Pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap motivasi belajar remaja panti sosial

(1)

Pengaruh Konsep Diri dan Dukungan Sosial terhadap

Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial

SKRIPSI

DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS PSIKOLOGI UNTUK MEMENUHI SYARAT-SYARAT MENCAPAI GELAR SARJANA PSIKOLOGI

Oleh : Luqman Syah 106070002256

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1433 H / 2011


(2)

PENGARUH KONSEP DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP MOTIVASI BELAJAR REMAJA PANTI SOSIAL

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh:

LUQMAN SYAH NIM: 106070002256

Di bawah bimbingan:

Pembimbing I

Dra. Netty Hartati, M.Si NIP : 19531002 198303 2 001

Pembimbing II

Solicha, M.Si

NIP: 19720415 199903 2 001

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi yang berjudul “PENGARUH KONSEP DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL

TERHADAP MOTIVASI BELAJAR REMAJA PANTI SOSIAL” telah diujikan

dalam sidang munaqosyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 Desember 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.

Jakarta, 12 Desember 2011

Sidang Munaqosyah

Dekan/Ketua PembantuDekan/Sekretaris

Merangkap Anggota

Jahja Umar, Ph.D Dra.FadhilahSuralaga,M.Si

NIP: 130 885 522 NIP: 19561223 198303 2 001

Dra. Netty Hartati, M.Si . Solicha. M.Si


(4)

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Luqman Syah

NIM : 106070002256

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul PENGARUH KONSEP DIRI DAN DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP MOTIVASI BELAJAR REMAJA PANTI SOSIAL” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.

Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.

Jakarta, 21 November 2011

Luqman Syah . NIM: 106070002256


(5)

(6)

PERSEMBAHAN


(7)

ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (B) Desember 2011

(C) Luqman Syah

(D) xv + 92 halaman + lampiran

(E) Pengaruh Konsep Diri dan Dukungan Sosial Terhadap Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial

(F) Kemiskinan yang melatar belakangi sebagian anak yang ada di panti sosial, menjadikan si anak ingin mendapatkan perbaikan dalam hidup, keinginan untuk mendapatkan hidup yang layak nantinya dengan memperoleh ilmu dan pendidikan formal yang menjadikan mereka mempunyai kemampuan akademis yang tinggi guna menjadi modal untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak. Cita-cita dan keinginan untuk menjadi orang yang berhasil dan sukses, memotivasi anak untuk memperbaiki kehidupannya yang sekarang dengan mengikuti program pendidikan dan pelatihan yang diadakan di panti agar dapat memperoleh apa yang mereka cita-citakan.

Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi belajar, salah satunya yaitu konsep diri dan dukungan sosial yang berasal dari orang tua, teman sebaya dan orang-orang sekitar. Konsep diri berkaitan dengan evaluasi dan penilaian terhadap diri. Sedangkan dukungan sosial adalah dukungan dari orang lain yang dicintai dan perduli, dihargai dan bernilai dan bagian dari jaringan komunikasi yang saling mengisi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap motivasi belajar.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan menggunakan analisis regresi berganda dimana peneliti ingin melihat sumbangsih dari tiap-tiap

independent variable dengan jumlah sampel 90 remaja. Instrumen penelitian berupa skala dari konsep diri yang dibagi menjadi empat berdasarkan dimensi yaitu subjective self, body image, ideal self dan social self kemudian skala dari dukungan sosial yang dibagi menjadi lima berdasarkan jenis dukungan yaitu dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif dan dukungan jaringan.

Berdasarkan hasil uji hipotesis menggunakan analisis regresi, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah: Untuk uji hipotesis nihil mayor (H0) ditolak, karena “Ada Pengaruh yang Signifikan

Antara Konsep Diri dan Dukungan Sosial Terhadap Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial”. Selanjutnya untuk proporsi varians yang dapat dijelaskan oleh


(8)

self, social self) dan dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif, dukungan jaringan) sejumlah 46,4 % sedangkan sisanya sejumlah 53,6 % dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini.

Berdasarkan proporsi varians independent variable (IV) terhadap dependent variable (DV) yang dihasilkan melalui analisis statistik maka variabel

subjective self dari konsep diri dan variabel dukungan penghargaan dan dukungan informatif dari dukungan sosial yang berpengaruh signifikan terhadap motivasi belajar. Maka untuk uji hipotesis minor ada 3 hipotesis minor yang ditolak, yaitu, H01 (Tidak Ada Pengaruh yang Signifikan antara

Subjective Self Terhadap Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial) dengan nilai signifikansi (0.000) dan memberikan sumbangan sebesar 34,7 % terhadap motivasi belajar, H06 (Tidak Ada Pengaruh yang Signifikan Antara Dukungan

Penghargaan Terhadap Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial) dengan nilai signifikansi (0.016) dan memberikan sumbangsih terhadap motivasi belajar sebesar 4,3 % dan H08 (Tidak Ada Pengaruh yang Signifikan Antara

Dukungan Informatif Terhadap Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial) dengan nilai signifikansi (0.016) dan sumbangannya terhadap motivasi belajar sejumlah 4 %. Karena ketiga variabel tersebut, terbukti signifikan berdasarkan hasil analisis statistik.

Berdasarkan penelitian di atas, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya untuk menggunakan variabel lain seperti konsep diri akademik, self efficacy,dan self confidence. Serta menggunakan skala baku yang memiliki validitas dan reliabilitas yang tinggi dan menggunakan sampel pada panti sosial lain selain panti sosial Marsudi Putra Handayani, misalnya panti sosial di daerah Jakarta Selatan dan Jakarta Barat yang memiliki kriteria yang sama. (G) Daftar Bacaan: 36, 13 buku; 1 Ebook; 22 Jurnal.


(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahiim

Alhamdulillahirabbil’alamiin puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat kekuasaan-Nya, rahmat, karunia, anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam terlimpah kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarga, serta pengikutnya hingga akhir zaman. Allahumma shalli ‘ala saiyidinaa Muhammad wa’ala alisaiyidina Muhammad.

Skripsi ini, bukanlah hasil karya penulis seorang diri, karena banyak pihak yang berpartisipasi dalam penyelesaiannya. Oleh karena itu, izinkan penulis untuk mengucapkan sekedar rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah menjadi dekan inspiratif. Beribu pengalaman Bapak membuat kami menjadi lebih termotivasi lagi.

2. Jajaran Dekanat, Pudek I Ibu Fadhilah Suralaga, M.Si., Pudek II Bapak Bambang Suryadi, Ph.D., Pudek III Ibu Nihayah, M.Si., yang telah memberikan banyak ilmu serta pengalaman, baik sebagai pembimbing maupun dosen.

3. Ibu Netty Hartati, M.Si. dan Ibu Solicha, M.Si. yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberi saran serta dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis mendapat banyak masukan dan wawasan yang berharga.

4. Seluruh Dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya dengan kesabaran dan keikhlasan. Semoga ilmu yang telah diberikan berkah dan menjadi amal jariyah, amin.

5. Kedua orang tua penulis, H. Emus Alamsyach (alm) dan Hj. Djani Amdja, terima kasih telah merawat dan mendidik penulis. Ini adalah sebagian kecil kebanggaan yang dapat penulis berikan. Serta kepada semua saudara, Po’


(10)

Suroh, Bang Zen Hae, Po’ Iyam, Bang Jirin, Bang Oten, Opik, Memi dan Kacong.

6. Keluarga kecil dan sahabat penulis, Iswahyudi “Cat” dan Nabilah Yasmin, Dwi Atmoko (bibiw), Mr. Adiyo. R (Jambrong), Fajar “Gendut”, Supadi, Samsul, Fahmi “Sky” Cebsa, Rajib dan Acut, Eda “Edot” dan Pupis, Ucup dan Lili, Denil dan Afada, Tokecang yang selalu sabar, Ibnul, Nobel, Surya dan Bang Dodo, Khafidoh dan Indra “Abeng”, adik Vidya dan Aini, Eneng, Tika “Tucha” dan ibu, Fahmi Yazid, Andrew, dan Nelan yang rela jadi gitaris. Terima kasih atas segala pengalaman hidup yang sangat bernilai.

7. Seluruh pemain tim basket fakultas Psikologi UIN, Niken yang bersedia membantu penulis, Keke, Mamet, Hendra, Gori, Azis, Kholid, Sukma, Haikel, Leo, Fadel, Lingga, Rido, dan Bang Jul. Terima kasih atas perjuangan dan kemenangan yang kita raih.

8. Sahabat kecil penulis, Dian “Ciput” Safitri, Si kembar Anggra dan Citra, Kiwil, Nabila, Dwi “Pelo”, Tamil, Aji Pitoyo, yang telah membagi waktu dan pengalaman, serta Siti “Aci” Sulastri yang telah mengajarkan mendewasakan diri dari konflik yang ada.

9. Seluruh teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas C, 2007, 2008, 2009, 2010, dan 2011 yang telah berinteraksi dengan penulis dan memberikan inspirasi dan semangat dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Kepada Ibu Sri Musfiah dari pihak Panti Sosial Marsudi Putra Handayani,

terima kasih atas segala bantuan dan bimbingan selama KKL dan penelitian skripsi penulis dan adik-adik di panti yang tetap semangat meskipun dalam keterbatasan, semoga dapat meraih kesuksesan kelak, amin.

11. Keluarga besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Fakultas Psikologi atas segala pengalaman organisasi yang telah diberikan. 12. Semua pihak yang telah berinteraksi kepada penulis dan memberikan


(11)

Akhir kata, semoga skripsi ini memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan pembaca serta para pencari pengetahuan yang tidak pernah lelah belajar.

Jakarta, Desember 2011

Penulis


(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN OLEH PANITIA UJIAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ... iii

MOTTO ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vii

LEMBAR PERNYATAAN BUKAN PLAGIAT ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8

1.3. Tujuan Penelitian ... 10

1.4. Manfaat Penelitian ... 10

1.5. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KAJIAN TEORI ... 14

2.1. Motivasi belajar... 14

2.1.1. Definisi motivasi belajar ... 14

2.1.2. Komponen pembentuk motivasi belajar ... 16

2.1.3. Faktor-fakor yang mempengaruhi motivasi belajar ... 21

2.1.4. Fungsi motivasi………...26

2.1.5. Jenis-jenis motivasi………27

2.1.6. Pengukuran motivasi belajar………..37

2.2. Konsep diri ... 38

2.2.1. Definisi konsep diri ... 38

2.2.2. Jenis-jenis konsep diri ... 40

2.2.3. Dimensi konsep diri ... 41

2.2.4. Faktor-faktor pembentuk konsep diri………46

2.2.5. Fungsi konsep diri……….47

2.2.6. Pengukuran konsep diri……….48


(13)

2.3.1. Definisi dukungan sosial ... 49

2.3.2. Jenis-jenis dukungan sosial ... 50

2.3.3. Komponen dukungan sosial ... 51

2.3.4. Sumber-sumber dukungan sosial………...53

2.3.5. Faktor yang mempengaruhi dukungan sosial………...55

2.3.6. Pengukuran dukungan sosial……….56

2.4. Kerangka Berpikir... 56

2.5. Hipotesis Penelitian ... 59

BAB III METODE PENELITIAN ... 61

3.1. Pendekatan dan Jenis Peneitian ... 61

3.1.1. Pendekatan Penelitian ... 61

3.1.2. Jenis Penelitian ... 61

3.2. Populasi dan Sampel ... 61

3.2.1. Populasi ... 61

3.2.2. Sampel ... 61

3.2.3. Teknik pengambilan sampel ... 63

3.3. Variabel Penelitian ... 63

3.3.1. Definisi konseptual ... 64

3.3.2. Definisi operasional ... 65

3.4. Pengumpulan Data ... 65

3.4.1. Metode Pengumpulan Data……….65

3.4.2. Instrumen Penelitian………66

3.5. Teknik Uji Instrumen... 70

3.5.1. Uji validitas ... 70

3.5.2. Uji reliabilitas ... 70

3.6. Prosedur Penelitian ... 70

3.7. Teknik Analisis Data……….72

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN ... 73

4.1. Analisis Deskriptif ... 73

4.1.1 Deskriptif Subjek Penelitian………...73

4.1.2 Deskriptif Variabel Penelitian………73

4.2. Kategorisasi Variabel Penelitian ... 74

4.3 Hasil Uji Hipoteisis Penelitian ...77

4.3.1 Analisis Koefisien Regresi ...77

4.3.2 Hasil Uji Hipotesis Minor ...80

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ... 84

5.1. Kesimpulan ... 84

5.2. Diskusi ... 85

5.3. Saran ... . 89

5.3.1. Saran teoritis ... .89

5.3.2. Saran praktis ... . 89

DAFTAR PUSTAKA ... . 90 LAMPIRAN ...


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Pedoman Skoring Skala ... 66

Tabel 3.2 Hasil Try Out Skala Konsep Diri ... 67

Tabel 3.3 Hasil Try Out Skala Dukungan Sosial ... 68

Tabel 3.4 Hasil Try Out Skala Motivasi Belajar ... 69

Tabel 4.1 Deskriptif Statistik Variabel Penelitian ... 74

Tabel 4.2 Kategorisasi Motivasi Belajar ... 75

Tabel 4.3 Kategorisasi Dukungan Sosial ... 76

Tabel 4.4 R Square Change ... 77

Tabel 4.5 Tabel ANOVA Motivasi Belajar ... 78

Tabel 4.6 Koefisien Regresi ... 79


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Surat Keterangan Penelitian ... Hasil uji validitas dan reliabilitas alat ukur ... Hasil uji hipotesis mayor ... Hasil koefisien regresi ... Hasil uji proporsi varians ...


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

Bab pendahuluan ini membahas mengenai latar belakang penelitian, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Panti sosial sebagai pusat pelayanan dan rehabilitasi anak nakal dan berhadapan dengan hukum keberadaannya diharapkan dapat menjadi sarana tempat tinggal remaja dalam proses perkembangannya dan dapat memberikan ilmu serta pembentukan perubahan tingkah laku dan sikap pada remaja ke arah yang lebih baik. Karena banyak remaja yang berada di pinggir jalan, bahkan sampai melakukan tindak kriminal yang dapat membahayakan diri mereka. Masa muda mereka harusnya digunakan sebagai waktu untuk belajar dan memperoleh pendidikan yang layak dan dilindungi oleh suatu wadah yang menjamin pendidikan dan kehidupan keseharian mereka.

Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 28 B ayat 2 yaitu setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Begitu juga dengan pasal 34 ayat 1 yaitu fakir miskin


(17)

dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Di sinilah pentingnya keberadaan panti sosial yang menangani keberadaan anak-anak tersebut.

Kemiskinan yang melatar belakangi sebagian anak yang ada di panti sosial, menjadikan si anak ingin mendapatkan perbaikan dalam hidup, keinginan untuk mendapatkan hidup yang layak nantinya dengan memperoleh ilmu dan pendidikan formal yang menjadikan mereka mempunyai kemampuan akademis yang tinggi guna menjadi modal untuk memperoleh pekerjaan dan kehidupan yang layak. Cita-cita dan keinginan untuk menjadi orang yang berhasil dan sukses, memotivasi anak untuk memperbaiki kehidupannya yang sekarang dengan mengikuti program pendidikan dan pelatihan yang diadakan di panti agar dapat memperoleh apa yang mereka cita-citakan.

Kemudian, dalam hal ini peneliti beranggapan lingkungan pembentuk motivasi yang bertindak sebagai pendorong dalam kegiatan belajar untuk meraih prestasi di bidang akademik berbeda dengan remaja-remaja pada umumnya yang berada pada lingkungaan rumah dengan keluarga yang masih mampu secara ekonomi dalam membiayai sekolah. Dalam hal ini juga sumber dukungan yang didapatkan si anak berbeda karena keberadaan keluarga mereka di panti sosial telah digantikan oleh orangtua asuh yang bertindak sebagai orang yang mengasuh mereka di panti sosial. Serta lingkungan yang berbeda dari remaja pada umumnya yang menjadi perbedaan dalam pembentukan sikap dan perilaku tentang pandangan si anak terhadap dirinya tersebut. Sehingga inilah yang membuat peniliti tertarik untuk meneliti tentang motivasi remaja yang berada dalam lingkungan panti sosial.


(18)

Kuat lemahnya motivasi belajar seseorang turut mempengaruhi keberhasilan dalam belajar. Lingkungan sekitar juga menjadi pengaruh dalam terbentuk nya motivasi belajar. Mulai dari keluarga terdekat, teman sebaya (peer group), hingga lingkungan tempat remaja tersebut tinggal. Penguatan (reinforcement) perilaku yang termotivasi akan menjaga dan mempertahankan perilaku tersebut. Keterbatasan akan adanya dukungan dari orang-orang sekitar juga menjadi kekurangan yang dimiliki oleh remaja di panti sosial. Ryan dan Deci (2000) menjelaskan ruangan kelas dan lingkungan tempat tinggal dapat menumbuhkan motivasi yang ada dalam diri pelajar dengan dukungan untuk kemandirian dan kompetensi.

Selain itu motivasi belajar menjadi suatu bagian penting dalam diri remaja. Karena motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah dan bertahan lama. Mc. Donald (dalam Djamarah, 2002) mengatakan

motivaiton is energy change within the person charachterized by affective arousal and anticipatory goal reaction. Motivasi dapat didefinisikan dengan segala sesuatu yang menjadi pendorong tingkah laku yang menuntut atau mendorong seseorang memenuhi kebutuhan. Motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam diri pribadi seseorang yang di tandai dengan timbulnya afektif (perasaan) dan reaksi untuk mencapai tujuan dan keinginan untuk sukses dalam akademis.

Reynolds dan Miller (tanpa tahun) menjelaskan kebanyakan teori motivasi mencoba untuk memprediksi empat hasil penelitian yang umum. Pertama, teori motivasi tertuju pada mengapa individu memilih satu kegiatan dari sekian banyak


(19)

kegiatan yang ada, apakah itu keputusan dari hari ke hari mengenai pilihan kegiatan dalam tugas atau relaksasi atau yang lebih penting dan pilihan yang lebih serius mengenai karir, menikah, dan memiliki keluarga. Di bidang akademik, isu utama mengenai pilihan kegiatan memberikan perhatian tentang kenapa beberapa anak memilih untuk melakukan tugas sekolah mereka dan lainnya memilih untuk menonton televisi, berbicara di telepon, memainkan komputer, bermain dengan teman-temannya, atau banyak kegiatan lainnya yang bisa pelajar pilih untuk dilakukan dari pada mengerjakan tugas sekolah mereka.

Hasil penelitian kedua dari tingkah laku yang termotivasi adalah bahwa penelitian tentang motivasi telah menguji tingkatan kegiatan pelajar atau keterlibatan pelajar dalam mengerjakan tugas. Telah diasumsikan bahwa pelajar termotivasi ketika mereka mengerahkan segala daya dan upaya dalam mengerjakan tugas mereka, dari waktu tidur sampai keadaan dimana anak lebih aktif terlibat dalam pelajaran. Indikator tingkah laku dalam keterlibatan ini juga meliputi pencatatan hasil belajar yang di anggap penting, menanyakan pertanyaan yang baik di kelas, merasa mampu dan berani untuk mengambil resiko di kelas dengan mengerluarkan ide dan pendapat mereka, berkumpul setelah kelas selesai untuk diskusi menjelaskan lebih rinci tentang ide yang telah diberikan di kelas, mendiskusikan ide dari pelajaran dengan teman-teman kelas di luar jam pelajaran, menghabiskan waktu untuk belajar dan menyiapkan bahan untuk belajar atau ujian, menghabiskan waktu lebih banyak dalam pelajaran dari pada kegiatan lainnnya, dan mencari kegiatan belajar tambahan atau informasi baru dari perpustakaan atau sumber pelajaran lainnya yang akan dijelaskan di kelas.


(20)

Hasil yang ketiga dari tingkah laku yang termotivasi telah diuji dalam teori motivasi adalah keketekunan atau kegigihan. Jika individu menekuni tugas yang diberikan meskipun tugas yang dihadapi sulit, membosankan, atau melelahkan, dapat disimpulkan bahwa mereka termotivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Ketekunan sangat mudah diamati pada umumnya karena guru mempunyai kesempatan atau peluang untuk mengamati pelajar yang sedang mengerjakan tugas selama jam pelajaran. Guru dapat memberikan komentar pada pelajar yang tekun dan bekerja keras dalam mengerjakan tugas.

Hasil ke-empat dari teori motivasi telah menguji mengenai prestasi atau kinerja dalam ruang kelas, keterlibatan dalam hal ini memprediksi tingkat pemahaman pembelajaran, nilai dalam ujian kelas, atau kinerja mereka pada tes prestasi yang terstandarisasi. Ini adalah merupakan hasil yang penting dalam kegiatan belajar di sekolah.

Ryan dan Deci (2000) mencoba menjelaskan pembagian jenis motivasi menjadi tiga bagian, yaitu; Amotivation, keadaan dimana seorang anak sama sekali tidak memiliki motivasi untuk melakukan kegiatan yang sedang dilakukan oleh teman-temannya. Intrinsic motivation, adalah which refers to doing something because it inherently interesting or enjoyable, yaitu melakukan sesuatu karena ketertarikan dan menyenangkan. Kemudian yang terakhir, extrinsic motivation yaitu sebagai kebalikan dari motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang timbul karena adanya rangsangan dari luar. Motivasi belajar dikatakan ekstrinsik bila anak didik menempatkan tujuan belajarnya di luar dari faktor-faktor situasi belajar.


(21)

Manning (2007) menjelaskan konsep diri (self-concept) sebagai persepsi pelajar terhadap evaluasi kompetensi atau kemampuan yang terwujud dalam persepsi diri (self-perception) yang ada pada dirinya. Manning (2007) juga menjelaskan bahwa transisi pelajar dari sekolah menengah ke sekolah tingkat atas, konsep diri (self-concept) mereka secara bertahap tumbuh. Sanchez dan Roda (tanpa tahun) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara konsep diri dalam pencapaian akademik dengan pengukuran yang dilakukan terhadap kinerja akademik anak.

Bong dan Clark (1999) menjelaskan bahwa ada hubungan antara konsep diri dan motivasi akademik yang ada pada anak. Ketika si anak memiliki pandangan yang positif terhadap kemampuan yang ada pada dirinya akan memperoleh kesuksesan dan dapat melewati rintangan-rintangan yang mereka hadapi. Pada lain hal jika si anak dengan konsep diri yang negatif maka si anak akan merasa gagal untuk memperoleh atau memenuhi potensi yang ada dalam dirinya.

Secara umum dukungan sosial menurut Sarafino (2002) didefinisikan sebagai bermacam-macam bantuan material dan emosional yang diterima individu dari orang lain dan perhatian, perasaan nyaman dan bantuan yang di dapat dari orang lain atau kelompok sehingga menimbulkan perasaan bahwa kita memiliki arti bagi orang lain atau menjadi bagian dari jaringan sosialnya. Kemudian jenis dukungan sosial menurut Sarafino (2002) yaitu, dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif, dukungan jaringan.


(22)

Dalam hal ini layaknya seperti eksternal motivator atau orang sekitar remaja yang membangkitkan motivasinya.

Wentzel (1998) dalam penelitiannya tentang hubungan sosial melalui sumber-sumber dukungan sosial terhadap motivasi anak menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan dari penerimaan siswa terhadap dukungan sosial dan kepedulian yang diberikan dari orang tua, guru-guru, dan teman sebaya terhadap aspek-aspek positif pada motivasi. Kerekatan keluarga sangat berhubungan positif pada siswa terhadap penerimaan kompetensi, rasa saling berhubungan antar teman sebaya, dan usaha akademis serta ketertarikan dalam sekolah.

Wentzel (1998) juga mengatakan bahwa, ada hubungan yang saling mendukung dari orangtua, guru, dan teman sebaya yang sangat berhubungan dengan beberapa aspek motivasi di sekolah. Diantaranya, penerimaan dukungan dari orangtua adalah salah satu bentuk dukungan yang berhubungan dengan tujuan orientasi akademik. Hubungan yang signifikan juga terlihat pada penerimaan dukungan dari teman sebaya dalam menampilkan bentuk prososial dalam bertingkah laku yang mengingatkan kita pada peran positif dari remaja dalam berperan ketika bermain dengan teman sekelas dan penyesuaian sosial di sekolah. Meece (dalam Pintrich & Schunk, 2002) menjelaskan orang tua yang mengembangkan suasana hangat, responsif dan mendukung lingkungan tempat tinggal, mendorong daya jelajah, merangsang rasa ingin tahu, dan mengembangkan materi belajar dan bermain mempercepat perkembangan intelektual anak tersebut.


(23)

Berdasarkan fenomena serta beberapa penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lanjutan tentang konsep diri (self-concept) dan dukungan sosial yang berkaitan dengan motivasi belajar. Oleh karena itu peneliti mengajukan penelitian dengan judul “Pengaruh Konsep Diri dan Dukungan Sosial Terhadap Motivasi Belajar Remaja Panti Sosial”

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

Suatu penulisan ilmiah sangat diperlukan adanya pembatasan dan perumusan masalah. Hal ini dimaksudkan agar penulisan ini tidak menyimpang dari sasarannya.

1. Pembatasan Masalah

a. Peneliti membatasi konsep diri dengan membagi berdasarkan dimensi konsep diri yang dijelaskan oleh Atwater (1983) yaitu, subjective self, body image, ideal self, dan social self.

b. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep dukungan sosial dengan membagi dukungan so sial menjadi lima bagian berdasarkan jenis-jenis dukungan sosial yang dijelaskan Sarafino (2002), yaitu; dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan informatif, dan dukungan jaringan.


(24)

c. Dalam penelitian ini peneliti membagi motivasi belajar dalam dua bagian yang di jelaskan oleh Ryan dan Deci (2000) yaitu; intrinsic motivation dan

extrinsic motivation.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perumusan masalah mayor dalam penelitian ini adalah;

- Apakah ada pengaruh yang signifikan konsep diri dan dukungan sosial terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perumusan masalah minor dalam penelitian ini adalah;

- Apakah ada pengaruh yang signifikan subejctive self terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

- Apakah ada pengaruh yang signifikan body image terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

- Apakah ada pengaruh yang signifikan ideal self terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

- Apakah ada pengaruh yang signifikan social self terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

- Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan emosional terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?


(25)

- Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan penghargaan terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

- Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan instrumental terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

- Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan informatif terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

- Apakah ada pengaruh yang signifikan dukungan jaringan terhadap motivasi belajar remaja panti sosial?

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh konsep diri dan dukungan sosial terhadap motivasi belajar.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan teori-teori psikologi, khususnya yang berhubungan dengan psikologi pendidikan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat yaitu:

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam mengembangkan motivasi belajar.


(26)

b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur atau bacaan yang bisa membantu guru untuk menambah pengetahuan tentang konsep diri dan dukungan sosial.

c. Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan acuan guru untuk menciptakan strategi dan pengembangan dalam mendidik anak serta meningkatkan motivasi belajar anak.

1.4Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika sebagai berikut:

BAB 1 Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai pengaruh konsep diri (self-concept) dan dukungan sosial terhadap motivasi belajar pada remaja panti sosial, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistemetika penulisan

BAB 2 Kajian Teori, menguraikan sejumlah teori yang digunakan dalam penelitian diantaranya penjabaran dan definisi tentang motivasi belajar, komponen pembentuk, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuk nya motivasi belajar, jenis motivasi belajar, dan tentang konsep diri, definisi konsep-diri, jenis-jenis konsep-diri, komponen pembentuk konsep diri, serta dukungan sosial,


(27)

definisi dukungan sosial, jenis-jenis dukungan sosial, komponen dukungan sosial, dan fungsi-fungsi dukungan sosial, kerangka berfikir dan hipotesis.

BAB 3 Metode Penelitian, bab ini berisi penguraian mengenai variabel penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengambilan sampel, desain penelitian, instrumen penelitian, teknik pengambilan data dan metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB 4 Presentasi dan Analisa Data, menguraikan mengenai pengolahan semua data yang terkumpul dari penelitian ini. Data yang terkumpul meliputi gambaran umum subjek penelitian, hubungan konsep diri dan dukungan sosial analisis multipel regresi tiap aspek konsep diri dan dukungan sosial terhadap motivasi belajar remaja pada panti sosial.

BAB 5 Kesimpulan, Diskusi dan Saran, pada bagian kesimpulan berisi jawaban terhadap permasalahan penelitian. Kesimpulan dibuat berdasarkan analisis dan interpretasi data yang telah dijabarkan pada bab sebelumnya. Pada bagian diskusi, akan dibahas hasil penelitian. Selain itu, juga akan diberikan pembahasan mengapa suatu hipotesis penelitian ditolak atau diterima, serta keterbatasan-keterbatasan penelitian. Bagian saran berisi saran-saran teoritis untuk keperluan


(28)

penelitian selanjutnya serta saran-saran praktis sesuai dengan permasalahan dan hasil penelitian.


(29)

BAB II

KAJIAN TEORI

Pada bab dua ini akan dijelaskan mengenai teori-teori yang berkaitan dengan penelitian. Teori motivasi belajar, teori konsep diri, dan teori dukungan sosial, serta kerangka berfikir dan hipotesis penelitian.

2.1 Motivasi Belajar

2.1.1 Definisi motivasi belajar

Uno (2008) menjelaskan motivasi belajar sebagai dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung. Hal ini mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Indikator motivasi belajar dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. adanya hasrat dan keinginan berhasil; 2. adanya kebutuhan dan dorongan dalam belajar; 3. adanya harapan dan cita-cita masa depan; 4. adanya penghargaan dalam belajar; 5. adanya kegiatan yang menarik dalam belajar; 6. adanya lingkungan belajar yang kondusif, sehingga memungkinkan seseorang siswa dapat belajar dengan baik.


(30)

Menurut Lumsden (1994) motivasi pada diri pelajar yang secara alami aktif dengan hasrat pada diri pelajar untuk berpartisipasi dalam proses belajar. Tetapi juga mencakup alasan-alasan dan tujuan-tujuan yang menggaris bawahi keterlibatan mereka dalam aktifitas akademik.

Uno (2008) menjelaskan motivasi sebagai dorongan dasar yang menggerakkan seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam dirinya. Motivasi adalah kekuatan, baik dari dalam maupun dari luar yang mendorong seseorang untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Atau dengan kata lain, motivasi dapat diartikan sebagai dorongan mental terhadap perorangan atau orang-orang sebagai anggota masyarakat.

Uno (2008) menjelaskan motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan (reinforced practice) yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik, berupa hasrat dan keinginan berhasil dan dorongan kebutuhan belajar, harapan akan cita-cita. Sedangkan faktor ekstrinsiknya adalah adanya penghargaan, lingkungan belajar yang kondusif, dan kegiatan belajar yang menarik.

Pintrich dan Schunk (2002) mendefinisikan motivasi sebagai kekuatan yang mendorong, menopang, dan mengarahkan perilaku ke arah tujuan akhir


(31)

(goal). Motivation can be defined as the intensity and direction of effort, McCullagh (2005). Intensity refers to the quantity of effort, while direction refers to what you are drawn too. Eveidence suggests that enhances motivation promotes learning, performance, enjoyment, and persistence in sport, among other benefits, McCullagh & Wilson (2005).

Dengan demikian peneliti menyimpulkan bahwa motivasi belajar adalah motivasi pada diri pelajar yang secara alami aktif dengan hasrat pada diri pelajar untuk berpartisipasi dalam proses belajar dan kekuatan yang mendorong, menopang, dan mengarahkan perilaku ke arah tujuan akhir (goal).

2.1.2 Komponen pembentuk motivasi belajar

Frith (2004) menjabarkan beberapa aspek dari komponen pembentuk motivasi belajar sebagai berikut :

a. Rasa ingin tahu (Curiosity)

Manusia secara alami memiliki rasa ingin tahu. Mereka mencari pengalaman baru, mereka menikmati pembelaran pada hal-hal baru, penyempurnaan keahlian dan mengembangkan kompetensi. Rasa ingin tahu adalah motif yang ada secara intrinsik untuk belajar, dan demikian pembelajaran secara berlanjut tidak bergantung kepada imbalan (reward) pembelajaran dari guru. Rasa ingin tahu juga mendorong anak untuk mengeksplorasi terhadap ilmu pengetahuan


(32)

yang menarik, sehingga anak lebih terstimulasi dan termotivasi untuk memperoleh hal-hal baru dalam belajar.

b. Self-Efficacy

Bandura (dalam Pintrich dan Schunk, 2002) mendefinisikan self-efficacy

sebagai “people’s judgments of their capabilities to organize and excecute courses of action required to attain designed types of performance”, penilaian seseorang terhadap kemampuan dirinya dalam mengatur dan menjalankan bagian dari tindakan yang diperlukan untuk mencapai bentuk dari tipe-tipe kinerja. Driscoll (dalam Frith, 2004) menggambarkan self-efficacy sebagai pencapaian prestasi, satu dari empat sumber yang memungkinkan dari self-efficacy. Yang lainnya digambarkan meliputi pengalaman pribadi, persuasi verbal, dan bentuk psikologis. Zimmerman (2000) menjelaskan bahwa efek langsung yang menunjukkan bahwa persepsi terhadap self-efficacy

mempengaruhi metode belajar pada anak didik juga pada proses motivasional mereka. Hasil tersebut membenarkan bahwa peran self-efficacy pada kegigihan motivasi dan pencapaian akademik. Pernyataan dari Bandura (dalam Zimmerman, 2000) bahwa self-efficacy para pelajar berperan pada kesiapan, pekerja keras, ketekunan, dan mempunyai lebih sedikit reaksi emosional yang kurang baik ketika mereka menghadapi kesulitan lebih baik ketimbang orang-orang yang meragukan kemampuan mereka.


(33)

c. Sikap (Attitude)

Para peneliti menyarankan jika seseorang diperintahkan untuk menampilkan tingkah laku yang berlawanan dari sikap orang tersebut, perubahan sikap akan terjadi. Sikap merupakan hasil dari perubahan dalam proses belajar yang terjadi dalam diri si anak, sehingga setelah melalui proses belajar si anak diharapkan dapat memiliki perubahan sikap ke arah yang lebih baik. Flemming dan Levie (dalam Frith, 2004) menjelaskan ada tiga pendekatan pada perubahan sikap, yaitu: “mengembangkan pesan-pesan yang bersifat meyakinkan, memberikan contoh dan penguatan yang selaras pada tingkah laku dan antara kognitif, afektif dan komponen tingkah laku pada perubahan sikap.” Flemming dan Levie juga menyarankan bahwa jika seseorang dibujuk untuk menampilkan tingkah laku yang berlawanan dengan sikap yang diinginkan orang itu sendiri, maka perubahan sikap akan muncul.

d. Kebutuhan (Need)

Kebutuhan individu dari pelajar bisa sangat beragam. Yang paling banyak di ketahui mengenai klasifikasi dari kebutuhan manusia yang paling di percaya adalah hirarki kebutuhan Maslow, ada lima tingkat kebutuhan pada hirarki tersebut: (1) Kebutuhan Psikologis (level terendah) (2) Kebutuhan akan keamanan (level terendah) (3) Cinta kasih dan saling memiliki (kebutuhan tertinggi) (4) Kebutuhan penghargaan atau self-esteem (kebutuhan tertinggi)


(34)

(5) Aktualisasi diri (kebutuhan tertinggi). Pentingnya aspek ini dalam motivasi adalah kebutuhan tingkat terendah harus terpenuhi sebelum tingkat kebutuhan tertinggi menjadi yang paling dominan dalam mempengaruhi tingkah laku. Pelajar tidak akan siap untuk belajar jika kebutuhan mendasar mereka tidak terpenuhi. Anak yang pergi ke sekolah dalam keadaan lapar tidak mampu bergerak untuk belajar. Kebutuhan terendah ini harus terlebih dahulu di penuhi.

e. Kompetensi (Competence)

Kompetensi adalah motif intrinsik untuk belajar yang sangat berhubungan dengan self-efficacy. Manusia pada umumnya menerima kepuasan ketika melakukan selalu dengan baik. Pada siswa yang memiliki rasa self-efficacy

rendah, guru tidak hanya mengembangkan situasi dimana kesuksesan terjadi tetapi juga memberikan pelajar kesempatan untuk mengerjakan tugas yang menantang melalui pembuktian pada dirinya bahwa mereka mampu untuk mencapai nya. Pintrich dan Schunk (2002) juga menjelaskan bahwa dalam diri seseorang haruslah memiliki need of competence untuk membangkitkan motivasinya dalam kinerja akademik. Sehingga individu lebih termotivasi untuk merasa kompeten pada salah satu bidang akademik yang diminatinya.


(35)

f. External Motivator

External motivator berupa dukungan informasi, material, emosional, dan harus dapat diterima, bernilai dan mendukung bagi pelajar. Mereka harus merasa bahwa pandangan mereka itu bernilai, dan mereka mempunyai kesempatan untuk berbagi tentang pemikiran dan perasaan mereka. McCombs (1996) “Kondisi eksternal yang mendukung kondisi internal tersebut meliputi; ketentuan pada perhubungan, pilihan, kontrol, tantangan, tanggung jawab, kompetensi, hubungan personal, kesenangan, dan dukungan dari lainnya sebagai bentuk dari kepedulian, rasa hormat dan bimbingan dalam pengembangan kemampuan”.

Model ARCS dari Keller (dalam Frith, 2004) menjelaskan ada empat komponen yang membentuk motivasi dalam belajar, yaitu;

a. Attention

Perhatian siswa harus ditumbuhkan dan dipertahankan. Kategori tersebut meliputi hal-hal yang berhubungan dengan rasa ingin tahu dan pencarian sensasi, walaupun selalu mudah dalam menumbuhkan perhatian pada permulaan pelajaran. Mempertahankan perhatian tersebut menjadi tantangan. Mengembangkan beragam bentuk presentasi melalui media, demonstrasi, grup diskusi kecil, debat yang melibatkan seluruh siswa. Demikian juga, buku cetak dapat menjadi variasi


(36)

dengan merubah tipe dan ukuran huruf atau kesimpulan melalui diagram dan gambar yang menarik.

b. Relevance

Setelah perhatian pelajar ditumbuhkan, para pelajar mungkin membayangkan bagaimana materi yang telah diberikan kepada mereka dihubungakn dengan ketertarikan mereka (interest) dan tujuan (goal) mereka. Jika isi materi dirasakan membantu dalam menyelesaikan tugas dan memenuhi target atau tujuan yang di capai, lalu mereka akan terasa lebih termotivasi. Membantu pelajar dalam mencari hubungan ketika belajar dapat tugas yang mnakutkan bagi beberapa subjek. Menghubungkan apa yang sedang di pelajari ke sesuatu yang familiar dan relevan bagi pelajar dapat membantu memotivasi pelajar.

c. Self-Confidence

kepercayaan diri terhadap apa yang mereka miliki dan evaluasi diri tentang kemampuan pelajar sejauh mana dia mampu dalam menyelesaikan sesuatu. Pelajar harus mengetahui bahwa mereka akan kemungkinan besar sukses sebelum menyelesaikan tugas yang diberikan. Mereka harus merasa agak percaya diri. Kesuksesan tidak menjamin orang tersebut menikmati tantangan tersebut. Walaupun tantangan tersebut tidak begitu sulit.


(37)

d. Satisfaction.

Jika tingkah laku yang dihasilkan dari pelajar konsisten dengan harapan dan mereka merasa relatif baik terhadap tingkah laku tersebut, mereka akan tetap termotivasi. Kepuasan yang didapatkan anak dari proses belajar yang dilakukan, akan menjaga motivasi yang ada dalam diri si anak tersebut.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi belajar

Berikut ini fakor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya motivasi belajar menurut Spitzer’s (dalam Frith, 2004);

a. Action : Keterlibatan pelajar secara aktif dalam proses pembelajaran baik secara fisik dan mental.

b. Fun : Kesenangan, membantu untuk memperkuat pelajar dan mengembangkan kesempatan dalam format yang berbeda dan keterlibatan pelajar. Permainan komputer adalah sebuah contoh yang baik bagaimana menyatukan aktifitas belajar yang menyenangkan.

c. Choice : Pilihan, mengembangkan variasi dan kontrol pembelajaran. Pilihan mungkin dapat dikembangkan melalui pemilihan metode pembelajaran, isi atau materi intruksi.

d. Social Interaction : Interaksi sosial, adalah kebutuhan tertinggi berdasarkan hirarki kebutuhan Maslow. Kesempatan atau peluang untuk berinteraksi sosial dapat dicontohkan melalui diskusi grup kecil, panduan


(38)

teman sebaya, kolaborasi antara pemecahan masalah dan pembuat keputusan.

e. Error Tolerance : Toleransi kesalahan, biasanya jarang terjadi di latar pendidikan. Pelajar harus merasa nyaman ketika berbuat kesalahan dan mempunyai kesempatan belajar dari kesalahan tersebut.

f. Measurement : Penilaian, seperti nilai pada pelajaran olahraga bisa menjadi faktor yang memotivasi. Dalam penilaian lingkungan pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam daya yang dapat meningkatkan meliputi pemusatan pada evaluasi formatif, mengumpulkan masukan dari pelajar pada apa yang seharusnya di nilai, dan mendorong penilaian diri.

g. Feedback : Dalam pelajaran, umpan balik ini selalu menjadikan anak kurang berani. Umpan balik yang membangun harus diterapkan secara berlanjut, mengarahkan dan memusatkan hal positif kepada bagaimana kinerja si anak dapat dikembangkan di masa depan.

h. Challenge : Tantangan, dapat memotivasi terutama sekali jika respon pelajar pada tantangan tersebut melalui setting tujuan (goal setting). Secara mengejutkan setting tujuan yang dilakukan secara pribadi cenderung lebih ambisius dari pada yang dilakukan oleh orang lain, dalam artian, tujuan yang di inginkan berdasarkan keinginan sendiri dari pada tujuan yang di arahkan oleh orang lain.


(39)

i. Recognition : Pengakuan, harus tampak pada saat pencapaian yang rendah begitu juga yang tinggi. Ini begitu penting untuk mengarahkan hal-hal yang positif kepada pelajar.

Sementara itu menurut Lumsden (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan motivasi belajar pada anak, yaitu:

a. Kompetensi : kompetensi di peroleh melalui pengalaman pada umumnya tetapi dirangsang lebih banyak secara langsung melalui contoh, komunikasi terhadap harapan yang di inginkan, dan instruksi langsung atau sosialisasi dari orang-orang terdekat (terutama orangtua dan guru). b. Lingkungan : lingkungan tempat tinggal anak adalah titik awal dari

sikap-sikap yang mereka kembangkan yang mengarah ke belajar. Ketika orangtua mendidik rasa ingin tahu yang terdapat pada diri si anak tentang dunia melalui penerimaan terhadap pertanyaan-pertanyaan si anak, memberanikan diri untuk bereksplorasi, dan membiasakan diri mereka dengan sumber-sumber yang dapat memperluas pengetahuan mereka, orangtua memberikan anak mereka pesan bahwa belajar itu bermanfaat dan menyenangkan.

c. Konsep-diri : ketika anak dibesarkan di lingkungan rumah mereka menumbuhkan rasa terhadap harga-diri, kompetensi, dan kemandirian, dan self-efficacy, mereka akan merasa lebih mampu untuk menerima resiko yang sering terjadi ketika belajar. Sebaliknya, ketika anak tidak memandang dirinya sebagai seorang yang mampu dan kompeten, maka


(40)

kebebasan mereka untuk terlibat di dalam kegiatan akademik dalam mencari tantangan dan kemampuan untuk mentoleransi dan berhadapan dengan kegagalan akan sangat berkurang.

d. Relevansi : keterkaitan, ketika anak memulai sekolah, mereka mulai membentuk kepercayaan tentang sekolah dan hubungan nya dengan kesuksesan dan kegagalan. Sumber-sumber yang menjadi atribut dalam kesuksesan mereka seperti (usaha yang dilakukan, kemampuan, keberentungan, atau tingkatan kesulitan dari tugas-tugas) dan kegagalan (seringkali kurangnya kemampuan dan kurangnya usaha yang dilakukan) memiliki dampak yang penting pada bagaimana pendekatan mereka dan kemampuan mereka menghadapi situasi belajar.

e. Kepercayaan guru : kepercayaan guru terhadap dirinya tentang kemampuan mengajar dan belajar dan tentang pengaharapan yang mereka berikan pada pelajar juga akan sangat mempengaruhi. Seperti yang diungkapkan oleh Deborah (dalam Lumsden, 1994), “untuk tingkatan yang lebih luas, pelajar berharap ingin belajar jika guru mereka mengharapkan mereka ingin belajar”

Kemudian, konsep diri yang dapat mempengaruhi motivasi belajar di simpulkan berdasarkan dari faktor-faktor yang dijabarkan oleh Lumsden. Sanchez dan Roda (tanpa tahun) juga menjelaskan bahwa pengalaman anak dalam bidang akademik terhadap kesuksesan dan kegagalan mempengaruhi konsep diri anak, kita dapat menyimpulkan bahwa konsep diri dapat meningkatkan kinerja anak


(41)

dalam pencapaian akademik dengan mengoptimalkan konsep diri terutama pada tingkatan persepsi anak terhadap kemampuan yang dimilikinya. Sedangkan dukungan sosial yang dimaksud adalah dukungan berdasarkan komponen dari motivasi belajar tersebut yaitu dari external motivator, dukungan dari eksternal atau dari luar adalah dukungan yang bersumber dari orang tua, guru-guru, dan teman sebaya. Wentzel (1998) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa hubungan yang saling mendukung antara orangtua, guru-guru, dan teman sebaya sangat berhubungan erat dengan aspek-aspek motivasi. Wentzel (1998) menjelaskan dalam penelitiannya terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan dukungan sosial dari orang tua dengan orientasi akademik anak. Berikutnya Wentzel (1998) menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan yang diberikan dari guru dan teman-teman sebaya terhadap pencapaian akademik anak.

2.1.4 Fungsi motivasi dalam belajar

Sardiman (2008) menjelaskan beberapa fungsi motivasi dalam belajar, ada tiga menurut Sardiman, yaitu;

1. Sebagai pendorong, mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari setiap kegiatan yang akan dikerjakan.


(42)

2. Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya.

3. Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan, dengan menyisihkan perbuatan-perbuatan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Seseorang siswa yang akan menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan belajar dan tidak akan menghabiskan waktunya untuk bermain kartu atau membaca komik, sebab tidak sesuai dengan tujuan.

Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain menurut Sardiman (2008). Motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang tekun dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seseorang akan dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.


(43)

2.1.5 Jenis-jenis motivasi

Ryan dan Deci (2000) dalam teori self-determination membagi tipe motivasi berdasarkan orientasi tujuan nya (goal oerientation) yaitu, amotivation, intrinsic motivation, dan extrinsic motivation, berikut penjelasannya;

1. Amotivation : Ryan dan Deci (2000) menjelaskan bahwa amotivation

yaitu sebagai bentuk kurangnya niat dalam melakukan sesuatu. Ketika tidak termotivasi, tingkah laku seseorang terlihat kurangnya niat atau hasrat dan kurangnya rasa alasan personal dalam bertindak. Amotivasi adalah hasil dari tidak adanya perhatian terhadap aktifitas, tidak merasa kompeten untuk melakukan sesuatu, atau tidak percaya bahwa sesuatu yang diinginkan akan ada hasilnya. Barkoukis, et al (2008) menjelaskan bahwa amotivation adalah tidak adanya kemungkinan dari sesuatu yang akan terjadi antara suatu tindakan yang dilakukan dan hasil akhirnya. Individu yang amotivated tidak terlihat seperti memiliki maksud dan tujuan dan mereka tidak terlihat seperti memiliki pendekatan pada hasil akhirnya secara sistematis. Keterlibatan mereka dalam suatu aktifitas adalah bukan sebuah hasil yang mereka in0ginkan. Barkoukis, et al (2008) menjelaskan bahwa amotivation disebabkan oleh empat, yaitu: (a) keyakinan mereka tentang kurangnya kemampuan untuk melakukan aktifitas, (b) keyakinan mereka bahwa strategi yang diadopsi tidak akan menghasilkan hasil yang diinginkan, (c) keyakinan mereka terhadap aktifitas tersebut terlalu membebani individu tersebut,


(44)

dan (d) keyakinan bahwa meskipun usaha yang dilakukan sangat tinggi itu tidak sebanding dengan kesuksesan yang diraih pada kinerja dalam penyelesaian tugas.

2. Intrinsic motivation : Ryan dan Deci (2000), which refers to doing something because it inherently interesting or enjoyable, yaitu melakukan sesuatu karena ketertarikan dan menyenangkan. McCullagh (dalam Wilson, 2005) dapat didefinisikan sebagai kebutuhan individu untuk merasa kompeten dan bangga dalam melakukan sesuatu

Ryan dan Stiller (dalam Ryan & Deci, 2000) Motivasi intrinsik muncul sebagai fenomena penting pada pendidik, sumber alami dari belajar dan berprestasi yang dapat secara sistematis sebagai penggerak atau dapat berkurang melalui orang tua dan latihan dari guru. Motivasi intrinsik dihasilkan melalui pembelajaran yang berkualitas dan kreatif.

Vansteenkiste, et al (2006) menjelaskan bahwa tingkah laku yang termotivasi secara intrinsik didefinisikan sebagai tingkah laku yang tidak diaktifkan melalui dorongan-dorongan psikologis mereka atau dari bentuk dorongan lainnya dan hadiah (reward) adalah sebuah kepuasan yang tergabung dalam aktifitas atau kegiatan itu sendiri. Motivasi intrinsik inilah yang mewakili keterlibatan dalam aktifitas yang dilakukan untuk kesenangan semata.


(45)

Pintrich dan Schunk (2002), refers to motivation to engage in an activity for its own sake. People who are instrinsically motivated work on tasks because they find them enjoyable. Task participation is its own reward and does not depend on explicit rewards or other external constraint. Merujuk kepada motivasi untuk mendorong melakukan sebuah aktifitas untuk kesenangan sendiri. Orang yang secara instrinsik termotivasi mengerjakan tugas karena mereka mendapatkan kesenangan atau menikmatinya. Pembagian tugas adalah sebagai imbalan (reward) tersendiri dan tidak bergantung kepada imbalan (reward) yang khusus atau batasan lainnya. Lumsden (1994) mengatakan bahwa pelajar yang termotivasi secara intrinsik melakukan aktifitas “untuk kepuasaan semata, untuk kesenangan yang tersedia, pelajaran yang diberikan, atau memunculkan perasaan untuk berprestasi”.

Djamarah (2002) menjabarkan bahwa yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi intrinsik juga diartikan sebagai motivasi yang pendorongnya ada kaitannya langsung dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam tujuan pekerjaan itu sendiri. Bila seseorang telah memiliki motivasi intrinsik dalam dirinya, maka ia secara sadar akan melakukan suatu kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya. Dalam aktifitas belajar, motivasi instrinsik sangat diperlukan, terutama belajar sendiri. Seseorang yang tidak memiliki motivasi instrinsik sulit melakukan aktifitas belajar terus-menerus. Seseorang yang memiliki minat yang memiliki minat yang tinggi untuk


(46)

mempelajari suatu mata pelajaran, maka ia akan mempelajarinya dalam jangka waktu tertentu. Seseorang itu dikatakan memiliki motivasi belajar.

Ryan dan Deci (2000) mendefinisikan motivasi instrinsik sebagai melakukan suatu aktifitas untuk memenuhi kepuasan dasar ketimbang untuk memisahkan akibat yang akan terjadi dari aktifitas tersebut. Ketika secara instrinsik termotivasi seseorang bergerak untuk melakukan sesuatu untuk kesenangan atau melibatkan tantangan melainkan karena dorongan dari luar, tekanan, hadiah atau penghargaan. Meskipun begitu, dengan kata lain, motivasi instrinsik timbul bersamaan dengan diri individu, motivasi instrinsik juga timbul dari hubungan antara individu dan aktifitas yang di lakukannya.

Sedangkan Sardiman (2008) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh, seseorang yang senang membaca, tidak usah ada yang menyuruh atau mendorongnya, ia sudah rajin mencari buku-buku untuk dibacanya. Kemudian kalau dilihat dari segi tujuan kegiatan yang dilakukannysa (misalnya kegiatan belajar), maka yang dimaksud dengan motivasi intrinsik ini adalah ingin mencapai tujuan yang terkandung di dalam perbuatan belajar itu sendiri. Intrinsic motivations are inherent in the learning situations and meet pupil-needs and purposes. Itulah sebabnya motivasi intrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktivitas belajar dimulai dengan diteruskan berdasarkan suatu dorongan dari dalam diri dan secara mutlak berkait dengan aktivitas belajarnya. Perlu diketahui bahwa siswa yang memiliki


(47)

motivasi intrinsik akan memiliki tujuan menjadi orang yang terdidik, yang berpengetahuan, yang ahli dalam bidang studi tertentu.

Condry dan Chambers (dalam Lumsden, 1994) menemukan bahwa ketika pelajar dihadapi pada tugas yang kompleks dan rumit, mereka dengan orientasi intrinsik lebih menggunakan informasi yang logis (mengumpulkan informasi dan strategi untuk membuat keputusan daripada yang dilakukan oleh pelajar yang terorientasi secara ekstrinsik).

Lepper (dalam Lumsden, 1994) menyatakan bahwa pelajar yang mempunyai orientasi intrinsik selalu mempunyai kecenderungan untuk memilih tugas yang agak sedikit menantang, sedangkan pelajar yang terorientasi secara ekstrinsik bergerak ke arah tugas-tugas yang tingkat kesulitannya rendah. Pelajar yang terorientasi secara ekstrinsik cenderung untuk melakukan usaha yang sedikit untuk mendapatkan hadiah (reward) yang tinggi.

Lepper dan Hodell (dalam Pintrich dan Schunk, 2002) mengidentifikasi empat sumber-sumber utama dari motivasi intrinsik, yaitu ; tantangan, rasa ingin tahu, kontrol, dan fantasi. Motivasi intrinsik mungkin tergantung pada pelajar yang menemukan aktitifitas yang menantang, ketika tujuan (goal) yang akan di capai cukup sulit dan tidak yakin akan kesuksesan yang di raih.

1. Tantangan (challenge) : Aktivitas yang menantang keahlian pelajar mungkin termotivasi secara intrinsik. Aktivitas yang menantang harusnya memiliki tingkatan yang cukup culit, dan sebagai pelajar mengembangkan


(48)

kemampuan yang dimiliki, tingkat kesulitan harusnya disesuaikan keatas untuk mempertahankan tingkatan tersebut. Pencapaian tujuan yang menantang membawa pelajar bahwa mereka menjadi lebih kompeten, yang mana di dapatkan dari meningkatkan self-efficacy dan kontrol persepsi terhadap apa yang telah dihasilkan. Sebaliknya, pelajar telah terampil untuk menata tujuan-tujuan baru yang menantang, yang mana untuk mempertahankan motivasi intrinsik.

2. Rasa ingin tahu (curiousity) : Rasa ingin tahu disebabkan oleh aktifitas yang diberikan pada pelajar dengan informasi atau ide-ide yang tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan saat ini atau kepercayaan yang timbul begitu mengejutkan atau tidak seimbang. Seperti ketidakseimbangan memotivasi pelajar untuk mencari informasi dan mencari solusi dari ketidaksesuaian tersebut. Lowenstein (dalam Pintrich dan Schunk, 2002) menganjurkan bahwa rasa ingin tahu adalah perasaan dari penghilangan proses kognitif yang terjadi ketika seseorang menjadi sadar akan adanya kesenjangan pada informasi yang didapat. Pelajar yang mempunyai rasa ingin tahu percaya bahwa kesenjangan pada informasi yang didapat akan menstimulasi rasa ingin tahu dan secara efektif memotivasi.

3. Kontrol : Aktifitas yang mengembangkan pelajar dengan kemampuan kontrol terhadap hasil akademik mereka mungkin dapat meningkatkan motivasinya. Boggiano (dalam Pintrich dan Schunk, 2002) menemukan anak yang merasa kompeten dan memiliki kontrol diri berhubungan positif pada motivasi intrinsik akademik mereka dan kecenderungan untuk


(49)

memilih sesuatu yang menantang. Memperbolehkan pelajar memilih dalam beraktifitas dan berperan dalam menentukan peraturan dan proses menumbuhkan persepsi terhadap kontrol. Dan sebaliknya, pelajar tidak termotivasi untuk terlibat dalam aktifitas ketika mereka percaya bahwa tindakan mereka sedikit berpengaruh pada apa yang akan dihasilkan. 4. Fantasi : Motivasi intrinsik dapat ditingkatkan melalui aktifitas yang

melibatkan pelajar dalam fantasi dan menumbuhkan rasa percaya melalui simulasi dan permainan yang disajikan kemudian dengan situasi yang tidak sesungguhnya terjadi. Dengan mengidentifikasi karakter fiksi, pelajar dapat memperoleh kesenangan untuk orang lain yang pada umumnya tersedia untuk mereka.

3. Extrinsic motivation : Djamarah (2002) menjelaskan motivasi ekstrinsik sebagai kebalikan dari motivasi intrinsik yaitu motif-motif yang timbul karena adanya rangsangan dari luar. Motivasi belajar dikatakan ekstrinsik bila anak didik menempatkan tujuan belajarnya di luar dari faktor-faktor situasi belajar. Anak didik belajar karena hendak mencapai tujuan yang terletak di luar hal yang dipelajarinya. Misalnya, untuk mencapai angka tinggi, diploma, gelar, kehormatan, dan sebagainya.

Ryan dan Deci (2000) menjabarkan motivasi ekstrinsik sebagai konstruk yang berhubungan apabila sebuah aktifitas selesai dilakukan dengan perintah untuk mencapai beberapa hasil yang terpisah. Motivasi ekstrinsik demikian berbeda dengan motivasi intrinsik, yang mana melakukan aktifitas semata-mata


(50)

hanya untuk kesenangan dari melakukan aktfitas tersebut, dari pada nilai yang yang ada pada aktifitas tersebut. Sebagai contoh, pelajar yang mengerjakan tugas nya hanya karena dia takut terkena sangsi dari orang tuanya jika tidak mengerjakan tugas tersebut juga termasuk tingkah laku yang termotivasi secara ekstrinsik karena dia mengerjakan tugas tersebut untuk mencapai hasil yaitu menghindari sangsi yang akan diberikan. Begitu juga, seorang pelajar yang merngerjakan tugas karena dia secara pribadi percaya apa yang dia kerjakan itu bernilai atau berarti untuk dirinya dalam memilih karir di masa depan juga termasuk termotivasi secara ekstrinsik karena dia juga bernanggapan dia melakukan sesuatu untuk nilai-nilai yang ada melainkan karena dia menemukan ketertarikan dalam melakukan hal tersebut.

Pintrich dan Schunk (2002) menjelaskan definisi motivasi ekstrinsik adalah motivasi untuk melibatkan diri dalam beraktifitas yang berarti pada akhirnya. Individu yang termotivasi secara ekstrinsik mengerjakan tugas karena mereka percaya keterlibatan akan menghasilkan sesuatu yang menarik pada apa yang telah dikerjakan seperti hadiah, pujian dari guru, atau terhindar dari hukuman.

Vansteenkiste, et al (2006) menjelaskan tingkah laku yang termotivasi secara ekstrinsik didefinisikan sebagai keterlibatan dalam aktifitas untuk memperoleh hasil yang terpisah dari aktifitas yang dilakukan, dengan kata lain kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan sesuatu yang tidak terkandung didalam aktifitas yang dilakukan.


(51)

Sardiman (2008) motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar. Sebagai contoh seseorang itu belajar, karena tahu besok paginya akan ujian dengan harapan mendapatkan nilai baik, sehingga akan dipuji oleh pacarnya, atau temannya. Jadi yang penting bukan karena belajar ingin mengetahui sesuatu, tetapi ingin mendapatkan nilai yang baik, atau agar mendapatkan hadiah. Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik dapat juga dikatakan sebagai bentuk motivasi yang di dalamnya aktifitas belajar dimulai dan diteruskan berdasarkan dorongan dari luar yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktifitas belajar. Perlu ditegaskan, bukan berarti bahwa motivasi ekstrinsik ini tidak baik atau tidak penting. Dalam kegiatan belajar-mengajar tetap penting. Sebab kemungkinan komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik.

