Nilai-nilai Agama sebagai Budaya Sekolah Inklusi

136 pendidikan agama Islam, guru pendidikan agama Islam bebas menentukan strategi yang paling cocok disesuaikan dengan kondisi kelas inklusi yang heterogen.

B. Nilai-nilai Agama sebagai Budaya Sekolah Inklusi

Pendidikan Agama Islam di lingkungan sekolah yang menerapkan pendidikan inklusi harus didukung oleh suasana budaya sekolah yang dilandasi nilai-nilai positif agama yang dianutnya. Budaya sekolah dalam arti keseluruhan pola pikir dan pola sikap serta perilaku para pengelola sekolah yang diwujudkan dalam semua urusan pendidikan di lingkungan sekolah. Nilai-nilai agama harus menjadi nilai-nilai yang hidup dan menggerakkan semua aktifitas proses pendidikan di lingkungan sekolah. Dengan kata lain seluruh aktifitas layanan pendidikan merupakan cerminan dari nilai-nilai yang secara sadar dan terencana diterapkan untuk tujuan pendidikan. Untuk itu nilai–nilai spiritualitas agama Islam harus masuk dalam ranah budaya sekolah di semua aspek dalam lingkungan pendidikan sekolah. Nilai- nilai ajaran agama Islam yang diperlukan untuk turut mewujudkan budaya sekolah seperti ini, perlu terus didiskusikan dan diwacanakan oleh semua pihak. Nilai agama dimaksud di sini nilai yang mengandung arti suatu keyakinan atau kepercayaan dan menjadi dasar seseorang atau sekelompok orang untuk memilih tindakannya, atau menilai suatu yang bermakna atau tidak bermakna bagi kehidupannya. 49 Secara hierarkis, Muhadjir mengelompokkan nilai menjadi nilai-nilai Ilahiyah dan nilai etika insani. Nilai-nilai Ilahiyah terdiri dari nilai Ubudiyah dan nilai Muamalah. Nilai etika insani terdiri dari nilai rasional, nilai sosial, nilai individual, nilai biofisik, nilai ekonomik, nilai politik dan nilai aestetik. 50 Sejalan dengan pendapat Sidi Gazalba bahwa nilai-nilai pada dasarnya mencakup seluruh nilai Ilahiyah Ubudiyah, Ilahiyah Muamalah, dan nilai etika 49 Madyo Ekosusilo, Hasil Penelitian Kualitatif Sekolah Unggul Berbasis Nilai Sukoharjo: Univet Bantara Press, 2003, 8. 50 Muhaimin, etal, Kawasan dan Wawasan Studi Islam Jakarta: Prenada, 2005, 52. 137 insani. 51 Pengelompokkan nilai-nilai tersebut memberikan gambaran bahwa nilai Ilahi memiliki kedudukan vertikal lebih tinggi dari pada nilai hidup lainnya. Oleh karena itu, kewajiban untuk beribadah haruslah lebih tinggi dibandingkan dengan kewajiban melakukan tugas individual, politik, dan sebagainya. Berdasarkan hierarki nilai-nilai tersebut, nilai-nilai agama yang diajarkan di sekolah hendaklah lebih diorientasikan pada moral action. Pemahaman tentang agama saja tidaklah cukup, karena yang menjadi tujuan utama pendidikan agama adalah keberagamaan peserta didik itu sendiri. 52 Dengan demikian, pendidikan agama yang diajarkan di sekolah bukan hanya untuk mengetahui tentang ajaran dan nilai-nilai agama serta mempraktikannya sesuai pengetahuannya tersebut, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah beragama atau menjalani hidup atas dasar ajaran dan nilai-nilai agama. Nilai integritas kejujuran dan amanah misalnya harus menjadi kesadaran melekat dan terinternalisir dalam setiap diri siswa. Aktifitas dalam administrasi dan pengelolaan lingkungan sekolah harus turut memberikan contoh konkrit dalam pelayanannya yang mencerminkan kejujuan dan amanah. Tanggung jawab dan transparansi pengelolaan sekolah yang diperlihatkan oleh kepala sekolah, guru, dan karyawan lainnya merupakan bagian dari penanaman nilai agama. Demikian juga keberanian, semangat hidup, percaya diri dan sebagainya adalah nilai-nilai lain yang harus tercermin dalam aktifitas semua yang terlibat dalam proses pendidikan. Nilai-nilai tersebut benar-benar harus menjadi budaya di sekolah. Budaya sekolah dalam pengertian budaya yang merupakan perpaduan nilai-nilai, keyakinan, asumsi, pemahaman, dan harapan-harapan yang diyakini oleh warga sekolah serta dijadikan pedoman bagi perilaku dan pemecahan masalah internal dan eksternal yang mereka hadapi. Dengan kata lain budaya sekolah merupakan semangat, sikap dan perilaku pihak-pihak yang terkait dengan sekolah, atau pola 51 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, 152. 52 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 147. 138 perilaku serta kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh warga sekolah secara konsisten dalam menyelesaikan berbagai masalah. 53 Deal dan Peterson mendefinisikan budaya sekolah sebagai sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta didik dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan seluruh pengalaman psikologis para peserta didik baik yang bersifat sosial, emosional maupun intelektual yang diserap oleh mereka selama berada dalam lingkungan sekolah. 