Di tempat ini banyak terdapat para pekerja seks komersil dengan mengambil modus sebagai langganan café-café remang yang berjejer di
sekitar trotoar. Cara dalam menggaet pelangganpun tidak terlalu sulit. Mereka umumnya langsung menghampiri pelanggan yang mengambil
meja dan memesan menu yang tersedia. 2. Pasar Mayat
Di lokasi ini, terdapat beberapa karaoke yang menyediakan para pramusaji yang siap “disajikan”. Di tempat ini banyak terdapat para pekerja seks
Rantauan. Modus mencari pelanggannya pun sama dengan yang terjadi di lapangan pasir. Mereka langsung mendekati pelanggan yang mengambil
tempat duduk dan bisanya mereka ikut minum bersama pelanggan dan berkaraoke bersama.
3. Jalan Arteri Di tempat ini bisa dikatakan tempat pekerja seks yang sudah senior.
Karena di tempat ini banyak terdapat kedai tuak yang menjadi tempat transaksi.
4. Water Pround Merupak wilayah pantai yang ramai dikunjungi oleh anak muda dan orang
yang sedang pacaran. Ditempat ini juga terdapat para PSK yang membaur dengan wistawan lokal. Umumnya modus mencari pelanggannya dengan
menggunakan jasa teman yang sudah mengenal PSK tersebut sebelumnya. Di tempat ini diduga terdapat pekerja seks di bawah umur.
5. Hotel-Hotel “Melati” Ada beberapa hotel yang yang disebut informan yang merupakan hotel
kelas melati yang menawarkan kamar untuk para pekerja seks dan pelanggannya melakukan “berbagai kegiatan”. Hotel ini tidak
menawarkan para pekerja seks yang dimaksud. Namun merupakan tempat “persinggahan” dari transaksi yang sebelumnya diadakan baik itu di
lapangan pasir, pasar mayat, jalan arteri dan dari water pround.
3.2. Profil Pekerja Anak
Universitas Sumatera Utara
Identitas responden diperlukan untuk mengetahui secara lebih utuh tentang diri PA. Dalam konteks ini maka identitas PA ditinjau dari usia, jenis kelamin, sukubangsa,
bentuk pekerjaan dan informasi terkait lainnya. Dengan tinjauan seperti itu, maka diperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang diri anak dan keluarganya.
Identitas PA yang penting adalah usia. Usia merupakan acuan yang berlaku secara formal untuk menentukan seseorang disebut anak-anak atau dewasa. Hanya saja usia bisa
dimaknai berberda ketika dengan dengan faktor psikologi, agama dan sosial budaya. Maka pengelompokan manusia tidak lagi hanya terbatas anak-anak dan dewasa. Sehingga
dalam masyarakat lazim pengelompokan manusia menjadi anak-anak, remaja dan dewasa yang tidak semata-mata soal usia. Kematangan berpikir dan ciri-ciri fisik tertentu
acapkali dijadikan masyarakat untuk menentukan pengelompokan seseorang. Demikian pula halnya dengan aturan hukum yang berlaku di Indonesia bahwa
patokan umur ini juga tidak seragam. Dalam konteks kajian ini, maka penentuan anak- anak dan dewasa mengacu Konvensi Hak Anak KHA yang sudah diratitifikasi
Indonesia. Dimana yang disebut dewasa adalah seseorang yang telah berumur 18 tahun, sehingga di bawah 18 tahuh disebut anak-anak. Ratifikasi yang dilakukan terhadap KHA
tentunya memiliki implikasi hukum bagi negara maupun setiap warga negera termasuk anak-anak.
