Komunitas Serangga Penyerbuk pada Habitat dan Jarak Berbeda dari Tepi Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak

(1)

DKSHE Distinct Habitats and Distances from Insects Pollinators’ Communities In

Margin Forest of Gunung Halimun-Salak National Park

Reisky Maulana1, Ani Mardiastuti2, and Damayanti Buchori3 By

Pollination service is one of many services that forest can provide especially for farming near to the forest, which definitely harbors a high biodiversity of pollinator insects. Yet, forest degradation by farming activities is a threat for pollinator insect diversity, so there must some awareness to be given especially for the villagers about how important their forest is for their farms.

Observation on caisin’s (Brassica rapa L.) flower-visitor insects were

carried out over 20 days period from 28 December 2006 – 16 January 2007, in margin forest of Gunung Halimun-Salak National Park. All insect visiting the flowers were counted by using fixed sampling method within 30 minutes observation period in each site that consisted of 20 flowering caisin plants. The forest distance factor giving the best fit was shown in a simple linear regression model on scatter plot graphic.

This study showed that 1312 insects are found in caisin’s flower but only 747 insects or 56,94% of them are the real pollinator which are representatives of 32 pollinator species within 15 observation sites along the margin forest. Highest diversity (H’) value of pollinator insects was found in habitat near to forest’s margin habitat (H’=1,84) than in other habitats at greater distances from forest. The abundances of pollinator insects were found high in open areas that provide less shade of trees.

Species diversity and abundance of pollinator insects were decreasing within distance from the forest despite there were many factors which may influence the abundance. The most influencing factor is the blossom coverage in observed sites that significantly has a positive correlation with flower visitation by insects. The other factors such as temperature and humidity did not significantly influence the flower visitation by insects.

1) Student of Forest Resources Conservation and Ecotourism Department, Faculty of Forestry IPB 2) Lecturer of Forest Resources Conservation and Ecotourism Department, Faculty of Forestry IPB 3) Lecturer of Plants Protection Department, Faculty of Agriculture IPB

INTRODUCTION

METHOD

RESULT AND DISCUSSION


(2)

RINGKASAN

REISKY MAULANA. E34102070. Komunitas Serangga Penyerbuk pada Jarak dan Habitat yang Beragam dari Tepi Hutan Taman Nasional Halimun-Salak. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, dan Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc

Penyerbukan tanaman pertanian yang dilakukan oleh serangga merupakan salah satu bagian dari jasa lingkungan yang diberikan oleh hutan karena hutan sebagai habitat alami diasumsikan menyimpan potensi keanekaragaman serangga penyerbuk yang tinggi. Namun aktivitas pertanian yang merusak hutan masih terus berlangsung, sehingga masyarakat petani yang tinggal di luar kawasan hutan perlu disadarkan akan manfaat hutan yang ternyata telah memberikan jasa penyerbukan bagi pertanian mereka.

Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi dan mengelompokan fungsi-fungsi ekologis dari bermacam spesies serangga pengunjung bunga casin, (2) Menghitung jumlah spesies, kelimpahan, dan menilai indeks-indeks keragaman spesies serangga penyerbuk, (3) Menganalisa kemiripan struktur komunitas dan pola penyebaran serangga penyerbuk di tiap-tiap jarak yang berbeda dari tepi hutan, (4) Membuktikan besar-kecilnya pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap jumlah, kelimpahan, dan indeks-indeks keragaman spesies serangga penyerbuk.

Penelitian lapang dilakukan pada bulan Desember 2006 – Januari 2007, berlokasi di pinggir kawasan hutan Taman Nasional Halimun-Salak, Dusun Pangguyangan, Desa Sirnarasa, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Pengamatan serangga penyerbuk dilakukan dengan metode fixed sampling selama 30 menit tiap titik pengamatan yang telah ditanaman 20 tanaman caisin (Brassica rapa L.). Data yang didapat dianalisa dalam bentuk deskriptif dan kuantitatif. Pengaruh jarak hutan terhadap keragaman spesies serangga penyerbuk dinilai berdasarkan persamaan regresi dan grafik sebaran titik (scatterplots).

Hasil penelitian selama 17 hari cerah di seluruh 15 titik pengamatan, menunjukan bahwa dari total kelimpahan 1312 ekor serangga pengunjung bunga casin hanya 747 ekor atau 56,94% yang merupakan serangga penyerbuk terdiri


(3)

dari 32 spesies. Kelimpahan serangga penyerbuk umumnya ditemukan lebih tinggi pada habitat yang terbuka atau tidak terhalang oleh tajuk pepohonan. Kelimpahan dan jumlah spesies tertinggi ditemukan pada titik pengamatan yang dekat dengan tepi hutan yang pada penelitian ini berupa kondisi habitat perladangan.

Kelimpahan serangga penyerbuk semakin menurun seiring jaraknya yang semakin menjauhi tepi hutan, meskipun terdapat faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi tinggi-rendahnya kelimpahan serangga penyerbuk. Faktor tersebut ialah pengaruh jumlah pemekaran bunga caisin pada titik pengamatan yang berkorelasi positif dan berbeda nyata dengan kelimpahan serangga penyerbuk. Sedangkan faktor suhu dan kelembaban udara tidak menunjukan pengaruh yang berarti pada kelimpahan dan jumlah spesies serangga penyerbuk.

Kata Kunci : Keanekaragaman spesies, serangga penyerbuk, metode fixed sample


(4)

SUMMARY

REISKY MAULANA. E34102070. Insects Pollinators’ Communities In Distinct Habitats and Distances from Margin Forest of Gunung Halimun-Salak National Park. Under supervision of Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc, and Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc.

Pollination service is one of many services that forest can provide for farming near to the forest which definitely harbors a high biodiversity of pollinator insects. Yet, forest degradation by farming activities is a threat for pollinator insect diversity, so there must some awareness to be given especially for the villagers about how important their forest is for their farms.

The objectives of this research are: (1) to identify caisin’s (Brassica rapa

L.) flower-visitor insects and to determine its function in its community, (2) to count abundance and species of pollinator insects and also to measure diversity index in distances from the forest, (3) to analyze spatial distribution of pollinator insects and its composition in every plot base on its similarity index, (4) to show the correlation of forest distance with the abundance and its diversity.

Observation on caisin’s flower-visitor insects were carried out over 20 days period from 28 December 2006 – 16 January 2007, in margin forest of Gunung Halimun-Salak National Park, Sirnarasa Village, District of Sukabumi, Province of West Java. All insect visiting the flowers were counted by using fixed sampling method within 30 minutes observation period in each site that consisted of 20 flowering caisin plants. The forest distance factor giving the best fit was shown in a simple linear regression model on scatter plot graphic.

This study showed that 1312 insects are found in caisin’s flower but only 747 insects or 56,94% of them are real pollinator insects which are representative of 32 pollinator species within 15 sites observation along the margin forest. Higher densities of pollinator insects are found near to forest’s margin than at greater distances from forest. The abundances of pollinator insects are usually high in open areas that provide fewer shade trees.


(5)

Species diversity and abundance of pollinator insects were decreasing within distance from the forest despite there are many factors which may influence the abundance. The most influencing factor is the blossom cover of caisin in site observation that significantly has a positive correlation with flower visitation by insects. The other factors such as temperature and humidity did not significantly influence the flower visitation by insects.

Key words: Species diversity, insect pollinator, fixed sampling method (Dafni 1992), caisin flower (Brassica rapa L.), forest in distances.


(6)

I. PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Sedikitnya terdapat 66% dari 1500 spesies tanaman budidaya di dunia ini dipolinasi oleh binatang (Roubik 1995 dalam Kremen et al. 2002) diantaranya adalah berbagai jenis serangga, burung-burung penghisap madu, dan kelelawar (Meffe 1998; Ghazoul 2005). Diantara ketiga kelompok penyerbuk tersebut, serangga merupakan kelompok yang paling banyak berperan sebagai agen penyerbuk.

Serangga memiliki potensi besar untuk dipelajari karena jumlah angka tertinggi dari semua spesies binatang di dunia ini diwakili oleh filum Arthropoda, yaitu sekitar 84% dari keseluruhan spesies binatang di dunia (Groombridge 1992), dan 56% dari semua spesies bintang yang telah dikenal secara global di dunia ini merupakan golongan kelas serangga (MacDonald 2003). Keanekaragaman spesies dari seluruh grup taksonomi meningkat dengan signifikan dari daerah kutub ke daerah khatulistiwa (Groombridge 1992; Steven 1989). Dengan demikian, Indonesia sebagai negara tropis diperkirakan menyimpan keanekaragaman serangga yang sangat tinggi, termasuk diantaranya adalah serangga penyerbuk.

Sebagian besar habitat alami di Indonesia berupa hutan yang memiliki banyak manfaat bagi kesejahteraan umat manusia, terutama fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan (Kremen et al. 2002; Daily 1997), terlebih lagi sebagian besar masyarakat di Indonesia masih sangat tergantung dari hutan. Salah satu jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan alam yang penting namun kurang mendapat perhatian adalah jasa penyerbukan bagi tanaman pertanian dan perkebunan (Klein et al. 2003).

Namun dengan terus meningkatnya pemanfaatan sumberdaya alam yang tak lestari mengancam keanekaragaman hayati sebagai imbas dari kerusakan, fragmentasi, dan isolasi ekosistem alami (Kruess & Tscharntke 2000; Stefan-Dewenter & Tscharntke 1999; Kruess & Tscharntke 1994). Hal tersebut erat kaitannya dengan pernyataan Schowalter (2000) bahwa kondisi lingkungan seperti kesehatan ekosistem, kualitas air dan udara, kebakaran hutan, serta perubahan iklim memberi pengaruh pada serangga.


(7)

Serangga memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi pada lokasi yang dekat dengan hutan daripada lokasi yang lebih jauh dari hutan (Klein et al. 2003). Penggunaan herbisida dan pestisida juga berpengaruh negatif pada kelimpahan serangga (Kremen et al. 2002). Isu menurunnya keberadaan binatang penyerbuk di habitat alaminya, pernah dideklarasikan dalam Fifth Conference of Parties to the Convention on Biological Diversity pada tahun 2000 (Ghazoul 2005), semakin menarik perhatian dunia akan fungsi ekosistem hutan sebagai penyedia jasa penyerbuk bagi intensifikasi pertanian.

Lahan bekas hutan sebagai ekosistem yang telah termodifikasi dan terkonversi menjadi lahan pertanian seperti yang terdapat di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) merupakan tempat yang tepat untuk mempelajari pengaruh jarak hutan terhadap komunitas serangga penyerbuk. Lokasi penelitian ini dianggap mewakili kondisi di sebagian besar pinggiran kawasan hutan di Indonesia yang umumnya berupa lahan pertanian tradisional, yang salah satu hasil komoditasnya adalah sayuran caisin (Brassica rapa L.).

Dalam penelitian ini, caisin menjadi model tanaman yang tepat untuk menarik serangga penyerbuk karena memiliki bunga berwarna kuning terang, penghasil nektar, dan serbuksari yang lengket sehingga peran serangga sebagai agen penyerbuk sangat penting. Warna hijau kekuning-kuningan dengan panjang gelombang antara 5330 – 5350 Å merupakan warna yang sangat efektif untuk memikat jenis-jenis lebah (Sunjaya 1970). Dengan menempatkan titik-titik pengamatan yang semakin menjauhi tepi hutan pada hari yang bersamaan, maka akan dapat terlihat perubahan komposisi jenis serangga peyerbuk seiring bertambahnya jarak dari hutan.

