Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang dilindungi dan dijamin oleh berbagai instrumen hukum internasional 1 maupun nasional . 2 Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia. Oleh karena itu pendidikan harus diberikan kepada setiap orang tanpa memandang perbedaan etniksuku, kondisi sosial, kemampuan ekonomi, politik, keluarga, bahasa, geografis keterpencilan tempat tinggal, jenis kelamin, agama kepercayaan, dan perbedaan kondisi fisik atau mental. Instrumen hukum internasional yang menjamin hak azasi ini adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan. 3 Deklarasi ini merupakan tahapan awal dalam kesadaran manusia akan hak pendidikan bagi semua tanpa diskriminasi. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia belum memandang anak dan orang dewasa penyandang cacat sebagai warga masyarakat dunia yang utuh, maka pengecualian pun diberlakukan dalam hak universalnya. Mereka belum 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1948, Konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989, Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua di Jomtien tahun 1990, Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para penyandang cacat tahun 1993, Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994, Kerangka Aksi Forum Pendidikan Dunia di Dakar tahun 2000. Lihat Berit H. Johnsen Miriam D Skjorten , Education-Special Needs Education Oslo University: Unifub Forlag, 2001, 4. Lihat juga Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources Oslo: The Atlas Alliance, 2002, 14. dengan tambahan yaitu Tujuan Pembangunan Millenium yang berfokus pada Penurunan Angka Kemiskinan dan Pembangunan tahun 2000, serta Flagship PUS tentang Pendidikan dan Kecacatan tahun 2001. 2 UUD 1945 pasal 31 ayat 1, Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5, ayat 1 s.d. 4 telah menegaskan bahwa: setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, danatau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 3 United Nations, Universal Declaration of Human Rights, 1948. http:www.un.orgen documentsudhr diakses 25 Januari 2010. 2 mendapat perhatian khusus dalam memperoleh hak asasinya. Instrumen- instrumen hak asasi manusia PBB berikutnya baru menyebutkan secara spesifik orang penyandang cacat, dan menekankan bahwa semua penyandang cacat, tanpa memandang tingkat keparahannya, memiliki hak atas pendidikan. 4 Deklarasi ini dalam perkembangannya telah mengilhami dunia pendidikan untuk menyediakan model pendidikan khusus untuk mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Model pendidikan khusus tersebut sering disebut dengan model pendidikan segregasi. Dalam dunia pendidikan penyandang cacat, model pendidikan ini merupakan model pendidikan khusus tertua yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Mereka memperoleh pendidikan secara khusus dengan kurikulum, metode mengajar, sarana pembelajaran, sistem evaluasi, dan guru khusus. Kemudian konvensi PBB tentang Hak Anak tahun 1989 lebih jauh menyatakan bahwa pendidikan dasar seyogyanya wajib dan bebas biaya bagi semua. Konvensi PBB tentang hak anak memiliki empat prinsip umum yang menaungi semua pasal lainnya termasuk pasal tentang pendidikan yaitu: non diskriminasi yang menyebutkan secara spesifik tentang anak penyandang cacat, kepentingan terbaik anak, hak untuk kelangsungan hidup dan perkembangan, serta menghargai pendapat anak. 5 4 Karakteristik penyandang cacat atau anak berkebutuhan khusus menurut Kauffman Hallahan adalah: tunagrahita mental retardation, kesulitan belajar learning disabilities, hyperactive attention deficit disorder with hyperactive, tunalaras emotional or behavior disorder, tunarungu wicara communication disorder and deafness, tunanetra partially seing and legally blind, anak autistik autistic children, tunadaksa physical disability, tunaganda multiple handicapped, anak berbakat giftedness and special talents. Lihat J.M. Kauffman D.P.Hallahan dalam Exceptional Children: Introduction to Special Education New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps: 2005, 28-45. 5 Konvensi PBB tentang hak anak, pada pasal 2 dijelaskan bahwa negara harus menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada di dalam wilayah hukumnya tanpa diskriminasi apapun, tanpa memandang ras anak atau orang tua atau walinya, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lainnya, suku atau asal muasal sosial, hak milik, kecacatan, kelahiran ataupun status lainnya. Sedangkan pada pasal 23 dijelaskan bahwa negara mengakui bahwa anak yang menyandang kecacatan mental ataupun fisik seyogyanya menikmati kehidupan yang layak dan utuh, dalam kondisi yang menjamin martabat, meningkatkan kemandirian serta memberi kemudahan kepada anak untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat. Lihat United Nations, Convention on the Rights of the Child,1989. http:www.un.orgmillenniumlawiv-10.htm diakses 26 Januari 2010. 