Keanekaragaman dan Kemerataan Kumbang Sungut Panjang
penelitian tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat pada Lampiran 4 yang
menunjukkan nilai indeks similaritas tergolong rendah, yaitu kurang dari 50. Berdasarkan Tabel 2 terdapat kumbang sungut panjang yang keberadaannya
hanya terdapat pada satu habitat. Diantaranya, R. strandi, R. obliquelineata, T. cervicoliis, dan S. minutus yang hanya terdapat pada hutan rasamala. A.
rusticatrix, C. subfasciata dan C. javanicus keberadaannya hanya pada hutan pinus. A. laevifrons, E. artocarpi, N. varicornis, P. melanura dan P. triangularis
yang keberadaannya hanya pada hutan alam. Hal inilah yang menyebabkan nilai kesamaan ketiga habitat ini tergolong rendah. Hanya dua jenis kumbang sungut
panjang yang tersebar pada tiga lokasi penelitian tersebut, yaitu S. fuscotriangularis
dan Z.
spinipennis. Menurut
Noerdjito 2009,
S. fuscotriangularis dan Z. spinipennis merupakan spesies-spesies yang bersifat
mampu hidup di berbagai tipe habitat atau mempunyai sebaran luas dalam jumlah tertinggi dibandingkan dengan jenis yang lainnya.
Kumbang sungut panjang yang dikoleksi pada tiga lokasi penelitian tersebut berasal dari 11 genus, yaitu Sybra, Zorillispe, Pterolophia, Cacia,
Ropica, Acalolepta, Cleptometopus, Trachelophora, Sciades, Exocentrus, Nyctimenius. Semua genus yang teridentifikasi ini berasal dari satu subfamili,
yaitu subfamili Lamiinae. Menurut Duffy 2012, subfamili Lamiinae merupakan kelompok serangga pemakan daun dan batang. Kumbang sungut panjang S.
fuscotriangularis dan Z. spinipennis tersebar di semua habitat. Jumlah individu kumbang sungut panjang yang jumlah individunya paling banyak pada tiga lokasi
penelitian hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam yaitu S. fuscotriangularis.
Menurut Noerdjito 2009, S. fuscotriangularis diketahui hanya terdapat di pulau Jawa endemik Jawa. Spesies ini memiliki sebaran yang luas, artinya spesies ini
mampu bertahan pada berbagai jenis habitat. Ukurannya yang kecil, sekitar 4 mm memungkinkan spesies ini hidup dan berlindung di ranting atau ranting-ranting
mati yang kecil dari tumbuhan semak yang ada di antara pinus, sehingga tekanan terhadap keselamatannya menjadi kecil.
Jenis kumbang sungut panjang yang dikoleksi pada ketiga habitat di kawasan Gunung Bunder
– Resort Salak 2 ini memiliki kemiripan dengan koleksi kumbang Cerambycidae di kawasan Cidahu dan Citiis 2009 dan 2010.
Diantaranya A. laevifrons, A. rusticatrix, R. strandi, R. obliquelineata, S. fuscotriangularis, C. javanicus, S. minutus, Z. spinipennis, P. melanura, P.
uniformis, P. triangularis dan N. varicornis. Menurut Noerdjito 2010, S. minutus, Z. spinipennis dan C. javanicus merupakan spesies endemik jawa.
Perbedaan lokasi penelitian berpengaruh terhadap jumlah individu dan jenis kumbang sungut panjang yang dikoleksi. Total individu kumbang sungut
panjang yang dikoleksi berjumlah 126 individu yang termasuk dalam 15 spesies Tabel 2.
Jumlah spesies kumbang sungut panjang tertinggi dikoleksi di hutan alam 8 spesies, 38, diikuti hutan pinus 7 spesies, 33 dan terendah di hutan
rasamala 6 spesies, 29 Gambar 15.a. Jumlah individu kumbang sungut panjang tertinggi dikoleksi pada habitat hutan pinus 73 individu, 58, diikuti
hutan alam 31 individu, 25 dan hutan rasamala 22 individu, 17 Gambar 15.b.
