Attention Relevance Self-Confidence Kerangka Berfikir

f. External Motivator

External motivator berupa dukungan informasi, material, emosional, dan harus dapat diterima, bernilai dan mendukung bagi pelajar. Mereka harus merasa bahwa pandangan mereka itu bernilai, dan mereka mempunyai kesempatan untuk berbagi tentang pemikiran dan perasaan mereka. McCombs 1996 “Kondisi eksternal yang mendukung kondisi internal tersebut meliputi; ketentuan pada perhubungan, pilihan, kontrol, tantangan, tanggung jawab, kompetensi, hubungan personal, kesenangan, dan dukungan dari lainnya sebagai bentuk dari kepedulian, rasa hormat dan bimbingan dalam pengembangan kemampuan”. Model ARCS dari Keller dalam Frith, 2004 menjelaskan ada empat komponen yang membentuk motivasi dalam belajar, yaitu;

a. Attention

Perhatian siswa harus ditumbuhkan dan dipertahankan. Kategori tersebut meliputi hal-hal yang berhubungan dengan rasa ingin tahu dan pencarian sensasi, walaupun selalu mudah dalam menumbuhkan perhatian pada permulaan pelajaran. Mempertahankan perhatian tersebut menjadi tantangan. Mengembangkan beragam bentuk presentasi melalui media, demonstrasi, grup diskusi kecil, debat yang melibatkan seluruh siswa. Demikian juga, buku cetak dapat menjadi variasi dengan merubah tipe dan ukuran huruf atau kesimpulan melalui diagram dan gambar yang menarik.

b. Relevance

Setelah perhatian pelajar ditumbuhkan, para pelajar mungkin membayangkan bagaimana materi yang telah diberikan kepada mereka dihubungakn dengan ketertarikan mereka interest dan tujuan goal mereka. Jika isi materi dirasakan membantu dalam menyelesaikan tugas dan memenuhi target atau tujuan yang di capai, lalu mereka akan terasa lebih termotivasi. Membantu pelajar dalam mencari hubungan ketika belajar dapat tugas yang mnakutkan bagi beberapa subjek. Menghubungkan apa yang sedang di pelajari ke sesuatu yang familiar dan relevan bagi pelajar dapat membantu memotivasi pelajar.

c. Self-Confidence

kepercayaan diri terhadap apa yang mereka miliki dan evaluasi diri tentang kemampuan pelajar sejauh mana dia mampu dalam menyelesaikan sesuatu. Pelajar harus mengetahui bahwa mereka akan kemungkinan besar sukses sebelum menyelesaikan tugas yang diberikan. Mereka harus merasa agak percaya diri. Kesuksesan tidak menjamin orang tersebut menikmati tantangan tersebut. Walaupun tantangan tersebut tidak begitu sulit.

d. Satisfaction.

Jika tingkah laku yang dihasilkan dari pelajar konsisten dengan harapan dan mereka merasa relatif baik terhadap tingkah laku tersebut, mereka akan tetap termotivasi. Kepuasan yang didapatkan anak dari proses belajar yang dilakukan, akan menjaga motivasi yang ada dalam diri si anak tersebut.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar

Berikut ini fakor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar menurut Spitzer’s dalam Frith, 2004; a. Action : Keterlibatan pelajar secara aktif dalam proses pembelajaran baik secara fisik dan mental. b. Fun : Kesenangan, membantu untuk memperkuat pelajar dan mengembangkan kesempatan dalam format yang berbeda dan keterlibatan pelajar. Permainan komputer adalah sebuah contoh yang baik bagaimana menyatukan aktifitas belajar yang menyenangkan. c. Choice : Pilihan, mengembangkan variasi dan kontrol pembelajaran. Pilihan mungkin dapat dikembangkan melalui pemilihan metode pembelajaran, isi atau materi intruksi. d. Social Interaction : Interaksi sosial, adalah kebutuhan tertinggi berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow. Kesempatan atau peluang untuk berinteraksi sosial dapat dicontohkan melalui diskusi grup kecil, panduan teman sebaya, kolaborasi antara pemecahan masalah dan pembuat keputusan. e. Error Tolerance : Toleransi kesalahan, biasanya jarang terjadi di latar pendidikan. Pelajar harus merasa nyaman ketika berbuat kesalahan dan mempunyai kesempatan belajar dari kesalahan tersebut. f. Measurement : Penilaian, seperti nilai pada pelajaran olahraga bisa menjadi faktor yang memotivasi. Dalam penilaian lingkungan pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam daya yang dapat meningkatkan meliputi pemusatan pada evaluasi formatif, mengumpulkan masukan dari pelajar pada apa yang seharusnya di nilai, dan mendorong penilaian diri. g. Feedback : Dalam pelajaran, umpan balik ini selalu menjadikan anak kurang berani. Umpan balik yang membangun harus diterapkan secara berlanjut, mengarahkan dan memusatkan hal positif kepada bagaimana kinerja si anak dapat dikembangkan di masa depan. h. Challenge : Tantangan, dapat memotivasi terutama sekali jika respon pelajar pada tantangan tersebut melalui setting tujuan goal setting. Secara mengejutkan setting tujuan yang dilakukan secara pribadi cenderung lebih ambisius dari pada yang dilakukan oleh orang lain, dalam artian, tujuan yang di inginkan berdasarkan keinginan sendiri dari pada tujuan yang di arahkan oleh orang lain. i. Recognition : Pengakuan, harus tampak pada saat pencapaian yang rendah begitu juga yang tinggi. Ini begitu penting untuk mengarahkan hal-hal yang positif kepada pelajar. Sementara itu menurut Lumsden 1994 faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motivasi belajar pada anak, yaitu: a. Kompetensi : kompetensi di peroleh melalui pengalaman pada umumnya tetapi dirangsang lebih banyak secara langsung melalui contoh, komunikasi terhadap harapan yang di inginkan, dan instruksi langsung atau sosialisasi dari orang-orang terdekat terutama orangtua dan guru. b. Lingkungan : lingkungan tempat tinggal anak adalah titik awal dari sikap- sikap yang mereka kembangkan yang mengarah ke belajar. Ketika orangtua mendidik rasa ingin tahu yang terdapat pada diri si anak tentang dunia melalui penerimaan terhadap pertanyaan-pertanyaan si anak, memberanikan diri untuk bereksplorasi, dan membiasakan diri mereka dengan sumber-sumber yang dapat memperluas pengetahuan mereka, orangtua memberikan anak mereka pesan bahwa belajar itu bermanfaat dan menyenangkan. c. Konsep-diri : ketika anak dibesarkan di lingkungan rumah mereka menumbuhkan rasa terhadap harga-diri, kompetensi, dan kemandirian, dan self-efficacy, mereka akan merasa lebih mampu untuk menerima resiko yang sering terjadi ketika belajar. Sebaliknya, ketika anak tidak memandang dirinya sebagai seorang yang mampu dan kompeten, maka kebebasan mereka untuk terlibat di dalam kegiatan akademik dalam mencari tantangan dan kemampuan untuk mentoleransi dan berhadapan dengan kegagalan akan sangat berkurang. d. Relevansi : keterkaitan, ketika anak memulai sekolah, mereka mulai membentuk kepercayaan tentang sekolah dan hubungan nya dengan kesuksesan dan kegagalan. Sumber-sumber yang menjadi atribut dalam kesuksesan mereka seperti usaha yang dilakukan, kemampuan, keberentungan, atau tingkatan kesulitan dari tugas-tugas dan kegagalan seringkali kurangnya kemampuan dan kurangnya usaha yang dilakukan memiliki dampak yang penting pada bagaimana pendekatan mereka dan kemampuan mereka menghadapi situasi belajar. e. Kepercayaan guru : kepercayaan guru terhadap dirinya tentang kemampuan mengajar dan belajar dan tentang pengaharapan yang mereka berikan pada pelajar juga akan sangat mempengaruhi. Seperti yang diungkapkan oleh Deborah dalam Lumsden, 1994, “untuk tingkatan yang lebih luas, pelajar berharap ingin belajar jika guru mereka mengharapkan mereka ingin belajar” Kemudian, konsep diri yang dapat mempengaruhi motivasi belajar di simpulkan berdasarkan dari faktor-faktor yang dijabarkan oleh Lumsden. Sanchez dan Roda tanpa tahun juga menjelaskan bahwa pengalaman anak dalam bidang akademik terhadap kesuksesan dan kegagalan mempengaruhi konsep diri anak, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep diri dapat meningkatkan kinerja anak dalam pencapaian akademik dengan mengoptimalkan konsep diri terutama pada tingkatan persepsi anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan dukungan sosial yang dimaksud adalah dukungan berdasarkan komponen dari motivasi belajar tersebut yaitu dari external motivator, dukungan dari eksternal atau dari luar adalah dukungan yang bersumber dari orang tua, guru-guru, dan teman sebaya. Wentzel 1998 dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hubungan yang saling mendukung antara orangtua, guru-guru, dan teman sebaya sangat berhubungan erat dengan aspek-aspek motivasi. Wentzel 1998 menjelaskan dalam penelitiannya terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan dukungan sosial dari orang tua dengan orientasi akademik anak. Berikutnya Wentzel 1998 menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan yang diberikan dari guru dan teman-teman sebaya terhadap pencapaian akademik anak.