3 Konvensi PBB tentang Hak Anak 1989 merupakan babak baru dalam upaya menjamin hak anak dan penyandang cacat sekaligus mengkritisi model pelayanan pendidikan untuk mereka. Model pendidikan segregasi yang waktu itu masih diyakini efektif untuk memenuhi hak pendidikan mereka kini mulai terbuka sisi kelemahannya. Meskipun penyediaan pendidikan di sekolah luar biasa dengan model segregasi dapat memenuhi hak pendidikan anak penyandang cacat, tetapi masih melanggar haknya untuk diperlakukan secara non diskriminatif, dihargai pendapatnya dan hak untuk tetap berada di dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Karena itu, Deklarasi Dunia Jomtien tentang Pendidikan untuk Semua kemudian digelar di Thailand tahun 1990. Deklarasi ini menyatakan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan dan bahwa berbagai kelompok tertentu rentan akan diskriminasi dan eksklusi. Kelompok tersebut mencakup anak perempuan, orang miskin, anak jalanan dan anak pekerja, penduduk pedesaan dan daerah terpencil, etnik minoritas dan kelompok-kelompok lainnya, dan secara khusus disebutkan para penyandang cacat. 6 Melalui deklarasi ini, pendidikan untuk penderita cacat mulai mendapat perhatian khusus sehingga perlu diajukan alternatif model lain selain model segregasi. 6 Pasal 3 Konferensi Jomtien 1990 tentang Universalisasi Akses dan Peningkatan Kesamaan Hak menyebutkan bahwa pendidikan dasar seyogyanya diberikan kepada semua anak, remaja dan orang dewasa. Untuk mencapai tujuan ini, layanan pendidikan dasar yang berkualitas seyogyanya diperluas dan upaya-upaya yang konsisten harus dilakukan untuk mengurangi kesenjangan. Agar pendidikan dasar dapat diperoleh secara merata, semua anak, remaja dan orang dewasa harus diberi kesempatan untuk mencapai dan mempertahankan tingkat belajar yang wajar. Prioritas yang paling mendesak adalah menjamin adanya akses ke pendidikan dan meningkatkan kualitasnya bagi anak perempuan, dan menghilangkan setiap hambatan yang merintangi partisipasi aktifnya. Semua bentuk diskriminiasi gender dalam pendidikan harus dihilangkan. Selanjutnya, suatu komitmen yang aktif harus ditunjukkan untuk menghilangkan kesenjangan pendidikan. Kelompok-kelompok yang kurang terlayani: orang miskin; anak jalanan dan anak yang bekerja; penduduk desa dan daerah terpencil; pengembara dan pekerja migran; suku terasing; minoritas etnik, ras dan linguistik; pengungsi; mereka yang terusir oleh perang; dan penduduk yang berada di bawah penjajahan, seyogyanya tidak memperoleh perlakuan diskriminasi dalam mendapatkan kesempatan untuk belajar. Selain itu, kebutuhan belajar para penyandang cacat menuntut perhatian khusus. Langkah-langkah perlu diambil untuk memberikan kesamaan akses pendidikan bagi setiap kategori penyandang cacat sebagai bagian yang integral dari system pendidikan. Lihat UNESCO, “Education for all 1,II, III Jomtien”, Thailand World Conference on Education for All, 1990. http:www.unesco.orgeducationefaed_for_allbackgroundjomtien_declaration.shtml diakses 28 Januari 2010. 4 Pada tahun 1993, PBB mengeluarkan Dokumen Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi para Penyandang Cacat yang terdiri dari peraturan-peraturan yang mengatur semua aspek hak penyandang cacat. Dokumen ini telah melengkapi apa yang harus diberikan pada anak cacat untuk mendapatkan hak pendidikannya yang layak. Hal ini terlihat dalam beberapa peraturan yang secara tegas mengatur pelayanan pendidikkan bagi penyandang cacat. Sebagai contoh yaitu peraturan 6 memfokuskan pada pendidikan bagi para penyandang cacat harus merupakan bagian integral dari pendidikan umum, dan bahwa negara seyogyanya bertanggung jawab atas pendidikan bagi penyandang cacat. Peraturan 6 mempromosikan pendidikan inklusi disebut pendidikan integrasi pada masa itu. 7 Atas dasar suara-suara keprihatinan dari para profesional pendidikan sekolah yang selalu berusaha menemukan cara agar semua anak dapat belajar bersama-sama maka setahun kemudian Konferensi Salamanca lahir. Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 hingga saat ini masih merupakan dokumen internasional utama tentang prinsip-prinsip dan praktek pendidikan yang tidak menimbulkan diskriminasi. Akhirnya para profesional mengajukan model inklusi 8 sebagai pengganti segregasi yang masih menyisakan diskriminasi. Dokumen international tersebut mengemukakan beberapa prinsip dasar inklusi yang fundamental, yang belum dibahas dalam dokumen-dokumen sebelumnya. Beberapa konsep inti iklusi yaitu bahwa anak-anak memiliki keberagaman yang luas dalam karakteristik dan kebutuhannya, perbedaan itu adalah normal, sekolah perlu mengakomodasi semua anak, anak penyandang cacat seyogyanya bersekolah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, partisipasi masyarakat itu sangat penting bagi inklusi, pengajaran yang terpusat pada diri 7 United Nations , Standard Rules on the Equalization of Opportunities for Persons with Disability, 1993. http:www.un.orgecosocdevgeninfodpi1647e.htm diakses 26 Januari 2010. 8 Penggunaan istilah inklusi di Indonesia belum ada pembakuan sebab terkadang digunakan dua istilah yang bersamaan yakni inklusi dan inklusif. Bandi Delfie dalam semua bukunya secara konsisten menggunakan istilah inklusi. Untuk konsistensi penggunaan istilah dalam tesis ini selanjutnya penulis akan menggunakan istilah inklusi. 5 anak merupakan inti dari inklusi, kurikulum yang fleksibel seyogyanya disesuaikan dengan anak dan bukan kebalikannya, inklusi memerlukan sumber- sumber dan dukungan yang tepat, inklusi itu penting bagi harga diri manusia dan pelaksanaan hak asasi manusia secara penuh, sekolah inklusi memberikan manfaat untuk semua anak karena membantu menciptakan masyarakat yang inklusif, serta inklusi meningkatkan efisiensi dan efektivitas biaya pendidikan. 9 Pasca Konferensi Salamanca, beberapa negara di dunia mulai mengintegrasikan prinsip-prinsip dari penyataan Salamanca tersebut, baik seluruhnya ataupun sebagian, ke dalam perundang-undangan atau dokumen kebijakan. Menurut Mel Ainscow, banyak negara yang sudah merumuskan strategi-strategi berdasarkan Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi tentang Pendidikan Kebutuhan Khusus untuk mendukung gerakan menuju pendidikan inklusi. Dia mencontohkan negara-negara seperti Australia, Ghana, Hongaria, dan Cina. 10 Selanjutnya, Forum Pendidikan Dunia di Dakar, Senegal tahun 2000, diselenggarakan untuk mengevaluasi pelaksanaan dasawarsa pendidikan untuk semua yang telah diawali di Jomtien. Dalam forum ini muncul kritikan 9 UNESCO, The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs Education, 1994 . http:unesdoc.unesco.orgimages0009000984098427Eo.pdf diakses 28 Januari 2010. 10 Mel Aincsow, “Towards Inclusive Schooling”. British Journal of Special Education, no 11997, 3-6. Lihat juga Kurt Kristensen Kirsten Kristensen,” School for All: A Challenge to Special Needs Education in Uganda-A Brief Country Report”. African Journal of Special Needs Education. No. 11997, 25-27. yang menjelaskan contoh lainnya yaitu pemerintah Uganda yang telah menetapkan Program Pendidikan Dasar Universal PDU. Salah satu upaya program ini adalah untuk memberikan prioritas kepada anak-anak yang berkebutuhan khusus di sekolah reguler. Sebagai hasilnya, antara 200.000 hingga 300.000 anak dengan berbagai kebutuhan khusus telah terdaftar di sekolah-sekolah reguler sejak dirumuskannya program tersebut pada tahun 1997. Lihat juga Berit H Johnsen, A Historical Perspective on Ideas about a School for All Oslo: Unipub, 1998, 21-22. yang mencontohkan Norwegia yang sejak tahun 1975, anak-siswa berkebutuhan khusus telah dijamin kesamaan haknya dalam pendidikan dengan perundang-undangan yang sama. Menurut undang-undang, sekolah harus menyediakan pendidikan yang setara dan diadaptasikan untuk setiap orang dalam sistem pendidikan yang terkoordinasi berdasarkan kurikulum nasional yang sama . Dan lihat juga Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif Jakarta: Ditplb, 2006, 2. yang mencontohkan di Amerika Serikat, diperkirakan hanya sekitar 0,5 anak berkebutuhan khusus yang belajar di sekolah khusus, lainnya berada di sekolah biasa. Sedangkan di Inggris, pada tahun 1980-1990-an, peserta didik di sekolah khusus diproyeksikan menurun dari sembilan juta menjadi sekitar dua juta orang, karena kembali ke sekolah biasa, dan ternyata populasi peserta didik di sekolah khusus kurang dari 3 dari jumlah anak berkelainan. 6 terhadap implementasi dari butir-butir Deklarasi Jomtien yang saat itu dinilai belum berhasil mencapai tujuan. Dalam laporan anggota forum disebutkan bahwa saat itu tercatat lebih dari 117 juta anak penyandang cacat masih belum bersekolah. Dalam kaitannya dengan kelompok-kelompok yang termarjinalisasi, terdapat penekanan yang lebih besar pada penghapusan kesenjangan jender dan mempromosikan akses anak perempuan ke sekolah. Tetapi sayangnya anak penyandang cacat tidak secara spesifik disebutkan walaupun istilah inklusi dipergunakan. 