BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap individu memiliki tugas perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan tingkat usia. Usia remaja dikatakan sebagai masa peralihan antara masa
kanak-kanak ke masa dewasa. Salah satu tugas perkembangan remaja yang harus dicapai adalah mencapai kematangan emosi Cole dalam Yusuf, 2004. Hal ini
sejalan dengan Hurlock 2004 yang mengemukakan bahwa kematangan remaja mencakup pada kematangan seksual, emosional, sosial, dan fisik. Srivastava
2005 juga mengemukakan bahwa kematangan emosi merupakan hal yang penting dalam masa peralihan remaja menuju dewasa.
Remaja dikatakan mencapai kematangan emosi ketika kondisi perasaan atau reaksi perasaan yang stabil terhadap suatu objek permasalahan sehingga untuk
mengambil suatu keputusan atau bertingkah laku didasari dengan pertimbangan dan tidak mudah berubah–ubah dari satu suasana hati ke suasana hati lain
Hurlock, 2004. Perilaku yang ditunjukkan dari kematangan emosi adalah mampu menyatakan emosinya secara konstruktif, mampu mencari pemecahan
masalah yang dihadapi dengan cara-cara yang aman dan dapat diterima, serta diharapkan mampu menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan Yusuf, 2004.
Remaja berada pada masa peralihan yang membuat remaja rentan terhadap masalah. Hall dalam Lafreniere, 2000 mengkarakteristikkan masa remaja
Universitas Sumatera Utara
sebagai periode storm and stress, dimana terjadi peningkatan ketegangan emosional yang disebabkan oleh perubahan fisik dan hormonal. Masalah yang
dihadapi remaja dapat berasal dari sekolah, keluarga, dan teman kelompok, yang terkadang menjadi sulit untuk diatasi Patil dalam Aminbhavi dan Pastey, 2003.
Remaja harus mampu mengatasi akibat yang ditimbulkan oleh perubahan fisik, mental, dan kehidupan. Pada saat yang sama, remaja dituntut oleh lingkungannya
untuk mampu mengendalikan emosi. Jika remaja tidak mampu mengendalikan emosi maka remaja cenderung melakukan tindakan negatif.
Gunarsa 2003 mengemukakan bahwa matangnya emosi individu akan mengurangi kenakalan remaja. Permasalahan dan ketegangan emosional yang
meningkat pada masa remaja menyebabkan pada masa ini perilaku beresiko cenderung meningkat. Perilaku tersebut umumnya dikategorikan sebagai
kenakalan remaja yang dapat dilihat dari adanya perilaku kebut-kebutan di jalan raya, tawuran, membolos sekolah, merampas, mencuri, perilaku yang tidak
mematuhi orangtua dan guru, kecanduan narkoba, melakukan hubungan seks bebas, dan perjudian Kartono, 1998.
Terdapat beberapa penelitian yang menghubungkan kenakalan remaja dengan kematangan emosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sivianingsih 2008
menunjukkan bahwa kenakalan, tawuran, seks bebas, serta ketergantungan narkoba yang terjadi di masa remaja merupakan perilaku yang mencerminkan
ketidakmatangan emosi. Selain itu, terdapat juga hasil penelitian Boyd dan Huffman, 2002 menunjukkan bahwa individu yang minum-minuman alkohol
memiliki kematangan emosi yang rendah. Penelitian Jannah 2009 juga
Universitas Sumatera Utara
menunjukkan bahwa semakin tinggi kematangan emosi remaja maka perilaku agresi akan semakin rendah. Hasil penelitian-penelitian tersebut sejalan dengan
yang dikemukakan Sarwono 2010 bahwa salah satu penyebab tingginya angka
kenakalan remaja adalah kurangnya kemampuan dalam mengendalikan emosi dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima norma, belum
matangnya emosi individu menyebabkan individu mudah terbawa pengaruh kelompok untuk melakukan perbuatan tertentu.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan emosi. Pendidikan mengajarkan tanggung jawab yang merupakan
salah satu ciri kematangan emosi individu. Semakin tinggi tingkat pendidikan individu maka akan semakin banyak pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan
tersebut dapat digunakan untuk melawan tekanan-tekanan yang akan dihadapi dan mengakibatkan emosi individu semakin matang Anderson dalam Mappiare,
1983. Namun pada kenyataanya, penelitian mengenai kasus narkoba terhadap 10 Lembaga Pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003 menunjukkan
narapidana narkoba memiliki tingkat pendidikan setara dengan tingkat SMA Badan Nasional Narkoba, 2003.