1. 2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk:

1. Mengidentifikasi dan mengelompokan fungsi-fungsi ekologis dari bermacam spesies serangga pengunjung bunga caisin.

2. Menganalisa komposisi dan struktur komunitas serangga penyerbuk di tiap-tiap jarak yang beragam dari tepi hutan dengan menggunakan pendekatan indeks-indeks keanekaragaman.


(8)

3. Menganalisa penyebaran serangga penyerbuk dan kemiripan struktur komunitas di antara beragam tipe habitat dan jarak dari tepi hutan.

4. Membuktikan besar-kecilnya pengaruh jarak dari tepi hutan terhadap komposisi dan struktur komunitas serangga penyerbuk.

1. 3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan pentingnya keberadaan hutan sebagai penyedia jasa penyerbuk yang memberi manfaat pada pertanian masyarakat di sekitar hutan. Selain itu, dengan mengetahui spesies-spesis serangga yang paling berperan dalam penyerbukan, dapat dijadikan rekomendasi dalam menentukan prioritas bila diperlukan upaya konservasi spesies.


(9)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Binatang Penyerbuk Merupakan Agen dari Jasa Lingkungan

Istilah jasa ekosistem atau jasa ekologi didefinisikan secara luas sebagai kondisi dan proses-proses dalam ekosistem dan spesies yang merupakan bagian didalamnya dapat membantu kelestarian dan memenuhi kebutuhan manusia. (Daily 1997), Kearns et al. (1998) menyatakan bahwa manusia bergantung pada binatang penyerbuk secara langsung maupun tak langsung untuk tiap sepertiga makanan yang kita makan. Dengan peran yang sangat berharga bagi menusia sehingga banyak penilaian potensi bintang penyerbuk dilakukan dengan pendekatan ilmu ekonomi yang dipadukan dengan ilmu ekologi (Kevan & Phillips 2001).

Serangga memegang peran yang sangat penting dalam menjaga dan melindungi fungsi ekosistem, serta memberi banyak jasa melalui bermacam-macam mekanisme seperti mendekomposisi serasah dedauan, penyerbukan, menahan pertumbuhan tumbuhan, dan sebagai mangsa dari pemangsa (Hamond & Miller 1998; Black et al. 2001) sebagai tambahan, serangga juga memberikan indikator ekologi (Basset et al. 2004) dan baik dipakai untuk memonitor efek dari perubahan lansekap dan perubahan penggunaan lahan, kerusakan habitat, isolasi habitat, dan modifikasi habitat, dengan didasarkan pada kelimpahannya, kekayaan jenis, dan kehadiran serangga tersebut (Groombridge 1992)

Kremen et al. (2002) menemukan bahwa keanekaragaman adalah hal penting bagi kelestarian jasa tersebut, karena variasi pada komposisi komunitas dari tahun ke tahun. Degradasi yang berkelanjutan pada lanskap pertanian alami akan menghancurkan jasa “gratis ini”. Perhatian telah ditingkatkan pada penyerbuk invertebrata tanaman liar dan perkebunan yang menurun sebagai akibat dari praktek pertanian moderen, degradasi habitat, masuknya haman dan penyakit. (Ghazaol 2005).

Meskipun hilangnya beberapa jenis serangga penyerbuk tidak mempengaruhi pada hasil pertanian dengan tanaman yang penyerbukannya dibantu oleh angin dan dapat melakukan penyerbukan sendiri atau self-pollinated


(10)

(Ghazoul 2005). Namun di daerah tropis, serangga merupakan agen penyerbuk utama di berbagai dan beragam jenis tanaman (Bawa 1990).

Penyerbukan memerlukan dua pihak yaitu tumbuhan yang diserbuk dan binatang yang menyerbuk, yang mana hubungan tersebut terjalin berkat suatu proses yang disebut koevolusi (Adisoemarto 1994; Buchori & Sartiami 1994) yaitu proses perkembangan yang menghasilkan sifat baru yang terjadi pada dua jenis atau dua kombinasi antara tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Serangga berkunjung ke bunga bukan untuk menyerbuk, karena sebagian besar serangga melakukan kunjungan ke bunga untuk mencari nektar (Adisoemarto 1994) dan juga nutrisi lain seperti polen (Potts et al. 2004), sehingga kefisienan penyerbukan juga tergantung pada desain bunga (Adisoemarto 1994; Boulter et al. 2005) 2. 2 Pengaruh Jarak Hutan Terhadap Keanekaragaman Serangga

Klein et al. (2003) menemukan bahwa di daerah tropis, jarak terdekat dengan hutan diketahui memberi dampak kepada keragaman penyerbuk. Keanekaragaman serangga penyerbuk di dalam hutan akan memperngaruhi keanekaragaman serangga penyerbuk di ekosistem pinggir hutan, yang berkaitan dengan aktifitas foraging. Hal ini seperti yang dilaporkan oleh Steffan-Duwenter

et al. (2002), bahwa Bumble bees sebagai penyerbuk tanaman sawi (mustrad) dan

radish mempunyai keanekaragaman yang semakin menurun dengan meningkatnya jarak dari habitat alami.

Semakin tinggi keanekaragaman serangga penyerbuk maka semakin besar pula jasa penyerbukan yang dapat diberikan dari ekosistem tersebut. (Kremen et al. 2002). Jumlah spesies lebah sosial berkurang seiring dengan jarak dari hutan, dimana jumlah jenis lebah sosial meningkat seiring dengan intensitas cahaya (sedikit naungan) dan tempat dengan kuantitas bunga mekar yang lebih besar. Selain itu, kepadatan yang lebih tinggi juga ditemukan pada lebah sosial yang berada lebih dekat dengan hutan daripada yang lebih besar jaraknya dari hutan, hal ini diperkirakan karena hutan memberikan tempat bersarang yang sehat untuk coloni lebah (Klein et al. 2003)

Namun dalam kontrasnya, beberapa lebah soliter ditemukan membangun sarang diluar lebatnya hutan, lebih memilih sedikit naungan, dan sedikit humus seperti yang ditawarkan oleh area terbuka kepada banyak spesies yang bersarang


(11)

di tanah (Klein et al. 2003). Naungan juga mempengaruhi populasi hama bagi serangga, pengaruh dari penyakit, dan alang-alang (Perfecto et al. 1996). Intensitas cahaya sering dikorelasikan dengan jumlah tanaman berbunga, sehingga kebanyakan lebah soliter lebih manyukai habitat terbuka (Klein et al. 2003). 2. 3 Fragmentasi Habitat dan Teori Island Biogeography

Teori island biogeography merupakan sebuah model yang menawarkan prediksi tentang jumlah spesies yang ditemui pada suatu pulau (MacArthur & Wilson 1967). Teori tersebut menyatakan bahwa pulau-pulau yang dekat dengan daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dari pulau-pulau yang terletak jauh dari daratan utama. Kedekatan pulau-pulau dengan daratan utama menularkan tingkat imigrasi secara besar-besaran. Selanjutnya, pulau-pulau yang dekat dengan daratan utama akan menerima kolonis lebih banyak dengan lompatan yang menyebar dari pada pulau-pulau yang lebih jauh dari daratan utama. Berdasarkan hipotesis ini, pulau-pulau yang disituasikan lebih jauh dari daratan utama cenderung memiliki kekayaan jenis yang lebih rendah.

Pada habitat teresterial, hipotesis islands biogeography diadaptasi kedalam konsep pulau-pulau ekologi, dimana habitat alami merupakan sumber (source) bagi banyak spesies kemudian lahan pertanian yang disituasikan di tepi sumber tersebut merupakan kolam (sink). Modifikasi dari hipotesis islands biogeography

memberikan dasar untuk memprediksi efek pada komunitas jenis akibat meningkatnya isolasi habitat alami yang berlokasi diantara lansekap pertanian. Klein et al. (2002) menyatakan dalam 5 tahun terakhir, beberapa penelitian tentang efek isolasi terhadap spesies serangga telah dilakukan di berbagai lansekap tropis. Secara umum, agroekosistem menyebabkan mosaik lansekap yang kompleks dan terdiri dari banyak habitat pertanian pangan maupun perkebunan non-pangan (Sahari 2004). Isolasi agroekosistem dari habitat alami memberi dampak pada kekayaan jenis dan struktur komunitas. Klein et al. (2003) melaporkan bahwa jumlah lebah sosial mengalami penurunan secara signifikan seiring jaraknya dari hutan terdekat. Pada sebuah percobaan tentang isolasi terhadap dua tanaman tahunan yang tidak dapat melakukan penyerbukan sendiri, Steffan-Dewenter & Tscharntke (1999) menemukan bahwa pembuahan menurun dengan seiring meningkatnya jarak dari habitat alami yang tersisa.


(12)

Fragmentasi dan kerusakan habitat bisa jadi penyebab yang mengganggu interaksi tanaman dengan penyerbuk (Steffan-Dewenter et al. 2002). Praktik pertanian dapat menyebabkan hilangnya atau punahnya suatu jenis, berkurangnya habitat alami, dan meningkatnya fragmentasi dan isolasi habitat (Rosenzweig 1995). Kerusakan dan fragmentasi habitat merupakan penyebab utama menurunnya keanekaragaman hayati (Quinn & Harrison 1998). Fragmentasi habitat tidak hanya berpengaruh terhadap kekayaan jenis penyerbuk, tetapi juga berpengaruh terhadap perilaku foraging dan ukuran tubuh (Rathcke & Jules 1993). Kerusakan habitat yang cepat juga menjadi penyebab kepunahan beberapa jenis serangga terutama bagi beberapa grup Hymenoptera yang sensitive terhadap gagngguan lingkungan (Sahari 2004)

2. 4 Struktur Komunitas, habitat, dan Keragaman Serangga

Sebuah komunitas tersusun atas segala organisme yang terdapat pada suatu tempat (Schowalter 2000), tiga pendekatan umun untuk mendeskripsikan struktur komunitas dapat diketahui dari; keanekaragaman spesies, interaksi spesies, dan organisasi fungsional. Setiap pendekatan memberikan informasi yang berguna, dan dalam pemilihan sebagian besar merupakan pencerminan dari tujuannya dan pertimbangan praktikal.

Keragaman jenis tidak hanya berarti kekayaan atau banyaknya jenis, tetapi juga kemerataan dari kelimpahan individu tiap jenis (Odum 1971). Krebs (1978) menambahkan bahwa konsep ukuran keragaman (diversity) dibedakan atas tiga ukuran yang dikenal secara umun yaitu kekayaan jenis (species richness), heterogenitas (heterogenity), dan kemerataan (evenness). Pada tingkat yang sederhana, keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan pada suatu komunitas, suatu ukuran yang disebut kekayaan spesies (Primack et al. 1998).

Keanekaragaman spesies merupakan inti dari tema ekologi. Keanekaragaman dapat terwakilkan dengan beberapa cara (Magurran 1983). Keterwakilan yang paling sederhana ialah sebuah katalog spesies, atau jumlah total spesies (species richness), sebuah ukuran yang dapat mengindikasikan variasi spesies dalam suatu komunitas (α diversity). Keanekaragaman spesies biasanya muncul ke puncak pertengahan tingkat gangguan (the intermediate


(13)

disturbance hypothesis) dikarenakan suatu kombinasi kecukupan sumberdaya dan tidak cukupnya waktu untuk persaingan keluar (Connell 1978; Huston 1979 dalam Schowalter 2000). Variasi spesies di suatu komunitas tidak sama dengan kelimpahan. Biasanya, sedikit spesies adalah berlimpah, dan banyak spesies hanya terwakili oleh satu atau sedikit individu (Magurran 1988; Stiling 1996 dalam Schowalter 2000).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keragaman dalam komunitas alamiah menurut Campbell (2004) adalah:

1. ketersedian energi; peningkatan radiasi matahari di daerah tropis meingkatkan aktivitas fotosintesis tumbuhan, yang menyediakan peningkatan dasar sumberdaya untuk organisme lain dan dengan demikian kemampuannya lebih besar untuk mendukung spesies.

2. Heterogenitas habitat; dibandingkan dengan daerah lain, daerah tropis seringkali mengalami ganguan yang lebih bersifat lokal (seperti pohon tumbang, angin ribut, dan banjir), dan memiliki ketidak seragaman lingkungan yang lebih besar, memungkinkan keanekaragaman yang lebih besar pada spesies tumbuhan untuk membentuk dasar sumberdaya bagi komunitas hewan yang sangat beranekaragam.

3. Spesialisasi relung; iklim tropis yang memungkinkan banyak organisme untuk mengalami spesialisasi terhadap kisaran sumberdaya yang lebih sempit. Relung yang lebih kecil akan mengalami persaingan dan memungkinkan tingkat pembagian sumberdaya yang lebih baik diantara spesies-spesies, yang selanjutnya akan menggalang keanekaragaman spesies yang besar.

4. Interaksi populasi; keanekaragaman dalam satu pengertian adalah memperbanyak diri sendiri karena interaksi populasi yang kompleks mengalami koevolusi, interaksi pemangsa-mangsa, dan interakasi simbiotik dihasilkan dalam komunitas yang beranekaragam untuk mencegah agar suatu populasi tidak menjadi dominan

Kelimpahan adalah jumlah organisme per unti area (kapadatan absolut) atau sebagai kapadatan relatif, yaitu kepadatan dari satu populasi terhadap populasi lainnya. Kelimpahan relatif adalah perbandingan kelimpahan individu tiap jenis terhadap kelimpahan


(14)

seluruh individu dalam satu komunitas (Krebs 1978). Sedangkan menurut Odum (1971) menyatakan bahwa kelimpahan adalah istilah umum yang sering digunakan untuk suatu populasi satwa dalam hal jumlah yang sebenarnya dan kecenderungan untuk naik dan turunnya populasi atau keduanya.

Secara sederhana, Odum (1971) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu tempat dimana organisme dapat ditemukan. Habitat adalah kawasan yang terdiri dari bebeapa kawasan baik fisk maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar. Satwaliar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya (Alikodra 2002). Komponen fisik dan biotik habitat membentuk sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci, komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi mikro dan makro fauna serta manusia (Alikodra 2002). Habitat terdiri dari beberapa habitat mikro yang seringkali sangar besar pengaruhnya terhadap satwa karena adanya variasi iklim mikro. Untuk jenis-jenis serangga, iklim mikro erat kaitannya dengan aktivitas foraging atau mencari pakan. Bailey (1984) menyatakan

bahwa kelengkapan habitat terdiri dari berbagai macam termasuk makanan, perlindungan, dan faktor lain yang diperlukan oleh suatu spesies untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara berhasil. Hal ini menunjukan bahwa habitat merupakan hasil interaksi antara berbagai komponen seperti fisik yang terdiri dari tanah, air, topografi, dan iklim serta komponen biologis yang mencakup tumbuhan, satwaliar, dan manusia.

2. 5 Bio-ekologi Serangga

Serangga dimasukkan ke dalam kelas Hexapoda (Insecta / Serangga), Sub-filum Mandibulata, Sub-filum Arthropoda (Sunjaya 1970). Tubuhnya terdiri dari kepala, toraks, dan abdomen. Pada kepala terdapat sepasang antena yang ukurannya bervariasi, alat mulutnya memiliki berbagai bentuk yang disesuaikan dengan macam makanannya, diantaranya mempunyai bentuk mulut yang berfungsi untuk menggigit dan mengunyah, menghisap, menusuk dan menghisap, serta menjilat. (Kahono et al. Tanpa tahun).


(15)

Ciri utama serangga adalah pada bagian kepalanya memilki sepasang sungut, sepasang mandibel (istilah untuk rahang-rahang yang berpasangan, tidak beruas, terletak tepat dibelakang labrum), sepasang maksila (istilah untuk struktur yang berpasangan terletak di belakang mandibel, beruas, dan masing2 maksila mengandung organ seperti perasa), sebuah hipofaring (istilah untuk lidah pendek yang terletak diatas labium diantara maksilae, tempat bermuara kelenjar-kelenjar air liur), sebuah labium (istilah untuk bibir atas).

Kemudian pada bagian memiliki tiga pasang tungkai, dengan satu pasang pada masing-masing ruas toraks. Pada bagian abdomennya dicirikan dengan liang kelamin pada bagian posterior abdomen, tidak ada embelan-embelan lokomotor pada abdomen dewasa. Bila ada embelan-embelan terletak pada ujung abdomen dan terdiri dari sepasang sersus, sebuah epiprok, dan sepasang paraprok (sersus merupakan istilah untuk satu dari sepasang embel-embelan pada ujung posterior abdomen, epiprok merupakan sebuah juluran / embelan yang terletak di atas dubur dan kelihatan timbul dari ruas abdomen ke-sepuluh yang sebenarnya merupakan bagian dorsal ruas abdomen yang ke-sebelas, dan paraprok merupakan istilah untuk satu dari sepasang gelambir yang berbatasan dengan dubur di sebelah lateroventral).

Beberapa jenis serangga hidup di tanah (teresterial) dan ada pula yang hidup di air (akuatik) untuk seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya (Schowalter 2000). Kebanyakan serangga aktif pada siang hari (diurnal), namun tidak sedikit yang aktif pada malam hari (nokturnal). Serangga tergolong sebagai binatang berdarah dingin atau poikilothermal, oleh karena itu suhu badannya tidak tetap, naik turun mengikuti suhu lingkungannya. Suhu optimum serangga darat adalah sekitar 26˚C dengan kisaran suhu maksimalnya adalah 48 – 50 ˚C, sedangkan titik-titik estivasi berada disekitar 38 – 50˚C (Sunjaya 1970). Istilah suhu dalam ekologi pada hakekatnya adalah produk faktor suhu dan waktu karena sebagian besar jenis serangga hidup pada lingkungan di dekat dan dibawah permukaan tanah, maka suhu muka tanah dan suhu diatas permukaan tanah menjadi tolak ukur dalam mempelajari serangga (Sunjaya 1970). Dari segi makanannya, serangga digolongkan ke berbagai macam golongan diantaranya fitofag, predator, skavanger, dan juga parasit. Evans (1984) manyatakan bahwa


(16)

50% dari hampir keseluruhan serangga ialah herbivora yang kemudian dibagi dalam 3 tahap tingkatan konsumen / heterotropik yaitu:

1. konsumen utama / primer;

a. Fitofagus = pemakan tanam-tanaman

2. konsumen tingkat lebih tinggi / sekunder dan tersier;

a. Predator = seekor hewan yang menyerang dan memakan hewan lainnya. Biasanya hewan yang lebih kecil atau kurang kuat dari dirinya. Korban biasanya dibunuh atau dimakan seluruhnya. Banyak individu korban dimakan oleh masing-masing pemangsa b. Parasitoid = hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan

hidup lainnya, dengan jangka yg relatif lama, makan semua atau makan jaring-jaringan ringannya dan kemudian membunuhnya. c. Parasit = seekor hewan yang hidup di dalam atau diatas dari hewan

hidup lainnya, makan jaring-jaringan induk semangnya 3. pengurai;

a. Skavenger = seekor hewan yang makan tumbuh-tumbuhan atau hewan yang mati, atau material-material yang membusuk atau limbah-limbah hewan.

b. Saprofagus = makan material tumbuh-tumbuhan atau hewan sedang membusuk, seperti bangkai, tinja, kayu gelondongan yang mati, dsb.

Sunjaya (1970) menerangkan bahwa setiap jenis serangga memiliki keterbatasan yang berbeda dalam membedakan warna, seperti lebah madu hanya dapat melihat 4 golongan warna berdasarkan panjang gelombang cahaya yaitu; 6500 – 5000 Å (warna merah, kuning, dan hijau); 5000 – 4800 Å (biru kehijau-hijauan); 4800 – 4000 Å (biru dan ungu); 4000 – 3100 Å (ultra viollet). Ditambahkan pula bahwa warna hijau kekuning-kuningan dengan panjang gelombang antara 5330 – 5350 Å adalah warna yang sangat efektif untuk menarik jenis-jenis lebah, karena warna kuning dan biru dapat memantulkan kembali sinar ultra violet dengan kuat, sedangkan kebanyakan warna putih menyerap cahaya ultra voilet dari matahari, sehingga warna putih sering dianggap tidak terlihat.


(17)

Kelas hexapoda (serangga) terdiri dari berbagai ordo diantaranya adalah Coleoptera, Dermaptera, Hemiptera, Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera. Diantara ordo-ordo tersebut, terdapat 3 ordo yang berperan penting dalam proses penyerbukan yaitu; Lepidoptera, Diptera, dan Hymenoptera. Ordo coleoptera adalah ordo yang terbesar dari serangga-serangga dan mengandung kira2 40% dari jenis terkenal dalam hexapoda. Salah satu sifat coleoptera adalah struktur sayap-sayapnya, memiliki 4 sayap dengan sepasang sayap depan (elytra / elytron

= tunggal) yang menebal seperti kulit, keras, atau rapuh. Bila dalam keadaan istirahat, sayap belakang terlipat dibawah sayap depan yang bertindak sebagai selubung / pelindung. Bagian-bagian mulut dalam ordo ini sebagai tipe mulut pengunyah, dan mandibel sangat bagus dan berkembang, dan dipakai untuk menggilas biji atau meremukan kayu. Binatang dari ordo coleoptera yang paling umum dikenal adalah kumbang. Kumbang mengalami metamorfosis sempurna, banyak diantaranya yang memakan tumbuhan (memakan bagian-bagian bunga) dan zat organik yg membusuk (Borror et al. 1996).

Ordo Dermaptera atau yang biasa disebut dengan cocopet merupakan serangga yang memanjang, meramping, agak gepeng, dan memiliki sersi (sersus) seperti capit. Dewasa kadang bersayap dan tidak besayap. Bila bersayap, sayap depan pendek seperti kulit, tidak mempunyai rangka sayap (tegmia / elitra). Dan sayap belakang (bila ada) bersalaput tipis dan membulat. Dermaptera memiliki jumlah tarsi 3 ruas, bagian mulut tipe pengunyah, dan mengalami metamorfosis sederhana. Makanan sebagian besar Dermaptera berupa sayuran mati dan membusuk, beberapa makan tumbuhan hidup, dan jarang sebagai pemangsa. Mereka hidup pada malam hari, pada waktu siang terdapat pada celah-celah di bawah kulit kayu dan lubang-lubang kecil (Borror et al. 1996).