11 Tidak disebutkannya secara spesifik tentang anak penyandang cacat itu menggugah berbagai lembaga yang mempromosikan pendidikan Inklusi untuk mengadakan pertemuan. Hasil dari beberapa pertemuan berikutnya antara UNESCO dan Kelompok Kerja Internasional untuk Penyandang Cacat dan Pembangunan IWGDD, maka Program Flagship untuk pendidikan penyandang cacat pun diluncurkan pada akhir tahun 2001. Tujuan flagship tersebut adalah untuk menempatkan isu kecacatan dengan tepat pada agenda pembangunan dan memajukan pendidikan inklusi sebagai pendekatan utama untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua. 12 Pendidikan inklusi yang merupakan tujuan flagship tersebut adalah perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkelainan. Model pendidikan sebelumnya yang merupakan model pendidikan khusus tertua adalah model segregasi yang menempatkan anak berkelainan di sekolah-sekolah khusus, terpisah dari teman sebayanya. Model inklusi ini dapat dikatakan sebagai alternatif dari model segregasi yang sebenarnya merugikan bila dilihat dari sudut pandang peserta didik. Reynolds dan Birch mengatakan bahwa model segregasi tidak menjamin kesempatan anak berkelainan mengembangkan potensi secara optimal, karena kurikulum dirancang berbeda dengan kurikulum sekolah biasa. Selain itu, secara filosofis model segregasi tidak logis, karena menyiapkan peserta didik untuk kelak dapat berintegrasi dengan masyarakat normal, tetapi mereka dipisahkan 11 Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 20. 12 Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 20-21. 7 dengan masyarakat normal. Kelemahan lain yang tidak kalah penting adalah bahwa model segregasi relatif mahal. 13 Pada awalnya model alternatif dari pendidikan segregasi yang masih menyisakan diskriminasi ini muncul pada pertengahan abad XX yakni model mainstreaming. 14 Belajar dari berbagai kelemahan model segregasi, model mainstreaming memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. Alternatif yang tersedia mulai dari yang sangat bebas kelas biasa penuh sampai yang paling terbatas sekolah khusus sepanjang hari. Oleh karena itu, model ini juga dikenal dengan model yang paling tidak berbatas the least restrictive environment, artinya seorang anak berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang paling tidak berbatas menurut potensi dan jenis tingkat kelainannya. Para ahli pendidikan yang ada di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, negara di daratan Eropa seperti Norwegia, kemudian menyebar ke Asia termasuk Indonesia menyatakan bahwa mainstreaming berbeda dengan inklusi. Mainstreaming merupakan istilah yang biasa digunakan dalam pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus children with special needs yang memberikan kesempatan kepada peserta didik berkelainan khusus untuk belajar di kelas-kelas umum berdasarkan pada kemampuan untuk mengikuti kegiatan di sekolah dengan beberapa modifikasi. Bantuan pembelajaran yang berkaitan dengan kelainan khusus setiap peserta didik umumnya dilakukan di luar setting pendidikan umum. 15 13 Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 2. 14 Istilah mainstreaming di Amerika Serikat dan Inggris diartikan sebagai penempatan peserta didik dari sekolah luar biasa ke dalam kelas regular secara penuh, tetapi program penempatan belajarnya tidak bersatu dengan peserta didik normal tetapi terpisah dalam program khusus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Sekolah yang menggunakan model mainstreaming mempunyai tanggung jawab terhadap siswa berkebutuhan khusus untuk diajar sesuai dengan keberadaannya dan menekankan pada program khusus yang efektif. Untuk itu diperlukan guru khusus untuk setiap kelainannya. Lihat S. J. Piji, C. J. W. Meijer, and S. Hegarty, Inclusive Education London: Routledge, 1997, 65. 15 Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi Klaten:PT Insan Sejati Klaten, 2009, 16-17. 