rupiah selama paruh kedua tahun1997/1998 bergejolak dan terdepresiasi ke tingkat yang sangat rendah. Lemahnya nilai tukar rupiah dan tingginya suku bunga sebagai bagian upaya mengatasi tekanan rupiah tersebut kemudian menyebabkan tekanan likuiditas pada perbankan.

Dalam rangka mengatasi gejolak nilai tukar rupiah tersebut, Pemerintah pada awalnya hanya bertumpu pada kebijakan moneter dengan pertimbangan bahwa gejolak nilai tukar akan berlangsung sementara. Pada awal krisis, Bank Indonseia melebarkan rentang kendali nilai tukar dari 8% menjadi 12% yang disertai dengan intervensi. Dengan semakin kuatnya tekanan terhadap rupiah, pada 14 Agustus 1997 pemerintah memutuskan untuk mengubah sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem mengambang bebas.

Pengetatan likuiditas dan tingginya suku bunga dalam periode Juli-Agustus 1997 telah menyebabkan tekanan yang sangat berat pada sektor perbankan dan sektor riil. Mengingat semakin tertekannya sektor riil dan semakin memburuknya kondisi perbankan, maka Pemerintah mencanangkan paket kebijakan 3 September 1997 yang mencakup sepuluh langkah pemerintah untuk memulihkan ekonomi. secara umum paket kebijakan tersebut tetap ditujukan untuk menciptakan stabilisasi makroekonomi. Namun, kebijakan yang diambil tidak lagi hanya bertumpu pada kebijakan moneter, tetapi mencakup pula langkah-langkah di bidang fiskal, perbankan, dan pasar modal. Langkah-langkah dimaksud antara lain meliputi penghematan anggaran, pelonggaran moneter secara berhati-hati sesuai dengan


(47)

kondisi likuiditas perekonomian, penyehatan sistem keuangan terutama perbankan, dan penghapusan batas maksimum pembelian saham oleh investor asing di pasar modal. Langkah-langkah tersebut tidak memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.32

Memasuki tahun 1998, situasi moneter dan perekonomian semakin tidak menentu yang disebabkan antara lain asumsi-asumsi yang digunakan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 1998/1999 kurang mencerminkan kenyataan. Pengumuman Pemerintah tentang RAPBN 1998/1999 ditanggapi secara negatif oleh pelaku pasar sehingga nilai tukar rupiah merosot tajam. Disamping itu, berita-berita tentang pemutusan hubungan kerja dan ditutupnya berbagai cabang usaha telah menambah kekhawatiran masyarakat terhadap situasi perekonomian yang semakin memburuk. Ketidakjelasan informasi tentang besarnya utang luar negeri swasta yang jatuh tempo juga semakin menambah ketidakpastian yang mendorong tindakan-tindakan spekulatif di pasar valas. Hal ini mengakibatkan nilai tukar rupiah semakin merosot sehingga mencapai Rp.9.500 per US$ pada akhir minggu pertama Januari 1998.

Selama tahun 1999, proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup mantap setelah mengalami krisis ekonomi yang berat sejak pertengahan tahun 1997. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif, serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional. Dengan latar belakang permasalahan yang terjadi dalam tahun       

32 


(48)

1997 dan 1998, kebijakan yang diambil dalam tahun 1999 diarahkan untuk membenahi tiga mata rantai yang menghambat pemulihan ekonomi, yaitu ketidakstabilan moneter, kondisi perbankan yang lemah, dan kondisi dunia usaha yang dililit utang.

Dalam tahun 1999, beberapa kebijakan yang telah diambil telah mulai memberikan hasil yang positif dan proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan mantap. Kondisi moneter dan perkembangan sosial politik semakin stabil dan kondisi perekonomian dunia yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan aktifitas ekonomi. indikator-indikator kestabilan moneter seperti nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga, dan pasar modal menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.33 Nilai tukar rupiah yang selama empat bulan pertama tahun 1999 mengalami depresiasi, pada akhir Juni 1999 telah menguat menjadi Rp6.630 per USD. Pada bulan berikutnya rupiah relatif stabil pada kisaran Rp6.800 hingga Rp7.400.

