Dari Segregasi Menuju Inklusi

36

B. Dari Segregasi Menuju Inklusi

Sebagaimana penjelasan pada sub bab sebelumnya bahwa pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus merupakan tawaran alternatif atau kelanjutan dari sistem pendidikan segregasi. Awalnya layanan pendidikan bagi mereka dilaksanakan dalam sistem segregasi namun akhir-akhir ini muncul kecenderungan menggunakan pola pendidikan inklusi bagi siswa berkebutuhan khusus. Sistem pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan dimana anak berkelainan terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Penyelengggaraan sistem pendidikan segregasi dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. 25 Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dalam setting segregasi dapat memberikan lingkungan belajar yang aman, nyaman dan memenuhi kebutuhan khusus mereka secara akademik. B entuk-bentuk sistem pendidikan segregasi adalah : Pertama, Sekolah Luar Biasa. Kedua, Sekolah Dasar Luar Biasa. Ketiga, Kelas JauhKelas Kunjung. Keempat, Sekolah Berasrama. Dan kelima, Hospital School. Penggunaan sistem segregasi didasari oleh pandangan klasik terhadap siswa berkelainan fisik. Dalam pandangan klasik, siswa bekelainan khusus dipersepsikan sebagai manusia penyandang cacat yang memerlukan perhatian khusus untuk memperoleh hak pendidikannya. Diasumsikan bahwa siswa berkelainan khusus memiliki kemampuan belajar yang berbeda dengan siswa yang lain sehingga diperlukan penangan khusus dan tersendiri dalam pelayanan pendidikannya. Untuk memberikan layanan maksimal bagi mereka maka dipersiapkan sistem pendidikan terpisah dari siswa normal. Ide-ide dan langkah- langkah yang spesifik dalam proses pendidikannya dikembangkan dalam tradisi sekolah khusus seperti ini. Penggunaan bahasa isyarat dan membaca bibir bagi orang yang tunarungu, dan alfabet ukiran untuk dibaca dengan indera perabaan oleh orang tunanetra merupakan contoh klasik yang berakar pada hasil pemikiran dan pandangan masa lampau. 25 Teguh Eko Saputro, Sistem Pendidikan Anak Luar Biasa. http:teguhekosaputro. Wordpress .com 200712039 diakses 16 Mei 2010. 37 Dari sudut layanan akses pendidikan bagi masyarakat penyandang cacat, pendidikan segregasi memang mampu melayani mereka secara maksimal dan mendapat perhatian khusus, akan tetapi belum mampu menjangkau semua yang membutuhkan karena jumlah masyarakat penyandang cacat dengan variasinya tidak sebanding dengan jumlah satuan sekolah penyandang cacat yang disediakan. Akibatnya mereka banyak yang terlantar, tidak memperoleh kesempatan belajar, dan bahkan tidak jarang mereka dianggap beban masyarakat. Dalam perkembangannya kemudian, banyak kajian dan penelitian yang mulai meninjau ulang penyelenggaraan sistem pendidikan segregasi ini. Dalam artikelnya, Lloyd Dunn meminta para pendidik khusus untuk mempertimbangkan kembali hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perkembangan akademis anak-anak yang memiliki hambatan yang ditempatkan di sekolah reguler lebih besar dibandingkan mereka yang ditempatkan di sekolah khusus. Dunn juga menekankan bahwa memberikan label kepada anak-anak untuk ditempatkan di kelas khusus membuat suatu stigma yang sangat destruktif bagi konsep diri mereka. Penempatan mereka di kelas khusus mungkin memberikan pengaruh yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan diri. 26 Sistem segregasi memang menyediakan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang lebih nyaman dan spesifik akan tetapi model pendidikan ini cenderung memisahkan anak dari lingkungan sosialnya termasuk dari lingkungan keluarganya, dan kurang memberi kesempatan kepada anak untuk bersosialisasi secara lebih luas. Selain itu, segregasi tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat luas untuk mengenal orang berkebutuhan khusus secara benar, dan hal ini cenderung mengekalkan sikap diskriminatif terhadap mereka. Pengajaran yang dilakukan dalam setting segregasi biasanya sering difokuskan pada apa yang tidak dapat dilakukan oleh anak. Hal ini kadang- kadang dapat mengakibatkan berkurangnya harga diri anak berkebutuhan khusus dan bahkan dapat menambah masalah. 