8 Model pendidikan lainnya sebagai alternatif dari segregasi yang muncul kemudian adalah model integrasi. Model ini digunakan untuk menunjukkan penempatan siswa berkebutuhan khusus dalam kelas-kelas tersendiri di sekolah- sekolah umum tertentu dimana peserta didik dapat berpartisipasi dalam beberapa kegiatan dengan teman-teman sebayanya, seperti kegiatan seni, musik, perpustakaan, kepramukaan dan kegiatan di luar sekolah outbond activity. Layanan pendidikan khusus seringkali juga dilakukan dalam ruang kelas khusus resource room centre melalui rekomendasi guru kelas. Dalam kondisi demikian, pembelajaran dalam sistem rangkap dapat menyebabkan mereka menjadi terpisah dengan teman sebayanya. Semenjak tahun 1980-an, fakta-fakta menunjukkan bahwa siswa berkebutuhan khusus selalu mencari dan mengharapkan adanya lingkungan yang memberikan kesempatan-kesempatan yang sama dengan mereka yang normal. Kesempatan tersebut harus dijamin keberlangsungannya dari sudut hukum perundang-undangan negara agar mereka dapat mengakses lebih luas. 16 Bertitik tolak dari harapan dan keinginan anak berkebutuhan khusus tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan inklusi merupakan salah satu syarat yang harus terpenuhi untuk membangun tatanan masyarakat inklusif inclusive society. Sebuah tatanan masyarakat yang saling menghormati dan menjunjung tinggi nilai – nilai keberagaman sebagai bagian dari realitas kehidupan. Melalui pendidikan inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Menurut M.A. Fattah Santoso, ada tiga langkah penting menuju inklusi yang nyata yaitu : komunitas, persamaan dan partisipasi. 17 Yang dimaksud 16 U ndang-undang kenegaraan yang akan mengatur realisasinya telah mulai nampak bermunculan, misalnya di Australia muncul International Years of Disable Person IYDP pada 1981 dan di Indonesia sendiri telah diberlakukannya Hak Anak melalui Keputusan Presiden No. 361990 tertanggal 25 Agustus 1990 yang diberlakukan mulai tanggal 5 Oktober 1990. Pemberlakuan keputusan tersebut menekankan pada hak-hak masyarakat berkelainan untuk mendapatkan pemenuhan kebutuhan hidup yang sama dengan orang lain, serta memilih pola hidup, mendapatkan pekerjaan, dan mengatur dirinya sendiri dalam memanpaatkan waktu-waktu luangnya. Lihat Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 13. 17 M.A. Fattah Santoso, “Sekolah Syariah dan Pendidikan Inklusi”, Makalah Seminar Nasional dan Peluncuran Kurikulum Sekolah Syariah dan Panduan Implementasi Pendidikan Inklusi UNESCO, yang diselenggarakan oleh Universitas Sebelas Maret Surakarta UNS dan 9 komunitas adalah bahwa semua staf yang terlibat dalam pendidikan merupakan suatu komunitas yang memiliki visi dan pemahaman yang sama tentang pendidikan inklusi, baik konsep dan pentingnya maupun dasar-dasar filosofisnya. Yang dimaksud persamaan adalah bahwa setiap anggota komunitas memiliki persamaan hak yang sama. Dan yang dimaksud dengan partisipasi adalah bahwa sebagai anggota komunitas harus bersama-sama berpartisipasi dalam mengembangkan pendidikan inklusi, sejak dari perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasinya. Dalam pendidikan inklusi, sistem sekolah tidak berhak menentukan tipe peserta didik, namun sebaliknya sistem sekolah yang harus menyesuaikan untuk memenuhi kebutuhan semua peserta didik. Prinsip pendidikan yang disesuaikan dalam sekolah inklusi menyebabkan adanya tuntutan yang besar terhadap guru reguler maupun guru pendidikan kebutuhan khusus. Mereka mempunyai tugas bersama untuk mengadaptasikan lingkungan belajar dengan kebutuhan dan kemampuan setiap siswa di kelas. Jadi, kelas reguler akan menjadi tempat bertemunya pendidikan reguler dan pendidikan kebutuhan khusus. Dalam menangani siswa berkebutuhan khusus, diperlukan keahlian tersendiri karena tidak semua aktivitas di sekolah dapat diikuti oleh anak cacat, misalnya anak cacat netra tak mampu mengikuti pelajaran menggambar atau olah raga, begitu pula anak tuna rungu sulit mengikuti pelajaran seni suara dan cacat yang lain perlu penanganan khusus karena keterbatasannya. Maka sangat diperlukan guru pembimbing khusus yang mampu memahami sekaligus menangani keberadaan anak cacat termasuk di dalamnya memahami karakter dari masing-masing jenis kecacatannya. Disamping itu, juga perlu membekali pengetahuan tentang karakter anak cacat terhadap guru umum, siswa yang normal maupun masyarakat sekitar dengan harapan anak cacat tersebut dapat diperlakukan secara wajar. Indonesia sebagai Negara yang menyelenggarakan pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus, menyediakan tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dengan dukungan Braillo, IDP-Norwegia dan SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta, di UNS, 11 Juni 2005. 10 Sekolah Luar Biasa SLB, Sekolah Dasar Luar Biasa SDLB, dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, danatau tunaganda. Sedangkan Pendidikan Terpadu menampung anak normal dengan anak berkelainan dalam satu lembaga pendidikan tapi dengan kelas yang berbeda. 