II.2. Krisis Perbankan di Indonesia Periode 1997-1999

II.2.1. Kondisi Perbankan Indonesia Sebelum dan Awal Krisis

Salah satu kelemahan mendasar dari “cirri sistem ekonomi kita” adalah macetnya peran lembaga-lembaga (institusional), perbankan dalam grand design

perekonomian nasional. Jika lembaga-lembaga semacam ini (perbankan) kita abaikan, maka perekonomian sulit diramalkan perilakunya.

       33 


(49)

Perbankan nasional, baik bank pemerintah maupun bank swasta, pada sebelum tahun 1997 sebenarnya sudah kolaps karena dikelola secara tidak prudent

(hati-hati) dan oleh pemiliknya digunakan sebagai kasir untuk membiayai proyek-proyek dalam satu kelompok perusahaan. Hampir semua bank swasta besar seperti Bank BCA, Bank Danamon, BDNI (Bank Dagang Negara Indonesia), Bank Niaga, Bank Dharmapala, dll, sebagian besar alokasi kreditnya diberikan kepada perusahaan dalam satu kelompok usaha banyak dilanggar, dan ketika perusahaan itu macet sehingga tidak mampu mengangsur kewajibannya, seketika itu juga perusahaan itu macet. Begitu juga dengan keberadaan bank-bank BUMN milik pemerintah semacam Bank Mandiri, BNI, BTN, dan BRI.

Sampai dengan pertengahan tahun 1997, kegiatan perbankan secara umum masih berkembang dengan kecepatan tinggi. Mobilisasi dana masyarakat meningkat pesat sementara ekspansi kredit masih tetap kuat, terutama ke sektor propeti. Ekspansi berlebihan juga telah menyebabkan kewajiban perbankan dalam valuta asing, khususnya pada bank swasta nasional, meningkat tajam sebagaimana tercermin pada memburuknya posisi devisa neto dan semakin besarnya rekening

Kelemahan fundamental mikroekonomi, yang tercermin dari struktur perbankan ini dan mengakibatkan kerentanan terhadap gejolak ekonomi antara lain disebabkan oleh lima faktor :

1. adanya jaminan terselubung (implicit guarantee) dari bank sentral atas kelangsungan hidup suatu bank untuk mencegah kegagalan sistemik dalam industri perbankan telah menimbulkan moral hazard di kalangan pengelola dan pemilik bank. Jaminan yang ada praktis menggeser risiko yang dihadapi


(50)

perbankan ke bank sentral serta mendorong perbankan untuk mengambil utang yang berlebihan dan memberikan kredit ke sektor-sektor yang berisiko tinggi. 2. Sistem pengawasan oleh bank sentral kurang efektif karena belum sepenuhnya

dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya kegiatan operasional perbankan. Apalagi independensi bank sentral pada periode tersebut sangat kurang sehingga menyebabkan langkah-langkah koreksi tidak dapat dilakukan secara efektif. Hal ini telah mendorong perbankan nasional mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam kegiatan operasional yang telah ditetapkan.

3. Besarnya pemberian kredit dan jaminan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada individu/kelompok usaha yang terkait dengan bank (connected lending) telah mendorong tingginya risiko kemacetan kredit yang dihadapi bank.

