b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Sedang menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Warga binaan pemasyarakatan terdiri dari Narapidana, Anak
didik pemasyarakatan dan Klien pemasyarakatan. Adapun pengertian dari istilah ”Anak didik pemasyarakatan” ialah:
a. Anak Pidana, anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana
di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun.
b. Anak Negara, anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada
Negara untuk di didik dan ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun.
c. Anak Sipil, anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh
penetapan pengadilan untuk di didik di Lembaga Pemasyarakatan paling lama sampai berumur 18 delapan belas tahun.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian Anak Pidana adalah anak yang harus menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak paling lama hingga ia
berumur 18 delapan belas tahun.
B. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan
Pada tanggal 17 April sampai dengan 7 Mei 1964 diadakan Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang, Bandung. Konferensi tersebut
Universitas Sumatera Utara
mengeluarkan hasil berupa suatu sistem perlakuan terhadap narapidana di Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang disebut “Sistem Pemasyarakatan”.
Yang dimaksud dengan Sistem Pemasyarakatan adalah “Suatu proses Therapoutie yang dilaksanakan berdasarkan asas kemanusiaan, Pancasila,
Penganyoman dan Tut Wuri Handayani.”
17
Sejarah berulang kalau dulu pergeseran pendapat terjadi antara penganut aliran “pemberian hukuman” versus aliran “pemberian pembinaan”, maka yang
Sistem pemasyarakatan sudah mulai dikenal sejak tahun 1964 sebagai pengganti dari sistem kepenjaraan, dengan demikian istilah penjara juga diganti
menjadi Lembaga Pemasyarakatan tepatnya pada tanggal 27 April ditetapkan sebagai hari pemasyarakatan.
Banyak sekali dapat ditarik pelajaran sejarah dari periode-periode yang telah lalu, baik dari periode-periode pra-Proklamasi Kemerdekaan maupun
periode-periode sesudahnya. Periode yang sedang mulai berlangsung sekarang ini adalah hari esoknya hari kemarin dan akan pula merupakan hari kemarinnya hari
esok. Pada dewasa ini kita berada pada titik pertemuan antara hari kemarin dan
hari esok dan titik pertemuan ini bertepatan pula dengan adanya gejala-gejala pergeseran pendapat baru dibidang koreksi yang sebetulnya telah mulai nampak
sejak pertengahan tahun 1970-an. Pergeseran pendapat yang baru ini terdapat antara mereka yang menganut aliran “pemberian pembinaan” treatment
approach dan mereka yang menganut aliran “pemberian hukuman” punishment approach.
17
Ibid, hal. 186.
Universitas Sumatera Utara
terjadi sejak pertengahan 1970-an adalah sebaliknya, “The pendulum began to swing back toward a more punishment oriented philosophy” pendulum jam mulai
berayun kembali menuju falsafah yang berorientasi kepada pemberian hukuman, demikian digambarkan oleh Professor Louis P. Carney: “Introduction to
Correctional Science”, 1979, halaman 15 dan karena aliran baru yang timbul ini banyak sekali persamaannya dengan aliran “Klasik” yang terdapat pada abad
XVIII, Carney cenderung untuk menamakannya “aliran Klasik baru”. Argumentasi yang dikemukakan oleh “aliran yang baru” ini tentang pola
pemikirannya yang berorientasi kepada “pemberian hukuman”, ialah karena menurut para penganutnya konsep rehabilitasi dari pola pembinaan lebih banyak
mengandung rhetorica dari pada keberhasilan. Terkenal diantara penganut dari aliran “pemberian hukuman” punishment ini antara lain Dr. Robert Martinson,
James Q, Wilson, Ernest van den Haag dan David Fogel, yang keempat-empatnya pernah mengeluarkan buku yang pada pokoknya mengadakan oposisi terhadap
aliran yang menganut “pemberian pembinaan” treatment. Sebaliknya aliran yang menganut konsep “pemberian pembinaan”
mempertahankan pendirinannya. Kegagalan-kegagalan dan kekurangan- kekurangan menurut penganut aliran ini terletak pada tata cara pelaksanaannya
bukan terletak pada falsafahnya yang sebenarnya tidak pernah diberi kesempatan yang wajar untuk menunjukkan dan membuktikan kebenarannya.