18 Berdasarkan data Susenas tahun 2003, penyandang cacat di Indonesia berjumlah 1,48 juta orang 0,7 dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan jumlah penyandang cacat usia sekolah 5-18 tahun berjumlah 21,42 dari seluruh penyandang cacat. Sejak dikeluarkannya SK Dirjen Dikdasmen no. 380C.C6MN2003, Direktorat Pendidikan Luar Biasa telah mengembangkan sekolah-sekolah inklusi menjadi 600 sekolah dan mendidik 9.492 peserta didik berkebutuhan khusus. Pada tahun 2007 tercatat 343 SD dan 19 SMP yang menjadi sekolah inklusi, sedangkan pada jenjang Sekolah Menengah, menurut data tahun 2005 berjumlah 40 SMA dan 1 SMK. 19 Sedangkan m enurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 20062007 jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak 27,35, dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusi. 20 Jumlah tersebut belum termasuk mereka yang cacat tingkat ringan yang jumlahnya jauh lebih banyak dari survey tersebut, dan semuanya belum sepenuhnya mendapat layanan pendidikan yang maksimal sebagai kebutuhan dasarnya. 18 Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, 1. 19 Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan Balitbang Diknas, Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi anak Berkebutuhan khusus pada jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah Jakarta: Ditplb, 2008, 2. 20 Direktorat PSLB, Naskah dan Informasi Pendidikan Khusus Jakarta: Ditpslb, 2006 2007, 3. 11 Proses menuju pendidikan inklusi di Indonesia diawali pada awal tahun 1960-an oleh beberapa orang siswa tunanetra di Bandung dengan dukungan organisasi para tunanetra sebagai satu kelompok penekan. Pada masa itu SLB untuk tunanetra hanya memberikan layanan pendidikan hingga ke tingkat SLTP. Sesudah itu para pemuda tunanetra diberi latihan kejuruan dalam bidang kerajinan tangan atau pijat. Sejumlah pemuda tunanetra bersikeras untuk memperoleh tingkat pendidikan lebih tinggi dengan mencoba masuk ke SMA biasa meskipun ada upaya penolakan dari pihak SMA itu. Lambat-laun terjadi perubahan sikap masyarakat terhadap kecacatan dan beberapa sekolah umum bersedia menerima siswa tunanetra. Pada akhir tahun 1970-an pemerintah mulai menaruh perhatian terhadap pentingnya pendidikan integrasi, dan mengundang Helen Keller International, Inc. untuk membantu mengembangkan sekolah integrasi. Keberhasilan proyek ini telah menyebabkan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Pendidikan nomor 002U1986 tentang Pendidikan Terpadu bagi Anak Cacat yang mengatur bahwa anak penyandang cacat yang memiliki kemampuan seyogyanya diberi kesempatan untuk belajar bersama-sama dengan sebayanya yang non-cacat di sekolah biasa. Sayangnya, ketika proyek pendidikan integrasi itu berakhir, implementasi pendidikan integrasi semakin kurang dipraktekkan, terutama di jenjang SD. 21 Menjelang akhir tahun 1990-an upaya baru dilakukan lagi untuk mengembangkan pendidikan inklusi melalui proyek kerjasama antara Depdiknas dan pemerintah Norwegia di bawah manajemen Braillo Norway dan Direktorat PLB. Agar tidak mengulangi kesalahan di masa lalu dengan program pendidikan integrasi yang nyaris mati, perhatian diberikan pada keberlangsungan program pengimplementasian pendidikan inklusi. 22 21 Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan Untuk Mewujudkan Pendidikan untuk Semua. http:d-tarsidi.blogspot.com200707inovasiinklusi.html diakses 9 Februari 2010. 22 Strategi implementasi pendidikan inklusi yang dilakukan pemerintah adalah : Pertama, diseminasi ideologi pendidikan inklusi melalui berbagai seminar dan lokakarya; Kedua, 12 Berbagai upaya dilakukan pemerintah agar para penyandang cacat memperoleh segala haknya sebagai warga negara. Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UUSPN. Dalam undang-undang tersebut di kemukakan hal-hal yang erat hubungannya dengan pendidikan bagi anak-anak dengan kebutuhan pendidikan khusus. 23 P endidikan yang diberikan kepada mereka tidak hanya menghasilkan keterampilan dan pengetahuan yang terikat pada mata pelajaran saja. Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan individu mandiri yang aktif dan bertanggung jawab di dalam masyarakat yang baik. Salah satu contoh lembaga pendidikan yang berusaha mengembangkan individu mandiri yang aktif tanpa membedakan apakah terdapat kelainan mental, cacat fisik ataupun hambatan psikis adalah Madania Progressive Indonesian School. 