4. Relatif lemahnya kemampuan manajerial bank telah mengakibatkan penurunan kualitas aset produktif dan peningkatan risiko yang dihadapi bank. Situasi ini diperburuk pula oleh lemahnya pengawasan dan sistem informasi internal di dalam memantau, mendeteksi, dan menyelesaikan kredit bermasalah dan posisi risiko yang berlebihan.34

Awal kesulitan mulai terjadi ketika nilai tukar rupiah melemah sejak Juli 1997, perbankan nasional sudah mulai terkena imbasnya. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan kewajiban bank dalam mata uang rupiah untuk memenuhi kewajiban yang berdenominasi valuta asing naik secara tajam. Di lain pihak, tagihan bank dalam bentuk kredit valuta asing, nilai ekivalen rupiahnya dalam pembukuan       

34 


(51)

bank juga mengalami kenaikan sehingga debitur yang bersangkutan tidak mampu membayar kembali hutangnya kepada bank. Akibatnya, bank-bank mengalami kesulitan untuk memenuhi penarikan dana oleh para krediturnya. Melemahnya nilai tukar rupiah menjadi pemicu awal gelombang kesulitan likuiditas pada perbankan yang kemudian berlanjut sehingga kesulitan yang dialami perbankan makin bertambah besar.

Kesulitan likuiditas semakin terasa ketika penabung, deposan, dan kreditur lainnya mulai menarik dana dari beberapa bank. Akibatnya, banyak bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan bahkan mengalami saldo negatif pada rekening giro mereka pada Bank Indonesia. Kesulitan likuiditas akibat penarikan dana oleh masyarakat terus berlangsung dan meluas pada sejumlah bank sehingga terjadinya saldo debet pada rekening giro bank-bank pada Bank Indonesia tidak dapat dihindari dan jumlahnya juga semakin besar. Bank-bank yang tergolong sehat pun mengalami kesulitan likuiditas sehingga juga mengalami saldo debet pada rekeningnya di Bank Indonesia. Penarikan dana tersebut sebagian besar dilakukan melalui kliring. Hingga 31 Desember 1997 terdapat saldo giro negatif 25 bank sebesar Rp20,9 triliun.

II.2.2. Penyebab Terjadinya Krisis Perbankan 1997/1998

Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan perekonomian yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi begitu hebat. Krisis yang sudah berjalan enam bulan selama tahun 1997, berkembang semakin buruk dalam tempo cepat. Faktor yang memperparah kondisi perbankan di


(1)

eliminated, thereby improving the degree of competition in this industry, and immediately reducing prices for construction firms and consumers. Second, the medium-term tariff reduction program was extended to cover two key additional sectors, chemicals and metal products. Tariffs on most chemical products have already been reduced by 5 percentage points, effective January 1, 1998 while those on steel/metals will be lowered beginning January 1, 1999. In line with the overall program, further reductions in these tariffs are scheduled for subsequent years, so that by 2003, the maximum tariff on these products will be brought down to the medium-term target of 10 percent.

34. Despite this steady progress, the economic crisis has deepened during December and early January, making it clear that bolder, and faster, reform will be necessary to overcome the economy’s problems. Accordingly, the government has decided to reinforce its structural reform program, by accelerating some of the measures that were earlier planned, and by supplementing them with additional actions.

Foreign Trade and Investment

35. Over the past two months, it has become evident that the drought afflicting the country is the most severe in half a century, and requires emergency measures. Accordingly, to ensure that adequate food supplies will be available to the population at reasonable prices, the government has decided to go beyond the original program strategy, and include agricultural goods in the general program of tariff reduction (leaving motor vehicles as the only exception). As an immediate measure, tariffs on all food items have been cut to a maximum of 5 percent, while local content regulations on dairy products have been abolished, both effective February 1, 1998,. At the same time, tariff rates on non-food agricultural products will be reduced by 5 percentage points, and will gradually be reduced to a maximum of 10 percent by 2003.


(2)

36. At the same time, as another major step in assuring a level playing field, on February 1, 1998, all import restrictions on all new and used ships were also abolished. All other remaining quantitative import restrictions, other than those which may be justified for health, safety, environment and security reasons, and other nontariff barriers that protect domestic production, will be completely phased out by the end of the program period.