2.1.4 Fungsi motivasi dalam belajar

Sardiman 2008 menjelaskan beberapa fungsi motivasi dalam belajar, ada tiga menurut Sardiman, yaitu; 1. Sebagai pendorong , mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan. 2. Menentukan arah perbuatan , yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. 3. Menyeleksi perbuatan , yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak sesuai dengan tujuan. Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain menurut Sardiman 2008. Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seseorang akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.

2.1.5 Jenis-jenis motivasi

Ryan dan Deci 2000 dalam teori self-determination membagi tipe motivasi berdasarkan orientasi tujuan nya goal oerientation yaitu, amotivation, intrinsic motivation, dan extrinsic motivation, berikut penjelasannya;

1. Amotivation : Ryan dan Deci 2000 menjelaskan bahwa amotivation

yaitu sebagai bentuk kurangnya niat dalam melakukan sesuatu. Ketika tidak termotivasi, tingkah laku seseorang terlihat kurangnya niat atau hasrat dan kurangnya rasa alasan personal dalam bertindak. Amotivasi adalah hasil dari tidak adanya perhatian terhadap aktifitas, tidak merasa kompeten untuk melakukan sesuatu, atau tidak percaya bahwa sesuatu yang diinginkan akan ada hasilnya. Barkoukis, et al 2008 menjelaskan bahwa amotivation adalah tidak adanya kemungkinan dari sesuatu yang akan terjadi antara suatu tindakan yang dilakukan dan hasil akhirnya. Individu yang amotivated tidak terlihat seperti memiliki maksud dan tujuan dan mereka tidak terlihat seperti memiliki pendekatan pada hasil akhirnya secara sistematis. Keterlibatan mereka dalam suatu aktifitas adalah bukan sebuah hasil yang mereka in0ginkan. Barkoukis, et al 2008 menjelaskan bahwa amotivation disebabkan oleh empat, yaitu: a keyakinan mereka tentang kurangnya kemampuan untuk melakukan aktifitas, b keyakinan mereka bahwa strategi yang diadopsi tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan, c keyakinan mereka terhadap aktifitas tersebut terlalu membebani individu tersebut, dan d keyakinan bahwa meskipun usaha yang dilakukan sangat tinggi itu tidak sebanding dengan kesuksesan yang diraih pada kinerja dalam penyelesaian tugas.