Hanya saja dalam prakteknya masih banyak anak-anak yang bekerja pada sektor- sektor berbahaya bagi kesehatannya dan masa depannya. Berdasarkan wawancara yang
dilakukan terhadap 110 PA di Kota Tanjungbalai, ditemukan bahwa jumlah terbesar PA berumur di antara 15 – 17 tahun yakni 69 orang atau 62.7 dan berumur 11 – 14 tahun
sebanyak 40 orang atau 36.4 . Dan hanya 1 orang yang berumur di bawah 11 tahun. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :
Tabel 2. Usia Responden
Usia Responden F
5 -10 1
.9 11 – 14
40 36.4
15 – 17 69
62.7 Total
110 100.0
Universitas Sumatera Utara
Sumber : Kuesioner Dari tabel di atas, terlihat secara sosial bahwa masyarakat belum membuka ruang
untuk bekerja bagi anak yang berumur 5 – 10 tahun untuk bekerja membantu orang tua maupun mandiri dalam konteks mata pencaharian. Sebab di usia seperti ini, anak-anak
memasuki tahap awal bersekolah TK dan SD. Bagi orang tua, merasa sangat berkewajiban untuk menyekolahkan anak pada sekolah dasar ini. Jikapun tidak bisa
sekolah lebih tinggi yang disebabkan oleh kondisi ekonomi dan sebab lainnya, harapan minimalnya si anak sudah bisa menulis, membaca dan berhitung. Dengan harapan seperti
itu, orang tua mengusahakan semampunya untuk menyekolahkan anak minimal tamat SD. Jikapun, ada anak yang bekerja diusia ini tidaklah dalam usaha untuk memperoleh
uang tetapi dalam konteks pengasuhan. Artinya, orang tua ibu yang bekerja membawa anaknya turut serta sehingga ia bisa menjaganya.
Hanya saja, ketika anak memasuki kelas IV SD 10 - 11 tahun mulailah masa kritis dimulai. Pada usia ini anak sudah aktif berteman dan kebutuhan untuk jajan dan
permainan games yang semakin besar. Sebabnya, si anak merasa tersisih dan malu ketika teman-temannya jajan dan bermain playstation atau permainan sejenis. Sementara
ia tidak memiliki uang dan orang tuanya tidak mampu memenuhinya. Munculnya kesadaran uang bagi anak, maka ketika ada ruang untuk memperoleh uang dengan
melihat teman sebayanya bekerja maka akan menarik anak tersebut untuk bekerja. Pekerjaan tersebut umumnya pekerjaan yang tidak menghilangkan keseluruhan waktu
bermain anak yang dilakukan di luar jam sekolah seperti menyemir sepatu, pemulung dan pencatuk. Hanya saja, tidak semua anak memasuki pekerjaan dengan pola itu, karena
beberapa PA awalnya bekerja diajak oleh orang tuanya. Identitas berikutnya adalah jenis kelamin. Pembagian kerja berdasarkan jenis
kelamin umumnya terkait dengan faktor sosial budaya masyarakat setempat. Pada penelitian ini, responden PA sebagian besar berjenis kelamin laki-laki. Dari 110
responden, 84 orang atau 76.4 responden dari PA adalah laki-laki. Dan terdapat 26 orang atau 23.6 responden yang berjenis kelamin. Untuk lebih jelasnya lihat tabel
berikut :
Tabel 3. Jenis Kelamin Responden
Universitas Sumatera Utara
Jenis Kelamin F
Laki-laki 84
76.4 Perempuan
26 23.6
Total 110
100.0 Sumber : Kuesioner
Dari tabel di atas tampak bahwa di Kota Tanjungbalai jumlah PA yang berjenis kelamin laki-laki lebih besar dari PA yang bekerja di sektor-sektor terburuk bagi pekerja
anak. Hal ini terkait dengan sebahagian besar bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak membuka ruang bagi PA yang berjenis kelamin laki-laki. Bentuk-bentuk pekerjaan
seperti penangkapan ikan lepas pantai, bekerja di gudang, konstruksi, pemulung, penyemir sepatu di jalan adalah pekerjaan yang didominasi pekerja laki-laki. Sementara,
industri rumah tangga pengupasan udangkerang, PRT dan prostitusi menjadi domainnya perempuan.