37. The government also intends to phase out punitive export taxes, since these can no longer be justified, given the country’s now-pressing need to augment its inflows of foreign exchange. Accordingly, on February 1, 1998, export taxes on a wide range of products—including leather, cork, ores and waste aluminum products—will be abolished. For other products, however, export taxes cannot simply be eliminated, since they serve as an important means of discouraging overexploitation of Indonesia’s natural environment. In such cases, therefore, export taxes will be replaced by resource rent taxes, which would protect the environment, while eliminating the bias against production for export, rather than for domestic use. As a first step, in March 1998, export taxes on logs, sawn timber, rattan, and minerals will be reduced to a maximum of 10 percent ad valorem, and appropriate resource rent taxes imposed. At the same time, similar steps will be taken for all of the remaining items currently subject to an export tax: the levies on exporting will be abolished and replaced by resource rent taxes, where appropriate.

38. The government will also eliminate all other types of export restrictions, such as quotas, by the end of three years. The only exceptions will be for those restrictions imposed for health and security reasons, as well as time-bound, temporary, measures introduced in the event of occasional domestic shortages—such as the recently imposed export ban on palm oil. This ban will need to be retained through the first quarter of 1998, to ensure adequate domestic supplies of palm oil and restrain price rises. After March, however, it will not be renewed, nor will the previous system of export quotas and punitive taxes will be reintroduced. Instead, palm oil will be subject to export taxes at rates not exceeding 20 percent.


(3)

39. Another pressing need in the current circumstances is to encourage foreign investment. Accordingly, the government has decided that in June 1998 it will issue a revised and shortened negative list of activities closed to foreign investors. As part of this process, the government has removed restrictions on foreign investment in palm oil plantations on February 1, 1998 while those on wholesale and retail trade will be lifted by March 1998.

Deregulation and Privatization

40. The second major thrust of the structural reform strategy will be to deregulate and privatize the economy, in order to promote domestic competition and expand the scope of the private sector. As a first, bold step, all of the existing formal and informal restrictive marketing arrangement—including those for cement, paper, and plywood—will be dissolved, as of February 1, 1998. Henceforth, no firm will be forced to sell its product through a joint marketing organization, nor be required to pay fees or commissions to it. Neither will any organization be allowed to assign exclusive marketing areas, or to dictate production volumes or market shares to individual enterprises. In the case of cement, internal and external trade restrictions have also been eliminated, so that traders are now free to purchase and distribute all brands of cement in all provinces and export without acquiring permits other than a general exporters’ license.

41. Similarly, trade in agricultural products is also being deregulated. Effective February 1, 1998, traders will have the freedom to buy, sell, and transfer all commodities across district and provincial boundaries, including cloves, cashew nuts, oranges, and vanilla. In particular, traders will be able to buy and sell cloves at unrestricted prices to all agents, effective immediately, and the Clove Marketing Board will be eliminated by June 1998. The system of quotas limiting the sale of livestock will be abolished by September 1998. Furthermore, provincial governments will be prohibited from restricting interprovincial or intraprovincial trade, effective February 1, 1998.


(4)

42. To support export expansion the government is now enforcing the prohibition of retribusi (local taxes) at all levels on export goods. To strengthen competition and market integration, government will develop and implement a one-year program for abolishing taxes on interprovincial and inter-district trade. Any loss of local government revenue will be addressed through a combination of local fuel taxes and transfers from the central government.

43. BULOG’s monopoly will be limited to rice. Earlier, the government had planned that, following the November 1997 liberalization of wheat imports, domestic millers should distribute their flour through BULOG for a 3-5 year transition period. Now, however, we have decided to eliminate this requirement, while flour millers will be permitted to sell or distribute flour to any agent, both effective February 1, 1998. Also, effective the same date, all traders will be allowed to import sugar and market it domestically, while farmers will be released from the formal and informal requirements for the forced planting of sugar cane. This major measure will have a number of important economic benefits. It will rationalize sugar production, enabling old and inefficient government mills to be closed. It would increase rice output, as farmers switched from growing cane on irrigated land to producing higher value-added paddy. And it would increase the efficiency and competitiveness of sugar-using industries, such as food processing.