2. Intrinsic motivation : Ryan dan Deci 2000, which refers to doing

something because it inherently interesting or enjoyable, yaitu melakukan sesuatu karena ketertarikan dan menyenangkan. McCullagh dalam Wilson, 2005 dapat didefinisikan sebagai kebutuhan individu untuk merasa kompeten dan bangga dalam melakukan sesuatu Ryan dan Stiller dalam Ryan Deci, 2000 Motivasi intrinsik muncul sebagai fenomena penting pada pendidik, sumber alami dari belajar dan berprestasi yang dapat secara sistematis sebagai penggerak atau dapat berkurang melalui orang tua dan latihan dari guru. Motivasi intrinsik dihasilkan melalui pembelajaran yang berkualitas dan kreatif. Vansteenkiste, et al 2006 menjelaskan bahwa tingkah laku yang termotivasi secara intrinsik didefinisikan sebagai tingkah laku yang tidak diaktifkan melalui dorongan-dorongan psikologis mereka atau dari bentuk dorongan lainnya dan hadiah reward adalah sebuah kepuasan yang tergabung dalam aktifitas atau kegiatan itu sendiri. Motivasi intrinsik inilah yang mewakili keterlibatan dalam aktifitas yang dilakukan untuk kesenangan semata. Pintrich dan Schunk 2002, refers to motivation to engage in an activity for its own sake. People who are instrinsically motivated work on tasks because they find them enjoyable. Task participation is its own reward and does not depend on explicit rewards or other external constraint. Merujuk kepada motivasi untuk mendorong melakukan sebuah aktifitas untuk kesenangan sendiri. Orang yang secara instrinsik termotivasi mengerjakan tugas karena mereka mendapatkan kesenangan atau menikmatinya. Pembagian tugas adalah sebagai imbalan reward tersendiri dan tidak bergantung kepada imbalan reward yang khusus atau batasan lainnya. Lumsden 1994 mengatakan bahwa pelajar yang termotivasi secara intrinsik melakukan aktifitas “untuk kepuasaan semata, untuk kesenangan yang tersedia, pelajaran yang diberikan, atau memunculkan perasaan untuk berprestasi”. Djamarah 2002 menjabarkan bahwa yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi intrinsik juga diartikan sebagai motivasi yang pendorongnya ada kaitannya langsung dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam tujuan pekerjaan itu sendiri. Bila seseorang telah memiliki motivasi intrinsik dalam dirinya, maka ia secara sadar akan melakukan suatu kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya. Dalam aktifitas belajar, motivasi instrinsik sangat diperlukan, terutama belajar sendiri. Seseorang yang tidak memiliki motivasi instrinsik sulit melakukan aktifitas belajar terus-menerus. Seseorang yang memiliki minat yang memiliki minat yang tinggi untuk mempelajari suatu mata pelajaran, maka ia akan mempelajarinya dalam jangka waktu tertentu. Seseorang itu dikatakan memiliki motivasi belajar. Ryan dan Deci 2000 mendefinisikan motivasi instrinsik sebagai melakukan suatu aktifitas untuk memenuhi kepuasan dasar ketimbang untuk memisahkan akibat yang akan terjadi dari aktifitas tersebut. Ketika secara instrinsik termotivasi seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu untuk kesenangan atau melibatkan tantangan melainkan karena dorongan dari luar, tekanan, hadiah atau penghargaan. Meskipun begitu, dengan kata lain, motivasi instrinsik timbul bersamaan dengan diri individu, motivasi instrinsik juga timbul dari hubungan antara individu dan aktifitas yang di lakukannya. Sedangkan Sardiman 2008 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh, seseorang yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Kemudian kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannysa misalnya kegiatan belajar, maka yang dimaksud dengan motivasi intrinsik ini adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu sendiri. Intrinsic motivations are inherent in the learning situations and meet pupil-needs and purposes. Itulah sebabnya motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dengan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkait dengan aktivitas belajarnya. Perlu diketahui bahwa siswa yang memiliki motivasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu. Condry dan Chambers dalam Lumsden, 1994 menemukan bahwa ketika pelajar dihadapi pada tugas yang kompleks dan rumit, mereka dengan orientasi intrinsik lebih menggunakan informasi yang logis mengumpulkan informasi dan strategi untuk membuat keputusan daripada yang dilakukan oleh pelajar yang terorientasi secara ekstrinsik. Lepper dalam Lumsden, 1994 menyatakan bahwa pelajar yang mempunyai orientasi intrinsik selalu mempunyai kecenderungan untuk memilih tugas yang agak sedikit menantang, sedangkan pelajar yang terorientasi secara ekstrinsik bergerak ke arah tugas-tugas yang tingkat kesulitannya rendah. Pelajar yang terorientasi secara ekstrinsik cenderung untuk melakukan usaha yang sedikit untuk mendapatkan hadiah reward yang tinggi. Lepper dan Hodell dalam Pintrich dan Schunk, 2002 mengidentifikasi empat sumber-sumber utama dari motivasi intrinsik, yaitu ; tantangan, rasa ingin tahu, kontrol, dan fantasi. Motivasi intrinsik mungkin tergantung pada pelajar yang menemukan aktitifitas yang menantang, ketika tujuan goal yang akan di capai cukup sulit dan tidak yakin akan kesuksesan yang di raih. 1. Tantangan challenge : Aktivitas yang menantang keahlian pelajar mungkin termotivasi secara intrinsik. Aktivitas yang menantang harusnya memiliki tingkatan yang cukup culit, dan sebagai pelajar mengembangkan kemampuan yang dimiliki, tingkat kesulitan harusnya disesuaikan keatas untuk mempertahankan tingkatan tersebut. Pencapaian tujuan yang menantang membawa pelajar bahwa mereka menjadi lebih kompeten, yang mana di dapatkan dari meningkatkan self-efficacy dan kontrol persepsi terhadap apa yang telah dihasilkan. Sebaliknya, pelajar telah terampil untuk menata tujuan-tujuan baru yang menantang, yang mana untuk mempertahankan motivasi intrinsik. 2. Rasa ingin tahu curiousity : Rasa ingin tahu disebabkan oleh aktifitas yang diberikan pada pelajar dengan informasi atau ide-ide yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan saat ini atau kepercayaan yang timbul begitu mengejutkan atau tidak seimbang. Seperti ketidakseimbangan memotivasi pelajar untuk mencari informasi dan mencari solusi dari ketidaksesuaian tersebut. Lowenstein dalam Pintrich dan Schunk, 2002 menganjurkan bahwa rasa ingin tahu adalah perasaan dari penghilangan proses kognitif yang terjadi ketika seseorang menjadi sadar akan adanya kesenjangan pada informasi yang didapat. Pelajar yang mempunyai rasa ingin tahu percaya bahwa kesenjangan pada informasi yang didapat akan menstimulasi rasa ingin tahu dan secara efektif memotivasi. 3. Kontrol : Aktifitas yang mengembangkan pelajar dengan kemampuan kontrol terhadap hasil akademik mereka mungkin dapat meningkatkan motivasinya. Boggiano dalam Pintrich dan Schunk, 2002 menemukan anak yang merasa kompeten dan memiliki kontrol diri berhubungan positif pada motivasi intrinsik akademik mereka dan kecenderungan untuk memilih sesuatu yang menantang. Memperbolehkan pelajar memilih dalam beraktifitas dan berperan dalam menentukan peraturan dan proses menumbuhkan persepsi terhadap kontrol. Dan sebaliknya, pelajar tidak termotivasi untuk terlibat dalam aktifitas ketika mereka percaya bahwa tindakan mereka sedikit berpengaruh pada apa yang akan dihasilkan. 4. Fantasi : Motivasi intrinsik dapat ditingkatkan melalui aktifitas yang melibatkan pelajar dalam fantasi dan menumbuhkan rasa percaya melalui simulasi dan permainan yang disajikan kemudian dengan situasi yang tidak sesungguhnya terjadi. Dengan mengidentifikasi karakter fiksi, pelajar dapat memperoleh kesenangan untuk orang lain yang pada umumnya tersedia untuk mereka.