24 Madania memandang bahwa setiap individu adalah istimewa dan layak memperoleh pelayanan dan penghargaan yang sama karena Tuhan telah mengubah peranan SLB yang ada agar menjadi pusat sumber untuk mendukung sekolah inklusi dengan alat bantu mengajar, materi ajar, metodologi, dan sebagainya; Ketiga, penataranpelatihan bagi guru-guru SLB maupun guru-guru reguler untuk memungkinkan mereka memberikan layanan yang lebih baik kepada anak berkebutuhan khusus dalam setting inklusi; Keempat, reorientasi pendidikan guru di LPTK dan keterlibatan universitas dalam program tersebut; Kelima, desentralisasi pembuatan keputusan untuk memberikan lebih banyak peran kepada pemerintah daerah dalam implementasi pendidikan inklusi; Keenam, mendorong dan memfasilitasi pembentukan kelompok-kelompok kerja untuk mempromosikan implementasi pendidikan inklusi; Ketujuh, keterlibatan LSM dan organisasi internasional dalam program ini; Kedelapan, menjalin jejaring antar berbagai pihak terkait; Kesembilan, mengembangkan sekolah inklusi perintis; Kesepuluh, pembukaan program magister dalam bidang inklusi dan pendidikan kebutuhan khusus. Lihat Didi Tarsidi, Pendidikan Inklusif Sebagai Satu Inovasi Kependidikan. http:d-tarsidi.blogspot.com. 23 Bab IV pasal 5 ayat 1, 2, 3, 4 berisi penjelasan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu baik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Demikian juga w arga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil dan warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. 24 Selanjutnya dalam Tesis ini penulis akan menggunakan istilah Madania untuk menyebut lembaga ini . Madania yang terletak di Telaga Kahuripan Parung Bogor, menerapkan prinsip-prinsip inklusi dalam pendidikannya. Lembaga ini memiliki landasan filosofis pendidikan yang menjunjung tinggi peradaban yang diikat dengan aturan hukum, disiplin, mendukung tegaknya prinsip egaliterianisme, demokrasi, dan nilai-nilai luhur yang bersifat transenden. Landasan filosofi ini mendasari penerapan pendidikan inklusi di sekolah ini sejak tahun 1998. Sekalipun pendidikan Madania dirancang dan didirikan oleh kelompok orang muslim yang menaruh minat pada dunia pendidikan, namun wawasan keagamaannya bersifat terbuka, toleran dan inklusif. 13 menganugerahkan mereka derajat dan hak-hak yang sama, sekalipun dengan potensi, minat dan pertumbuhan pribadi yang berbeda-beda. Madania memiliki suatu wadah pendidikan bagi anak dengan kebutuhan khusus yang merupakan laboratorium sosial yaitu Special Educational Need SEN Unit. SEN Unit berperan memfasilitasi proses adaptasi siswa berkebutuhan khusus dalam mengikuti kegiatan sekolah agar mereka memiliki perkembangan potensi individu yang optimal, memiliki perkembangan emosi sesuai dengan usianya, menjadi individu yang mandiri, dan mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosial melalui pendekatan holistik antara sekolah, orang tua dan tim profesional. 25 Sejalan dengan tujuan SEN Unit, ada beberapa tujuan lainnya dalam pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus. Tujuan tersebut terbagi kepada empat kategori yaitu: tujuan pendidikan dalam latihan keterampilan tertentu, dalam memberikan pengetahuan tertentu, dalam kemungkinan untuk mengembangkan sikap, dan dalam memberikan akses ke pengalaman belajar. 26 Meskipun beberapa keterampilan dan jenis pengetahuan dapat dengan mudah ditransfer ke dalam butir-butir yang konkret dan dapat diukur untuk penilaian, tujuan pendidikan dalam pembentukan sikap dan pembiasaan seringkali lebih sulit untuk dirumuskan, karena sikap dan kebiasaan sulit untuk diukur – baik dalam bentuk nilai ataupun dalam bentuk penyataan tertulis tentang prilaku siswa yang seharusnya. Akan tetapi, mengembangkan sikap dan kebiasaan yang pantas itu merupakan tujuan pendidikan yang sangat penting. Oleh karena itu tidak boleh diabaikan hanya karena sulit untuk diukur. Pembentukan sikap dan kebiasaan yang baik akan dapat terwujud, diantaranya dengan memberikan pemahaman yang benar tentang pendidikan agama. Dengan pemahaman yang benar akan agamanya diharapkan siswa 25 Madania Progressive School , Handbook 2009-2011: Educational Support Department Parung: Madania, 2009, 7. 26 Berit H. Johnsen, Kurikulum untuk Pluralitas Kebutuhan Belajar Individual. http:www.idp-europe.org indonesiabuku-inklusipdf15-Kurikulum.pdf . diakses 9 Februari 2010. 14 berkebutuhan khusus memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan untuk membentuk dan mengarahkan mereka pada moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi yang kondusif, saling tolong menolong, bekerjasama, tenang, tentram, tanpa perselisihan, tanpa pertentangan, damai satu sama lain, saling memberi dan menerima. Ironisnya pendidikan moral melalui pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah. Demikian juga porsi perhatian dari para pengelola pendidikan masih banyak diberikan pada penguatan skill keterampilan yang bersifat fisik ketimbang pada aspek spiritual yang bersifat non fisik. 