Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kematangan Emosi Remaja Laki-laki

ketika mereka merasa ditantang, dan laki-laki lebih suka mengubah kemarahannya itu ke dalam perilaku agresif. Broidy dan Hall dalam Goleman, 2001 menyatakan bahwa laki-laki kurang mampu mengutarakan perasaan, menggantikan reaksi-reaksi emosional melalui perkelahian fisik, dan kurang peka terhadap keadaan emosi diri sendiri maupun diri orang lain. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki perilaku delikuensi lebih tinggi daripada perempuan Broidy and Agnew, dalam Sigfusdottir 2008. Pria 39 lebih agresif daripada wanita Frodi dalam Matlin, 2004. Sedangkan menurut teori biologi, hal itu disebabkan karena hormon testosteron laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, dan hormon testosteron dipercaya sebagai pembawa sifat agresif Sarwono, 2002.

E. Hubungan Antara Keberfungsian Keluarga Dengan Kematangan Emosi Remaja Laki-laki

Remaja berada pada masa peralihan rentan terhadap masalah. Masalah dapat berasal dari sekolah, keluarga, teman kelompok, dan masalah dapat menjadi sulit untuk diatasi Patil dalam Aminbhavi, 2003. Perilaku beresiko cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya permasalahan yang dihadapi remaja, banyak remaja menghadapi atau menghindari permasalahan dengan merokok, minum-minuman alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang, dan terlibat dalam seks bebas Fieldman dan Elliot dalam Santrock, 2003. Penelitian menunjukkan bahwa perilaku kenakalan remaja seperti tawuran, seks bebas, ketergantungan narkoba termasuk dalam perilaku yang mencerminkan Universitas Sumatera Utara ketidakmatangan emosi Silvianingsih, 2008. Salah satu faktor yang mempengaruhi kenakalan remaja adalah kurangnya kemampuan dalam mengendalikan dan mengekspresikan emosi dengan cara yang dapat diterima norma, matangnya emosi individu akan mengurangi kenakalan remaja Gunarsa, 2003. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huffman dan Boyd 2002 menyatakan remaja laki-laki yang rendah dalam kematangan emosi, cenderung terpengaruh dalam prilaku minum-minuman keras. Kenakalan remaja di Indonesia meningkat pada usia 15-19 tahun Kartono, 2002. Jika dilihat dari usia kenakalan remaja, seharusnya pada usia tersebut remaja sudah mampu mengendalikan dan menunjukkan kematangan emosi sebagai tugas perkembangan yang harus dicapai Hurlock, 2004. Kematangan emosi dapat juga didefinisikan sebagai kemampuan mengekspresikan perasaan dan keyakinan secara berani dan mempertimbangkan perasaan dan keyakinan orang lain Covey, 2001. Hal ini sejalan dengan perilaku individu yang telah mencapai kematangan emosi dapat mengubah kontrol orangtua menjadi kontrol diri sendiri, adanya perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, serta mampu menyatakan emosi secara konstruktif Yusuf, 2004. Salah satu faktor yang mempengaruhi kematangan emosi adalah jenis kelamin. Laki-laki cenderung kurang mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, cenderung menghadapi masalah dengan kemarahan, dan menyalurkan emosinya melalui perkelahian fisik Goleman, 2001. Ketika remaja laki-laki tidak mampu mengekspresikan emosi terhadap suatu masalah, laki-laki lebih cenderung menghadapi masalah dengan melakukan perilaku agresi, Universitas Sumatera Utara merespon masalah dengan menggunakan kemarahan dan mengikuti dorongan hati tanpa kendali Broidy dalam Sigfusdottir, et.al, 2008. Selain itu terdapat juga faktor pendidikan yang mempengaruhi kematangan emosi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riyawati 2006 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kematangan emosi ditinjau dari tingkat pendidikan. Kematangan emosi individu yang berpendidikan SMA lebih tinggi daripada yang berpendidikan SD dan SMP. Lingkungan keluarga yang saling memberikan dukungan dan memberikan kohesivitas dapat mengurangi kenakalan remaja Bal, et.al dalam Reinherz, et.al, 2003. Penelitian juga menunjukkan bahwa perilaku kenakalan yang dilakukan remaja karena adanya manajemen keluarga yang tidak terorganisir dengan baik, kurangnya pengawasan orang tua, adanya paksaan dalam usaha untuk mengontrol remaja, rendahnya tingkat keterlibatan dan kemandirian yang diberikan kepada remaja Henderson, et.al, 2006. Namun, meskipun keluarga telah berfungsi dengan baik, ada juga remaja yang melakukan perilaku kenakalan remaja. Hal ini didukung dengan penelitian yang dilakukan mengenai kasus narkoba terhadap 10 lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia pada Oktober 2003, menunjukkan bahwa 75 narapidana berasal dari keluarga yang memilki sedikit konflik, 79 berasal dari orangtua yang tidak memdeda-bedakan anaknya, dan 56 berasal dari proporsi adanya keterbukaan komunikasi anak terhadap orangtua Badan Nasional Narkoba, 2003

F. Hipotesa Penelitian