Ordo Hemiptera atau yang biasa disebut sebagai golongan kepik ini dinamai hemiptera karena berdasarkan struktur sayap-sayap depan dengan bagian dasar yang menebal dan seperti kulit, dan ujungnya berselaput tipis, tipe sayap ini disebut hemelytron (jamak hemeytra). Sayap belakangnya seluruhnya berselaput tipis, agak lebih pendek dari sayap depannya. Bagian mulut merupakan tipe menusuk-menghisap dalam bentuk paruh (probosis) yang biasanya beruas dan ramping. Binatang-binatang ini memakan cairan tumbuhan dan merupakan hama


(18)

ganas bagi tanaman-tanaman budidaya. Perbedaannya dengan homoptera yaitu terdapat pada probosis yang mana probosis hemiptera timbul dari bagian depan kepala, sedangkan homoptera probosis timbul dari posterior kepala. Kebanyakan hemiptera dewasa mempunyai kelenjar bau yang bermuara pada sisi toraks. Binatang yang bermetamorfosis sederhana ini biasa meletakkan telur-telur mereka pada atas tumbuhan atau celah-delah tumbuhan.

Ordo Lepidoptera dibagi menjadi dua sub ordo penting yaitu; rhopalocera (kupu-kupu) dan heterocera (ngengat). Ordo ini memiliki ciri-ciri utama yaitu sayap yang tertutup oleh sisik-sisik. Binatang ini memiliki daur metamorfosis sempurna, dengan larva merupakan pemakan tumbuhan, dan ketika dewasa tipe mulut berubah fungsi sebagai penghisap. Beberapa jenis mempunyai bagian mulut yang menyusut dan tidak makan pada tahapan yang dewasa, mandibel pada Lepidoptera hampir tidak ada.

Ordo Diptera menyusun salah satu dari ordo-ordo yang terbesar dari serangga, secara individual dan jenis adalah banyak, dan terdapat hampir dimana-mana. Sayap belakang menyusut (halter) sehingga hanya mimiliki sepasang sayap depan. Tubuh relatif kecil, bertubuh lunak. Tipe mulut penghisap, dan beberapa merupakan penusuk. Penghisap darah, zat organik yang membusuk, beberapa penyerbuk, dan musuh bagi gulma-gulma yang berbahaya. Diptera hidup dengan memakan cairan-cairan hewan dan tumbuhan seperti nektar. Diptera mengalami metamorfosis sempurna (Borror et al. 1996). Khususnya pada famili Syrphidae (lalat-lalat bunga) seringkali ditemukan disekitar bunga, dan melakukan terbang setempat. Banyak jenis dengan warnanya yang cermelang menyerupai lebah madu, namun tidak pernah menggigit atau menyengat. Banyak yang bersifat pemangsa pada aphid, beberapa lainnya hidup dalam serangga-serangga sosial, dan yang lainnya hidup dalam tumbuh-tumbuhan yang membusuk atau kayu-kayu membusuk. (Gaulet & Huber 1993).

Ordo Hymenoptera merupakan ordo yang paling berguna dari sudut kepentingan manusia dari keseluruhan kelas serangga yang ada. Meskipun ordo Hyemnoptera secara morfologi mewakili bentuk umum berbagai kelompok serangga, namun Hymenoptera memiliki banyak karakteristik yang menjadikanya sebagai satu kelompok ordo. Hymenoptera hidup di semua habitat teresterial dan


(19)

habitat perairan tawar, dan selalu memegang peran penting dalam ekologi (Mason & Huber 1993).

Gologan lebah-lebahan ini memiliki 4 buah sayap tipis (bermembran), terkecuali pada sayap yang mengalami reduksi seperti semut pekerja dan semut tentara (Mason & Huber 1993), sayap belakangnya lebih kecil dari sayap depan (Borror et al. 1996). Hymenoptera tampak seperti berbagai serangga primitif lainnya namun venasinya jauh lebih sederhana. Sayap depan ditutupi oleh sclerite

(pelat) kecil membulat yang disebut tegula dan antara sayap depan dan belakang tersambung oleh kait kecil yang disebut hamuli (Mason & Huber 1993; Gaulet & Huber 1993). Meskipun karakter-karakter tersebut dapat membantu dalam membedakan Hymenoptera-bersayap dengan kelompok serangga lain, namun hanya sedikit membantu untuk beberapa jumlah spesiesnya dengan sayap yang belum sempurna atau tidak bersayap.

Satu lagi karakter yang secara tehnik dapat terlihat ialah segmen pertama pada abdomen yang bersumbu dengan segmen terakhir dari thoraks. Lebih lanjut lagi, Hymenoptera menunjukan pembatasan yang kuat antara segmen abdominal pertama dengan kedua, segmen pertama diacu sebagai propodeum. Dengan begitu, batasan yang kuat tersebut bukan memisahkan thoraks dengan abdomen, tetapi memisahkan thoraks plus segmen abdominal pertama (mesosoma) dari sisa abdomennya (metasoma). Kombinasi karakteristik tersebut dijadikan para peneliti untuk membedakan Hymenoptera dengan serangga-serangga lainya. Hal ini sangat penting untuk dicatat bahwa Hymenoptera juga memiliki holometabolous yang berkembang atau mengalami metamorfosis sempurna (Mason & Huber 1993).

Bagian-bagian mulut mandibulat namun bagi kebanyakan lebah, labium dan maksilae membentuk satu struktur seperti lidah, melalui alat itu makanan cairan diambil. Kelamin pada kebanyakan hymenoptera dikontrol oleh pembuahan telur. Telur yang dibuahi berkembang menjadi betina, dan telur yang tidak dibuahi biasanya berkembang menjadi jantan. Hymenoptera memiliki hal yang menarik dalam biologi mereka yaitu mereka menunjukan keragaman yang besar dari kebiasaan-kebiasaan dan kompleksitas kelakuan yang meningkat dalam hal organisasi sosial dari tabuhan, lebah, dan semut (Gaulet & Huber 1993).


(20)

Pada famili Andrenidae, semua anggota dari famili ini bersarang di liang-liang berdekatan ditemukan pada daerah yang jarang terdapat tumbuh-tumbuhan (Borror et al. 1996) dan sarangnya terkubur di dalam tanah (Gaulet & Huber 1993). Kebanyakan dari andrenid ini bersifat soliter, namun beberapa bersifat komunal, dan tidak ada yang bersifat parasit (Gaulet & Huber 1993).

Famili Halictidae juga bersarang di liang di dalam tanah, beberapa jenis dari sub-famili Halictinae bersarang di permukaan tanah dan membuat liang pada tebing-tebing dengan sarang yang saling berdekatan (Borror et al. 1996), terkecuali bagi beberapa jenis yang bersarang di dalam kayu yang melapuk (Gaulet & Huber 1993). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter, dan sebagian dari sub-famili Nominae dan Halictinae adalah komunal (Gaulet & Huber 1993), namun menurut Borror et al. (1996) famili Halictidae ini merupakan serangga sosial yang mengembangkan spektrum soliter.

Famili Megachilidae memiliki sebutan sebagai lebah pemtong daun, bersarang pada rongga-rongga di alam, terkadang di dalam tanah (Borror et al. 1996), di dalam batang yang berinti, atau menyerupai tempat tinggal Coleoptera di dalam kayu (Gaulet & Huber 1993). Khususnya pada sub-famili Fidelinae membuat liang di dalam tanah dan tidak terbuat dari bahan-bahan material yang berasal dari tempat lain (Gaulet & Huber 1993). Famili ini merupakan serangga yang hidup soliter (Borror et al. 1996).

Famili Vespidae merupakan golongan tabuhan yang membuat sarang terbuat dari lumpur yang biasa ditemukan pada liang-liang di dalam tanah dan tebing-tebing (Borror et al. 1996). Kebanyakan dari famili ini hidup soliter meski ada beberapa yang hidup sosial (Gaulet & Huber 1993), sedangkan Borror et al.

(1996) menyatakan bahwa famili ini eusosial yang terbentuk dari koloni, dan khusus untuk sub-famili Anthoporinae bersifat soliter namun bersarang komunal.

Famili Apidae atau golongan lebah-lebahan merupakan famili yang paling umum dikenal oleh masayarakat umum sebagai lebah madu seperti pada kebanyakan genus Apis yang hidup sosial, dan bersarang di pohon-pohon berlubang (Borror et al. 1996). Pada genus Trigona yang juga umum sebagai lebah madu, hidup berkoloni dengan merawat dan memproduksi keturunan yang dihasilkan dengan cara berkerumun, kemudian ratu lebah yang lama akan


(21)

meninggalkan sarang bersama-sama dengan sejumlah besar lebah pekerja (Gaulet & Huber 1993). Trigona sering ditemukan bersarang pada lubang-lubang pohon, batu-batu, atau tanah, dan di Asia Tenggara sering ditemukan pada sarang yang terbuka dengan ruang-ruang sel yang tersusun menyerupai sisir tergantung menempel dibawah cabang-cabang pohon (Gaulet & Huber 1993).

Famili Colletidae merupakan lebah-lebah penambal yang membuat liang ke dalam tanah untuk bersarang (Gaulet & Huber 1993; Borror et al. 1996). Pada beberapa genus dari famili ini, betina membawa polen di luar tubuh tepatnya pada bagian scopa kaki belakang (Gaulet & Huber 1993). Genus Hylaeus dicirikan dengan betina yang tidak memiliki scopa, polen dibawa ke sarang bersamaan dengan nektar. Kebanyakan dari genus ini bersarang di lubang-lubang pohon yang mati atau di batang berongga (Gaulet & Huber 1993), juga pada celah-celah dan liang di tanah (Borror et al. 1996). Genus Ceratinini hidup berkoloni, dengan hampir semua spesies dari genus ini bersarang di kayu dan batang (Gaulet & Huber 1993), atau melubangi sumsum dari batang-batang berbagai semak-semak (Borror et al. 1996). Sub-famili Xylacopinae hidup secara komunal, hampir semua jenisnya bersarang di liang-liang dalam tanah, dan beberapa betinanya menggunakan sarang yang sama (Gaulet & Huber 1993). Borror et al. (1996) menambahkan bahwa kemungkinan besar Xylacopinae hidup secara soliter, menggali lorong-lorong di dalam kayu padat, dan batang tanaman.

2. 6 Tanaman Caisin (Brassica rapa L.)

B. rapa (caisin) merupakan salah satu tanaman famili Brassicaceae yang mempunyai lebih dari 300 genus dan 3000 spesies. Anggota famili ini dikenal sebagai tanaman komoditas sayuran penting, penghasil minyak biji, dan sebagai tanaman hias. Ciri khas tanaman dalam famili ini adalah tingginya kandungan senyawa glukosinolat yang dapat dirubah oleh enzim mirosinase menjadi senyawa yang berasa pahit seperti isotiosianat, tiosianat, nitril, dan goitrin yang bersifat goitrogenik (penyebab gondok). Pada spesies yang dibudidayakan, kandungan glukosinolat menjadi sangat berkurang. Hingga kini genus Brassica tercatat memiliki sekitar 40 spesies (Rubatzky & Yamaguchi 2000).

Caisin merupakan tanaman sayuran penting di Asia dengan ciri-ciri daun bertangkai, berbentuk agak oval, warna hijau mengkilap, tegak, menempel pada


(22)

batang, tangkai daun hijau muda, berdaging, tinggi tanaman sebelum berbunga berkisar 15 – 30 cm. Daun dipanen pada umur 30 – 40 hari setelah tanam (Rubatzky & Yamaguchi, 2000). Pembungaan tanaman ini terjadi setelah fase pertumbuhan daun mulai berhenti. Bunga berwarna kuning terang, tersusun dalam tandan, muncul pada batang yang berdaun kecil dengan beberapa percabangan. Setiap bunga terdiri dari 4 petal dengan panjang 6 – 10 mm tersusun dalam posisi bersilangan. Setiap bunga memiliki 6 stamen (benangsari), dua diantaranya lebih pendek dan 4 lainnya lebih panjang dari stylus (tangkai putik). Kepala putik berada di ujung putik (Delaplane & Mayer 2000).