Dilihat dari segi adanya dua falsafah yang dipertentangkan itu yang sebenarnya sejak dulu tak pernah kunjung padam sama sekali dibidang koreksi,
dapat dikatakan bahwa kedua aliran itu masing-masing mempunyai titik extremitasnya yakni: disatu pihak dalam hal penganut dari aliran “pemberian
Universitas Sumatera Utara
pembinaan” sama sekali mengingkari perlunya “pemberian hukuman”, dilain pihak dalam hal penganut dari aliran “pemberian hukuman” sama sekali
mengingkari perlunya “pemberian pembinaan”. Penganut aliran “pemberian hukuman” antara lain menginginkan
dihapuskannya pemberian “parole” dan pemberian remisi potong masa pidana. Adanya dua faham yang bertentangan dibidang koreksi, dewasa ini
mengundang pertanyaan bagi kita di Indonesia: Bagaimana tentang Pemasyarakatan dan masa depannya ? Secara singkat pertanyaan ini dapat
dijawab: Pemasyarakatan berada diantara kedua extremitas itu. Hal itu dapat diterangkan sebagai berikut, pemasyarakatan dalam
kehadirannya sebagai suatu tata perlakuan terhadap pelanggar hukum konsisten dengan cara bangsa Indonesia memandang seorang manusia termasuk yang
melanggar hukum, yakni berdasarkan kacamata dan jiwa Pancasila. Dalam Konferensi Lembang 27 April 1964 dinyatakan bahwa
Pemasyarakatan adalah suatu proses yang didahului oleh keputusan Hakim. Proses itu dapat berjalan cepat atau lambat tergantung dari taraf kegairahan
kegotong royongan antara terpidana, petugas dan masyarakat. Yang dituju oleh proses ialah pulihnya kesatuan hubungan yang hakiki antara manusia dan manusia
lainnya masyarakat dibawah Daulat Tuhan Yang Maha Esa. Pulihnya kesatuan hubungan itu tercapai kalau sesuatu titik tertentu dalam proses telah tercapai. Titik
tertentu itu adalah titik dari proses yang menunjukkan adanya sikap yang positif dari proses yang didukung oleh kepositifan dari terpidana, kepositifan dari
petugas dan kepositifan masyarakat. Titik positif ini adalah titik perdamaian pula, dan prosesnya mrerupakan pendamaian. Dilihat dari segi vonnis hakim yang
Universitas Sumatera Utara
menentukan jenis dan lama pidana maka dalam proses vonnis itu berarti ditutupnya masa lampau dan diprediksikannya masa depan diramalkannya masa
depan. Kewajiban utama dari pemasyarakatan adalah melaksanakan apa yang
telah diprediksikan oleh Hakim yang kebanyakan didasarkan atas keadaan masa lampau hal ini dapat dilihat dari jenis dan lamanya pidana dari suatu vonnis.
Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa masa depan dari suatu vonnis tidak dapat lepas sama sekali dari masa lampau perkara yang telah ditutupnya.
Masa depan vonnis terutama menjadi tanggung jawab Pemasyarakatan dan karena masa depan vonnis itu tidak terlepas dari masa lampaunya maka tugas dari
Pemasyarakatan dalam melaksanakan masa depan dari vonnis tidak pula dapat terlepas dari masa lampaunya. Dengan kata lain dalam melaksanakan masa depan
dari vonnis terjadi unsur-unsur “pemberian pembinaan” dan “pemberian pidana”. Dikatakan bahwa tujuan dari “pemberian pidana” causa finalis dari “pemberian
pidana” adalah “Herstel der Rechtsorde”. Dilihat dari segi posisi Pemasyarakatan pengertian “Rechtsorde” ini ada dua :
a. Pertama “Rechtsorde” sebagai “Tertib Hukum”, yakni terdapat
kecenderungan untuk menempatkan seorang pelanggar hukum dalam posisi yang berada diluar sistem nilai yang berlaku dimasyarakat.
b. Kedua “Rechtsorde” sebagai “Kesatuan Hubungan Hukum”, yakni
seorang pelanggar hukum berada dalam posisi yang khusus, akan tetapi tidak diluar sistem nilai yang berlaku dimasyarakat Masyarakat sebagai
kesatuan hubungan hakiki antar manusia yang teratur atas hukum.