Tipe-tipe extrinsic motivation

Ryan dan Deci (2000) dalam teori self-determination nya menjelaskan ada beberapa tipe dari motivasi ekstrinsik, yairu :

External regulation

Begitu tingkah laku ditampilkan untuk memperoleh kepuasan permintaan dari luar atau memperoleh imbalan dari luar yang dibebani. Individu itu biasanya


(52)

memiliki pengalaman eksternal dalam meregulasi tingkah laku sebagai kontrol. Pintrich dan Schunk (2002) memberikan contoh dari external regulation sebagai berikut; pelajar yang pada awalnya mungkin tidak ingin mengerjakan tugas tetapi tetap dilakukan karena ingin memperoleh imbalan dari guru dan ingin menghindari hukuman. Pelajar ini merespon baik terhadap ancaman dan hukuman atau tawaran imbalan ekstrinsik dan kecenderungan untuk menjadi penurut. Mereka tidak termotivasi secara intrinsik dan tidak memperlihatkan ketertarikan yang tinggi, tetapi mereka cenderung untuk berperilaku baik dan mencoba untuk mengerjakan tugas mereka untuk memperoleh imbalan dan menghindari hukuman.

Introjected regulation

Introjected Regulation dijelaskan sebagai tipe dari regulasi internal yang sedikit mengontrol karena seseorang menampilkan tindakan-tindakan dengan perasaan tertekan untuk menghindari rasa bersalah atau kecemasan atau untuk mencapai peningkatan-ego atau kebanggaan. Pintrich dan Schunk (2002) memberikan contoh bahwa pelajar mungkin terlibat dalam pengerjaan tugas karena mereka berfikir mereka harus melakukannya da mungkin akan merasa bersalah jika mereka tidak melakukannya (misal, belajar untuk ujian). Pelajar tersebut tidak melakukannya semata-mata untuk memperoleh imbalan atau untuk menghindari hukuman; perasaan terhadap rasa bersalah atau “harus” sebenarnya bentuk internal pada orang tersebut, tetapi sumbernya tetap berada dari luar


(53)

karena mereka mungkin melakukan hal tersebut untuk menyenangkan orang lain (guru, orang tua).

Idenfication

Ryan dan Deci (2000) menjelaskan nya sebagai seseorang diidentifikasi melalui kepentingan personal dari tingkah laku mereka dan demikian dapat diterima oleh regulasi sebagai keinginan mereka. Pintrich dan Schunk (2002) menjelaskannya sebagai keterlibatan individu dalam aktifitas karena secara personal penting bagi mereka. Sebagai contoh, seorang pelajar mungkin belajar berjam-jam untuk ujian sebagai syarat untuk memperoleh nilai yang baik agar dapat diterima di universitas. Pelajar yang ingin mengerjakan tugasnya karena mereka pikir itu penting bagi mereka, meskipun karena alasan kegunaan atau manfaat lebih banyak keluar ketimbang ketertarikan secara intrinsik pada tugas tersebut.

Integrated regulation

Dimana individu menggabungkan bermacam sumber internal dan eksternal dari informasi kedalam skema-diri mereka dan keterlibatan dalam tingkah laku karena sebuah kepentingan untuk perasaan terhadap diri mereka. Penggabungan terjadi ketika regulasi mengidentifikasi secara penuh dan menyatu pada diri kita.


(54)

Ini terjadi melalui pengujian diri dan membawa regulasi baru kepada penyesuaian dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.

2.1.6 Pengukuran motivasi belajar

Telah banyak pengukuran yang dilakukan terhadap motivasi belajar, diantaranya berdasarkan pengukuran yang telah dilakukan oleh Vallerand, et al (1992) yang disebut dengan Academic Motivation Scale. Pengukuran yang dilakukan berdasarkan dari teori yang dikemukakan oleh Ryan dan Deci (2000) tentang motivasi, dan membagi jenis dari motivasi menjadi tiga, yaitu;

Amotivation, Intrinsic Motivation, dan Extrinsic Motivation. Tetapi dalam penelitian ini, peneliti tidak menggunakan aspek Amotivation dari skala baku yang ada dan hanya menggunakan tiga sub skala di bagi dari extrinsic motivation

(external, introjected, dan identified regulation), dan tiga lagi di bagi dari intrinsic motivation (motivasi intrinsik untuk tahu, untuk menyelesaikan tugas, dan memahami rangsangan) sehingga jumlah item dari skala baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah 24 item pernyataan berdasarkan skala baku yang digunakan. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggunakan alat ukur yang sama, yaitu Academic Motivation Scale. Karena sesuai dengan konstruk teori yang peneliti jelaskan di atas tetapi dengan melakukan modifikasi pada item-item skala tersebut.


(55)

2.2 Konsep Diri

2.2.1 Definisi konsep diri

Manning (2007) menjelaskan konsep diri (self-concept) sebagai persepsi pelajar terhadap evaluasi kompetensi atau kemampuan yang terwujud dalam persepsi diri (self-perception) yang ada pada dirinya. Pada perkembangan pelajar, mereka lebih baik memahami bagaimana orang lain memandang kemampuan mereka dan lebih baik mereka membedakan antara usaha-usaha yang mereka lakukan dan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Sebagai hasilnya, persepsi-diri mereka menjadi lebih tinggi dan akurat.

Wigfield, et al (2005) menjelaskan konsep diri sebagai kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka.

Sedangkan Atwater (1983) menjelaskan definisi konsep diri sebagai keseluruhan bagaimana individu memandang dirinya. Konsep diri disusun dari semua persepsi terhadap “aku” dan “saya” bersama dengan semua perasaan, nilai-nilai, dan kepercayaan menyatu dengan semua bagian tersebut. Sebenarnya, apa yang disebut konsep diri itu lebih sebagai sebuah kumpulan dari diri kita ketimbang sebuah hal yang statis. Ini meliputi ratusan dari persepi-diri dalam pengalaman individu dengan orang lain.

Cooley (dalam Burns, 1993) mendefinisikan self “sebagai sesuatu yang dirancang melalui percakapan yang umum melalui kata ganti orang pertama yaitu, ‘saya’, ‘aku’ ”. Dia mengenalkan sebuah konsep “looking-glass self”, dengan


(56)

pemikiran bahwa konsep diri seseorang dipengaruhi oleh apa yang diyakini individu-individu bagaimana orang lain berpendapat mengenai dirinya. Cooley menunjukkan betapa pentingnya umpan balik yang di interpretasikan secara subyektif dari orang-orang lain sebagai sumber data utama mengenai diri.

G. H Mead (dalam Burns, 1993) mengembangkan dari konsep looking-glass self dari Cooley. Dia mencatatkan bahwa konsep-diri muncul dalam interaksi sosial sebagai sebuah hasil dari kepedulian individu tentang bagaimana orang lain bereaksi terhadap orang lain. Sebagai sebuah antisipasi terhadap reaksi dari orang lain sehingga mereka dapat berperilaku sesuai dengan situasi nya, individu belajar mempersepsikan dunianya melalui sesuatu yang dia lakukan.

Rogers (dalam Burns, 1993) menjelaskan bahwa diri itu merupakan sebuah faktor dasar di dalam pembentukan kepribadian dalam bertingkah laku. Konsep diri merupakan organisasi diri yang menjadi penentu (determinant) yang paling penting dari respon individu terhadap lingkungannya.

Calhoun dan Acocella (1990) mendefinisikan konsep diri sebagai gambaran mental diri seseorang. Burns (1993) mendefinisikan konsep diri sebagai kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai.

Jadi definisi konsep diri dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri dan evaluasi individu tentang karakteristik yang ada pada diri mereka, peran-peran mereka, kemampuan mereka, dan hubungan sosial mereka.


(57)

2.2.2 Jenis-jenis konsep diri

Calhoun dan Acocella (1990) membagi konsep diri menjadi dua jenis, yaitu;

Konsep diri positif; ciri konsep diri yang positif adalah yakin terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mengatasi masalah, merasa sejajar dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, sadar bahwa tiap orang mempunyai keragaman perasaan, hasrat, dan perilaku yang tidak disetujui oleh masyarakat serta mampu mengembangkan diri karena sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang buruk dan berupaya untuk mengubahnya. Konsep diri yang positif adalah penerimaan yang mengarahkan individu ke arah sifat yang rendah hati, dermawan, dan tidak egois

Konsep-diri negatif, ciri konsep diri negatif adalah peka terhadap kritik, responsif terhadap pujian, punya sikap hiperkritis, cenderung merasa tidak disukai orang lain, dan pesimistis terhadap kompetisi. Lebih jauh lagi, Calhoun dan Acocella membagi konsep diri negatif menjadi dua, yaitu:

1. Pertama, yaitu pandangan seseorang terhadap dirinya tidak teratur, tidak memiliki kestabilan dan keutuhan diri. Kondisi seperti ini acapkali terjadi pada remaja. Namun, tidak menutupi kemungkinan terjadi pada orang dewasa. Pada orang dewasa hal ini dapat terjadi karena ketidakmampuan menyesuaikan diri.


(58)

2. Kedua, kebalikan dari yang pertama, yaitu konsep diri yang terlalu stabil dan terlalu alias kaku. Hal ini karena pola asuh dan didikan yang sangat keras.

2.2.3 Dimensi konsep diri

Dari Atwater (1983) membagi konsep diri menjadi beberapa dimensi yaitu:

The subjective self

Subjektifitas diri kita, adalah bagaimana cara kita memandang diri kita, terbentuk dari begitu banyaknya persepsi diri yang kita peroleh semasa perkembangan hidup kita. Perkembangan self kita kebanyakan dipengaruhi oleh bagaimana kita dipandang dan diperlakukan oleh orang-orang terdekat kita, khususnya oleh orang tua kita. Ketika kita muda dan mudah terpengaruh, kita cenderung untuk memahami apa yang mereka pikir tentang kita, penilaian dan pengharapan mereka, bersamaan dengan penerimaan diri kita. Burns (1993) menjelaskan pembentukan konsep diri dan evaluasi-evaluasi mereka yang berhubungan dengannya berasal dari penyusunan nilai-nilai subyektif orang tersebut yang berarti dan berkenaan dengan perbuatan-perbuatan dan sifat-sifatnya.


(59)

Body image

Salah satu sumber yang utama dan yang terpenting dari persepsi diri kita adalah gambaran diri (body image) kita. Ini adalah bagaimana bagaimana caranya kita melihat diri kita. Gambaran diri meliputi tidak hanya apa yang kita lihat pada diri kita yang terlihat di kaca, tetapi juga cara kita memahami tubuh kita. Seymour Fisher (dalam Atwater, 1983) menekankan tidak ada pandangan yang lebih menarik melainkan gambaran diri kita yang terpancar melalui kaca. Makna dari

body image itu sendiri berbeda pada tiap jenis kelamin. Wanita pada umumnya lebih terfokus pada ketertarikan atau daya tarik sosial yang ditujukan pada penampilan mereka. Sedangkan pria, bagaimanapun, menekankan pada kemampuan fisik atau apa yang dapat mereka lakukan oleh tubuhnya sebagai bentuk pengaruh dari lingkungan. Meskipun kedua jenis kelamin tersebut setuju terhadap pandangan pada pentingnya keberagaman karakteristik pada tubuh, terutama pada penampilan yang umum dan bentuk wajah, selalu saja terdapat perbedaan.

Burns (1993) menjelaskan bahwa body image atau citra tubuh adalah merupakan gambaran yang dievaluasikan mengenai diri fisik seseorang. Sosok tubuh, penampilan dan ukurannya merupakan hal yang penting dalam mengembangkan pemahaman tentang evolusi konsep diri seseorang. Tinggi tubuh, berat, warna kulit, proporsi tubuhnya menjadi sedemikian berkaitan dengan sikapnya terhadap dirinya sendiri dan perasaan tentang kemampuan pribadi dan kemampuan menerima keadaan orang lain. Grogan (dalam Liechty dan Yarnal, 2010) menjelaskan bahwa body image mengarah pada sikap seseorang, evaluasi,


(60)

perasaan dan persepsi mereka tentang bentuk tubuhnya. Berikutnya Cash, dkk (dalam Liechty dan Yarnal, 2010) menjelaskan bahwa body image adalah konstruk multi-dimensional yang melingkupi persepsi individu dari beberapa dan keseluruhan aspek dari tubuh, meliputi berat badan dan bentuknya, bentuk wajah, kemampuan tubuh, dan kesehatan fisik. Bernadetta (2010) menjelaskan bahwa pada pengamatan terakhir pada perilaku remaja, terungkap perubahan besar pada sikap mereka terhadap perubahan bentuk tubuh, ketika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebuah peningkatan pada ketertarikan terhadap penampilan bentuk tubuh, masih diperkuat oleh keinginan yang dinilai berdasarkan ketertarikan pada masyarakat, telah diamati pada remaja muda. “seperti apa saya?” tergantung kepada “seperti apa saya terlihat” bagi orang lain.

Body image adalah penentu yang paling signifikan terhadap daya tarik kita serta daya tarik kita terhadap orang lain. Persepsi body image dan penampilan tubuh kita juga dapat dipengaruhi oleh sikap orangtua kita terhadap komponen-komponen pembentuk yang signifikan pada tubuh kita.

The ideal self

Cara seseorang memandang dirinya sebagai sosok yang ideal, seseorang dipandang oleh orang lain sebagai diri pribadi yang didambakan. Biasanya, kita berfikir untuk merubah gambaran-diri kita dan tingkah laku kita untuk beradaptasi ke diri ideal kita. Sesungguhnya, ada beberapa petunjuk bahwa diri ideal kita tidak berubah atau tetap dan lebih konsisten sepanjang waktu ketimbang diri-subjektif


(61)

kita. Tetapi ketika harapan-harapan membutktikan untuk menjadi sesuatu yang berlebihan atau tidak realistis, ini akan mejadi lebih pantas untuk kita untuk merubah diri-ideal kita menjadi sebuah cara untuk melanjutkan perkembangan kita dan self-esteem kita. Menurut Strang (dalam Burns, 1993) diri ideal adalah macam pribadi yang di harapkan individu tersebut menjadi pribadi yang sesuai atau didambakan. Lalu menurut Burns (1993) saat pandangan seorang anak tentang bagaimana keadaan dia saat ini hampir sama dengan yang dia yakini dan dia cita-citakan, dia mengekspresikan apa yang tampaknya sebagai suatu pandangan mengenai dirinya yang menyenangkan. Sedangkan menurut Rogers (dalam Burns, 1993) menjelaskan bahwa diri ideal yang diperkenalkan ke dalam teori itu sebagai “konsep diri yang paling disukai untuk dimiliki oleh individu, kepadanya dia menempatkan nilai tertinggi mengenai dirinya sendiri”. Berikutnya Burns (1993) menjelaskan bahwa citra fisik yang ideal ini didasarkan pada norma-norma budaya dan stereotip-stereotip yang dipelajari. Semakin mendekati kecocokan di antara citra tubuh yang telah ada dan yang ideal yang dipegang oleh seorang individu maka semakin besar kemungkinannya orang tersebut akan menunjukkan secara umum perasaan harga diri yang tinggi begitu pula akan merasa positif tentang penampilannya.

Our social selves

Tiap kali kita bertemu dengan orang lain, kita terpengaruh oleh sikap-sikap orang tersebut dan tingkah lakunya pada kita. Sebagai hasilnya, kita cenderung


(1)

Petunjuk pengisian

Baca dan pahamilah baik-baik setiap pernyataan berikut ini. Adik-adik diminta untuk mengemukakan pendapat apakah pernyataan tersebut sesuai dengan diri anda. Cara pengisiannya adalah dengan memberikan tanda silang (X) pada salah satu pilihan jawaban yang telah tersedia. Dan pilhan jawaban tersebut adalah:

SS : Sangat Sesuai, jika pernyataan sangat sesuai dengan pendapat anda S : Sesuai, jika pernyataan sesuai dengan pendapat anda

TS : Tidak Sesuai, jika pernyataan tidak sesuai dengan pendapat anda

STS : Sangat Tidak Sesuai, jika pernyataan sangat bertentangan dengan pendapat anda

Contoh:

No PERNYATAAN SS S TS STS

1. Saya senang belajar di dalam kelas X Artinya:

Anda merasa sangat senang belajar di dalam kelas

KD

NO. Pernyataan SS S TS STS

1. Saya dapat menilai sifat baik dan buruk yang ada pada diri saya.

2. Saya berharap dapat masuk kelas tepat waktu.


(2)

pada ada diri saya.

4. Menurut saya,bentuk tubuh saya sudah cukup baik.

5. Saya ingin merubah penampilan saya.

6. Saya ingin berteman dengan semua orang di sekolah.

7. Saya dapat melakukan kegiatan sehari-hari tanpa bantuan orang lain.

8. Sikap saya menyenangkan bagi teman-teman saya.

9. Saya tidak ingin merubah apa yang ada pada tubuh saya.

10. Saya anak yang mudah bergaul.

11. Komunikasi dengan teman-teman saya berjalan baik.

12. Menurut pandangan saya, saya adalah anak yang rajin dalam belajar.

13. Saya berharap dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

14. Saya dapat menerima keadaan diri saya saat ini.

15. Saya mengetahui kekurangan yang ada pada tubuh saya.

16. Saya ingin memiliki bentuk tubuh seperti seorang atlet olahraga.

17. Saya senang memiliki teman banyak.


(3)

orang lain lakukan.

19. Teman-teman saya ingin menjadi seperti saya.

20. Menurut saya, saya sudah memiliki bentuk tubuh yang sesuai.

21. Saya senang jika mendapat teman-teman baru.

22. Saya tidak membedakan antara teman laki-laki atau perempuan dalam berteman.

DS

No. Pernyataan SS S TS STS

1. Teman-teman dapat merasakan masalah yang saya hadapi.

2. Dukungan dari lingkungan membuat saya merasa tidak hidup seorang diri.

3. Teman saya menjauh ketika saya menghadapi masalah.

4. Teman-teman perhatian ketika saya sedang menceritakan masalah saya. 5. Saya selalu mendapat perhatian dari

orang-orang sekitar.

6. Terkadang hinaan sering kali saya dapati ketika saya sedang menghadapi masalah dalam hidup.

7. Teman-teman selalu mendukung saya agar saya mampu menjalani hidup.

8. Lingkungan sekitar saya ikut berperan dalam kemajuan hidup saya.


(4)

dibandingkan dengan orang lain. 10. Bantuan berupa uang sering kali saya

terima dari teman-teman.

11. Teman-teman sering kali turun tangan langsung dalam penyelesaian masalah yang saya hadapi.

12. Saya merasa seperti hidup seorang diri karena tidak ada informasi dari orang lain.

13. Tanpa diminta orang-orang di sekeliling saya sering kali memberikan saran yang positif bagi hidup saya.

14. Orang-orang di sekitar saya tidak perduli terhadap keberadaan saya. 15. Banyak teman yang peduli akan masalah

yang saya hadapi.

16. Kepedulian lingkungan sekitar terhadap saya sesuai dengan harapan saya.

17. Jarang sekali saya menemui teman yang peduli terhadap kehidupan saya. 18. Masyarakat sekitar menghormati

kehidupan saya.

19. Sikap menghargai dan menghormati saya dapatkan dari lingkungan sekitar saya. 20. Kurangnya perhatian dari lingkungan

sekitar menyebabkan saya sulit mengambil keputusan dalam hidup. 21. Saya selalu diberi pujian ketika

dibandingkan dengan orang lain.

22. Saya dijadikan contoh yang baik ketika sedang dibandingkan oleh orang lain.


(5)

23. Banyak orang di sekitar saya yang ingin menjerumuskan saya.

24. Saya mudah mendapatkan petunjuk atau informasi dari teman-teman.

25. Petunjuk-petunjuk yang positif sering kali diberikan teman kepada saya.

26. Orang-orang di sekitar saya tidak perduli terhadap keberadaan saya. 27. Saya senang melakukan kegiatan bersama

teman-teman.

28. Saya senang mengobrol dan bercerita bersama teman-teman.

29. Saya jarang menerima umpan balik yang membangun ketika saya sedang menceritakan masalah yang saya hadapi.

MB

No. Pernyataan SS S TS STS

1. Saya senang mempelajari hal yang baru.

2. Saya senang jika saya dapat mewujudkan cita-cita saya.

3. Saya akan membicarakan ide-ide saya kepada orang lain.

4. Saya pikir belajar itu sangat penting.

5. Saya ingin menunjukkan bahwa saya seorang anak yang cerdas.


(6)

6. Saya ingin mendapatkan kehidupan yang layak nantinya.

7. Saya menikmati pengalaman menemukan hal yang baru.

8. Saya senang jika saya dapat menyelesaikan tugas sekolah.

9. Saya senang jika telah mengerti tentang buku pelajaran yang saya baca.

10. Belajar membantu saya mendapatkan pekerjaan yang saya inginkan.

11. Saya akan menunjukkan bahwa saya akan sukses dalam pelajaran di sekolah.

12. Saya belajar agar saya mendapatkan penghasilan yang cukup ketika bekerja.