3. Extrinsic motivation : Djamarah 2002 menjelaskan motivasi ekstrinsik

sebagai kebalikan dari motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang timbul karena adanya rangsangan dari luar. Motivasi belajar dikatakan ekstrinsik bila anak didik menempatkan tujuan belajarnya di luar dari faktor-faktor situasi belajar. Anak didik belajar karena hendak mencapai tujuan yang terletak di luar hal yang dipelajarinya. Misalnya, untuk mencapai angka tinggi, diploma, gelar, kehormatan, dan sebagainya. Ryan dan Deci 2000 menjabarkan motivasi ekstrinsik sebagai konstruk yang berhubungan apabila sebuah aktifitas selesai dilakukan dengan perintah untuk mencapai beberapa hasil yang terpisah. Motivasi ekstrinsik demikian berbeda dengan motivasi intrinsik, yang mana melakukan aktifitas semata-mata hanya untuk kesenangan dari melakukan aktfitas tersebut, dari pada nilai yang yang ada pada aktifitas tersebut. Sebagai contoh, pelajar yang mengerjakan tugas nya hanya karena dia takut terkena sangsi dari orang tuanya jika tidak mengerjakan tugas tersebut juga termasuk tingkah laku yang termotivasi secara ekstrinsik karena dia mengerjakan tugas tersebut untuk mencapai hasil yaitu menghindari sangsi yang akan diberikan. Begitu juga, seorang pelajar yang merngerjakan tugas karena dia secara pribadi percaya apa yang dia kerjakan itu bernilai atau berarti untuk dirinya dalam memilih karir di masa depan juga termasuk termotivasi secara ekstrinsik karena dia juga bernanggapan dia melakukan sesuatu untuk nilai-nilai yang ada melainkan karena dia menemukan ketertarikan dalam melakukan hal tersebut. Pintrich dan Schunk 2002 menjelaskan definisi motivasi ekstrinsik adalah motivasi untuk melibatkan diri dalam beraktifitas yang berarti pada akhirnya. Individu yang termotivasi secara ekstrinsik mengerjakan tugas karena mereka percaya keterlibatan akan menghasilkan sesuatu yang menarik pada apa yang telah dikerjakan seperti hadiah, pujian dari guru, atau terhindar dari hukuman. Vansteenkiste, et al 2006 menjelaskan tingkah laku yang termotivasi secara ekstrinsik didefinisikan sebagai keterlibatan dalam aktifitas untuk memperoleh hasil yang terpisah dari aktifitas yang dilakukan, dengan kata lain kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak terkandung didalam aktifitas yang dilakukan. Sardiman 2008 motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sebagai contoh seseorang itu belajar, karena tahu besok paginya akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai baik, sehingga akan dipuji oleh pacarnya, atau temannya. Jadi yang penting bukan karena belajar ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik, atau agar mendapatkan hadiah. Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar. Perlu ditegaskan, bukan berarti bahwa motivasi ekstrinsik ini tidak baik atau tidak penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik. Tipe-tipe extrinsic motivation Ryan dan Deci 2000 dalam teori self-determination nya menjelaskan ada beberapa tipe dari motivasi ekstrinsik, yairu : External regulation Begitu tingkah laku ditampilkan untuk memperoleh kepuasan permintaan dari luar atau memperoleh imbalan dari luar yang dibebani. Individu itu biasanya memiliki pengalaman eksternal dalam meregulasi tingkah laku sebagai kontrol. Pintrich dan Schunk 2002 memberikan contoh dari external regulation sebagai berikut; pelajar yang pada awalnya mungkin tidak ingin mengerjakan tugas tetapi tetap dilakukan karena ingin memperoleh imbalan dari guru dan ingin menghindari hukuman. Pelajar ini merespon baik terhadap ancaman dan hukuman atau tawaran imbalan ekstrinsik dan kecenderungan untuk menjadi penurut. Mereka tidak termotivasi secara intrinsik dan tidak memperlihatkan ketertarikan yang tinggi, tetapi mereka cenderung untuk berperilaku baik dan mencoba untuk mengerjakan tugas mereka untuk memperoleh imbalan dan menghindari hukuman. Introjected regulation Introjected Regulation dijelaskan sebagai tipe dari regulasi internal yang sedikit mengontrol karena seseorang menampilkan tindakan-tindakan dengan perasaan tertekan untuk menghindari rasa bersalah atau kecemasan atau untuk mencapai peningkatan-ego atau kebanggaan. Pintrich dan Schunk 2002 memberikan contoh bahwa pelajar mungkin terlibat dalam pengerjaan tugas karena mereka berfikir mereka harus melakukannya da mungkin akan merasa bersalah jika mereka tidak melakukannya misal, belajar untuk ujian. Pelajar tersebut tidak melakukannya semata-mata untuk memperoleh imbalan atau untuk menghindari hukuman; perasaan terhadap rasa bersalah atau “harus” sebenarnya bentuk internal pada orang tersebut, tetapi sumbernya tetap berada dari luar karena mereka mungkin melakukan hal tersebut untuk menyenangkan orang lain guru, orang tua. Idenfication Ryan dan Deci 2000 menjelaskan nya sebagai seseorang diidentifikasi melalui kepentingan personal dari tingkah laku mereka dan demikian dapat diterima oleh regulasi sebagai keinginan mereka. Pintrich dan Schunk 2002 menjelaskannya sebagai keterlibatan individu dalam aktifitas karena secara personal penting bagi mereka. Sebagai contoh, seorang pelajar mungkin belajar berjam-jam untuk ujian sebagai syarat untuk memperoleh nilai yang baik agar dapat diterima di universitas. Pelajar yang ingin mengerjakan tugasnya karena mereka pikir itu penting bagi mereka, meskipun karena alasan kegunaan atau manfaat lebih banyak keluar ketimbang ketertarikan secara intrinsik pada tugas tersebut. Integrated regulation Dimana individu menggabungkan bermacam sumber internal dan eksternal dari informasi kedalam skema-diri mereka dan keterlibatan dalam tingkah laku karena sebuah kepentingan untuk perasaan terhadap diri mereka. Penggabungan terjadi ketika regulasi mengidentifikasi secara penuh dan menyatu pada diri kita. Ini terjadi melalui pengujian diri dan membawa regulasi baru kepada penyesuaian dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

2.1.6 Pengukuran motivasi belajar

Telah banyak pengukuran yang dilakukan terhadap motivasi belajar, diantaranya berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan oleh Vallerand, et al 1992 yang disebut dengan Academic Motivation Scale. Pengukuran yang dilakukan berdasarkan dari teori yang dikemukakan oleh Ryan dan Deci 2000 tentang motivasi, dan membagi jenis dari motivasi menjadi tiga, yaitu; Amotivation, Intrinsic Motivation, dan Extrinsic Motivation. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan aspek Amotivation dari skala baku yang ada dan hanya menggunakan tiga sub skala di bagi dari extrinsic motivation external, introjected, dan identified regulation, dan tiga lagi di bagi dari intrinsic motivation motivasi intrinsik untuk tahu, untuk menyelesaikan tugas, dan memahami rangsangan sehingga jumlah item dari skala baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 item pernyataan berdasarkan skala baku yang digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan alat ukur yang sama, yaitu Academic Motivation Scale. Karena sesuai dengan konstruk teori yang peneliti jelaskan di atas tetapi dengan melakukan modifikasi pada item-item skala tersebut. 2.2 Konsep Diri 2.2.1 Definisi konsep diri Manning 2007 menjelaskan konsep diri self-concept sebagai persepsi pelajar terhadap evaluasi kompetensi atau kemampuan yang terwujud dalam persepsi diri self-perception yang ada pada dirinya. Pada perkembangan pelajar, mereka lebih baik memahami bagaimana orang lain memandang kemampuan mereka dan lebih baik mereka membedakan antara usaha-usaha yang mereka lakukan dan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Sebagai hasilnya, persepsi-diri mereka menjadi lebih tinggi dan akurat. Wigfield, et al 2005 menjelaskan konsep diri sebagai kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka. Sedangkan Atwater 1983 menjelaskan definisi konsep diri sebagai keseluruhan bagaimana individu memandang dirinya. Konsep diri disusun dari semua persepsi terhadap “aku” dan “saya” bersama dengan semua perasaan, nilai- nilai, dan kepercayaan menyatu dengan semua bagian tersebut. Sebenarnya, apa yang disebut konsep diri itu lebih sebagai sebuah kumpulan dari diri kita ketimbang sebuah hal yang statis. Ini meliputi ratusan dari persepi-diri dalam pengalaman individu dengan orang lain. Cooley dalam Burns, 1993 mendefinisikan self “sebagai sesuatu yang dirancang melalui percakapan yang umum melalui kata ganti orang pertama yaitu, ‘saya’, ‘aku’ ”. Dia mengenalkan sebuah konsep “looking-glass self”, dengan pemikiran bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi oleh apa yang diyakini individu-individu bagaimana orang lain berpendapat mengenai dirinya. Cooley menunjukkan betapa pentingnya umpan balik yang di interpretasikan secara subyektif dari orang-orang lain sebagai sumber data utama mengenai diri. G. H Mead dalam Burns, 1993 mengembangkan dari konsep looking- glass self dari Cooley. Dia mencatatkan bahwa konsep-diri muncul dalam interaksi sosial sebagai sebuah hasil dari kepedulian individu tentang bagaimana orang lain bereaksi terhadap orang lain. Sebagai sebuah antisipasi terhadap reaksi dari orang lain sehingga mereka dapat berperilaku sesuai dengan situasi nya, individu belajar mempersepsikan dunianya melalui sesuatu yang dia lakukan. Rogers dalam Burns, 1993 menjelaskan bahwa diri itu merupakan sebuah faktor dasar di dalam pembentukan kepribadian dalam bertingkah laku. Konsep diri merupakan organisasi diri yang menjadi penentu determinant yang paling penting dari respon individu terhadap lingkungannya. Calhoun dan Acocella 1990 mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang. Burns 1993 mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai. Jadi definisi konsep diri dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka.

2.2.2 Jenis-jenis konsep diri

Calhoun dan Acocella 1990 membagi konsep diri menjadi dua jenis, yaitu; • Konsep diri positif ; ciri konsep diri yang positif adalah yakin terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mengatasi masalah, merasa sejajar dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, sadar bahwa tiap orang mempunyai keragaman perasaan, hasrat, dan perilaku yang tidak disetujui oleh masyarakat serta mampu mengembangkan diri karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang buruk dan berupaya untuk mengubahnya. Konsep diri yang positif adalah penerimaan yang mengarahkan individu ke arah sifat yang rendah hati, dermawan, dan tidak egois • Konsep-diri negatif , ciri konsep diri negatif adalah peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, punya sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disukai orang lain, dan pesimistis terhadap kompetisi. Lebih jauh lagi, Calhoun dan Acocella membagi konsep diri negatif menjadi dua, yaitu: 1. Pertama, yaitu pandangan seseorang terhadap dirinya tidak teratur, tidak memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Kondisi seperti ini acapkali terjadi pada remaja. Namun, tidak menutupi kemungkinan terjadi pada orang dewasa. Pada orang dewasa hal ini dapat terjadi karena ketidakmampuan menyesuaikan diri. 2. Kedua, kebalikan dari yang pertama, yaitu konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu alias kaku. Hal ini karena pola asuh dan didikan yang sangat keras.