Universitas Sumatera Utara
Pulihnya kesatuan hubungan hukum antar pelanggar hukum terpidana dan masyarakatnya lebih mudah diusahakan kalau pelanggar hukum yang
bersangkutan tetap berada dalam hubungannya dengan sistem nilai yang berlaku dimasyarakat dan tidak dikeluarkan dari sistem nilai itu. Inilah yang merupakan
citra pemasyarakatan yang menganggap bahwa kesatuan hubungan hukum itu mengalami keretakangangguan, karena salah satu anggota masyarakat melakukan
suatu perbuatan tercela, dan bukan suatu pemutusan dari kesatuan hubungan itu, karena salah satu anggota masyarakat merusak kesatuan hubungan hukum karena
perbuatannya yang tercela. Namun pemulihan kesatuan hubungan itu memakan waktu dan “waktu” itu ada yang berjalan dengan cepat dan ada yang berjalan
dengan lambat, tergantung dari faktor-faktor yang terlibat dalam proses pemulihan kesatuan hubungan itu.
Faktor-faktor itu secara garis besarnya berkisar diantara faktor “pemberian hukuman” punishment dan faktor “pemberian pembinaan” treatment. Dengan
kata lain: didalam suatu “pemberian hukuman” tersimpul pula suatu “pemberian pembinaan” dan didalam suatu “pemberian pembinaan” tersimpul pula suatu
“pemberian hukuman”. Pemberian hukuman yang tidak mengandung unsur “pemberian pembinaan” adalah suatu extremitas, begitupun sebaliknya.
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa titik berat dari proses Pemasyarakatan bergeser antara “pemberian hukuman” dan “pemberian
pembinaan”. Adakalanya titik berat dari proses itu lebih condong kearah “pemberian hukuman” dan adakalanya lebih condong kearah “pemberian
pembinaan” akan tetapi tidak pernah meninggalkan salah satu diantara yang dua itu. Pemasyarakatan mungkin pada dewasa ini masih lebih banyak merupakan
Universitas Sumatera Utara
cita-cita daripada kenyataan akan tetapi bukan suatu rhetorika dan bukan pula suatu mythos.
Cita-cita membuat kita mengetahui kemana kita akan pergi dan kalau sudah diketahui kemana tujuan kita pergi kita harus menentukan bagaimana
caranya yang benar dan sah untuk sampai kepada tujuan yang hendak dicapai yang dicita-citakan itu. Rencana-rencana Pembangunan Lima Tahun telah
memberi tahu cara-cara untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Yang menjadi kewajiban sekarang adalah pelaksanaan dari cara mencapai tujuan. Dalam
pelaksanaan inilah banyak sekali faktor-faktor penghambat yang harus diatasi. Perilaku-perilaku yang berasal dari masa lampau yang telah melembaga
institutionalized, yang banyak sekali diantaranya tetap beralih menempati status yang ritualistis, sehingga seolah-olah dianggap “kramat” dan sukar untuk
dilepaskan. Fragmentasi dalam tata peradilan pidana yang berkecenderungan untuk menetap dan bertahan, hukum pidana baik substantif maupun prosedural
yang menampakkan citra iktikad yang punitif punitive intend, kesadaran hukum yang berorientasi kepada corpus Juris Barat yang merupakan produk dari alam
fikiran liberal abad XVIII, semuanya merupakan tantangan sindromis yang harus dihadapi dengan tabah, tawakal, penuh optimisme dan dengan semangat gotong
royong yang tak kunjung padam, demi tercapainya kesatuan hubungan hidup- kehidupan-penghidupan kesatuan hubungan hukum berdasarkan Pancasila,
“Rechtsorde” Pancasila. Tepat sekali apa yang digambarkan oleh Menteri Kehakiman Ali Said, SH
dalam sambutannya pada peringatan Hari Pemasyarakatan yang XVIII tanggal 27 April 1981 di Bandung, bahwa tantangan-tantangan yang dihadapi oleh instansi
Universitas Sumatera Utara
Pemasyarakatan adalah setinggi gunung dan seringkali bersifat kejam, mencekam perasaan.
Kepada generasi peneruslah terletak tanggung jawab yang besar diatas pundaknya untuk menjadikan cita-cita pemasyarakatan sebagai suatu spesialisme,
sebagai suatu peng-ejawantahan dari keadilan dan pengadilan sebagaimana dicanangkan dalam Konperensi Lembang 1964, yang mencerminkan
Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, sebagai suatu refleksi dari peradaban bangsa Indonesia, yakni suatu peradaban yang berdasarkan Pancasilan dan
bersendikan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
18
1. Mengayomi dan berikan hidup agar mereka dapat menjalankan perannya
sebagai warga masyarakat yang baik. Dengan perubahan nama, maka berubah pula tujuan dari sistem tersebut,
dalam sistem pemasyarakatan tujuannya bukan lagi untuk penjeraan, melainkan dimaksudkan untuk pembinaa. Pembinaan dilakukan sebagai persiapan untuk
hidup kembali ditengah maysarakat secar wajar dan bertanggung jawab. Tujuan pidana penjara disini adalah disamping untuk menimbulkan derita pada
narapidana dengan menghilangkan kemerdekaannya, juga untuk membimbing narapidana agar bertobat dan mendidik narapidana menjadi anggota masyarakat
yang berguna. Dalam pelaksanaan sistem pemasyarakatan walaupun masih mengenal
klasifikasi narapidana, tetapi klasifikasi tersebut dibatasi dengan bentuk tahapan pembinaan yang disebut dengan Proses Pemasyarakatan. Dasar pemikiran
pembinaan itu sendiri berpatokan pada “10 Prinsip Pemayarakatan”, yaitu :
18
Http:www.ditjenpas.go.id, diambil pada 23 februari 2010
Universitas Sumatera Utara
2. Penjatuhan pidana tidak lagi didasari oleh latar belakang pembalasan.
3. Berikan bimbingan bukan penyiksaan supaya mereka bertobat.
4. Negara tidak berhak membuat mereka menjadi lebih buruk atau lebih
jahat dari pada sebelum dijatuhi pidana. 5.
Selama kehilangan dibatasi kemerdekaan bergeraknya para narapidan dan anak di didik tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak boleh
sekedar bersifat mengisi waktu. 7.
Pembinaan dan bimbingan yang diberikan kepada narapidana dan anak didik tidak adalah berdasarkan Pancasila.
8. Narapidana dan anak didik bagaikan orang sakit, perlu diobati agar
mereka sadar bahwa pelanggaran hukum yang pernah dilakukan adalah merusak dirinya, keluarganya dan lingkungannya kemudian dibina dan
dibimbing kejalan benar. 9.
Narapidana dan anak didik hanya dijatuhi pidana berupa membatasi kemerdekaan dalam jangka waktu tertentu.
10. Untuk pembinaan dan bimbingan narapidana dan anak didik, maka
disediakan sarana yang diperlukan.
19
19
Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehakiman, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, Jakarta : Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1990, hal. 14 lihat
bandingkan Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa , majalah Prisma, Mei, 1982, hal.61 menyatakan ” Dalam hal ini tujuan Sahardjo mengemukakan 10 Prinsip
Pemasyarakatan adalah :
a. Pemasyarakatan tidak hanya tujuan dari pidana penjara , melainkan pula suatu cara
atau sistem perlakuan terpidana ; b.
Pemasyarakatan adalah suatu proses perlakuan yang menganut prinsip gotong- royong, yakni antara petugas-narapidana-masyarakat ;
c. Tujuan Pemasyarakatan adalah mencapai kesatuan hubungan hidup-kehidupan yang
terjalin antara terpidana dan masyarakat ; d.
Fokus pemasyarakatan bukan individu terpidana secara eksklusif, melainkan kesatuan hubungan anatara terpidana dan masyarakat ;
Universitas Sumatera Utara
Mengenai apa yang dimaksud dengan sistem pemasyarakatan itu sendiri telah diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yaitu: “Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan
Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara waga binaan pemasyarakatan, untuk meningkatkan kualitas warga binaan agar menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab”. Secara filosofi Pemasyarakatan adalah sistem pemidanaan yang sudah jauh
bergerak meninggalkan filosofi Retributif pembalasan, Deterrence penjeraan dan Resosialisasi. Dengan kata lain pemidanaan tidak ditujukan untuk membuat
jera dengan penderitaan, juga tidak mengasumsikan terpidana sebagai seseorang yang kurang sosialisasinya. Pemasyarakatan sejalan dengan filosofi reintegrasi
sosial yang berasumsi kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana
e. Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melukan pelanggaran hukum,
tidak karena ia ingin melanggar hukum melainkan karena ia ditinggalkan dan tertinggal dalam mengikuti derap hukum kemasyarakatan yang makin lama makin
kompleks;
f. Terpidana harus dipandang sebagai manusia makhluk Tuhan seperti manusia-
manusia lainnya mempunyai potensi dan itikad untuk menyesuaikan dirinya dalam kehidupan masyarakat ;
g. Semua unsur yang terlibat dalam proses peradilan pidana pada hakekatnya menyukai
perdamaian dan pada waktunya tidak segan-segan untuk mintak maaf ; h.
Petugas pemasyarakatan harus menghayati prisnsip-prinsip kegotong-royongan dan harus menempatkan dirinya sebagai salah satu unsur dalam kegotong-royongan ;
i. Tidak boleh ada paksaaan dalam kegotong-royongan , tujuan harus dapat dicapai
melalui self propelling adjusment dan Readjusment Approach yang harus dipakai ialah Approach antara sesama manusia ;
j. Lembaga Pemasyarakatan adalah unit operasional untuk mencapai tujuan
pemasyarakatan dan bukan hanya bangunan, bangunan hanya sarana ; k.
Tujuan akhir dari pemasyarakatan adalah masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila .
Universitas Sumatera Utara
dengan masyarakat. Sehingga pemidanaan ditujukan untuk memulihkan konflik atau menyatukan kembali terpidana dengan masyarakat reintegrasi.
20
20
Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan, Departemen Hukum Dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2008, hal.5.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, tentang Pemasyarakatan ditegaskan bahwa sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka
membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana
sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan
bertanggung jawab. Penegasan ini tentu saja sangat dipengaruhi oleh argumentasi Sahardjo tahun 1963, hasil Konferensi Dinas Kepenjaraan tahun 1964 tersebut.
Dalam amanat Presiden saat membuka konfrensi ditegaskan, bahwa dengan menyadari setiap manusia adalah Mahluk Tuhan yang hidup bermasyarakat maka
dalam Sistem Pemasyarakatan Indonesia para narapidana diintegrasikan dengan masyarakat dan diikutsertakan dalam pembangunan ekonomi negara secara aktif .
Pemasyarakatan memperlihatkan komitmen dalam upaya merubah kondisi terpidana, melalui proses pembinaan dan memperlakukan dengan sangat
manusiawi, melalui perlindungan hak-hak terpidana. Komitmen ini secara eksplisit ditegaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, bahwa sistem pembinaan pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas: pengayoman, persamaan perlakuan dan pelayanan, pendidikan,
pembimbingan, penghormatan harkat dan martabat manusia, kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan terjaminnya hak untuk
tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Bahwa pemasyarakatan agar berhasil diselenggarakan dengan sistem integrasi dengan masyarakat maka harus ada usaha timbal balik, baik yang dari
lembaga maupun yang dari masyarakat, semua itu merupakan satu kesatuan usaha. Pemasyarakatan tidak hanya diselenggarakan demi kepentingan narapidana
tetapi justru demi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu dari masyarakat di harapkan akan pengertiannya, bantuannya dan bahkan juga tanggung jawabnya
dalam menyelenggarakan pembinaan narapidana sebab suatu perbuatan pelanggaran hukum selain tergantung dari sikap dan perbuatan narapidana, sedikit
banyak juga tergantung dari masyarakat sekitarnya.
21
Maka sistem pemasyarakatan dalam pembinaan terpidana menurut Baharuddin Soerjobroto: ”Tidak boleh merupakan suatu treatment sistem yang
”prison oriented” melainkan multilateral dapat dikatakan ”gotong royong” oriented. Ini tidak berarti bahwa pembinaan secara institutair tidak diperlukan
lagi, melainkan pembinaan secara instituair masih tetap perlu akan tetapi sekedar sebagai ”way-station” dalam arti kata yang baik, bukan seperti dulu untuk menuju
tiang gantungan atau untuk menuju ke dunia yang gelap melainkan sebagai ”way- station” dalam proses of justice untuk menuju dunia yang lebih cerah penuh
dengan harmoni perdamaian.”
22
Ide ”Pemasyarakatan” itu sendiri telah digunakan Sahardjo sebelum mengucapkan pidatonya, dalam pidato menteri kehakiman Sahardjo pada tanggal
21
Soedjono D, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Bandung, Tribisana Karya, 1977, hal.153-154.
22
Baharuddin Soerjobroto,Op.Cit hal.24
Universitas Sumatera Utara
12 Januari 1962 yang diucapkan di Blitar ketika meresmikan pemakaian gedung rumah pendidikan negara yang baru selesai dibangun kembali.
23
Sebagian besar narapidana dibina di dalam Lembaga PemasyarakatanRutan. Sebenarnya narapidana harus dipidana dan dibina hanya
di Lembaga Pemasyarakatan saja tidak di Rutan Rumah Tahanan Negara, karena rumah hanya diperuntukkan bagi para tahanan. Tetapi karena tidak di setiap kota
kabupaten mempunyai Lembaga Pemasyarakatan, maka sebagian narapidana terpaksa dipidana di Rutan dititipkan di Rutan setempat. Terutama untuk
narapidana dengan pidana dibawah satu tahun atau narapidana yang sisa Nampak jelas dari pengertian tersebut bahwa hubungan yang baik antara
Pembina atau petugas Lembaga Pemasyarakatan yang dibina atau warga binaan pemasyarakatan dan mutlak diperlukan untuk menyiapkan warga binaan agar
dapat kembali ke masyarakat dan diterima baik oleh masyarakat. Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan
pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang baik dan bertanggung
jawab. Dengan adanya sistem pemasyarakatan narapidana di Lembaga
Pemasyarakatan harus diperlakukan dengan baik. Warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia tentunya juga mempunyai keinginan yang sama seperti layaknya
manusia bebas lainnya. Untuk itu Negara harus membina mereka dengan baik di dalam maupun di luar Lembaga Pemasyarakatan yang didasarkan pada Pancasila
dan tidak lepas dari 10 prinsip pemasyarakatan.
23
Baharuddin Suryobroto, Pemasyarakatan, Masalah dan Analisa, Majalah Prisma, Mei, 1992, hal.61
Universitas Sumatera Utara
pidananya tinggal beberapa bulan lagi dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan ke Rutan di tempat asal narapidana guna persiapan diri menjelang lepashabis
masa pidananya. Narapidana yang menjalankan pidana di Lembaga Pemasyarakatan pada
dasarnya selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan untuk bergerak artinya narapidana yang bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam Lembaga
Pemasyarakatan saja. Kebebasan bergerak, kemerdekaan bergerak telah dirampas untuk jangka waktu tertentu, atau bahkan seumur hidup. Namun dalam
kenyataannya bukan hanya kemerdekaan bergerak saja yang hilang, tetapi juga berbagai kemerdekaan yang lain ikut terampas.
Dalam proses pemidanaan Lembaga PemasyarakatanRutan yang mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan setelah melalui proses
Persidangan di Pengadilan. Pada awalnya tujuan pemidanaan adalah penjeraan, membuat pelaku tindak pidana menjadi jera untuk melakukan tindak pidana lagi.
Tujuan itu kemudian berkembang menjadi Perlindungan hukum, baik kepada masyarakat pihak yang dirugikan maupun kepada pelaku tindak pidana pihak
yang merugikan agar keduannya tidak melakukan tindakan hukum sendiri- sendiri. Berangkat dari upaya perlindungan hukum, maka pelaku tindak pidana
dalam menjalani pidananya, juga mendapat perlakuan yang manusiawi, mendapat jaminan hukum yang memadai.
Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha Lembaga PemasyarakatanRutan untuk membina narapidana, untuk mengenal diri sendiri,
sehingga dapat merubah diri sendiri menjadi lebih baik, menjadi lebih positif,
Universitas Sumatera Utara
tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu memgembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama dan keluarganya.
24
Berbagai upaya telah dilakukan Lembaga PemasyarakatanRutan dalam rangka mewujudkan pelaksanaan pidana yang efektif dan efisien agar narapidana
dapat mengenal diri sendiri. Usaha itu berupa pembagian Lembaga Pemasyarakatan menurut usia misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak
di Blitar, Tangerang, Plantungan dan Kalimantan. Lembaga Pemasyarakatan Khusus Pemuda di Tangerang, Lembaga Pemasyarakatan Dewasa Muda di
Sukamiskin Bandung dan Lembaga Pemasyarakatan Dewasa dihampir semua kota kabupaten. Begitu juga didirikan Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan jenis
kelamin misalnya Lembaga Pemasyarakatan Khusus Wanita di Malang, Semarang, Tangerang dan Medan. Lembaga Pemasyarakatan juga dibagi
berdasarkan kapasitasnya, yaitu Lembaga Pemasyarakatan Klas I. II. III. Masih dalam kaitan upaya melaksanakan pemidanaan, telah dipisahkan menurut
tugasnya antara Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara Rutan.
25
Metode penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan yang merupakan pengetahuan yang tersusun secara sistematis
F. Metode Penelitian