Kondisi Umum Lokasi Penelitian

kering. Perbandingan jumlah rata-rata bulan kering dan basah adalah 24,7. Namun ada sumber lain menyatakan bahwa berdasarkan overlay antara peta penutupan lahan dan peta tipe iklim kawasan TNGHS dan sekitarnya terdiri dari tipe iklim A, B1 dan B2 GHSNPMP-JICA, 2007. Berdasarkan pencatatan data 5 tahun terakhir yang tercatat stasiun klimatologi Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Bogor menunjukkan rata-rata jumlah curah hujan yang cukup tinggi yaitu dengan curah hujan rata-ratatahun sebesar 209 mmtahun, curah hujan maksimum 392 mmtahun, dengan hari hujan rata-rata adalah 145 haritahun. Jumlah rata-rata bulan basah curah hujan 100 mmtahun adalah 9 bulantahun. Suhu udara rata- rata bulanan 31,5 C dengan suhu terendah 19,7 C dan suhu tertinggi 31,8 C. Kelembaban udara rata-rata 88 GHSNPMP-JICA, 2007. TNGHS memiliki ketinggian tempat berkisar antara 500 – 2.211 meter di atas permukaan laut. Kawasan ini dapat dikatakan sebagai luasan terbesar bagi sekelompok hutan pegunungan submontana yang masih utuh di Pulau Jawa. Di dalam kawasan TNGHS terdapat gunung-gunung yang memiliki ketinggian antara lain, Gunung Salak 1 2.211 m dpl, Gunung Salak 2 2.180 m dpl, Gunung Halimun Selatan 1.920 m dpl, Gunung Halimun Utara 1.929 m dpl, Gunung Halimun Selatan 1.758 m dpl dan Gunung Kendeng 1.680 m dpl Faizin et al., 2012. Kawasan TNGHS dengan berbagai tipe ekosistem yang terdapat di dalamnya merupakan habitat dari berbagai jenis satwa langka dan dilindungi. Berdasarkan sejarahnya, kawasan ini pernah merupakan habitat Badak Jawa Rhinocerus sondaicus, Harimau Jawa Panthera tigris sondaicus. Badak Jawa merupakan jenis langka dan dilindungi, sedangkan Harimau Jawa sekarang diduga sudah punah. Di kawasan TNGHS telah terdapat jenis mamalia sebanyak 61 jenis, dimana terdapat jenis-jenis yang endemik Pulau Jawa dan jenis-jenis terancam punah. Jenis-jenis terancam punah yang masih dapat dijumpai pada saat ini, antara lain : Macan Tutul Jawa Panthera pardus melas, Kucing Hutan Prionailurus bengalensis, Owa Jawa Hylobates moloch, Surili Presbytis comate, Lutung Trachypithecus auratus, Ajag atau Anjing Hutan Cuon alpinus javanicus dan Sigung Mydaus javanensis. Jika beruntung, di pagi hari pengunjung dapat melihat Owa Jawa. Meskipun agak sulit menemukan mamalia lain, namun terkadang dapat menemukan tanda-tanda kehadirannya seperti jejak kaki dan kotoran Macan Tutul serta teriakan Owa Jawa GHSNPMP-JICA, 2007. Selain jenis-jenis mamalia juga telah tercatat 244 jenis burung, 32 jenis diantaranya adalah endemik di Pulau Jawa dengan penyebaran yang terbataslangka bahkan beberapa jenis terancam punah, seperti Elang Jawa Spizaetus bartelsi, Ciung-mungkal Jawa Chocoa azurea, Celepuk Jawa Otus angelinae dan Luntur Gunung Harpactes reinwardtii. Di dalam kawasan juga dapat dijumpai jenis-jenis serangga yang menarik dan indah, seperti berbagai jenis kupu-kupu dan kumbang GHSNPMP-JICA, 2007. Penelitian terakhir Dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat berhasil dikoleksi sekitar 50 jenis kumbang tinja dari subfamili ScarabinaeCoprinae Noerdjito, 2003. Van Steenis 1972, salah seorang ahli botani yang pernah menerbitkan Flora Malesiana, membagi zonasi vegetasi berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, yaitu : - Zona Collin pada ketinggian antara 500 – 1.000 m dpl - Zona Submontana pada ketinggian 1.000 – 1.500 m dpl - Zona Montana pada ketinggian di atas 1.500 – 2.400 m dpl Pada setiap ketinggian tersebut mempunyai beberapa ciri khas terutama menyangkut keanekaragaman jenis tumbuhan, yang diperkirakan di TNGHS terdapat lebih dari 1000 jenis tumbuhan, 845 jenis tumbuhan tercatat sebagai tumbuhan berbunga. Seperti pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl di TNGHS dapat dijumpai jenis-jenis : Rasamala Altingia excelsa, Puspa Schima wallichii, Saninten Castanopsis javanica, Kiriung Anak C. acuminatissima, Pasang Quercus gemelliflora. Pada ketinggian 1.000 – 1.500 m dpl dapat dijumpai jenis-jenis : Acer laurinum, Ganitri Elaeocarpus ganitrus, Eurya acuminatissima, Antidesma bunius, Ficus sp., Kayu Putih Cinnamomum sp., Kileho Saurauia pendula dan Kimerak Weinmannia blumei. Pada ketinggian ini dapat dijumpai pohon-pohon yang tinggi sampai 30 – 40 m dengan diameter 120 cm. sedangkan pada ketinggian yang lebih rendah, akan dijumpai pohon- pohon yang lebih tinggi lagi GHSNPMP-JICA, 2007. Demikian selanjutnya pada ketinggian di atas 1.500 m dpl didominasi oleh jenis Jamuju Dacrycarpus imbricartus, Kibima Podocarpus blumei dan Kiputri Podocarpus neriifolius. Jenis menarik lainnya adalah Hamirung Vernonia arborea yang merupakan satu-satunya anggota suku Asteraceae yang berbentuk pohon, jenis ini ditandai oleh adanya perbungaan yang majemuk GHSNPMP-JICA, 2007. 22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan November 2014. Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Juni - Juli 2014 di Gunung Salak 2 tepatnya di kawasan Gunung Bunder kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan TNGHS ini memiliki koordinat S : 0,6 o 41’24,8” E : 106 o 41’52,1” dengan ketinggian berkisar antara 500 m dpl sampai 1.800 m dpl. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga lokasi penelitian yang berbeda yaitu hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam. Deskripsi masing-masing tipe lokasi penelitian adalah sebagai berikut : a. Hutan rasamala merupakan hutan tanaman yang berdekatan dengan pemukiman warga dan lokasi perkemahan dengan ketinggian 900 m dpl. b. Hutan pinus merupakan hutan tanaman yang berdekatan dengan lokasi perkemahan dan tempat wisata. Selain itu, pada lokasi ini masyarakat sekitar memanfaatkan getah pohon pinus untuk tambahan ekonomi dengan ketinggian 1.000 m dpl. c. Hutan alam dengan intensitas gangguan aktifitas manusia rendah dengan ketinggian 1.100 m dpl. Sampel kumbang sungut panjang yang didapat di lapangan diidentifikasi dan diopset di Pusat Laboratorium Terpadu PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Laboratorium Entomologi, LIPI Cibinong, berdasarkan Makihara et al., 2002, Makihara et al., 2004. Perwakilan spesimen kumbang sungut panjang disimpan di Laboratorium Ekologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah thermometer, hygrometer, anemometer, lux meter, GPS Global Positioning System, tali, label, wadah, botol koleksi, kotak koleksi, parang, gunting, oven, jarum pentul, jarum serangga, lem serangga perekat, kertas papilot, kertas point, pinset, alat tulis, mikroskop stereo, freezer, buku identifikasi dan kamera. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel kumbang sungut panjang, cabang pohon nangka yang masih memiliki daun dan ranting, kain 1 meter x 1 meter dan alkohol 70.