2.2.3 Dimensi konsep diri

Dari Atwater 1983 membagi konsep diri menjadi beberapa dimensi yaitu: The subjective self Subjektifitas diri kita, adalah bagaimana cara kita memandang diri kita, terbentuk dari begitu banyaknya persepsi diri yang kita peroleh semasa perkembangan hidup kita. Perkembangan self kita kebanyakan dipengaruhi oleh bagaimana kita dipandang dan diperlakukan oleh orang-orang terdekat kita, khususnya oleh orang tua kita. Ketika kita muda dan mudah terpengaruh, kita cenderung untuk memahami apa yang mereka pikir tentang kita, penilaian dan pengharapan mereka, bersamaan dengan penerimaan diri kita. Burns 1993 menjelaskan pembentukan konsep diri dan evaluasi-evaluasi mereka yang berhubungan dengannya berasal dari penyusunan nilai-nilai subyektif orang tersebut yang berarti dan berkenaan dengan perbuatan-perbuatan dan sifat- sifatnya. Body image Salah satu sumber yang utama dan yang terpenting dari persepsi diri kita adalah gambaran diri body image kita. Ini adalah bagaimana bagaimana caranya kita melihat diri kita. Gambaran diri meliputi tidak hanya apa yang kita lihat pada diri kita yang terlihat di kaca, tetapi juga cara kita memahami tubuh kita. Seymour Fisher dalam Atwater, 1983 menekankan tidak ada pandangan yang lebih menarik melainkan gambaran diri kita yang terpancar melalui kaca. Makna dari body image itu sendiri berbeda pada tiap jenis kelamin. Wanita pada umumnya lebih terfokus pada ketertarikan atau daya tarik sosial yang ditujukan pada penampilan mereka. Sedangkan pria, bagaimanapun, menekankan pada kemampuan fisik atau apa yang dapat mereka lakukan oleh tubuhnya sebagai bentuk pengaruh dari lingkungan. Meskipun kedua jenis kelamin tersebut setuju terhadap pandangan pada pentingnya keberagaman karakteristik pada tubuh, terutama pada penampilan yang umum dan bentuk wajah, selalu saja terdapat perbedaan. Burns 1993 menjelaskan bahwa body image atau citra tubuh adalah merupakan gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik seseorang. Sosok tubuh, penampilan dan ukurannya merupakan hal yang penting dalam mengembangkan pemahaman tentang evolusi konsep diri seseorang. Tinggi tubuh, berat, warna kulit, proporsi tubuhnya menjadi sedemikian berkaitan dengan sikapnya terhadap dirinya sendiri dan perasaan tentang kemampuan pribadi dan kemampuan menerima keadaan orang lain. Grogan dalam Liechty dan Yarnal, 2010 menjelaskan bahwa body image mengarah pada sikap seseorang, evaluasi, perasaan dan persepsi mereka tentang bentuk tubuhnya. Berikutnya Cash, dkk dalam Liechty dan Yarnal, 2010 menjelaskan bahwa body image adalah konstruk multi-dimensional yang melingkupi persepsi individu dari beberapa dan keseluruhan aspek dari tubuh, meliputi berat badan dan bentuknya, bentuk wajah, kemampuan tubuh, dan kesehatan fisik. Bernadetta 2010 menjelaskan bahwa pada pengamatan terakhir pada perilaku remaja, terungkap perubahan besar pada sikap mereka terhadap perubahan bentuk tubuh, ketika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebuah peningkatan pada ketertarikan terhadap penampilan bentuk tubuh, masih diperkuat oleh keinginan yang dinilai berdasarkan ketertarikan pada masyarakat, telah diamati pada remaja muda. “seperti apa saya?” tergantung kepada “seperti apa saya terlihat” bagi orang lain. Body image adalah penentu yang paling signifikan terhadap daya tarik kita serta daya tarik kita terhadap orang lain. Persepsi body image dan penampilan tubuh kita juga dapat dipengaruhi oleh sikap orangtua kita terhadap komponen- komponen pembentuk yang signifikan pada tubuh kita. The ideal self Cara seseorang memandang dirinya sebagai sosok yang ideal, seseorang dipandang oleh orang lain sebagai diri pribadi yang didambakan. Biasanya, kita berfikir untuk merubah gambaran-diri kita dan tingkah laku kita untuk beradaptasi ke diri ideal kita. Sesungguhnya, ada beberapa petunjuk bahwa diri ideal kita tidak berubah atau tetap dan lebih konsisten sepanjang waktu ketimbang diri-subjektif kita. Tetapi ketika harapan-harapan membutktikan untuk menjadi sesuatu yang berlebihan atau tidak realistis, ini akan mejadi lebih pantas untuk kita untuk merubah diri-ideal kita menjadi sebuah cara untuk melanjutkan perkembangan kita dan self-esteem kita. Menurut Strang dalam Burns, 1993 diri ideal adalah macam pribadi yang di harapkan individu tersebut menjadi pribadi yang sesuai atau didambakan. Lalu menurut Burns 1993 saat pandangan seorang anak tentang bagaimana keadaan dia saat ini hampir sama dengan yang dia yakini dan dia cita-citakan, dia mengekspresikan apa yang tampaknya sebagai suatu pandangan mengenai dirinya yang menyenangkan. Sedangkan menurut Rogers dalam Burns, 1993 menjelaskan bahwa diri ideal yang diperkenalkan ke dalam teori itu sebagai “konsep diri yang paling disukai untuk dimiliki oleh individu, kepadanya dia menempatkan nilai tertinggi mengenai dirinya sendiri”. Berikutnya Burns 1993 menjelaskan bahwa citra fisik yang ideal ini didasarkan pada norma- norma budaya dan stereotip-stereotip yang dipelajari. Semakin mendekati kecocokan di antara citra tubuh yang telah ada dan yang ideal yang dipegang oleh seorang individu maka semakin besar kemungkinannya orang tersebut akan menunjukkan secara umum perasaan harga diri yang tinggi begitu pula akan merasa positif tentang penampilannya. Our social selves Tiap kali kita bertemu dengan orang lain, kita terpengaruh oleh sikap-sikap orang tersebut dan tingkah lakunya pada kita. Sebagai hasilnya, kita cenderung untuk merubah tingkah laku kita agar dapat diterima oleh mereka, dan dalam prosesnya kita merubah persepsi diri kita menjadi lebih baik. Dari apa yang telah kita bicarakan tentang kecenderungan self-perpetuating pada self-concept kita, ini akan terlihat jelas ketika kita tidak merubah apapun pada diri kita. Apa yang kita rubah adalah persepsi terhadap diri kita yang lebih yang mudah dicapai terhadap pengaruh sosial, atau diri-sosial kita. Ini meliputi semua persepsi diri kita yang disusun melalui peran sosial kita atau apa yang orang lain harapkan pada diri kita, sebagaimana orang lain memperlakukan kita dengan baik. Pada sisi yang positif, kemampuan kita untuk memiliki banyak diri-sosial kita memberanikan kita untuk mengembangkan aspek-aspek pada potensi diri kita. Setiap waktu kita mencoba untuk melakukan aktifitas baru di waktu senggang atau pekerjaan kita atau memperoleh teman baru, anda memuaskan kebutuhan yang lain dan ketertarikan kita pada aktifitas baru tersebut. Pada sisi yang negatif, keberagaman pada diri kita dan apa yang tampak sebagai sebuah ancaman terhadap identitas personal kita. Ini akan menjadi masalah bagi tiap orang yang hidup dalam masyarakat yang memiliki keberagaman. Orang tua dari remaja mengharapkan satu hal, sedangakan teman- temannya mengharapkan yang lain, dan sang guru dan pegawainya lainnya juga memiliki harapan yang lain. Mencoba untuk membahagiakan mereka semua mungkin akan membawa kita kepada kebingungan identitas. Meskipun ada keberagaman yang luas antara diri individu, kecenderungan ini mengarahkan kebingungan identitas cenderung untuk menjadi puncak dalam perkembangan remaja. G. H. Mead dalam Burns, 1993 menjelaskan bahwa diri dari setiap individu berkembang sebagai hasil dari aktifitas sosial dan pengalaman dan hubungan dengan individu lainnya di dalam proses tersebut. Konsep diri sebagai suatu obyek timbul di dalam interaksi sosial sebagai suatu hasil perkembangan dari perhatian individu tersebut mengenai bagaimana orang lain bereaksi kepadanya.

2.2.4 Faktor yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri

Calhoun dan Acocella 1990 mengemukakan tentang sumber informasi yang penting dalam pembentukan konsep diri antara lain: • Orangtua , dikarenakan orangtua adalah kontak sosial yang paling awal dan yang paling kuat dialami oleh individu • Teman sebaya peer group, teman sebaya menempati peringkat kedua karena selain individu membutuhkan cinta dari orangtua juga membutuhkan penerimaan dari teman sebaya dan apa yang diungkapkan pada dirinya akan menjadi penilaian terhadap diri individu • Masyarakat , dalam masyarakat terdapat norma-norma yang akan membentuk konsep diri pada individu, misalnya pemberian perlakuan yang berbeda pada laki-laki dan perempuan akan membuat laki-laki dan perempuan berbeda dalam berperilaku.

2.2.5 Fungsi konsep diri

Pujijogjanti dalam Ghufron dan Risnawita, 2010 ada tiga peranan penting dari konsep diri sebagai penentu perilaku, yaitu: • Konsep diri berperan dalam mempertahankan keselarasan batin. Pada dasarnya individu selalu mempertahankan keseimbangan dalam kehidupan batinnya. Bila timbul perasaan, pikiran dan persepsi yang tidak seimbang atau bahkan saling berlawanan, maka akan terjadi iklim psikologi yang tidak menyenangkan sehingga akan merubah perilaku. • Keseluruhan sikap dan pandangan individu terhadap diri berpengaruh besar terhadap pengalamannya. Setiap individu akan memberikan penafsiran yang berbeda terhadap sesuatu yang dihadapi. • Konsep diri adalah penentu pengharapan individu. Jadi pengharapan adalah inti dari konsep diri. Konsep diri merupakan seperangkat harapan dan penilaian perilaku yang menunjuk pada harapan tersebut. Sikap dan pandangan negatif terhadap kemampuan diri menyebabkan individu menetapkan titik harapan yang rendah. titik tolak yang rendah menyebabkan individu tidak mempunyai motivasi yang tinggi. Berdasarkan ketiga peranan konsep diri tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep diri selain berperan sebagai pengharapan juga berperan sebagai sikap diri sendiri dan penyeimbang batin bagi individu.