Dari wawancara yang dilakukan terhadap PA dan orang tuanya, terungkap bahwa pembedaan bentuk pekerjaan berdasarkan jenis kelamin ini terkait dengan konstruksi
sosial masyarakat dalam memandang jenis pekerjaan tersebut. Bentuk pekerjaan sebagai nelayan, kerja bangunan, penyemir sepatu, pemulung dianggap pekerjaan laki-laki karena
membutuhkan tenaga yang besar dan berada di ruang publik. Sementara pekerjaan yang domainnya perempuan seperti pembantu rumah tangga, pengupas kerang dan udang
dalam industri rumah tangga masih merupakan pekerjaan domestik yang membutuhkan ketelitian dan kesabaran. Teliti dan sabar dianggap sifatnya perempuan sementara kuat
dan keras merupakan sifat laki-laki. Identitas berikutnya adalah sukubangsa. Sukubangsa sudah dijadikan sebagai
penanda seseorang. Terlebih masyarakat Indonesia yang majemuk, maka suku bangsa tidak saja dimaknai sebagai penanda, tetapi lebih jauh sebagai identitas yang
membedakannya dengan suku bangsa lainnya. Pada konteks tertentu sukubangsa dan agama bisa dijadikan sebagai alat untuk memperebutkan kekuasaan dan sumberdaya.
Hanya, dalam pandangan umum, sukubangsa sebagai identitas seringkali dikaitkan dengan bahasa dan tradisi atau adat istiadat. Sukubangsa juga dikaitkan dengan nilai
budaya yang berguna dalam menginterpretasikan lingkungannya baik secara sosial dan
Universitas Sumatera Utara
alam. Kajian terhadap PA yang sebelumnya telah dilakukan bahwa ada keterkaitan budaya terhadap PA sebagai faktor pendorong anak bekerja.
Masyarakat Kota Tanjungbalai juga dihuni berbagai etnis. Penelitian yang dilakukan menemukan bahwa ada tiga suku bangsa utama PA di Kota Tanjungbalai.
Sukubangsa tersebut yakni Batak, Melayu dan Jawa. Dari total responden ditemukan bahwa sebahagian besar suku bangsa dari PA adalah Batak yakni 42,7 . Kemudian
diikuti oleh Melayu dan Jawa masing-masing 30.9 dan 23.6 . Sukubangsa Batak ini termasuk sub etnik Batak lainnya seperti Mandailing-Angkola, Simalungun, Pakpak,
Karo. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut :
Tabel 4. Suku Bangsa Responden
Sukubangsa Pekerja Anak F
Melayu 34
30.9 Jawa
26 23.6
Batak 47
42.7 Lainnya,
3 2.7
Total 110
100.0 Sumber : Kuesioner
Pengelompokan sukubangsa di atas sebenarnya tidak begitu tegas batas-batasnya. Terutama untuk sukubangsa Batak dan Melayu. Identitas marga yang lazim untuk
menunjukkan sukubangsa Batak tetapi bagi PA menyatakan dirinya Melayu. Ada juga responden yang tidak mengetahui secara persis sukubangsanya dan menyatakan dirinya
sebagai orang Islam. Terkait dengan tidak tegasnya batas-batas sukubangsa ini, berdasarkan wawancara diperoleh hal tersebut erat kaitannya dengan migrasi Batak Toba
sebelum kemerdekaan ketika Kesultanan Melayu masih berkuasa. Ketika itu, Melayu identik dengan Islam dan siapa saja yang masuk ke Tanah Melayu harus masuk Islam dan
menjadi Melayu. Ketika Indonesia merdeka, maka banyak diantaranya menggunakan kembali marganya. Diantara mereka ada yang masih menyatakan sebagai Melayu tetapi
ada juga yang menyatakan dirinya sebagai Batak sesuai dengan marga yang dicantumkan
Universitas Sumatera Utara
di dalam nama. Dengan kaburnya batas-batas sukubangsa tersebut maka penentuan sukubangsa lebih ditentukan dari PA sendiri.
3.3. Profil Pendidikan Pekerja Anak