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Perangkap Artocarpus AT – Perangkap Daun Nangka

Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode survei, penentuan titik pengamatan dilakukan secara purposive sampling. Teknik pengoleksian sampel kumbang sungut panjang dilakukan dengan menggunakan perangkap Artocarpus perangkap daun nangka. Perangkap Artocarpus perangkap daun nangka merupakan pemerangkapan serangga dengan menggunakan umpan daun nangka. Senyawa kimia yang terdapat pada Artocarpus perangkap daun nangka dideskripsikan sebagai 3-hidroksiheksan-2-1, atau rasemat 3-hidroksioktan-2-1 Reginald, 2012. Senyawa yang dikeluarkan perangkap Artocarpus daun nangka ini berupa odor atau bau yang mampu menarik kumbang sungut panjang. Menurut Hanks et al., 2007 senyawa tersebut merupakan atraktan jenis zat kimia pemikat Coleoptera: Cerambycidae. Beberapa serangga mengeluarkan feromon sebagai pemikat lawan jenisnya. Begitu pula dengan kumbang sungut panjang, feromon secara alami dikeluarkan oleh kumbang jantan dan mampu menarik kumbang betina atau sebaliknya, tergantung pada jenis spesies kumbang sungut panjang Hanks et al., 2007. Menurut Tantowijoyo dan Giyanto 2011, proses pengeringan dari ranting dan daun nangka mampu mengeluarkan odor yang menarik serangga ordo Coleoptera, khususnya Coleoptera yang berasal dari famili Cerambycidae. Oleh karena itu digunakan umpan yang berupa seikat cabang yang terdiri dari sekitar 5 cabang dengan jumlah daun sekitar 40 – 50 helai daun yang diikatkan pada cabang atau pohon. Perangkap Artocarpus perangkap daun nangka merupakan perangkap yang spesifik digunakan untuk koleksi serangga jenis kumbang sungut panjang Noerdjito, 2011. Perangkap Artocarpus perangkap daun nangka diperiksa setelah 3 hari pemasangan perangkap, kumbang sungut panjang yang hadir pada perangkap dikoleksi dengan metode “beating”, yaitu dengan memukul perangkap dan kumbang yang jatuh ditampung dengan kain putih 1 meter x 1 meter yang dibentangkan. Gambar 10. Perangkap Artocarpus Perangkap Daun Nangka