2.2.6 Pengukuran konsep diri

Pengukuran konsep diri telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dalam penjelasan berikut ini peneliti mencoba menjabarkan salah satu pengukuran konsep diri. Stake 1994 melalui penelitian nya mencoba mengukur konsep diri yang diberi nama Sic-Factors Self-Concept Scale SFSCS dari enam aspek, yaitu; power, task accomplishment, giftedness, vulnerability, likeability, dan morality. Sedangkan dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan skala konsep diri dengan memodifikasi berdasarkan dari dimensi-dimensi yang dijelaskan oleh Atwater 1983 yaitu; subjective self, ideal self, body image, dan social self. 2.3 Dukungan Sosial 2.3.1 Pengertian dukungan sosial Sarafino 2002 mendefinisikan dukungan sosial sebagai pandangan terhadap kenyamanan, perhatian, penghargaan ataupun bantuan yang diterima individu dari orang lain. Sarason, et al 1983 menekankan pada tersedianya orang lain yang dapat kita percaya, yang kemudian menimbulkan perasaan bahwa kita memiliki arti bagi orang lain, orang yang membiarkan kita mengetahui bahwa mereka perduli kepada kita, menghargai, dan mencintai kita. Teori Bolwby tentang kelekatan dalam Sarason, et al, 1983 menekankan pada interpretasinya dalam dukungan sosial. Ketika dukungan sosial, dalam bentuk sosok kelekatan, yang ada dalam kehidupan kita, Bolwby percaya anak akan menjadi ketergantungan-diri, bersandar pada fungsi sebagai dukungan untuk orang lain, dan dapat mengurangi kecenderungan pada psikopatologi dalam hidup. Cohen 2004 menjelaskan dukungan sosial mengarah kepada ketersediaan jaringan sosial dari sumber-sumber psikologikal dan material yang ditujukan untuk memberikan keuntungan pada kemampuan individu dalam mengatasi stress. Kim, et al 2008 mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi dari orang lain yang dicintai dan perduli, dihargai dan bernilai, dan bagian dari jaringan komunikasi dan saling mengisi. Ini dapat bersumber dari pasangan atau sahabat, keluarga, teman-teman, rekan sekerja, dan komunitas yang memiliki kesamaan. Dukungan sosial sangat efektif dalam mengurangi tekanan psikologis, seperti depresi atau kecemasan, jangka waktu ketika stress, dan berkaitan dengan berbagai bentuk kesehatan fisik yang menguntungkan. Bernal, et al, 2003 menjelaskan bahwa dukungan sosial adalah interaksi manusia dalam hal sosial, emosional, instrumental, dan sesuatu yang menghibur saling bertukar. Fenomena sosial ini saling berkaitan dengan stress, depresi, dan masalah kesehatan mental. Jadi definisi dukungan sosial dalam penelitian ini adalah sebagai informasi dari orang lain yang dicintai dan perduli, dihargai dan bernilai, dan bagian dari jaringan komunikasi dan saling mengisi. Ini dapat bersumber dari pasangan atau sahabat, keluarga, teman-teman, rekan sekerja, dan komunitas yang memiliki kesamaan.

2.3.2 Jenis dukungan sosial

Sarafino 2002 menjelaskan beberapa jenis dari dukungan sosial sebagai berikut; 1. Dukungan emosional , yaitu suatu bentuk dukungan yang diekspresikan melalui perasaan positif yang berwujud empati, perhatian dan kepedulian terhadap individu lain. 2. Dukungan penghargaan , adalah suatu bentuk dukungan yang diekspresikan melalui penghargaan dan tanpa syarat atau apa adanya. Bentuk dukungan sosial seperti ini dapat menimbulkan perasaan berharga dan kompeten. Kemudian, House dalam dalam Glanz, et al, 2008 menjelaskan bahwa dukungan ini menyediakan informasi yang berguna sebagai evaluasi diri, dengan kata lain, umpan balik yang konstruktif dan penegasan. 3. Dukungan instrumental , merupakan dukungan sosial yang diwujudkan dalam bentuk langsung. Misalnya seperti memberi uang. 4. Dukungan informatif , adalah suatu dukungan yang diungkapkan dalam bentuk pemberian nasehat atau saran. 5. Dukungan jaringan , yaitu bentuk dukungan yang diperoleh melalui keterlibatan dalam suatu aktivitas kelompok yang diminati oleh individu yang bersangkutan.

2.3.3 Komponen dukungan sosial

Para ahli berpendapat bahwa dukungan sosial dapat dibagi ke dalam berbagai komponen yang berbeda-beda. Misalnya Russell dan Cutrona, 1987 mengemukakan adanya 6 enam komponen dukungan sosial yang disebut sebagai “The Social Provision Scale”, dimana masing-masing komponen dapat berdiri sendiri-sendiri, namun satu sama lain saling berhubungan dan digunakan sebagai pengukuran pada dukungan sosial. Adapun komponen-komponen tersebut adalah: 1. Kerekatan emosional emotional attachment. Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seseorang untuk memperoleh kerekatan kedekatan emosional sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerima. Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa tenteram, aman dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan bahagia. Sumber dukungan sosial semacam ini yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan hidup, namun bisa juga diperoleh melalui hubungan yang akrab dengan kerabat. 2. Integrasi sosial social integration. Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan seorang untuk memperoleh perasaan memiliki di dalam kelompoknya yang memungkinkan untuk membagi minat, perhatian serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersama-sama. Sumber dukungan semacam ini memungkinkan seseorang mendapatkan rasa aman, nyaman serta merasa memiliki dan dimiliki dalam kelompok. 3. Adanya pengakuan reanssurance of worth. Pada dukungan sosial jenis ini seseorang akan mendapatkan pengakuan atas kemampuan dan keahliannya serta mendapat penghargaan dari orang lain atau lembaga. Sumber dukungan sosial semacam ini dapat berasal dari perusahaan atau organisasi dimana sang pegawai tersebut bekerja. Karena jasa, kemampuan dan keahliannya maka ia tetap mendapat perhatian dan santunan dalam berbagai bentuk penghargaan. Uang pensiun mungkin dapat dianggap sebagai salah satu bentuk dukungan sosial juga, bila seseorang menerimanya dengan rasa syukur. Bentuk lain dukungan sosial berupa pengakuan adalah mengundang para pegawai pada setiap event atau hari besar untuk berpartisipasi dalam perayaan tersebut bersama-sama dengan para pegawai lain. 4. Ketergantungan yang dapat diandalkan reliable reliance. Dalam dukungan sosial jenis ini, seseorang mendapat dukungan sosial berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat diandalkan untuk membantunya ketika ia membutuhkan bantuan tersebut. 5. Bimbingan guidance. Dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya hubungan sosial yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan informasi, saran, atau nasehat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan yang dihadapi. 6. Kesempatan untuk mengasuh opportunity for nurturance. Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal akan perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan sosial ini memungkinkan seseorang untuk memperoleh perasaan bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh kesejahteraan.