Pembungaan berlangsung selama 22-24 hari (Delplane & Mayer 2000). Takayama & Isogai (2005) melaporkan B. rapa bersifat Self-incompatibility

sehingga memerlukan penyerbukan silang untuk pembentukan biji yang optimum. Serbuksari bersifat lengket sehingga peran serangga sebagai agen penyerbuk sangat penting. Penyerbukan sendiri tanpa adanya penyerbukan silang akan menurunkan produksi dan ukuran biji. Serbuksari caisin dilindungi oleh lapisan

exine kompleks, tanpa kutikula, bertipe triseluler (2 sel generatif dan 1 sel vegetatif). Sel generatif / sel sperma terletak di dalam sitolasma sel vegetatif yang hanya dipisahkan oleh membran sel. Stigma dan Stylus merupakan organ glandular. Metabolisme organ tersebut berkaitan dengan proses pembungaan dan penyerbukan. Stigma mengandung sel-sel penerima untuk mengenali serbuksari dan mengandung substrat untuk membantu perkecambahan. Stigma Brassicaeae hanya dilindungi olehlapisan peiikel atau adesif sebagai eksudat, sehingga digolongkan sebagai stigma kering. Cairan eksudat berperan sebagai nutrisi bagi serbuksari selama pertumbuhan dan sebagai reward (hadiah) bagi serangga penyerbuk (Dafni 1992). Tanaman caisin merupakan tanaman penghasil nektar (Williams 1980), dan selain itu juga menyimpan banyak polen sehingga sangat menarik serangga penyerbuk untuk berkunjung (Potts et al. 2004)


(23)

III. METODE PENELITIAN

3. 1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengamatan dilaksanakan selama 20 hari, yang dimulai sejak tangggal 28 Desember 2006 sampai dengan 16 Januari 2007, dengan jumlah hari cerah sebanyak 17 hari. Lokasi penelitian di tepi hutan primer di pinggir Kawasan Taman Nasional Halimun Salak, di Dusun Panggunyangan, Desa Sirnarasa, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat (Gambar 1).

Gambar 1. Lokasi penelitian peta administratif Provinsi Jawa Barat

3. 2 Alat dan Bahan 3. 2. 1 Alat

a. Pengamatan Serangga

Alat-alat yang digunakan dalam pengamatan serangga di lapangan adalah sebagai berikut; Jaring serangga, tabung spesimen kecil (tube), pengukur waktu (timer-set), pengukur suhu dan kelembaban (thermometer dry-wet), GPS, kamera foto.

b. Identifikasi Serangga

Alat-alat yang digunakan dalam proses pemisahan (sorting) dan identifikasi dalam laboratorium adalah sebagai berikut; mikroskop stereo, kaca pembesar (lup), kapsul spesimen, jarum, papan setting, pinset, cawan gelas, kotak

LOKASI PENELITIAN


(24)

spesimen, buku identifikasi. Berikut adalah buku-buku yang digunakan sebagai panduan identifikasi:

1. Hymenoptera of The World: an Identification Guide To Familis (Gaulet & Huber 1993)

2. Introduction of Insects Spesies (Borror et al. 1996) c. Analisis Data

Alat-alat yang digunakan selama proses analisis data ialah berupa perangkat lunak (software) pada komputer yang berfungsi dalam kalkulasi data dan visualisasi grafis. Perangkat lunak yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Statistica versi.7 (StatSoft 2004) 2. EstimateS (Colwell 2000) 3. Arcview

4. Biodiversity Microsoft Excel Add-in (Messner Tanpa tahun) 3. 2. 2 Bahan

a. Penempatan Titik Pengamatan

Bahan yang digunakan dalam persiapan titik pengamatan adalah:

1. Benih caisin; ditanam dan dirawat agar menghasilkan tanaman berbunga untuk menarik serangga penyerbuk

2. Tanah; media tanam

3. Pupuk organik; penambah unsur hara organik agar tanaman tumbuh subur alami

4. Polibag; wadah tanaman agar memudahkan dalam pemindahan tanaman dari persemaian ke titik pengamatan.

b. Pengamatan Serangga

Bahan-bahan yang digunakan selama pengamatan adalah Alkohol 70% dan kantong plastik. Obyek yang diamati adalah semua serangga yang ditemukan hinggap pada bunga caisin di titik pengamatan.

c. Identifikasi Serangga

Bahan-bahan yang digunakan selama proses identifikasi adalah alkohol 70% dan aqua. Obyek yang diamati adalah spesimen basah serangga yang ditangkap dari pangamatan lapangan.


(25)

3. 3 Jenis Data yang Dikumpulkan

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi jenis dan kelimpahan serangga yang ditemukan pada bunga Caisin tiap titik pengamatan, jumlah pemekaran bunga, temperatur, kelembaban udara, waktu pengamatan, dan karakteristik umum habitat-habitat yang ada. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi literatur tentang pengaruh jarak hutan alam terhadap keragaman dan kelimpahan serangga, serta data pembanding dari hasil penelitian-penelitian serupa.

3. 4 Tahapan Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 3. 4. 1 Studi Pendahuluan Penempatan Titik Pengamatan

Studi pendahuluan dilakukan dengan menjajaki dan mengenali kondisi lapangan serta meminta perizinan penggunaan lahan kepada warga pemilik lahan untuk dijadikan tempat penelitian sementara. Dari hasil studi pendahuluan didapatkan empat karakter habitat yang terlewati oleh jalur pengamatan yaitu permukiman penduduk, sawah basah, ladang (sawah kering), dan pinggiran hutan. Prosedur penempatan titik pengamatan adalah sebagai berikut:

1. Jarak antar titik pengamatan yang ideal adalah kurang lebih 100 meter, dari tepi permukiman penduduk hingga ke tepi hutan terdekat

2. Jumlah tanaman Caisin yang ditempatkan di tiap titik pengamatan adalah sebanyak 20 tanaman (polibag)

3. Jarak tanam Caisin di tiap titik pengamatan berkisar antara 10 cm sampai 15 cm.

Prosedur tata letak tanaman Caisin dalam titik pengamatan disesuaikan seperti pada umumnya susunan tanaman Caisin pada ladang di desa tersebut, terutama tanaman yang sengaja tidak dipanen (dibiarkan sampai berbunga) sebagai produksi benih.


(26)

3. 4. 2 Pengamatan Lapangan

Pengamatan pada tiap titik pengamatan dilakukan secara simultan dengan metode fixed sampling (Dafni 1992). Pengamatan di seluruh 15 titik pengamatan dilakukan pada pukul 07:00 – 12:00 WIB yang merupakan jam-jam disaat bunga sedang bermekaran dan sekaligus menjadi waktu aktif serangga penyerbuk pada pukul 07:00 – 14:30 (Kremen et al. 2002), dengan prosedur pengamatan pada tiap lokasi adalah sebagai berikut;

1. Tiap titik lokasi dilakukan pengamatan selama 30 menit

2. Semua serangga yang ditemukan hinggap atau berkunjung pada bunga di seluruh 20 tanaman caisin di tiap titik pengamatan ditangkap dengan tehnik menjaring (sweeping)

3. Serangga yang telah tertangkap langsung dimasukkan ke dalam botol spesimen (tube) yang telah terisi alkohol dan yang telah diberi label

4. Label pada botol spesimen berisi informasi tentang; nomor titik, jam, dan tanggal pengamatan.

Data sekunder yang meliputi, jumlah seluruh mekar bunga, dan temperature di lokasi titik pengamatan, serta cuaca dicatat setelah 30 menit pengamatan serangga berakhir.

3. 4. 3 Identifikasi Serangga

Spesimen-spesimen serangga pengunjung bunga yang telah ditangkap dan diawetkan selama pengamatan di lapangan, kemudian dilakukan proses identifikasi dengan prosedur sebagai berikut:

1. Proses penyortiran dengan cara memisahkan spesimen berdasarkan

morphospecies yang kemudian dihitung dan dicatat ke dalam tallysheet berdasarkan titik pengamatan dan tanggal pengamatan

2. Pemisahan spesimen berdasarkan tingkat ordo

3. Identifikasi spesimen dilakukan hingga ke tingkat taksonomi spesies atau ke tingkat genus dengan diberi keterangan penomoran spesies

4. Spesimen yang sulit diidentifikasi, diberi nama famili dengan disertai kode nomor morfospesies

5. Spesimen dikoleksi dan disimpan dalam kotak spesimen setelah melalui proses setting spesimen.


(27)

Morphospecies merupakan istilah untuk taksa yang dapat dibedakan berdasarkan morfologi yang memberikan solusi praktis dalam hal dimana organisme yang tidak teridentifikasi ditemukan dalam pengamatan (Hammond 1994 dalam Magurran 2004). Identifikasi dan verifikasi spesimen serangga dilakukan selama bulan Februari sampai dengan bulan Desember 2007 di beberapa tempat pada lembaga / institusi sebagai berikut;

1. Yayasan PEKA Indonesia,

2. Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator Departemen Proteksi Tanaman IPB,

3. Laboratorium Zoologi Departemen Biologi IPB.

3. 5 Analisis Data Serangga Penyerbuk

3. 5. 1 Keanekaragaman, kekayaan, dan Kemerataan Jenis

Keanekaragaman serangga penyerbuk dinilai berdasarkan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dengan menganalisa jumlah jenis dan jumlah individu serangga penyerbuk (Pielou 1975 dalam Magurran 2004), dihitung dengan rumus:

H’ = -∑pi ln pi

Nilai pi merupakan proporsi jumlah individu pada jenis ke-i dengan jumlah

total individu serangga yang ditemukan. Penggunaan logaritma natural (Ln) atau yang juga dikenal sebagai loge pada indeks Shannon-Wiener memberikan nilai

satuan berupa natural bels atau nats per individu (Pielou 1969 dalam Magurran 2004). Nilai indeks Shannon-Wiener yang didapat biasanya terdapat diantara rentang nilai 1,5 sampai 3,5 dan sangat jarang melewati 4 (Margalef 1972 dalam

Magurran 2004).

Hill (1973) dalam Krebs (1978) merekomendasikan menggunakan bentuk lain dari indeks Shannon-Wiener dengan satuan unit jumlah spesies agar lebih mudah dimengerti bagi para pakar ekologi. Rumus indeks tersebut adalah sebagai berikut:


(28)

N1 = eH’ Keterangan:

e : 2,71828

H’ : Indeks Shannon-Wiener

N1 : Indeks Shannon-Wiener Total jumlah individu semua jenis yang ditemukan

Nilai indeks kemerataan digunakan untuk mengetahui kemerataan jumlah individu spesies-spesies dalam komunitas pada lokasi pengamatan. Magurran (2004) menyarankan untuk menggunakan indeks kemeratan modifikasi Heip (1974) karena memberi hasil yang lebih sensitif.