26 J. David Smith, Inclusion, School for All Student, 42. 38 Khusus di Indonesia, selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan difabel disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis kelainannya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa SLB. Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi mereka. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak berkebutuhan khusus dengan yang lainnya. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat, mereka menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Seiring dengan berkembangnya tuntutan dari orang-orang yang memiliki perbedaan kemampuan dalam menyuarakan hak-haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusi. Seruan untuk menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam program-program pendidikan reguler yang dinamakan dengan pendidikan inklusi terus bergulir di beberapa negara. 27 Hampir semuanya diilhami oleh sebuah kesadaran akan pemenuhan hak asasi manusia dalam upaya untuk memperoleh pendidikan. Kesadaran itu diawali dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Assistant Secretary for Special Education and Rehabilitative Service of the US Departement of Education pada tahun 1986. Sekretaris Madeline Will mengajukan apa yang dia sebut Reguler Education Initiative REI. REI mengusulkan restrukturissi pendidikan Amerika ke dalam suatu sistem tunggal dalam memberikan layanan bagi semua siswa yaitu dengan menyatukan pendidikan khusus dan reguler. Dengan penyatuan ini akan tercipta tanggung jawab bersama sehingga akan melayani anak-anak tanpa stigma label- label diagnostik atau kelas-kelas yang terpisah. 28 27 Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. http:www.un.orgdisabilitiesdefault.asp?id=311list diakses 16 Mei 2010. 28 Usulan serupa dengan Will tidak hanya muncul di belahan Amerika akan tetapi muncul di beberapa wilayah lain. Wajar jika sejarah mengatakan bahwa perkembangan pendidikan inklusi di dunia pada mulanya diprakarsai dan diawali dari negara-negara Scandinavia Denmark, Norwegia, Swedia. Di Amerika Serikat sendiri pada tahun1960-an, Presiden Kennedy mengirimkan pakar-pakar pendidikan luar biasa ke Scandinavia untuk mempelajari mainstreaming dan least restrictive environment, yang ternyata cocok untuk diterapkan di Amerika Serikat. Selanjutnya, Inggris mulai memperkenalkan adanya konsep pendidikan inklusi dengan ditandai adanya pergeseran model pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus dari segregatif ke integratif. Lihat J. David Smith, Inclusion, School for All Student, 43-44. 39 Berbagai kontroversi muncul sehubungan dengan usulan Will ini, terutama dari mereka yang berprofesi di bidang pendidikan khusus. Pada tahun 1987 sekelompok pimpinan di bidang ini bertemu untuk menilai implikasi dari usulan tersebut. Pada dasarnya mereka memuji restrukturisasi sekretaris Will, tetapi menurut mereka yang harus diperhatikan adalah bahwa pendidikan khusus bisa diubah secara mendasar hanya bila institusi sekolah umum diubah. 29 Kritikan lain datang dari Kauffman yang mengungkapkan kekhawatirannya dari sisi layanan, dia mengatakan bahwa layanan-layanan pengajaran khusus bagi anak berkebutuhan khusus akan berkurang atau hilang apabila mereka disatukan di kelas reguler, apalagi guru-guru di kelas reguler pada umumnya tidak mendapatkan pelatihan untuk menangani siswa-siswa yang masuk di kelas khusus. Menurutnya, berbagai keinginan untuk menyatukan pendidikan reguler dan pendidikan khusus ternyata terbukti hanyalah merupakan satu kepentingan dimensional karena ternyata para pendukungnya hampir dimonopoli oleh para pendidik khusus. 