2.3.4 Sumber Dukungan Sosial

Sumber-sumber dukungan sosial banyak diperoleh individu dari lingkungan sekitarnya. Namun perlu diketahui seberapa banyak sumber dukungan dukungan sosial ini efektif bagi individu yang memerlukan. Sumber dukungan sosial merupakan aspek paling penting untuk di ketahui dan di pahami. Dengan pengetahuan dan pemahaman tersebut, seorang akan tahu pada siapa ia akan mendapatkan dukungan sosial yang sesuai dengan situasi dan keinginannya yang spesifik, sehingga dukungan sosial memiliki makna yang berarti bagi kedua belah pihak. Wentzel 1998 dalam penelitiannya menjelaskan hubungan sosial manusia berdasarkan sumber-sumber dukungan sosial ada tiga, yaitu: keluarga, guru-guru atau orang lain sekitar dan teman sebaya peer group mereka. Murphy dan Moriarty dalam Sarason, et al, 1983 menemukan bahwa ketersediaan dukungan dari keluarga meningkatkan ketahanan pada diri anak dalam menghadapi stress. Di dalam panti sosial atau panti asuhan, keberadaan orang tua mereka di gantikan dengan orang tua asuh mereka. Menurut Sidney Cobb dalam Sarafino, 2002 orang dengan dukungan dukungan sosial percaya bahwa mereka itu dicintai, diperdulikan, dihargai dan bernilai, dan merupakan bagian dari jaringan social, seperti di dalam keluar atau komunitas dari sebuah organisasi, yang dapat mengembangkan kebaikan, pelayanan, dan saling membantu ketika dalam kesusahan. Arslan 2009 menjelaskan bahwa penting bagi remaja dalam mengumpulkan informasi tentang bagaimana cara remaja memandang lingkungan dan penilaiannya terhadap dukungan sosial. Sistem dukungan sosial individu meliputi teman sebaya, teman-teman, dan anggota keluarga, tetapi yang lebih penting lagi dari sumber dukungan sosial adalah keluarga, teman sebaya, dan guru-guru. Berdasarkan uraian di atas, maka dukungan sosial yang diterima individu dapat diperoleh dari anggota keluarga, teman sebaya, dan organisasi kemasyarakatan yang diikuti. Dalam penelitian ini, sumber dukungan sosial bagi remaja di panti sosial dapat diperoleh dari pengasuh dan teman-teman di panti asuhan. Bagi remaja panti sosial, lingkungan panti sosial merupakan lingkungan utama yang dikenalnya, sehingga merupakan sumber dukungan sosial yang utama bagi remaja. Dukungan sosial tersebut remaja dapatkan dari pengasuh dan teman- teman sesama penghuni panti sosial. Remaja yang tinggal di panti sosial berkembang dengan bimbingan dan perhatian pengasuh yang berfungsi sebagai pengganti orang tua.

2.3.5 Faktor yang mempengaruhi dukungan sosial

Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan sosial, menurut Hupcey dalam Rash, 2007 adalah sebagai berikut; • Tindakan-tindakan seseorang dalam menyediakan sumber-sumber dukungan sosial. • Penerima dukungan sosial memiliki rasa bahwa dirinya telah diperdulikan atau perasaan terhadap kelangsungan hidup • Tindakan tersebut memiliki dampak yang positif terhadap hasil yang terjadi. • Adanya hubungan antara penyedia sumber dukungan sosial dengan penerima. • Dukungan tidak diberikan dari dan atau untuk sebuah organisasi, komunitas, atau dari seorang profesional. • Dukungan tidak memiliki tujuan negatif atau diberikan secara enggan.

2.3.6 Pengukuran

Pengukuran dukungan sosial telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu. Diantaranya Sarason, et al 1983 meneliti tentang pengukuran dukungan sosial melalui kuesioner yang diberi nama Assessing Social Support: The Social Support Questioner. Berikutnya yaitu Russell dan Cutrona 1987, yang mengukur dukungan sosial melalui komponen-komponen dari dukungan sosial yang mereka sebut dengan The Social Provisions Scale, terdiri dari enam komponen yang membentuk dukungan sosial dan keberadaannya saling memiliki keterkaitan yaitu, kerekatan emosional emotional attachment, integrasi sosial social integration, adanya pengakuan reanssurance of worth, ketergantungan yang dapat diandalkan reliable reliance, bimbingan guidance, kesempatan untuk mengasuh opportunity for nurturance.

2.5 Kerangka Berfikir

Motivasi belajar adalah motivasi pada diri pelajar yang secara alami aktif dengan hasrat pada diri pelajar untuk berpartisipasi dalam proses belajar dan kekuatan yang mendorong, menopang, dan mengarahkan perilaku ke arah tujuan akhir goal. Sedangkan konsep-diri adalah kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka. Berdasarkan dimensi konsep diri yang dijelaskan oleh Atwater 1983 ada empat mensi yaitu: subejctive self, body image, ideal self dan social self, peneliti mencoba mencari dari ke-empat dimensi tersebut, dimensi mana yang akan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap motivasi belajar. Subjective self berkaitan dengan pandangan individu terhadap dirinya sendiri, evaluasi dan harapan-harapan yang ada pada dirinya, body image berkaitan dengan pandangan individu terhadap bentuk fisik yang dimilikinya, kemudian ideal self adalah pandangan individu terhadap dirinya yang ideal dan social self yaitu kemampuan invidu dalam berinteraksi di lingkungan sosialnya. Kemudian, dukungan sosial adalah sebagai informasi dari orang lain yang dicintai dan perduli, dihargai dan bernilai, dan bagian dari jaringan komunikasi dan saling mengisi. Ini dapat bersumber dari pasangan atau sahabat, keluarga, teman-teman, rekan sekerja, dan komunitas yang memiliki kesamaan. Begitu juga dengan tiap aspek dari dukungan sosial, jika si anak semakin tinggi mendapatkan dukungan sosial baik itu dari orang tua, guru-guru, dan teman sebaya, maka motivasi nya akan semakin tinggi, begitu juga sebaliknya. Berdasarkan teori dari Sarafino 2002 mengenai dukungan sosial, ada lima jenis dukungan sosial yaitu, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif dan dukungan jaringan, diharapkan dari tiap jenis dukungan tersebut yang dapat diterima anak menjadikan si anak merasa lebih termotivasi, sehingga mencari dari jenis-jenis dukungan tersebut, dukungan mana yang berpengaruh secara signifikan. Bagan kerangka berfikir Konsep-Diri Subejctive Self Body Image Dukungan Sosial Dukungan Emosional Dukungan Penghargaan Dukungan Instrumental Dukungan Informatif Dukungan Jaringan Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial Ideal Self Social Self 2.6 Hipotesis penelitian 2.6.1 Hipotesis mayor