44. In parallel with these efforts to increase private sector productivity, the government is undertaking a public sector expenditure and investment review in order to promote a more efficient use of government resources. This review, which is being carried out in collaboration with the World Bank, will be completed by June 1998 and will result in a comprehensive program to improve fiscal efficiency, and restructure state-owned enterprises and strategic industries.

45. This review will also be the basis for an accelerated program of privatization. Already, oversight of public enterprises was moved to the Ministry of Finance from line ministries and a Privatization Board has been established. A clear framework will


(5)

be established for the management and privatization (either through share flotation or negotiated enterprise sales) of government assets by April 1998, including: (i) criteria for determining whether enterprises should be closed, restructured or fully privatized; and (ii) a transparent sales process that maximizes the return to government and treats all bidders equally.

46. Within this framework, the government aims to accelerate privatization and to take decisive action to restructure or close poorly performing enterprises. Twelve enterprises will be prepared for listing during the first year of the program. In all of these cases, the government intends to go beyond the recent pattern of seeking minority shareholders in public enterprises, by selling controlling, or even complete, stakes to the private sector. In addition, further tranches of government-controlled shares in public enterprises which are already listed will be offered for sale, so that these enterprises, too, can be fully privatized.

47. As for those enterprises remaining within the public portfolio, clear profit and performance targets will be established, which will be made public and reported upon annually. Nonviable enterprises will be audited by end-1998 and nonviable enterprises closed. Progress in this area will be assessed at the time of the second review.

Social Safety Net

48. Indonesia has made significant progress in alleviating poverty over the past 30 years. Yet large numbers of poor still remain, and it is imperative that the adjustment program does not result in a worsening of their economic and social conditions. To some extent, the depreciation should benefit the rural poor by raising output prices in the export-oriented agricultural sector. Nonetheless, the poor are likely to suffer extensively from the economic crisis, particularly as it has been compounded by an unusually severe drought. In these circumstance, special government initiatives will


(6)

be necessary. In particular, the government plans to introduce community-based work programs to sustain the purchasing power of the poor in both rural and urban areas. 49. In addition, efforts to target assistance to the poor will be intensified, including by expanding the program for the least developed villages, initiated in 1994, which has proved to be cost effective in creating rural infrastructure and expanding employment opportunities for the poor. Moreover, poverty eradication and more equal income distribution are to be major themes of the next five-year development plan, which begins in 1999. In particular, budgetary allocations for social spending will be increased, so as to ensure that all Indonesians receive at least nine years of education and better basic medical services.

Environment

50. To strengthen overall environmental sustainability, the government will draft and establish implementation rules for the new environmental law by March 1998. In addition, government will review and raise stumpage fees, auction concessions, lengthen the concession period, and allow transferability by June 1998, and will implement performance bonds and reduce land conversion targets to environmentally sustainable levels by the end of 1998. To improve air quality, the government is accelerating its program for conversion to cleaner fuels, including unleaded gasoline, to meet the President’s 1999 deadline.


Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Internasional Mengenai Peranan Uni Eropa Dan International Monetary Fund Sebagai Organisasi Internasional Dalam Penanganan Krisis Uni Eropa

9 109 161

Implementasi Economic Adjustment Program International Monetary Fund Dalam Penyelesaian Krisis Finansial Di Cyprus

1 7 9

IMPLEMENTASI ECONOMIC ADJUSTMENT PROGRAM INTERNATIONAL MONETARY FUND DALAM PENYELESAIAN KRISIS FINANSIAL DI CYPRUS

1 10 17

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

2 22 96

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 0 12

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 0 1

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 0 15

Kerjasama Antara Indonesia Dengan International Monetary Fund (Imf) Dalam Mengatasi Krisis Ekonomi Global Menurut Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2003

0 1 16

PENAMBAHAN PENYERTAAN MODAL NEGARA REPUBLIK INDONESIA PADA INTERNATIONAL MONETARY FUND

0 0 4

WORLD TRADE ORGANIZATION, INTERNATIONAL MONETARY FUND DAN PERUBAHAN SISTEM PERBANKAN

0 0 15