54 Dengan demikian, budaya sekolah terbentuk dari pola perilaku serta kebiasaan- kebiasaan yang dilakukan oleh seluruh warga sekolah dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai permasalahan. Terlebih lagi bagi siswa berkebutuhan khusus yang tidak selamanya mampu memperoleh pemahaman agama melalui penjelasan verbal, akan tetapi lebih bisa menangkap penggambaran nilai melalui praktek langsung. Mereka akan lebih efektif memahami dan menyadari tentang arti hidup dan nilai positif melalui pengalaman-pengalaman konkrit di lingkungan sekolah dari pada penjelasan di kelas. Untuk itu dalam upaya internalisasi nilai dalam setiap siswa diperlukan strategi pembudayaan nilai di lingkungan sekolah. Demikian juga internalisasi nilai bagi siswa berkebutuhan khusus perlu strategi tersendiri dengan kolaborasi verbal dan praktek . Dari sudut teori strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama di sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya : power strategy, persuasive strategy dan normative re-educative. Power strategy yaitu strategi pembudayaan agama di sekolah dengan cara menggunakan kekuasaan, dalam hal ini kepala sekolah memiliki peranan penting dalam melakukan perubahan. Strategi ini dikembangkan melalui reward dan punishment. Persuasive strategy yaitu strategi yang dijalankan lewat pembentukan opini dan pandangan warga sekolah. Strategi ini dikembangkan melalui pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif atau mengajak warga sekolah dengan cara yang halus, 53 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 132. 54 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 132. 139 dengan memberikan alasan dan prospek baik yang bisa meyakinkan mereka. Sedangkan normative re-educative adalah strategi yang dijalankan untuk menanamkan dan mengganti paradigma berpikir masyarakat sekolah yang lama dengan yang baru. Strategi ini pun dikembangkan melalui pembiasaan dan keteladanan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. 55 Strategi untuk membudayakan nilai-nilai agama Islam di sekolah tidak bisa dilepaskan dari peran para penggerak kehidupan keagamaan di sekolah. Menurut teori Philip Kotler, terdapat lima unsur dalam melakukan gerakan perubahan di masyarakat, termasuk masyarakat sekolah yaitu: causes, change agency, change target, channel, change strategy. 56 Causes adalah sebab-sebab yang bisa menimbulkan perubahan berupa ideas gagasan atau cita-cita dan nilai-nilai yang biasanya dirumuskan dalam visi, misi, motif atau tujuan yang dipandang mampu memberikan jawaban terhadap problem yang dihadapi. 57 Change agency adalah pelaku perubahan atau tokoh-tokoh yang berada di balik aksi perubahan. Mereka terdiri dari leaders para pemimpin atau tokoh 58 dan supporters yang terdiri dari workers aktivis dari sebuah aksi perubahan, donors para penyumbang untuk aktivitas pengembangan dan sympathizers simpatisan untuk melegitimasi aktivitas pengembangan. Change target atau sasaran perubahan seperti individu, kelompok atau lembaga yang ditunjuk sebagai sasaran upaya perubahan. Channel adalah media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap 55 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, 160. 56 Philip Kotler, “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed., Processes and Phenomena of Social Change New York: Robert E. Krieger, 1978, 66. 57 Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change Blackwell, USA: Cambrige, 1994, 43. 58 Menurut Sztompka disebut Great Individuals yaitu tokoh-tokoh besar yang biasa dijuluki pahlawan. Mereka adalah Director, Advocates, Backers, Administrators, Technicians atau Consultants. Director adalah orang yang menggerakkan, mempengaruhi, menimbulkan motivasi masyarakat untuk bergerak, dan yang memimpin gerakan secara langsung. Advocates adalah orang yang mendukung directors dengan pembicaraan atau tulisan dan konsep-konsep perubahan. Backers adalah orang-orang yang mem-backing pemimpin dan membantu mereka dengan sumber daya seperti dana dan fasilitas. Administrators adalah orang yang sehari-hari mengatur aksi perubahan secara administratif, seperti merekrut tenaga, mengatur keuangan, dsb. Technicians atau Consultants adalah orang yang selalu dimintai pandangan dan pendapat- pendapatnya. Lihat Piotr Sztompka, The Sociology of Social Change, 45. 140 pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Sedangkan Change strategy adalah tehnik utama mempengaruhi yang diterapkan oleh pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran-sasaran yang dituju. 