Gambar 15. Persentase jumlah spesies a dan jumlah individu b kumbang sungut panjang pada tiga lokasi penelitian Hutan rasamala R, hutan
pinus P dan hutan alam HA di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Berdasarkan gambar 15 b persentase jumlah individu kumbang sungut panjang yang terdapat pada hutan pinus lebih tinggi dibandingkan persentase
jumlah individu kumbang sungut panjang pada hutan rasamala dan hutan alam, yaitu sebesar 58. Sedangkan persentase jumlah individu kumbang sungut
panjang pada hutan alam dan hutan rasamala masing-masing sebesar 25 dan 17. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi habitat dan kerapatan vegetasi tutupan
tajuk. Hal ini dijelaskan oleh Fahri 2013 bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhi komunitas kumbang sungut panjang adalah jenis pohon,
penutupan tajuk, serasah, pohon busuk atau yang sedang mengalami proses pelapukan.
33 38
29
5 10
15 20
25 30
35 40
Jum lah
spesie s
Habitat
P HA
R
58
25 17
10 20
30 40
50 60
70
Ju m
lah in
d ivi
d u
Habitat
P HA
R
a b
c Gambar 16. Vegetasi tempat pemasangan perangkap artocarpus perangkap daun
nangka pada tiga lokasi penelitian hutan rasamala, hutan pinus dan hutan alam di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Kondisi habitat hutan alam dan hutan rasamala pada saat penelitian cenderung lebih banyak mengalami gangguan. Tidak jarang masyarakat melewati
jalur pemasangan perangkap Artocarpus AT. Selain itu, pada saat penelitian berlangsung, Tentara Nasional Indonesia TNI sedang melakukan latihan militer.
Sehingga, situasi ini berdampak terhadap jumlah individu kumbang sungut panjang yang dikoleksi.
Kehadiran kumbang sungut panjang pada hutan pinus pun cenderung lebih banyak spesies yang berukuran kecil yaitu kurang dari 10 mm diantaranya
S.fuscotriangularis. S. fuscotriangularis diketahui hanya terdapat di pulau Jawa endemik Jawa. Spesies ini memiliki sebaran yang luas, artinya spesies ini
mampu bertahan pada berbagai jenis habitat. Ukurannya yang kecil, sekitar 4 mm memungkinkan spesies ini hidup dan berlindung di ranting atau ranting-ranting
mati yang kecil dari tumbuhan semak yang ada di antara pinus, sehingga tekanan terhadap keselamatannya menjadi kecil.
Kerapatan vegetasi tutupan tajuk berpengaruh terhadap faktor abiotik pada tiga lokasi penelitian. Menurut Fauziah 2015 tutupan tajuk pada hutan
rasamala dan hutan pinus tergolong rendah, sehingga berpengaruh terhadap suhu udara, kelembapan udara relatif, intensitas cahaya dan kecepatan angin. Nilai
faktor abiotik yang diukur pada saat penelitian di hutan rasamala dan hutan pinus menunjukkan nilai yang tidak terlalu berbeda jauh Lampiran 8-11. Berdasarkan
gambar 16 dapat dilihat bahwa intensitas cahaya matahari pada kedua kawasan hutan rasamala dan hutan pinus ini tergolong tinggi. Tingginya intensitas cahaya
berdampak pada suhu dan kelembapan udara relatif pada dua kawasan ini. Intensitas cahaya yang lebih tinggi mengakibatkan suhu dan kelembapan udara
menjadi lebih tinggi pula. Berbeda dengan faktor abiotik pada kawasan hutan alam. Intensitas cahaya
pada kawasan ini relatif rendah Lampiran 10. Hal ini disebabkan tutupan tajuk pada kawasan hutan alam ini relatif lebih rapat Gambar 17. Kurangnya intensitas
cahaya pada kawasan ini berbanding lurus dengan nilai suhu udara, kelembapan udara relatif dan kecepatan angin. Suhu udara, kelembapan udara relatif dan
kecepatan angin pada kawasan ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hutan rasamala dan hutan pinus. Rendahnya intensitas cahaya dan suhu pada kawasan
hutan alam ini menjadikan situasi pada kawasan ini lebih dingin dibandingkan dengan dua lokasi penelitian lainnya.