30 Senada dengan pendapat Kauffman, Evelyn Deno mengatakan bahwa seorang anak yang berkelainan harus ditempatkan pada lingkungan yang tidak terbatas menurut potensi dan jenis kelainannya. Hal ini memungkinkan berbagai alternatif penempatan pendidikan bagi anak berkelainan. 31 Fuchs dan Fuchs menganalisis bahwa alasan-alasan kurang berminatnya para pendidik reguler mungkin disebabkan karena mereka memandang pendidikan khusus sebagai sesuatu yang terpisah. Disamping itu, minat mereka selama ini lebih dikonsentrasikan pada keunggulan dibanding keadilan. 32 Berbeda dengan pendapat Kauffman dan Deno, Sapon-Shevin menyatakan bahwa pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang 29 J. David Smith, Inclusion, School for All Student, 43-44. 30 J. M. Kauffman, “The Regular Education Initiative as Reagen – Bush Education Policy: A Trickle – Down Theory of Education of the Hard – to Teach”. Journal of Special Education , 23, 1989, 273. 31 Evelyn Deno, Teaching Exceptional Children and Youth in the Regular Classroom New York: Syracuse University Press, 1986, 22. 32 Douglas Fuchs Lynn S. Fuchs. “Inclusive Schools Movement and the Radicalization of Special Education Reform”, Exceptional Children, 60, 1994, 295. 40 mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler bersama-sama teman seusianya. 33 Staub dan Peck mengemukakan bahwa pendidikan inklusif adalah penempatan anak berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler. Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. 34 Sedangkan Bandi Delphie menyatakan bahwa konsep inklusi berdasarkan atas gagasan bahwa sekolah regular harus menyediakan lingkungan belajar bagi seluruh peserta didik sesuai dengan kebutuhannya, apapun tingkat kemampuan ataupun kelainannya. 35 Tuntutan penyelenggaraan pendidikan inklusi di dunia semakin nyata terutama sejak diadakannya konvensi dunia tentang hak anak pada tahun 1989 dan konferensi dunia tentang pendidikan tahun 1990 di Bangkok yang menghasilkan deklarasi Education for All. Implikasi dari statemen ini mengikat bagi semua anggota konferensi agar semua anak tanpa kecuali termasuk anak berkebutuhan khusus mendapatkan layanan pendidikan secara memadai. Sebagai tindak lanjut deklarasi Bangkok, pada tahun 1994 diselenggarakan konvensi pendidikan di Salamanca Spanyol yang mencetuskan perlunya pendidikan inklusi yang selanjutnya dikenal dengan The Salamanca Statement on Inclusive Education. Setelah beberapa negara melakukan uji coba maka diasumsikan bahwa pendidikan inklusi tampaknya dapat mengatasi kekurangan-kekurangan yang ditimbulkan oleh sistem segregasi. Pendidikan inklusi memberikan kesempatan yang sama kepada semua anak – termasuk anak berkebutuhan khusus – untuk belajar bersama-sama dalam lingkungan belajar yang sama, di mana semua anak 33 John O’Neil, “Can Inclusion Work? A Conversation with Jim Kauffman and Mara Sapon Shevin”, Educational Leadership 52, No.4 1989, 7-11. 34 Debbie Staub and Charles A. Peck, “What are the Outcomes for Nondisabled Students?”, Educational Leadership, Volume 52, No.4, Desember-Januari 1994-1995, 36-40. 35 Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus, 15. 41 memiliki akses yang sama ke sumber-sumber belajar yang tersedia, dan kebutuhan khusus setiap anak diperhatikan dan dipenuhi. Terdapat banyak contoh tentang praktek pendidikan inklusi yang baik dari berbagai budaya dan konteks. Walaupun pendidikan inklusi bukan merupakan cetak biru yang dapat dialihkan dari satu budaya ke budaya lainnya, tetapi terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil terutama jika hambatan yang dihadapi dan sumber-sumber yang tersedia sangat mirip. Sebagai contoh lebih dari 40 praktisi pendidikan inklusi yang bekerja di berbagai negara Selatan yang status ekonominya