27 Padahal mewujudkan sebuah lingkungan pendidikan yang agamis akan lebih memberikan dampak yang positif karena mereka akan merasa dihargai dan dapat menerima keberadaan dirinya dengan segala kelebihan dn kekurangannya yang berbeda dengan teman-teman sebaya di lingkungannya. Sikap positif guru terhadap siswa berkebutuhan khusus akan berdampak positif pula pada proses pembelajarannya. 28 Sikap positif ini secara 27 Beberapa kelemahan pembelajaran pendidikan agama, diidentifikasi oleh Thowaf yaitu: Pertama, pendekatan masih cenderung normatif, menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian. Kedua, kurikulum yang dirancang boleh dikatakan menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi bagi peserta didik. Semangat pendidik untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi terlihat masih kurang. Ketiga, pendidik kurang berupaya menggali berbagai metode yang mugkin bisa dipakai untuk pendidikan agama, sehingga pembelajaran cenderung monoton. Keempat, keterbatasan sarana prasarana sehingga pengelolaan cenderung seadanya. Lihat Siti Malikhah Towaf, “Pembinaan Kampus sebagai Lembaga Pendidikan Ilmiah Edukatif yang Religius”, Makalah disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III Ujung Pandang, 4-7 Maret 1996. 28 Keteladanan dalam pendidikan adalah metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam mempersiapkan dan membentuk anak di dalam moral, spiritual dan sosial. Hal ini karena pendidik adalah contoh terbaik dalam pandangan anak, yang akan ditirunya dalam tindak tanduknya, dan tata santunnya, disadari ataupun tidak, bahkan tercetak dalam jiwa dan perasaan suatu gambaran pendidik tersebut, baik dalam ucapan atau perbuatan, baik material atau spiritual, diketahui atau tidak diketahui. Lihat ‘Abd Allah Nas}ih} ‘Ulwan dalam 15 otomatis akan mempengaruhi pula orang-orang di sekitarnya yaitu teman- temannya, guru dan orang tua. Minimnya perhatian terhadap pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus bukan semata-mata karena para aktivis dan profesional pendidikan inklusi mengabaikan pendidikan agama, akan tetapi juga karena minimnya model pendidikan agama yang dapat diaplikasikan yang cocok dan sesuai dengan mereka. Sesungguhnya pendidikan agama adalah hak bagi semua manusia tanpa membedakan normal dan tidak normal. Siswa berkebutuhan khusus juga memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan agama karena mereka adalah manusia ciptaan Allah yang mendapat khitab titah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Islam mengajarkan bahwa pendidikan wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun perempuan selama masih memiliki daya dan iradah dalam hidup. 29 Nabi Muhammad pun pernah ditegur oleh Allah ketika menjelaskan ajaran Islam kepada para sahabatnya lantaran tidak mengindahkan pertanyaan Ummi Maktum, seorang sahabat tunanetra. 30 Bahasan tentang pentingnya pendidikan agama Islam telah banyak dimuat dalam ribuan buku akan tetapi jumlah tersebut tidak seimbang dengan kebutuhan pembahasan dan diskusi mengenai model pendidikan agama bagi siswa berkebutuhan khusus. Kajian ini masih terbilang sedikit—kalau tidak dikatakan langka padahal sangat dibutuhkan. Mengingat pentingnya menemukan konsep model pengajaran pendidikan agama Islam dan pentingnya menciptakan suasana yang agamis di Tarbiyat al-Awlad fi-al-Islam Kairo: Daru al-Salam li al-T}iba||’ah wa-al- Nashr wa-al-Tawzi’, 1981, 6. 29 Majid al-‘Arsan al-Kaylani mengelaborasi kemampuan manusia yang mendapat perintah untuk berdzikir dan berfikir lantaran mereka memiliki kekuatan untuk taat pada Allah dan memiliki kekuatan untuk berfikir sebagaimana dinyatakan al-Qur’an surat S}ad ayat 45. Lihat Majid al-‘Arsan al-Kaylani, Ahdaf al-Tarbiyah al- Islamiyah fi Tarbiyat al- Fardi wa-Ikhraji al- Ummah wa-Tanmiyat al-Ukhuwwah al-Insaniyah Firjiniya: al- Ma’ahad al-‘Alami li al-Fikri al-Islami, 19971417, 70. 30 Abd al-Rahman al-Nah}lawi, Us}ul al-Tarbiyah al-Islamiyah wa- Asalibiha fi al-Bayti wa-al-Madrasati wa-al-Mujtama’ Bairut Libanon: Daru al- Fikri al-Ma’as}ir, 1999, 36. 16 lingkungan pendidikan serta memperhatikan dampak positifnya terhadap siswa berkebutuhan khusus dan orang-orang di sekitarnya, maka penelitian tentang pendidikan agama Islam dalam setting pendidikan inklusi laik bahkan penting untuk dilakukan. Karena itu penulis akan melakukan penelitian tesis ini berjudul PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM SETTING PENDIDIKAN INKLUSI.

B. Permasalahan