EHeip =

(

(

)

)

1 1

1

− −

S N

Keterangan:

N1 : Indeks Shannon-Wiener Total jumlah individu semua jenis yang ditemukan

S : Total spesies yang ditemukan

Ada beberapa pengukuran indeks kekayaan jenis secara sederhana, diantaranya ialah yang paling disarankan oleh Magurran (2004) yaitu indeks kekayaan jenis Margalef:

DMg =

(

)

N S

ln 1

− Keterangan:

N : jumlah keseluruhan individu dari seluruh spesies S : Total spesies yang ditemukan

3. 5. 2 Dominasi dan Penyebaran Jenis

Menentukan jenis serangga penyerbuk yang dominan di tiap titik pengamatan ditentukan dengan menggunakan rumus menurut van Helvoort (1981):

% 100

× =

N n

Di i

Keterangan: Di = indeks dominansi suatu jenis serangga penyerbuk

ni = jumlah suatu jenis serangga penyerbuk

N = jumlah individu dari seluruh jenis serangga penyerbuk

Kriteria: Di = 0 - 2% jenis tidak dominan

Di = 2,01 - 5% jenis subdominan


(29)

Analisi penyebaran spesies digunakan untuk melihat penyebaran spesies serangga penyerbuk secara quantitatif pada masing-masing titik pengamatan. Rumus yang digunakan adalah:

contoh plot seluruh Jumlah serangga spesies suatu ditemukan plot Jumlah (Fj) Jenis Frekuensi = 100% jenis seluruh frekuensi Jumlah jenis suatu Frekuensi (FR) Relatif

Frekuensi = ×

3. 5. 3 Kesamaan Jenis dan Ketidaksamaan Jenis

Indeks kesamaan jenis (Similarity index) salah satu pengukuran variasi dalam komposisi jenis antar komunitas atau area (β diversity) yang digunakan untuk mengetahui kesamaan jenis serangga penyerbuk yang ditemukan pada titik pengamatan yang berbeda, karena jarak dari tepi hutan maupun tipe habitat disekitar titik pengamatan dapat mempengaruhi komposisi spesies serangga penyerbuk dalam suatu komunitas. Penghitungan indeks kesamaan (similarity) dihitung dengan rumus yang ditemukan oleh Sørensen (1948) dalam Magurran (2004): c b 2a 2a + + = Cs Keterangan:

a = jumlah jenis yang umum ditemukan di komunitas A dan B

b = jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas A

c = jumlah jenis yang hanya ditemukan di komunitas B

Penghitungan Sørensen dianggap sebagai satu dari pengukuran kesamaan

(similarity) yang paling efektif (Southwood & Handerson 2000 dalam Magurran

2004).

Hasil indeks kesamaan dirubah urutannya / transposisi menjadi nilai indeks ketidaksamaan (dissimilarity) agar dapat dikombinasikan secara berkesinambungan kedalam rangkaian (cluster) dalam bentuk dendrogram dengan titik yang bercabang mewakili ukuran kesamaannya, melalui tehnik multivariasi statistikal dengan analisis rangkaian (Cluster anaysis) yang dibuat dengan alat bantu perangkat lunak (software) program STATISTICA versi 7 (StatSoft 2004).


(30)

3. 5. 4 Analisis Pengaruh Jarak Hutan

Pengaruh jarak dari tepi hutan beserta faktor-faktor lainnya terhadap kekayaan, kelimpahan, dan keanekaragaman spesies serangga penyerbuk ditunjukan oleh gambar sebaran titik (Scatter plot) yang menghubungkan jarak dari tepi hutan dan atau faktor-faktor lainnya (pada sumbu x) dan jumlah kuantitatif spesies, kelimpahan, serta indeks keanekaragaman spesies serangga penyerbuk (pada sumbu y). Garis regresi digunakan untuk melihat kecenderungan ada atau tidaknya korelasi antar variabel-variabel tersebut. Krebs (1978) mengungkapkan bahwa teori garis regresi dipakai pada situasi dimana satu variabel bebas (sumbu x) digunakan untuk memprediksi nilai dari sebuah variabel tak bebas (sumbu y). Pembuatan garis regresi standar dengan persamaan “y=a+bx” dengan penghitungan rumus (Krebs 1978) dimana;

a = y intercept = ybx

b = slope

( )( )

( )

− − = 2 2 n x x n y x xy

Korelasi koefisien yang disimbolkan dengan r2 (R square) digunakan untuk melihat besarnya kecenderungan (kemiringan garis) penurunan dan atau peningkatan pengaruh jarak dari tepi hutan, dihitung dengan rumus (Krebs 1978):

r = correlation coefficient

( )( )

( )

( )

        −         − − =

n y y n x x n y x xy 2 2 2 2

Penilaian besar atau kecilnya korelasi antara variabe-variabel penentu juga dibuktikan dengan uji ANOVA dengan selang kepercayaan 95%. Dalam penelitian ini korelasi antara variabel bebas dan variabel tak bebas dinyatakan berbeda nyata atau signifikan bila memiliki nilai P-value di bawah 0,05 (p≤ 0,05)


(31)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4. 1 Letak dan Luas Kawasan

Taman Nasional Gunung Halimun berdasarkan SK Menhut No.175/Kpts-II/2003 diperluas menjadi 113.357 hektar dengan nama Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang sebagian berasal dari kawasan Hutan Lindung dan HPT Perhutani. TNGHS secara goegrafis terletak diantara 6°37’ – 6° 51’LS 106°21’ – 106°38’ BT bagian barat daya Propinsi Jawa Barat. TNGHS termasuk ke dalam tiga wilayah kabupaten, yaitu Bogor, Sukabumi, dan Lebak. Meliputi 13 kecamatan dan 46 desa.

4. 2 Keadaan Kawasan 4. 2. 1 Kondisi Fisik

Iklim TNGHS menurut klasifikasi Schmidt dan Fergusson termasuk ke dalam golongan iklim A dengan nilai Q (persentase jumlah rata-rata bulan kering per bulan basah) antar 5% hingga 9%. Angin musim yang bertiup di TNGHS meliputi pola iklim muson, artinya selam musim hujan terutama pada bulan Desember sampai Maret angin kencang bertiup dari barat daya. Sementara itu pada musim kemarau, angin bertiup pada kecepatan rendah bertiup dari arah timur laut. Rata-rata curah hujan tahunan berkisar antara 4.000 mm hinggga 5.000 mm. Di musim hujan bulan-bulan kering berlangsung dari bulan Juni hingga bulan agustus di bagian utara dan dari bulan Juni hingga bulan September di bagian selatan.

Tanah di TNGHS terdiri atas 12 tipe tanah dan dapat digolongkan menjadi 2 kelompok, yaitu andosol dan latosol. Untuk tujuan pertanian jenis tanah ini mempunyai kesuburan kimiawi yang miskin, namun sifat-sifat fisiknya cukup bagus. Tanah dan batuan di kawasan TNGHS mempunyai porositas dan permeabilitas yang baik. Sebagai daerah tangkapan air hujan kawasan ini peka terhadap erosi, tekstur tanah umumnya didominasi oleh partikel seukuran debu yang mudah terurai, sifat-sifat tanah juga menunjukkan adanya evolusi tanah dari vulkanik tua dan sebenarnya sedang mengalami transisi dari andosol dan latosol.


(32)

Sungai di kawasan TNGHS secara umum membentuk pola radial. Terdapat 50 sungai dan anak sungai yang berhulu di kawasan ini, sehingga TNGHS dianggap penting sebagai penyangga kehidupan khusunya dalam penyediaan air permukaan maupun air bawah tanah. Terdapat 11 sungai utama yang mengalir dari TNGHS. Sungai-sungai tersebut selalu berair meskipun pada musim kering.

Di bagian utama Halimun terdapat 3 sungai penting, yaitu Ciherang / Ciujung, Cidurian, dan Cikaniki/Cisadane. Sungai-sungai ini bermuara ke Laut Jawa antara Jakarta dan Serang. Sungai-sungai yang mengalir ke selatan umumnya lebih kecil dan deras karena jaraknya ke laut lebih pendek, bermuara ke Samudera Hindia, melintas di antara kota Pelabuhan Ratu dan Bayah.

4. 2. 2 Kondisi Biotik 4. 2. 2. 1 Flora

Kawasan TNGHS merupakan daerah pegunungan yang terdiri dari hutan primer pada Zona Collin pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl , Sub montana pada ketinggian 1.000- 1.500 m dpl, dan montana pada ketinggian 1.500- 2.400 m dpl. Pada setiap level ketinggian tersebut mempunyai ciri khas vegetasi yang beragam yang menggambarkan keanekaragaman hayati kawasan TNGHS. Dari hasil penelitian yang dilakukan secara berkelanjutan (time series) diketahui kawasan ini memiliki 1.000 jenis tumbuhan dimana 850 jenis tumbuhan adalah jenis tumbuhan berbunga.

Pada ketinggian 500 – 1.000 m dpl di kawasan ini banyak dijumpai jenis rasamala (Altingia excelsa Noronha), puspa (Schima wallichii Korth), saninten (Castanopsis argenta Blume DC.), pasang (Quercus sundaica Blume). Pada ketinggian 1000 – 1500 m dpl, dijumpai jenis-jenis ganitri (Elaeocarpus ganitrus

Roxb.), Ki merak (eurya acuminatissima Merr. et Chun), buni (Antidesma bunius

Spreng.), kayu putih (Cinamomum burmannii Ness. & Th. Ness), kileho (Saurauia pendula Blume). Pada ketinggian 1500 m dpl vegetasi yang umum ditemukan ialah jenis-jenis jamuju (Dacrycarpus imbricartus Blume DC.), kibima (Podocarpus blumei Endl.), hamirung (Vernonia arborea Ham.), kilemo (Litsea cubeba Pers.).


(33)

Vegetasi TNGHS berdasarkan penyebarannya, terdapat jenis pinus (Pinus mercusii Jungh. & De Vr.)yang mendominasi areal bekas hutan perhutani, kidamar (Agathis dammara Lamb. Rich.), dan kaliandra (Calliandra callothyrsus). Tumbuhan semak dan perdu yang terdapat di kawasan ini antara lain herba, liana, efipit, pandan dan pisang-pisangan. Untuk jenis-jenis semak yang umum ditemukan ialah harendong (Melastoma malabathrycum D. Don), kirinyuh (Eupatorium inulifolium Kunth.), cente (Lantara camara L.), jotang (Bidens pilosa L.), pegagan (Centela asiatica L.), dan keji beling (Strobilantes crispus Blume).

4. 2. 2. 2 Fauna

Keanekaragaman tipe habitat kawasan TNGHS memberikan kesempatan bagi berbagai jenis satwa untuk berkembangbiak di kawasan ini. Berdasarkan sejarahnya di kawasan ini pernah menjadi habitat dua spesies yang terancam punah dan yang telah punah yaitu badak jawa (Rhinoceros sondaicus) dan harimau jawa (Panthera tigris sondaicus). Berdasarkan data Buku Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (2007), kawasan ini menyimpan banyak keanekaragaman serangga, setidaknya tercatat 75 spesies golongan kupu-kupu (Lepidoptera), 110 spesies golongan semut (ordo Hymenoptera), 26 spesies dari golongan capung (ordo Odonata), 128 spesies dari golongan kumbang (ordo Coleoptera), dan 60 spesies dari golongan belalang (ordo Orthoptera). Dalam kawasan ini juga dapat dijumpai 61 spesies dari kelas mamalia, 244 spesies dari kelas unggas, 49 spesies reptilia, 30 spesies amphibia, dan 50 spesies ikan

4. 3 Kondisi Titik Titik Pengamatan

Jumlah titik pengamatan yang diambil adalah sebanyak 15 titik yang terbentang di sepanjang jalur setapak (Gambar 2) dimulai dari batas tepi permukiman penduduk dengan ketinggian 766 m dpl hingga daerah tepi hutan dengan ketinggian 1082 m dpl (Tabel 1). Jarak antar titik pengamatan yang ditentukan di awal perencanaan tidak dapat diaplikasikan karena kondisi lahan dan kesediaan pemiliki lahan (petani) untuk meminjamkan sebidang lahannya untuk dijadikan lokasi penelitian.


(34)

Gambar 2. Peta titik-titik pengamatan

Tabel 1. Nomor dan penamaan titik pengamatan dari batas permukiman penduduk hingga ke tepi hutan.

Tipe habitat pengamatanNomor titik Jarak dari tepi hutan (meter) Ketinggian (m) dpl

Permukiman P01 1100 766

S02 940 766

S03 850 862

S04 830 855

S05 730 876

S06 520 911

Sawah

S07 400 931

L08 380 961

L09 190 993

L10 120 1006

Ladang

L11 110 1054

H12 0 1072

H13 0 1066

H14 0 1073

Hutan

H15 0 1082

a. Permukiman Penduduk

Titik P01 adalah titik pengamatan yang terdapat di permukiman penduduk yang terdekat dengan hutan dan menjadi satu-satunya titik pengamatan yang mewakili tipe habitat permukiman penduduk. Kondisi umum titik pengamatan ini adalah berupa pekarangan / halaman milik warga, diletakkan di tanah lapang

batas tepi hutan terdekat


(35)

terbuka dan kering, dan juga dekat dengan perkebunan masyarakat. Disekitar titik pengamatan ini tidak terdapat tumbuh-tumbuhan selain dua buah pohon pisang.

b. Sawah

Kondisi yang terlihat sekitar titik-titik pengamatan pada lahan sawah pada awal musim bercocok tanam ini umumnya berupa petak-petak sawah yang sedang dibajak dan diairi. Tanaman Caisin sebagian besar diletakan pada pinggir jalan setapak, pematang sawah, dan ada beberapa titik pengamatan yang letaknya dekat dengan tanaman komoditas pertanian lainnya seperti pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2. Kondisi vegetasi disekitar titik-titik pengamatan pada lahan sawah.

No. Titik Kondisi vegetasi sekitar

S02 Diletakan di bawah pohom aren, diantara sawah kering yang belum diairi dan rumput alang-alang S03 Diantara petak sawah kering yang sedang dibajak dan tanaman ketimun S04 Diantara petak sawah kering yang sedang dibajak dan tanaman ketimun S05 Terletak diantara lahan sawah yang baru ditanam padi dengan tinggi sekitar 15 cm, dan tanaman ketimun S06 Terletak diatas batu besar yang datar tepat diantara 2 petak sawah yang sedang diolah / dibajak S07 Terletak diantara sawah yang sedang diairi dan semak-semak yang tumbuh diatas lahan bebatuan yang tidak dapat diolah menjadi lahan pertanian c. Ladang / Huma

Tata guna lahan di sekitar hutan pada umumnya adalah lahan pertanian dan ladang (Tabel 3). Tipe lahan yang lebih dekat dengan hutan adalah pertanian padi huma atau padi ladang (pertanian tanpa pengairan atau sawah tadah hujan). Hal ini lebih disebabkan oleh faktor lokasi yang lebih tinggi dari saluran mata air dari dalam hutan, dan faktor lainnya adalah topografi yang sangat miring sehingga sulit bagi petani untuk membuat terasering seperti yang umum pada sawah.

Tabel 3. Kondisi vegetasi disekitar titik-titik pengamatan pada lahan huma.

No.Titik Kondisi vegetasi sekitar

L08 Terletak dibawah rimbunan pohon bambu, di batas antara lahan padi huma dan lahan sawah kering yang belum diairi L09 Terletak diantara lahan padi huma dengan tinggi sekitar 15 cm, tanaman kacang tanah, dan beberapa pohon pisang muda dengan tinggi 150 cm –

200 cm

L10 Terletak diantara lahan padi huma dengan tinggi sekitar 15 cm, tanaman kacang tanah, beberapa pohon pisang muda dengan tinggi 150 cm – 200 cm, dan sayuran caisin lokal yang dibiarkan melewati masa panen. L11 Paling dekat dengan pinggir hutan yang ditumbuhi semak dan alang-alang dengan tinggi sampai dengan 120 cm, dan dipinggir lahan padi


(36)

d. Tepi Hutan

Titik-titik di pinggir hutan ini merupakan bagian dari kawasan hutan taman nasional yang merupakan hutan primer yang terus mengalami pengrusakan akibat aktivitas pertanian masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan ketinggian dari permukaan air laut, hutan ini digolongkan kedalam hutan sub-pegunungan. Seperti lokasi hutan sub-pegunungan lainnya di Jawa Barat, vegetasi hutan disekitar 4 titik pengamatan ini umum dijumpai pohon Puspa (Schima walichii), dan Pasang (Quercus sundaica). Aktivitas pertanian dan pemanfaatan kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar turut mempercepat laju pengrusakan hutan di lokasi ini. Kondisi sekitar titik-titik pengamatan yang tampak di tepi hutan ini ialah semak belukar yang lebat, alang-alang, rebahan log-log kayu, dan tunggak-tunggak dari pohon yang ditebang. Tanaman Caisin diletakan pada pinggir jalan setapak pada tepi hutan yang biasa dilewati oleh masyarakat sebagai akses menuju ke dalam hutan (Tabel 4).

Tabel 4. Kondisi sekitar titik-titik pengamatan pada tepi hutan.

No. Titik Kondisi vegetasi sekitar

H12

Terletak di pinggir hutan yang paling dekat dengan ladang atau huma yaitu dengan jarak sekitar 6 meter, penutupan tajuk tidak rapat karena terletak di bawah pohon yang telah mati

H13 Terletak di tepian jalur setapak yang berada pada jarak kira-kira 12 meter dari tepi hutan atau yang berbatasan dengan ladang / huma, penutupan tajuk rapat sehingga paparan cahaya matahari kurang

H14 Terletak di pinggir hutan yang paling dekat dengan ladang atau huma yaitu dengan jarak sekitar 8 meter, penutupan tajuk tidak rapat atau tajuk yang terbuka di arah selatan (Gambar 2) dari titik pengamatan

H15

Merupakan titik yang paling jauh batas tepi hutan terdekat (Gambar 2) namun tidak terlalu jauh dari lahan huma yang terbuka lebar yaitu pada jarak sekitar 14 meter dari pinggir hutan, penutupan tajuk rapat sehingga paparan cahaya matahari kurang


(37)

V. HASIL

5. 1 Karakteristik Faktor Lingkungan Titik-titik Pengamatan 5. 1. 1 Jumlah Pemekaran Bunga di Tiap Titik Pengamatan

Tiap-tiap titik pengamatan menghasilkan perkembangan mekar bunga yang berbeda meski terdapat jumlah tanaman (polibag) yang sama yaitu 20 tanaman (Tabel 5). Jumlah kuntum bunga mekar pada titik-titik pengamatan tiap harinya berkisar antara 125 – 420 mekar bunga.

Tabel 5. Jumlah total dan rata-rata mekar bunga caisin per hari di seluruh 15 titik pengamatan.

Nomor titik

pengamatan Jumlah mekar bunga (17 hari) Mekar bunga rata-rata (per hari)

P01 3374 198,47

Total Permukiman 3374 198,47

S02 4519 265,82

S03 6034 354,94

S04 4369 257,00

S05 4017 236,29

S06 3441 202,41

S07 2138 125,76

Total Sawah 24518 277,53

L08 2787 163,94

L09 3091 181,82

L10 5399 317,59

L11 5028 295,76

Total Ladang 16305 959,12

H12 3854 226,71

H13 4401 258,88

H14 6388 375,76

H15 7145 420,29

Total Tepi Hutan 21788 1281,65

5. 1. 2 Suhu dan Kelembaban di Tiap Titik Pengamatan

Suhu relatif harian di titik-titik pengamatan memiliki perubahan yang cukup dramatis terlebih pada beberapa titik pengamatan di daerah terbuka seperti sawah dan ladang. Pada Lampiran 6 menunjukan kisaran-kisaran suhu dan kelembaban di semua titik pengamatan. Suhu pada titik di permukiman memiliki suhu yang relatif stabil yaitu berkisar antara 28,0º hingga 29,0º C, suhu-suhu pada beberapa titik di areal sawah memiliki rentang suhu rata-rata 25,8º – 29,0º C, kemudian pada titik-titik di areal ladang memiliki rentang suhu terjauh yaitu 24,8º – 30,0º C, sedangkan suhu beberapa titik pengamatan di sekitar hutan memiliki suhu sejuk dengan rentang yang tidak terlalu jauh yaitu 22,8º – 25,8ºC (Lampiran 1).


(38)

Nilai kelembaban rata-rata diperoleh dari nilai rata-rata kelembaban harian pada tiap titik pengamatan, kemudian nilai kelembaban rata-rata diperoleh dari rata-rata kelembaban harian titik-titik pengamatan pada habitatnya. Kelembaban harian dari semua titik pengamatan berkisar antara 69,0 % – 86,5 %, dengan nilai kelembaban rata-rata tertinggi pada habitat permukiman yaitu 80,0 % dan habitat tepi hutan dengan nilai kelembaban yang hampir sama yaitu 79,4 %. Habitat terbuka seperti pada sawah memiliki kelembaban rata-rata paling rendah yaitu 74,6 % (Lampiran 1).

5. 2 Serangga Pengunjung Bunga Caisin

5. 2 . 1 Komposisi dan Kelimpahan Ordo Serangga Pengunjung

Sedikitnya ditemukan 1312 individu serangga yang terdiri dari 147 spesies yang digolongkan dalam 8 ordo yang berbeda, namun hanya 1247 individu dari 114 spesies serangga yang dapat diidentifikasi hingga ke tingkat taksa famili (Tabel 6).

Tabel 6. Komposisi serangga teridentifikasi dan tidak teridentifikasi pada taksa famili.

Individu Spesies Taksa famili Jumlah (%) Jumlah (%) Teridentifikasi 1247 95,05 114 77,55 Tidak teridentifikasi 65 4,95 33 22,45

Total 1312 100 147 100

Tingkat taksa ordo pada serangga umumnya terdiri dari belasan famili yang masing-masing memiliki fungsi dan perilaku yang berbeda di alam. Taksa famili dapat menentukan penggolongan fungsi spesies dalam komunitas, sehingga terdapat 65 serangga dari 33 spesies tidak dapat diketahui fungsinya dalam komunitas, serangga-serangga ini terdiri dari 5 ordo (Tabel 7). spesies yang tak teridentifikasi hingga ke taksa famili dikarenakan kondisi spesimen yang rusak seperti yang terjadi pada beberapa spesiemen ordo Lepidoptera, dan sebagian besar spesies lainnya yang tak teridentifikasi tersebut berasal dari ordo Diptera yaitu sebanyak 42 ekor serangga atau 3,2% dari total 1312 ekor serangga.

Sebanyak 1247 ekor serangga dari 114 spesies yang teridentifikasi tingkat familinya berasal dari 7 ordo dengan jumlah famili terbesar adalah ordo Diptera yaitu bejumlah 15 famili (Tabel 8). Jumlah famili yang banyak akan memberikan


(39)

tingginya keanekaragaman dari ordo Diptera, hal ini dikarenakan lokasi penelitian yang dekat dengan area persawahan, yang juga merupakan habitat akuatik, yaitu habitat yang memungkinkan banyak ditemukan ordo Diptera (Daly et al. 1978; Rizali 2000).

Tabel 7. Komposisi ordo tidak teridentifikasi taksa famili dari keseluruhan serangga pengunjung.

Individu Spesies

No Ordo

Σ (%) Σ (%)

1 Diptera 42 3,20 19 12,93

2 Lepidoptera 14 1,07 6 4,08

3 Hemiptera 6 0,46 5 3,40

4 Hymenoptera 2 0,15 2 1,36

5 Orthoptera 1 0,08 1 0,68

TOTAL 65 4,95 33 22,45

Tabel 8. Komposisi ordo teridentifikasi taksa famili dari keseluruhan serangga pengunjung.

Individu Spesies Famili

No Ordo

Σ (%) Σ (%) Σ (%)

1 Diptera 379 28,89 54 36,73 15 37,5

2 Hymenoptera 808 61,59 36 24,49 11 27,5

3 Coleoptera 19 1,45 15 10,2 7 17,5

4 Hemiptera 22 1,68 5 3,4 3 7,5

5 Orthoptera 17 1,3 2 1,36 2 5

6 Dermaptera 1 0,08 1 0,68 1 2,5

7 Homoptera 1 0,08 1 0,68 1 2,5

TOTAL 1247 95,05 114 77,55 40 100

Dari keseluruhan serangga pengunjung yang ditemukan, baik yang teridentifikasi famili maupun yang tidak, kelimpahan individu terbesar berasal dari ordo Hymenoptera yaitu 61,74% dari total 1312 ekor serangga, kemudian Diptera pada urutan kedua. Diptera sebagian besar ditemukan pada habitat tepi hutan, sedangkan Hymenoptera lebih banyak ditemukan di sawah dan ladang (Tabel 9).

Spesies-spesies dari ordo Diptera yang sebagian besar ditemukan di habitat tepi hutan adalah spesies-spesies yang berperan sebagai pemangsa dan parasitoid (Lampiran 12), sedangkan spesies-spesies dari ordo Hymenoptera yang sebagian besar ditemukan pada habitat sawah dan ladang merupakan spesies-spesies yang berperan sebagai penyerbuk (Lampiran 11). Namun bila berdasarkan jumlah spesies yang ditemukan, ordo Diptera menempati urutan tertinggi di atas jumlah spesies dari ordo Hymenoptera (Tabel 10).


(40)

Tabel 9. Komposisi jumlah individu dari keseluruhan ordo serangga pengunjung di masing-masing tipe habitat.

Permukiman

(1 titik) Sawah (6 titik) Ladang (4 titik) Tepi Hutan (4 titik) Total spesies

Ordo

Σ % Σ % Σ % Σ % Σ %

Hymenoptera 18 1,37 351 26,75 266 20,27 175 13,34 810 61,74

Diptera 35 2,67 78 5,95 40 3,05 268 20,43 421 32,09

Hemiptera 0 0,00 15 1,14 10 0,76 3 0,23 28 2,13

Coleoptera 0 0,00 11 0,84 5 0,38 3 0,23 19 1,45

Orthoptera 0 0,00 6 0,46 11 0,84 1 0,08 18 1,37

Lepidoptera 2 0,15 10 0,76 0 0,00 2 0,15 14 1,07

Dermaptera 0 0,00 1 0,08 0 0,00 0 0,00 1 0,08

Homoptera 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 0,08 1 0,08

Jumlah per

habitat 55 4,19 472 35,98 332 25,30 453 34,53 1312 100,00

Tabel 10. Komposisi jumlah spesies dari keseluruhan ordo serangga pengunjung di masing-masing tipe habitat.

Permukiman

(1 titik) Sawah (6 titik) Ladang (4 titik) Tepi Hutan (4 titik) Total spesies Ordo

Σ % Σ % Σ % Σ % Σ %

Diptera 23 15,65 34 23,13 26 17,69 19 12,93 73 49,66

Hymenoptera 7 4,76 30 20,41 19 12,93 11 7,48 38 25,85

Coleoptera 0 0,00 8 5,44 5 3,40 3 2,04 15 10,20

Hemiptera 0 0,00 8 5,44 3 2,04 2 1,36 10 6,80

Lepidoptera 2 1,36 4 2,72 0 0,00 2 1,36 6 4,08

Orthoptera 0 0,00 1 0,68 3 2,04 1 0,68 3 2,04

Dermaptera 0 0,00 1 0,68 0 0,00 0 0,00 1 0,68

Homoptera 0 0,00 0 0,00 0 0,00 1 0,68 1 0,68

Jumlah per

habitat 32 21,77 86 58,50 56 38,10 39 26,53 147 100,00

5. 2. 2 Komposisi dan Kelimpahan Fungsi Serangga Pengunjung

Fungsi serangga dalam penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi dua fungsi, yaitu serangga penyerbuk dan serangga bukan penyerbuk. Berdasarkan kelimpahan individunya, serangga-serangga yang berperan sebagai agen penyerbuk hanya sebesar 56,94% (Tabel 11) dari total keseluruhan 1312 ekor serangga teridentifikasi famili, sehingga dapat dipastikan bahwa hampir separuh serangga pengunjung bunga caisin yang ditemukan merupakan serangga bukan penyerbuk, yaitu sisanya sebesar 43,06%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua serangga pengunjung yang ditemukan pada bunga tanaman caisin memiliki peran sebagai serangga penyerbuk, meski serangga-serangga tersebut mungkin saja dapat membantu penyerbukan secara tidak sengaja, seperti oleh serangga-serangga parasitoid (Patt et al. 1997)


(1)

Lampiran 16. Jumlah individu setiap spesies serangga penyerbuk di tiap titik

pengamatan

Morfospesies 01 P 02 S 03 S 04 S 05 S 06 S 07 S 08 L 09 L 10 L 11 L 12 H 13 H 14 H 15 H TOTAL Colletidae. 002 10 12 65 32 23 31 28 31 24 41 25 6 2 13 12 355

Trigona sp.001 12 2 40 21 36 2 113

Apis cerana 3 3 2 1 3 6 6 6 31 10 5 2 2 1 81

Ceratinini sp. 007 8 4 7 3 2 4 1 1 30

Apidae. 004 1 1 1 3 1 2 4 3 2 9 27 Colletidae. 001 2 6 6 5 1 3 23

Hylaeus sp 2 2 1 1 2 15 23

Nomia sp. 005 3 1 2 5 3 1 1 16

Apidae. 003 1 4 2 2 9 Ceratinini sp. 002 1 1 1 1 1 1 2 1 9

Andrenidae. 001 1 1 1 5 8

Syrphidae. 010 1 3 1 1 1 7

Andrenidae. 002 1 1 2 1 1 1 7

Ropalidia sp. 001 1 1 1 2 1 6

Apinae 001 1 2 1 4

Apis dorsata 1 1 2 4

Megachilidae. 001 1 1 2 4

Ceratinini sp. 006 3 3

Xeromelissinae. 001 1 2 3

Syrphidae. 008 2 2

Xylocopa confuse 1 1 2

Syrphidae. 002 1 1

Syrphidae. 006 1 1 Syrphidae. 009 1 1

Syrphidae. 011 1 1

Syrphidae. 015 1 1 Syrphidae. 016 1 1

Syrphinae. 001 1 1 Ceratinini sp. 004 1 1

Colletidae. 005 1 1

Fideliinae. 001 1 1

Fideliinae. 002 1 1 TOTAL 17 24 91 58 45 39 42 49 46 103 62 54 30 58 29 747


(2)

Lampiran 17. Hubungan pengaruh faktor jarak hutan dan jumlah mekar bunga terhadap

keanekaragaman spesies seranggga penyerbuk

Titik Jarak (m) Mekar bunga S K K/1000M DMg EHeip H' N1

P01 1100 3374 6 17 4,25 1,76 0,52 1,28 3,61

S02 940 4519 10 24 4,80 2,83 0,52 1,74 5,7

S03 850 6034 13 91 13,00 2,66 0,19 1,19 3,29

S04 830 4369 12 58 11,60 2,71 0,4 1,68 5,38

S05 730 4017 9 45 9,00 2,1 0,46 1,54 4,68

S06 520 3441 6 39 9,75 1,36 0,25 0,81 2,26

S07 400 2138 6 42 14,00 1,34 0,41 1,12 3,05

L08 380 2787 8 49 16,33 1,8 0,37 1,28 3,59

L09 190 3091 10 46 11,50 2,35 0,47 1,65 5,23

L10 120 5399 13 103 17,17 2,59 0,37 1,69 5,41

L11 110 5028 11 62 10,33 2,42 0,45 1,7 5,5

H12 0 3854 6 54 13,50 1,25 0,3 0,91 2,48

H13 0 4401 5 30 6,00 1,18 0,42 0,99 2,7

H14 0 6388 7 58 8,29 1,48 0,37 1,17 3,21

H15 0 7145 8 29 3,63 2,08 0,54 1,56 4,77

Keterangan:

S

= jumlah spesies

K

= kelimpahan serangga

K/1000M

= jumlah kelimpahan serangga penyerbuk per seribu mekar bunga;

DMg

= indeks kekayaan jenis Margalef;

EHeip

= indeks kemerataan Heip;

H’

= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener;

N1

= indeks keanekaragaman Hill

Lampiran 18. Perbandingan komposisi fungsi spesies serangga pengunjung di tiap-tiap

titik pengamatan

Fungsi

01 P 02 S 03 S 04 S 05 S 06 S 07 S 08 L 09 L 10 L 11 L 12 H 13 H 14 H 15 H

TOTAL

Penyerbuk

17 24 91 58 45 39 42 49 46 103 62 54 30 58 29 747

Fitofag

5 3 14 12 10 2 5 9 11 7 6 2 3 5 2 96

Parasit

1 0 4 0 0 2 0 0 3 3 7 0 0 0 0 20

Parasitoid

4 1 2 2 2 0 2 0 2 2 0 20 31 17 24 109

Predator

0 0 1 1 0 0 1 0 3 0 0 11 64 29 56 166

Saprofag

7 3 10 9 7 2 7 3 2 3 0 2 2 1 2 60

Skavengger

0 9 0 0 0 1 39 5 0 0 1 0 0 0 0 55

Tidak

teridentifikasi

21 1 6 8 3 1 3 3 1 1 0 2 5 2 2 59

TOTAL

55 41 128 90 67 47 99 69 68 119 76 91 135 112 115 1312


(3)

Lampiran 19. Perbandingan komposisi fungsi spesies serangga pengunjung di

tiap-tiap habitat.

Habitat

Fungsi

Kelimpahan

Penyerbuk

17

Fitofag

5

Parasit

1

Parasitoid

4

Saprofag

7

Permukiman

Tidak teridentifikasi

21

Penyerbuk

299

Fitofag

46

Parasit

6

Parasitoid

9

Predator

3

Saprofag

38

Skavengger

49

Sawah

Tidak teridentifikasi

22

Penyerbuk

260

Fitofag

33

Parasit

13

Parasitoid

4

Predator

3

Saprofag

8

Skavengger

6

Ladang

Tidak teridentifikasi

5

Penyerbuk

171

Fitofag

12

Parasitoid

92

Predator

160

Saprofag

7

Tepi hutan

Tidak teridentifikasi

11


(4)

Lampiran 20. Foto spesimen serangga penyerbuk dari tabel 14.

1. Colletidae. 002

2 Apis cerana

3. Apidae. 004

. Ceratinini sp. 002

5 Ceratinini sp. 007

6. Nomia sp. 005


(5)

Lampiran 20. (Lanjutan)

10 Hylaeus sp

11 Syrphidae. 010

12 Ropalidia sp. 001

32 Fideliinae. 002

14 Apidae. 003

16 Apis dorsata


(6)

Lampiran 20. (Lanjutan)

20 Syrphidae. 002

21 Syrphidae. 006

22 Syrphidae. 008

23 Syrphidae. 009

26 Syrphidae. 016

29 Ceratinini sp. 006