rendah, mereka dapat belajar jauh lebih banyak dari sesama negara Selatan dibanding dari para ahli dan praktisi dari Utara yang memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda dan sistem yang berbeda pula. 36 Bersamaan dengan pengalaman berbagai negara selatan, di China juga mengalami perkembangan yang sama. Di sana terjadi perubahan besar dengan merumuskan kembali pendidikan khusus sebagai bagian integral dari pendidikan dasar dengan menjadikan status pendidikan lebih inklusif . Intervensi pemerintah melalui legislasi dan regulasi merupakan pendekatan efektif dipakai untuk menyempurnakan pelayanan pendidikan. 37 Hasilnya tampak pada implementasi integrasi kelas dan bertambahnnya anak masuk sekolah. Pengalaman China mungkin bermanfaat untuk negeri berkembang yang sedang mencari alternatif mempersiapkan pelayanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Berbeda halnya dengan negara-negara Islam, konsep inklusi sebagai sebuah ideologi profesional relatif baru di kawasan Timur Tengah, yang didominasi oleh nilai-nilai dan keyakinan budaya tradisional. Anak-anak dan remaja penyandang cacat tradisional dididik di sekolah -sekolah khusus yang diisolasi. Penyandang cacat traditional meliputi siswa dengan cacat fisik, 36 Jonathan Rix, Katy Simmons, and Melanie Nind, Policy and Power in Inclusive Education : Values into Practice London: Routledge, 2005, 2. 37 Sebagai contoh yaitu pemerintah kota meminta pemerintah lokal untuk mengalokasikan anggaran untuk mengembangkan kebijakan mereka sendiri dalam meningkatkan kualitas pendidikan anak cacat. Lihat Peng Xianguang Meng Deng, “Pendidikan Inklusif di Cina”, EENET ASIA Newsletters, Edisi 3, 2002. 42 kognitif, emosional, atau cacat indera. Dengan demikian pendidikan untuk mereka tidak terintegrasi dengan sekolah reguler. 38 Di Qatar, Bahrain dan Quwait misalnya, inklusi kini telah diterima sebagai salah satu unsur dalam perencanaan modern untuk penanganan orang cacat. Para praktisi pendidikan tidak menolak konsep inklusi yang dapat memajukan kesejahteraan para penyandang cacat. Namun pada saat yang sama, banyak kendala yang menghambat kemajuan perencanaan ini yang diantaranya karena faktor produk tradisional masyarakat. Pelayanan medis dan sosial untuk orang cacat diutamakan, sedangkan integrasi pendidikan dan sosial untuk para penyandang cacat itu terbatas atau tidak ada. 39 Di Indonesia, sejak awal tahun 2000 pemerintah mengembangkan program pendidikan inklusi. Program ini merupakan kelanjutan program pendidikan terpadu yang sesungguhnya pernah diluncurkan di Indonesia pada tahun 1980-an, tetapi kemudian kurang berkembang, dan baru mulai tahun 2000 dimunculkan kembali dengan mengikuti kecenderungan dunia, menggunakan konsep pendidikan inklusi. Pada tahun 2004, di Indonesia diselenggarakan konvensi nasional dengan menghasilkan Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju pendidikan inklusi. Untuk memperjuangkan hak-hak anak dengan hambatan belajar, pada tahun 2005 diadakan simposium internasional di Bukittinggi dengan menghasilkan Rekomendasi Bukittinggi yang isinya antara lain menekankan perlunya terus dikembangkan program pendidikan inklusi sebagai salah satu cara menjamin bahwa semua anak benar-benar memperoleh pendidikan dan pemeliharaan yang berkualitas dan layak. Pembahasan dari segregasi menuju inklusi memberikan bukti bahwa pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan tuntutan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang sama dengan anak normal lainnya. Dan pendidikan inklusi 38 David Mitchell, Contextualizing Inclusive Education New York: Routledge, 2005, 256 . 39 David Mitchell, Contextualizing Inclusive Education, 256. 43 dianggap sebagai layanan pendidikan yang paling sesuai untuk mengembangkan potensi mereka pada saat ini.

C. Titik Singgung Pendidikan Islam dan Pendidikan Inklusi