Rentang usia individu yang melakukan kenakalan remaja dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Adisukarto dalam Yamani, 2009
menunjukkan sebagian besar korban penyalahgunaan narkotika dan minuman keras adalah remaja, yang terbagi dalam kelompok usia 14-16 tahun 47,7,
kelompok usia 17-20 tahun 51,3, dan kelompok usia 21-24 tahun 31. Kenakalan remaja di Indonesia menunjukkan peningkatan
di usia remaja akhir
Universitas Sumatera Utara
yaitu 15-19 tahun Kartono, 2002. Sementara itu, Ria 2010 melakukan komunikasi personal pada Maret 2010 terhadap pihak kepolisian, jumlah
narapidana di Lembaga Pemasyarakatan kelas II A Anak Tanjung Gusta Medan pada Maret 2010 tercatat 37 orang dengan usia 13-15 tahun, 331 orang yang
berusia 16-19 tahun, dan 246 orang berusia 20-23 tahun. Hal ini bertentangan dengan Hurlock 2004 yang menyatakan bahwa ketika remaja berada pada masa
remaja akhir yaitu usia 16 sampai 18 tahun, seharusnya remaja sudah mampu mengendalikan emosinya dan menunjukkan kematangan emosi.
Faktor jenis kelamin juga dapat mempengaruhi kematangan emosi. Laki-laki dikenal lebih berkuasa jika dibandingkan dengan perempuan, mereka memiliki
pendapat tentang kemaskulinan terhadap dirinya sehingga tidak mampu mengekspresikan emosi seperti yang dilakukan oleh perempuan. Hal ini
menunjukkan laki-laki cenderung memiliki ketidakmatangan emosi jika dibandingkan dengan perempuan Santrock, 2003. Perbedaan jenis kelamin pada
kematangan emosi dijelaskan sebagai pengaruh sosialisasi awal emosi. Anak laki- laki diharapkan lebih mandiri, aktif, dan percaya diri, sementara anak perempuan
diharapkan lebih ekspresif, hangat secara emosional, suka menolong, dan sensitif Davis dalam Astuti, 2005.
Ketika laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi,
menggunakan kemarahan, dan mengikuti dorongan hati tanpa kendali Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008. Remaja laki-laki lebih sering mengalami konflik
dengan orangtua dan guru, menentang aturan yang ada, baik peraturan yang ada di
Universitas Sumatera Utara
sekolah, seperti tidak masuk sekolah, merokok, menggunakan obat terlarang dan berkelahi Santrock, 2003. Penelitian yang dilakukan tentang penyalahgunaan
narkoba di 10 lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia menunjukkan bahwa 52,41 laki-laki tercatat sebagai pemakai narkoba Badan Nasional
Narkoba, 2003. Selain itu, penelitian juga menunjukkan bahwa 39 pria lebih agresif daripada wanita Frodi dalam Matlin, 2004.
Perilaku tidak masuk sekolah, merokok, dan perilaku-perilaku negatif yang telah diuraikan sebelumnya dianggap masyarakat sebagai perilaku kenakalan
remaja. Kenakalan remaja ini dapat dikurangi dengan adanya hubungan yang positif dalam keluarga Kumpfer dan Alvarado dalam Reinherz, 2003.
Lingkungan keluarga yang saling memberikan dukungan dan memiliki kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja Bal, et.al dalam Reinherz, et.al,
2003. Sebaliknya, remaja yang berada dalam keluarga penuh dengan konflik dapat memicu kenakalan remaja, karena cenderung mengalami ketidakmampuan
dalam mengendalikan emosi Brook, et.al dalam Santrock, 2003. Pengawasan orangtua juga berperan penting dalam mencegah kenakalan remaja. Hal ini terlihat
dalam kasus penggunaan obat-obatan terlarang yang menunjukkan bahwa remaja yang terlibat umumnya kurang mendapat pengawasan dan kontrol orangtua atau
orangtua kurang memiliki pengetahuan mengenai teman-teman dan aktivitas remaja Dishion, et.al dalam Coley, 2008.