59 Budaya sekolah mempunyai dampak yang kuat terhadap prestasi kerja. Budaya sekolah merupakan faktor yang lebih penting dalam menentukan sukses atau gagalnya sekolah. Jika prestasi kerja yang diakibatkan oleh terciptanya budaya sekolah yang disemangati oleh nilai-nilai agama Islam, maka hasilnya akan bernilai ganda, yaitu di satu sisi sekolah itu sendiri akan memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dengan tetap menjaga nilai-nilai agama sebagai akar budaya bangsa, di sisi yang lain seluruh warga sekolah dan orang tua siswa berarti telah mengamalkan nilai-nilai Ilahiyah, Ubudiyah dan Muamalah sehingga memperoleh pahala yang berlipat ganda dan memiliki efek terhadap kehidupannya di akhirat kelak. Nilai-nilai agama sebagai budaya yang diterapkan di Madania tercermin dari penggunaan istilah Madania itu sendiri yang berasal dari kata Madinah. Kata Madinah memiliki arti sebuah civil society yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum, disiplin, egalitarian, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden. 60 Nilai keadaban seperti egalitarian, taat hukum, kerahmatan dan cinta yang dibudayakan oleh Madania banyak dilhami oleh nilai-nilai ajaran agama Islam. Semua siswa diperkenalkan apa arti kesamaan manusia yang tidak membedakan agama, fisik, bahasa dan suku sehingga siswa bisa saling memahami dan mengerti arti perbedaan dan mengetahui posisi sikap yang harus diambil di tengah-tengah perbedaan tersebut. Dengan demikian, lembaga pendidikan Madania senantiasa memiliki komitmen untuk mengenalkan dan menumbuhkembangkan pada siswa didik, nilai-nilai moral untuk mendukung terwujudnya masyarakat yang beradab. 59 Philip Kotler, “The Elements of Social Action” dalam Gerald Zaltham, Ed., Processes and Phenomena of Social Change, 67. 60 Komaruddin Hidayat, Selamat Datang ke Dunia Pendidikan Madania. www.madania. com diakses 28-10-2008. 141 Pendidikan inklusi sendiri bertujuan untuk menanamkan nilai persamaan dan persaudaraan antara siswa dengan siswa penyandang kelainan. Mereka dilatih rasa peduli dan empati kepada sesama teman. Mereka merasa terpanggil untuk menolong di saat siswa berkebutuhan khusus membutuhkan pertolongan di kelas misalnya saat tantrum dan sebagainya. Di Madania telah terbentuk satu pola hubungan yang penuh persaudaraan dan saling empati diantara sesama siswa. Sikap itu tercermin dari perilaku mereka saat menyikapi kejanggalan perilaku siswa berkebutuhan khusus yang tidak umum. Mereka menyikapinya dengan penuh persaudaraan dan tidak melihatnya dengan penilaian atau pandangan yang negatif atau mentertawakan. 61 Komitmen sekolah untuk menumbuhkan dan mengembangkan nilai-nilai moral kepada siswa didiknya, diikuti oleh seluruh guru dan karyawan dalam menjalankan tugasnya di Madania. Guru senantiasa menanamkan nilai-nilai agama dalam berbagai kesempatan, baik saat mengajar maupun di luar jam pelajaran. Apalagi di Madania yang siswanya haterogen, penanaman nilai-nilai keadilan, saling menghormati dan menghargai antar sesama warga sekolah memegang peranan penting demi terciptanya suasana sekolah yang nyaman dan harmonis. Strategi yang dijalankan oleh Madania dalam membudayakan nilai agama lebih banyak menggunakan persuasive strategy yaitu satu strategi melalui tahapan penyamaan persepsi dan opini terhadap pandangan nilai sekolah yang harus dipegang teguh oleh semua warga sekolah. Semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan dituntut untuk melakukan pembiasaan, keteladanan, dan pendekatan persuasif dalam menjalankan tugasnya. Selain itu semua warga sekolah di Madania dengan cara yang halus memberikan alasan setiap kali menegur dan memberi nasehat kepada siswa agar lebih bisa diterima alasannya. 61 Nilai positif yang ditanamkan di Madania ini berbeda dengan cara pandang sebagian masyarakat di luar yang masih banyak menempatkan perilaku anak berkebutuhan khusus sebagai perilaku aneh dan bahkan harus dipasung bila perlu lantaran perilakunya mengganggu orang lain. 142 Untuk siswa berkebutuhan khusus kelompok individual, strategi ini diterapkan juga dengan mengenalkan nilai positif yang dibantu dengan cara mengulang-ulang kalimat “ini perbuatan baik” atau” ini perbuatan buruk” sambil menatap matanya saat melakukan satu perbuatan. Strategi ini dilakukan untuk memperkuat ingatan tentang perbuatan yang bersangkutan itu baik atau buruk. Demikian juga pengenalan tentang etika bergaul baik dengan sesama teman, orang tua, guru dan orang lain. Secara sederhana siswa berkebutuhan khusus diajak berkenalan langsung dengan etika bergaul dalam berbagai moment. 62 Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai positif yang berasal dari nilai agama mutlak harus dibangun untuk mendukung tercapainya pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Nilai-nilai keagamaan menjadi ruh semua aktifitas proses pendidikan mulai dari urusan administrasi, proses belajar mengajar sampai pada interaksi antar siswa dan pengelola. Dengan demikian, nilai agama telah tumbuh menjadi budaya di sekolah. Tanpa disadari, internalisasi nilai seperti ini sangat efektif untuk diperkenalkan kepada siswa khususnya bagi siswa berkebutuhan khusus.

C. Penciptaan Lingkungan Religius Sebagai Core Pendidikan di Sekolah