73
tabarru untuk bencana alam sebesar Rp 318.471.239.390. Angka ini dihasilkan dari asumsi pengalokasian surplus sebesar 75. mengingat bencana alam
merupakan risiko fundamental.
C. Solusi Asuransi Syariah Dalam Penanggulangan Bencana Alam
Kegagalan konsep asuransi konvensional dalam menanggulangi risiko katastropik harus diikuti dengan mencari konsep alternatif lainnya. Asuransi syariah
dapat mewakili kepentingan pemerintah dalam menangani masalah gempa bumi di tanah air.
Dalam asuransi syariah, risiko tidak dipindahkan ke pihak lain, melainkan dibagi atau dipikul bersama oleh para pemilik risiko. Seseorang yang memiliki risiko
bergabung dengan orang lain yang memiliki risiko sejenis dan kemudian membentuk suatu kelompok atau komunitas atau pool. Para anggota kelompok tersebut
bersepakat memberikan sumbangan yang sebanding dengan risikonya untuk dikumpulkan dan digunakan membayar kerugian yang diderita oleh sebagian anggota
kelompok yang mengalami musibah. Para anggota kelompok tidak mungkin menjalankan sendiri kegiatan
pengelolaan risikonya karena mereka memiliki keterbatasan dalam hal pengelolaan atau manajemen. Mereka membutuhkan bantuan pihak lain untuk melakukan seleksi
untuk anggota baru, memungut dan mengelola dana sumbangan para anggota,
74
melakukan investasi agar dana tidak diam percuma, menghitung besarnya kerugian serta membayar dana klaim kepada anggota yang tertimpa musibah, melakukan
penghitungan dan distribusi keuntungan atau surplus bila ada, dan seterusnya. Semua kegiatan kelompok tersebut membutuhkan keahlian khusus agar dapat berjalan
dengan baik dan sesuai dengan target-target yang telah ditetapkan. Di sinilah perusahaan asuransi memainkan peranan sebagai pelaksana sebuah aktivitas tersebut.
Dalam asuransi syariah, perusahaan asuransi tidak bertindak sebagai penanggung risiko, melainkan sebagai pihak lain pengelola yang diminta oleh
anggota kelompok untuk menggunakan keahliannya dan kompetensinya melakukan kegiatan- kegiatan tertentu agar mekanisme saling menanggung di antara para
anggota kelompok berjalan dengan adil, tertata dan berkembang. Asuransi dan reasuransi syariah dipijakkan pada landasan risk sharing, bukan risk transfer
sebagaimana yang diterapkan pada asuransi konvensional dalam menjalankan bisnisnya.
Dengan alasan itu perusahaan asuransi tidak lagi disebut insurer atau penanggung, melainkan sebagi operator dan pengelola. Para anggota kelompok tidak
disebut dengan sebagai tertanggung melainkan sebagai partisipan atau peserta. Kontribusi premi yang dibayarkan oleh setiap peserta bukan milik perusahaan
melainkan milik para peserta secara kolektif dan dikelola oleh perusahaan asuransi. Dana ini setelah dipotong upah untuk perusahaan, dimasukkan ke dalam rekening
75
yang disebut rekening Dana tabarru’. Dana yang statusnya milik para pesrta inilah
yang digunakan untuk membayar klaim. Sementara itu, atas keahlian, kopetensi dan segenep sumber daya yang
dikerahkan oleh operator dalam menglola mekanisme kelompok tersebut. maka selayaknya ia memperoleh upah. Bagaimanapun upah yang diberikan, dimuka atau di
belakang, tetap jumlahnya atau tergantung prestasi, harus disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini tentu terkait dengan jenis kontrak atau akad yang digunakan antara
peserta dan operator. Upah yang diambil dari sebagian kontribusi peserta ini disebut ujrah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa kontribusi premi asuransi terdiri dari
dua komponen yaitu dana tabarru’ dan ujrah. Dana tabarru’ tetap menjadi milik
peserta dan dipersiapkan untuk menghadapi klaim, sedangkan ujrah merupakan pendapatan bagi perusahaan.
Bila tidak terjadi kerugian sama sekali atau bila total kerugian lebih kecil dari pada total kontribusi tabarru
’, maka kelebihan surplus ini merupakan milik para peserta secara kolektif, bukan milik perusahaan. Namun mengingat asuransi bencana
ini merupakan risiko fundamental dan juga asuransi ini bersifat saling membantu maka surplus tersebut lebih dialokasikan kepada dana cadangan
tabarru’ guna untuk menutupi risiko yang akan terjadi di masa mendatang, karena akad
tabarru’ dalam asuransi syariah bermisi menjamin solidaritas dan kesetiakawanan dalam hal berbagi
beban dan memikul tanggung jawab terjadinya bencana melalui sumbangan dana derma yang dialokasikan untuk memberikan santunan atau ganti rugi pada anggota
76
yang tertimpa musibah.
51
Hal inilah yang membedakan asurasi syariah dengan asuransi konvensional dalam hal pengelolaan dana premi. Meskipun demikian, fatwa
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI No.53DSN- MUI2006 mewajibkan perusahaan asuransi untuk menanggulangi kekurangan
tersebut dengan memberikan pinjaman tanpa bunga kepada dana tabaru’ yang
mereka kelola. Pengembalian ini dilakukan pada periode berikutnya ketika dana tabarru’ kembali menghasilkan surplus.
Dengan menempatkan perusahaan asuransi semata-mata sebagai pengelola portofolio sekaligus pengelola dana
tabarru’ yang terkumpul, sesungguhnya perusahaan asuransi tidak secara langsung mempertaruhkan kekayaannya terhadap
risiko yang diterima. Risiko kerugian finansial tidak berpindah kepada perusahaan asuransi, melainkan dipikul bersama oleh para pesertanya. Perusahaan hanya perlu
menyiapkan dana untuk memberi pinjaman apabila dana tabarru ’ memerlukannya.
Keunggulan inilah yang seharusnya dimanfaatkan sehingga oleh pemerintah dengan menggunakan asuransi syariah sebagai alternatif dalam rangka membangun
kemampuan finansial dalam menghadapi kerugian yang ditimbulkan dari gempa bumi dan bencana-bencana katastropik lainnya.
Berbeda dengan asuransi komersial konvensional yang dilepaskan pada mekanisme pasar, asuransi untuk gempa memerlukan keseriusan dan konsisten dari
51
Husain Husain Syahatah, Asuransi dalam Perspektif Syariah, Ibid., h.66
77
pemerintah dengan menetapkan regulasi yang komprehensif. Undang –undang
tersendiri diperlukan untuk mewadahi operasional mekanisme asuransi gempa ini. Terutama dalam hal mengatasi fenomena anti seleksi, pemerintah bisa saja
memutuskan bahwa asuransi gempa merupakan asuransi wajib compulsory insurance, misalnya bagi setiap pemilik bangunan tempat tinggal tidak terbatas pada
daerah rawan gempa saja akan tetapi pada seluruh wilayah Indonesia. Dengan begitu masyarakat yang berada didaerah aman dari gempa dapat menolong peserta lainnya
yang berada di wilayah rawan gempa, sehingga tercipta tolong-menolong ta’awun
yang merupakan nafas asuransi syariah benar-benar luas sehingga dana tabarru’ pun
dapat membesar dengan cepat. Untuk keadilan, para pemilik objek asuransi yang berada di rawan gempa selayaknya memberikan kontribusi yang lebih besar dari pada
yang berada di daerah yang aman. Oleh karena itu perlu dibentuk perusahaan khusus asuransi syariah yang menangani risiko gempa bumi, sehingga semua perusahaan
asuransi syariah yang mengcover risiko gempa bumi harus mensesikan ke perusahaan tersebut konsorsium dan bekerja secara amanah.
Jadi penulis menyarankan institusi yang harus mengelola dana tabarru’
asuransi gempa ini selayaknya adalah perusahaan asuransi syariah atau membentuk perusahaan khusus untuk mengelolanya. Yang penting, semua bekerja dengan
amanah dibawah regulasi dan kontrol yang komprehensif dan disiplin. Karena jika permasalahan ini diserahkan dengan sistem konvensional, maka nantinya perusahaan
asuransi konvensional akan memberlakukan anti seleksi terhadap para peserta
78
asuransi, namun jika hal ini diterapkan dengan sistem asuransi wajib, maka mau tidak mau mayarakat wajib mengasuransikan harta atau bangunan yang di milikinya. Jadi
dengan sistem risk sharing yang ditawarkan perusahaan asuransi syariah. Maka diharapkan penyebaran risiko dapat diberlakukan, dapat terciptanya suatu mekanisme
tolong-menolong diantara masyarakat.
D. Peluang dan Tantangan