Adanya pengawasan dan kontrol orangtua dapat menjadi ciri dari keluarga yang dapat menjalankan fungsi dengan baik. Agustina dalam Qudsyi, 2005
menyatakan bahwa keberfungsian keluarga tidak dapat dilepaskan dari istilah
Universitas Sumatera Utara
keluarga fungsional yang diartikan sebagai keluarga yang dapat menjalankan fungsi-fungsi yang ada pada keluarga dengan baik. Moos dan Moos dalam
Stewart, 1998 menambahkan definisi keberfungsian keluarga sebagai kualitas interaksi antar anggota keluarga. Selain itu, dikonsepkan juga sebagai tingkat
kohesifitas dalam keluarga. Namun meskipun keluarga telah berfungsi dengan baik, ada juga anak remaja yang melakukan perilaku kenakalan remaja.
Perilaku kenakalan remaja seperti terlibat dalam perkelahian antar gang maupun antar sekolah dan remaja dapat melibatkan remaja berasal dari keluarga
baik-baik Kartono, 1998. Hal ini diperkuat dengan adanya hasil survei mengenai pecandu narkoba di Indonesia menunjukkan bahwa 60 sampai 70 anak-anak
pecandu narkoba berasal dari keluarga yang dapat berfungsi dengan baik atau keluarga yang harmonis. Hasil survei ini diperoleh dari 613 pecandu di 14 panti
rehabilitasi yang dilakukan oleh Yayasan Cinta Anak Bangsa Veronica, 2008. Penelitian yang dilakukan mengenai kasus narkoba terhadap 10 lembaga
pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003, menunjukkan bahwa 75 narapidana berasal dari keluarga yang memiliki sedikit konflik, 79 berasal
dari orangtua yang tidak membeda-bedakan anaknya, dan 56 berasal dari proporsi saling berbagi cerita dengan orangtua Badan Nasional Narkoba, 2003.
Kasus kenakalan remaja banyak ditemukan di media-media masa, daerah yang tercatat paling sering terjadinya kenakalan remaja adalah Jakarta, Surabaya, dan
Medan. Salah satu wujud dari kenakalan remaja adalah tawuran yang dilakukan oleh remaja. Data tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994
meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995
Universitas Sumatera Utara
terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lainnya. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar dan 2 anggota
Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan 37 korban tewas Tambunan, 2001. Medan adalah salah satu kota besar yang dapat ditemukan
berbagai bentuk kenakalan remaja. Ria 2010 melakukan komunikasi personal pada Maret 2010 terhadap pihak kepolisian, dalam Lembaga Pemasyarakatan
Tanjung Gusta tercatat berbagai kasus seperti pembunuhan, kesusilaan, penipuan, pemerasan, perjudian, narkotika, penganiayaan, perampokan, yang dilakukan pada
usia berkisar 13 sampai 21 tahun. Pelaku pada umumnya berasal dari daerah Kecamatan Medan Denai, Medan Sunggal, Medan Tembung, Medan Belawan,
Medan Amplas, dan Medan Johor. Berdasarkan uraian diatas dapat dilihat meskipun keluarga yang dapat
menjalankan fungsinya dengan baik namun perilaku kenakalan remaja tetap meningkat. Kenakalan remaja juga dipengaruhi oleh kurangnya kematangan
emosi dalam mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima norma. Laki-laki lebih sering terlibat dalam perilaku kenakalan remaja,
salah satu penyebabnya karena ketidakmampuan dalam mengekpresikan emosi yang dirasakan dengan cara yang diterima, melainkan laki-laki cenderung
menyelesaikan masalah dengan menggunakan cara negatif dan hal ini menunjukkan laki-laki cenderung kurang matang secara emosi. Hal inilah yang
membuat peneliti tertarik untuk melihat apakah terdapat hubungan antara keberfungsian keluarga dengan kematangan emosi remaja laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah