Pendidikan Inklusi dan Kebutuhan Khusus

26

BAB II PENDIDIKAN INKLUSI DAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Implementasi pendidikan inklusi mulai banyak dipertimbangkan sebagai alternatif pendidikan berkeadilan bagi setiap kelompok masyarakat. Pemerintah pun merasa berkewajiban menyediakan layanan inklusi ini untuk dapat diakses lebih banyak oleh sebagian masyarakatnya yang berkebutuhan khusus. Namun belum banyak orang yang memahami asal usul dan landasan filosofis yang mendasarinya. Terlebih lagi jika pendidikan inklusi ini dikaitkan dengan pentingnya pendidikan agama Islam bagi anak berkebutuhan khusus. Untuk itu, bab ini akan menunjukkan tentang pengertian pendidikan inklusi dan landasan filosofisnya, serta sekilas perdebatan teori mengenai implementasi segregasi dan inklusi. Selain itu perlu ditunjukan juga tentang titik temu gagasan pendidikan inklusi dengan ajaran Islam yang sangat menekankan pendidikan bagi setiap penganutnya tanpa membedakan kelas, jenis dan kenormalannya.

A. Pendidikan Inklusi dan Kebutuhan Khusus

Pendidikan Inklusi merupakan istilah baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, terutama pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Istilah pendidikan inklusi akhir-akhir ini menjadi perhatian pemerintah Indonesia seiring dengan perhatian negara-negara maju dan berkembang lainnya terhadap pemenuhan pendidikan masyarakat marginal. Bahkan untuk memperkaya hasanah, dewasa ini pendidikan inklusi mulai banyak dibahas di dunia akademik perguruan tinggi dan para aktivis pendidikan. Munculnya sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat seringkali tidak difahami secara tunggal akan tetapi terkadang ia memiliki sejumlah pengertian dan pemahaman yang beragam sesuai dengan jumlah pengguna istilah. Apalagi pendidikan inklusi merupakan istilah yang digunakan dalam ranah filosofis yang selalu mengalami perkembangan, baik perkembangan yang sejalan dengan hasil renungan orang terhadap praktek pendidikan inklusi 27 maupun dengan hasil pengalaman pendidikan inklusi dalam berbagai konteks budaya dan tradisi. Landasan filosofis pendidikan inklusi didasarkan pada hak semua individu normal maupun berkelainan untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan kesempatan yang sama untuk mengembangkan potensi mereka dan menghormati martabat kemanusiaan mereka. Konsep pendidikan inklusi sangat banyak diilhami oleh gerakan Pendidikan untuk Semua Education for All dan peningkatan mutu sekolah yang lantang disuarakan oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa- Bangsa. 1 Gerakan ini berawal dari keprihatinan dunia terhadap minimnya sebagian kelompok masyarakat yang terpinggirkan untuk memperoleh akses pendidikan. Semangatnya adalah pemenuhan layanan pendidikan untuk semua warga dunia tanpa membedakan warna, jenis, sifat dan lainnya dari setiap siswa karena pendidikan merupakan hak bagi semua tanpa ada diskriminasi. Pendidikan inklusi dapat diartikan sebagai suatu bentuk penyedia instruksional dan dukungan yang didesain khusus untuk siswa dengan kebutuhan khusus dalam konteks tata cara pendidikan umum. 2 Menurut Normal Kunc, pendidikan inklusi adalah bagian dari nilai-nilai kehidupan. Prinsip dasar inklusi adalah menghargai perbedaan dalam masyarakat manusia. Melalui inklusi kita mencari dan memelihara anugerah yang ada pada setiap orang. Dengan cara ini bisa diyakini bahwa siswa di sekolah inklusi akan terbebaskan dari tirani dengan mendapatkan hak mereka. 3 1 Gerakan Pendidikan untuk Semua Education for All berawal dari sebuah deklarasi yang bernama Deklarasi Pendidikan untuk Semua World Declaration on Education for All yang dibuat dalam sebuah pertemuan yang membahas masalah pendidikan dunia di kota Jomtien, Thailand tahun 1990. Pertemuan ini memvisikan sebuah kondisi pembelajaran di mana setiap orang akan memiliki akses dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan dalam berbagai bentuk, serta memungkinkan terbukanya peran penuh masyarakat dalam pendidikan. 2 C.Moore, Educating Students with Disabilities in General Education Classrooms: a Summary of Research Alaska, USA: Department of Education, Teaching and Learning Support, 1998, 25. 3 Normal Kunc, “The Need to Belong: Rediscovering Maslow’s Hierarchy of Needs”, dalam R. Villa, J. Thousand, W. Stainback, dan S. Stainback, Education: An Administrative Guide to Creating Heterogeneous School Baltimore MD: Brooks, 1992, 38-39. 28 J. David Smith mengartikan pendidikan inklusi sebagai penyatuan anak- anak berkelainan penyandang hambatan cacat ke dalam program-program sekolah. 4 Senada dengan pengertian ini, Departemen Pendidikan Nasional memahami pendidikan Inklusi dengan mendidik anak berkelainan bersama- sama anak lainnya normal untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya 5 . Martin Omagor-Loican berpendapat bahwa inklusi adalah penyesuaian dan pengubahan praktis di rumah-rumah, sekolah-sekolah dan masyarakat luas. Inklusi juga berarti membuat perubahan-perubahan yang diperlukan, memenuhi kebutuhan-kebutuhan semua anak, tanpa memandang perbedaan mereka dan memastikan mereka memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi secara penuh serta setara pada apa yang terjadi dalam komunitas mereka. 6 Sedangkan definisi yang paling mencakup dan sesuai dengan perkembangan pelaksanaan pendidikan Inklusi di berbagai negara adalah sebagaimana dinyatakan dalam satu paragraf dalam Pasal 2 Pernyataan Salamanca. Pernyataan Salamanca menyebutkan bahwa sekolah reguler dengan orientasi inklusi merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan masyarakat yang terbuka, membangun suatu masyarakat inklusif dan mencapai pendidikan untuk semua. Selain itu, sekolah inklusi juga memberikan pendidikan yang efektif kepada mayoritas anak dan meningkatkan efisiensi sehingga menekan biaya untuk keseluruhan sistem pendidikan. 7 4 J. David Smith, Inclusion, School for All Student, diterjemahkan Denis Ny. Enrica Bandung: Nuansa, 2006, 45. 5 Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Mengenal Pendidikan Inklusif, Jakarta: Ditplb, 2006, 1. Lihat juga Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan danatau Bakat Istimewa, Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan danatau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Selanjutnya pada pasal 2 disebutkan bahwa pendidikan inklusi ini salah satu tujuannya adalah untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. 6 Martin Omagor-Loican, Towards Inclusive Education. www.eenet.org.uk...docs Towards_ Inclusive_ Education_Uganda.doc diakses 16 Mei 2010. 7 UNESCO, The Salamanca Statement and Frame Work for Action on Special Needs Education, 1994. http:unesdoc.unesco.orgimages0009000984098427Eo.pdf diakses 28 Januari 2010. 29 Definisi yang relatif bisa diterima oleh semua pihak adalah definisi yang dirumuskan dalam Seminar Agra 8 yang disetujui oleh 55 peserta dari 23 negara pada tahun 1998. Definisi ini kemudian diadopsi dalam South African White Paper on Inclusive Education. Adapun pengertian yang relatif diterima oleh semua peserta seminar bahwa pendidikan inklusi adalah lebih luas dari pada pendidikan formal. Pendidikan inklusi mencakup pendidikan di rumah, masyarakat, sistem nonformal dan informal. Pendidikan inklusi juga mengakui bahwa semua anak dapat belajar, memungkinkan struktur, sistem dan metodologi pendidikan memenuhi kebutuhan semua anak. Selain itu, mengakui dan menghargai berbagai perbedaan pada diri anak: usia, jender, etnik, bahasa, kecacatan, status HIVAIDS dll. Pendidikan inklusi juga merupakan proses yang dinamis yang senantiasa berkembang sesuai dengan budaya dan konteksnya, juga merupakan bagian dari strategi yang lebih luas untuk mempromosikan masyarakat yang inklusif. 9 Dari berbagai definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh pendidikan apabila disederhanakan maka pendidikan inklusi adalah pendidikan tanpa diskriminasi terhadap anak didik. Oleh karenanya semua anak berhak mendapat pendidikan di lingkungan yang sama supaya segala potensi yang dimilikinya bisa berkembang. Namun dalam implementasinya, jumlah masyarakat yang memerlukan layanan khusus di bidang pendidikan di setiap negara masih relatif banyak dibandingkan dengan jumlah layanan pendidikannya. Dari catatan data d iperkirakan bahwa jumlah orang cacat di dunia antara 500 dan 600 juta orang. Dari jumlah tersebut, 120-150 juta adalah anak-anak , 80-90 persen hidup di 8 Seminar Agra menghimpun lebih dari 40 praktisi pendidikan inklusi yang bekerja di berbagai negara yang secara ekonomi lebih miskin. Mereka dapat belajar jauh lebih banyak dari sesama negara Selatan dibanding dari para ahli dan praktisi dari Utara yang memiliki tingkat ketersediaan yang berbeda dan sistem yang berbeda pula. Dalam banyak hal, pengalaman mereka tidak hanya relevan dengan sesama negara miskin, tetapi juga dapat memberikan pelajaran yang berharga bagi perkembangan pendidikan inklusi di Utara. Lihat Jonathan Rix, Katy Simmons, Melanie Nind, dalam Policy and Power in Inclusive Education : Values into Practice London: Routledge, 2005, 2. 9 Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources Oslo: The Atlas Alliance, 2002, 38-39. 30 negara-negara berkembang dan 15-20 persen memiliki kebutuhan khusus di beberapa titik dalam kehidupan mereka. 10 Menurut laporan William Kennedy Smith dari Lembaga Rehabilitasi di Chicago Amerika Serikat, di seluruh dunia ada sekitar 600 juta penduduk menderita cacat dan diantaranya sekitar 80 persen ada di Asia. Dengan demikian di Asia ada sekitar 480 juta penduduknya menderita kecacatan. Di negara-negara Asia, nasib penyandang cacat kurang beruntung. 11 Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap penyandang cacat sangat rendah. 12 Bertambahnya angka jumlah anak berkebutuhan khusus di dunia bukan saja diakibatkan karena semakin luasnya jangkauan survey sampai daerah atau lokasi sulit dan terpencil dalam proses pendataannya akan tetapi penambahan itu karena semakin luasnya pengertian istilah anak berkebutuhan khusus. Untuk itu perlu dijelaskan terlebih dahulu apa arti anak berkebutuhan khusus tersebut. 13 10 Richard Rieser, Implementing Inclusive Education: A Commonwealth Guide to Implementing London: Commonwealth Secretariat, 2008, 9. 11 Di India misalnya, sekitar 74 persen penduduk yang menderita cacat tidak bekerja. Di Filipina, tetangga kita dengan tingkat pendidikan penduduk yang cukup tinggi, sekitar 20 persen anak-anak cacat tidak pernah bersekolah. Di Kambodia, penduduk dengan kecacatan umumnya harus hidup sengsara sebagai peminta-minta. Lihat Hayono Suyono, Mewujudkan Masyarakat Beradab Bersama Aksi Penyandang cacat, 2005. http:www.dradio1034 fm.or.iddetail. php?id=281 diakses 16 mei 2010. 12 Perhatian yang rendah itu sangat beralasan. Banyak negara tidak mempunyai data yang akurat tentang jumlah penduduknya yang cacat. Umumnya negara-negara tersebut, kecuali Jepang dan RRC, tidak aktif melakukan usaha untuk mengumpulkan data yang akurat. Negara- negara tersebut bergantung pada angka perkiraan yang dibuat WHO, yaitu dengan jumlah penyandang cacat sekitar 10 persen dari seluruh penduduk negaranya. Perkiraan itu dianggap akan bertambah tinggi kalau penduduk negara tersebut dianggap kekurangan gizi, menderita karena musibah tanah longsor, ada kejadian gunung berapi yang meletus, atau ada kejadian musibah lainnya. Tanpa data yang akurat sukar sekali diharapkan pemerintah negara yang bersangkutan bisa merencanakan program untuk menangani masalah kecacatan dan penderitaannya. Lihat Hayono Suyono, Mewujudkan Masyarakat Beradab Bersama Aksi Penyandang cacat, 2005. http:www.dradio1034 fm.or.id . 13 Banyak Faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi berkebutuhan khusus, misalnya saja: Pertama, faktor pranatal sebelum lahir berkaitan dengan apa yang dilakukan, dikonsumsi atau kondisi-kondisi yang terjadi dengan si Ibu ketika mengandung misalnya: gizi dan makanan yang dikonsumsi ibu hamil, NAZA, rokok, pemakaian alkohol, kokain, amfetamin dan obat lainnya pada ibu hamil, infeksi karena virus TORCH toxoplasma, rubella, cytomegalo, dan herpess, infeksi karena meningitis atau ensefalitis, kelainan kromosom, keracunan metilmerkuri, keracunan timah hitam. Kedua, faktor natal seperti: trauma kepala karena penggunaan alat sewaktu kelahiran, perdarahan intrakranial sebelum atau sesudah lahir, cedera 31 Anak berkebutuhan khusus menurut Suran dan Rizo adalah anak yang secara signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting dari fungsi kemanusiaannya. Mereka adalah anak-anak yang secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat dalam mencapai tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, mempunyai gangguan bicara, cacat tubuh, retardasi mental, dan gangguan emosional. Selain itu, termasuk anak berkebutuhan khusus juga yaitu anak-anak yang berbakat dengan inteligensi yang tinggi, karena mereka memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga profesional. 14 Hallahan dan Kauffman mendefinisikan siswa berkebutuhan khusus adalah mereka yang memerlukan pendidikan khusus dan pelayanan terkait, jika mereka menyadari potensi penuh kemanusiaan mereka. Pendidikan khusus diperlukan karena mereka mungkin memiliki salah satu atau lebih hal berikut yaitu: keterbelakangan mental, ketidakmampuan belajar atau gangguan atensi, gangguan emosi atau perilaku, hambatan fisik, hambatan berkomunikasi, autisme, traumatic brain injury, hambatan pendengaran, hambatan penglihatan, atau anak-anak yang berbakat. 15 Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa anak yang tergolong luar biasa atau berkebutuhan khusus adalah anak yang menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal: ciri-ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik, fisik dan neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari hal-hal di atas; sejauh ia kepala yang berat, prematuritas. Ketiga, faktor postnatal seperti kecelakaan, gangguan gizi yang berat dan yang berlangsung lama sebelum umur 4 tahun sangat mempengaruhi perkembangan otak dan dapat mengakibatkan retardasi mental, keadaan dapat diperbaiki dengan memperbaiki gizi sebelum umur enam tahun, sesudah itu biarpun anak itu dibanjiri dengan makanan bergizi, intelegensi yang rendah itu sudah sukar ditingkatkan, gangguan penyakit seperti kwashiorkor, marasmus, malnutrisi, gangguan akibat kekurangan yodium GAKY. Keempat, faktor lingkungan seperti kemiskinan, status ekonomi rendah, pengaruh negatif di dalam rumah seperti pengabaian anak dan kurangnya perangsangan sosial dan bahasa mungkin turut berperan dalam berkembangnya kasus yang ringan. Lihat Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jakarta: Lembaga Penelitian UI Jakarta, 2009, 4-6. 14 B.G. Suran J.V. Rizzo, “Special Children: an Integrative Approach”, Journal of Education 161-162 Boston University, 1979, 95. 15 D.P. Hallahan J.M .Kauffman, Exceptional Children: Introduction to Special Education New Jersey: Prentice-Hall, Englewood Clipps, 2005, 8. 32 memerlukan modifikasi dari tugas-tugas sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya, yang ditujukan untuk mengembangkan potensi atau kapasitasnya secara maksimal. 16 Anak dengan kebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karakteristik anak berkebutuhan khusus menurut Hallahan dan Kauffman adalah: tunagrahita mental retardation, kesulitan belajar learning disabilities, hyperactive attention deficit disorder with hyperactive, tunalaras emotional or behavior disorder, tunarungu wicara communication disorder and deafness, tunanetra partially seing and legally blind, anak autistik autistic children, tunadaksa physical disability, tunaganda multiple handicapped, anak berbakat giftedness and special talents. 17 Sedangkan karakteristik anak berkebutuhan khusus menurut UU RI nomor 20 tahun 2003 adalah anak yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus. Selain itu, anak di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil sehingga berhak memperoleh pendidikan layanan khusus. Dan anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sehingga berhak memperoleh pendidikan khusus. 18 Menurut Bandi Delfi, anak berkebutuhan khusus yang terlayani di Indonesia antara lain adalah anak yang mengalami hendaya impairment penglihatan tunanetra, anak dengan hendaya mendengar dan berbicara tunarungu wicara, anak dengan hendaya perkembangan kemampuan fungsional tunagrahita, anak dengan hendaya kondisi fisik motorik atau 16 Frieda Mangunsong, Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Depok: LPSP3 UI, 2009, 4. 17 D.P. Hallahan J.M .Kauffman, Exceptional Children: Introduction to Special Education, 28-45. 18 UU RI No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab IV Pasal 1, 2, 3, 4. 33 tunadaksa, anak dengan hendaya perilaku ketidakmampuan menyesuaikan diri maladjustment, dan anak berkesulitan belajar khusus. 19 Berdasarkan realitas masyarakat berkebutuhan khusus dengan variasi karakteristiknya tersebut, sangat diperlukan adanya upaya inovasi sistem pendidikan dan pembelajaran yang dapat melayani mereka dengan tanpa mengurangi sisi kualitas prosesnya. Untuk mewujudkan pendidikan kebutuhan khusus yang berkualitas maka para pendidik yang terlibat di dalamnya harus melakukan pengajaran kreatif yang berfokus pada anak dan yang tanggap terhadap gaya belajar setiap individu, pendekatan holistik kepada anak, yang berfokus pada semua bidang kemampuannya, hubungan erat antara keluarga dan sekolah, dan keterlibatan orang tua yang sangat aktif, pengembangan teknologi dan peralatan khusus untuk memfasilitasi akses ke pendidikan dan membantu mengatasi hambatan belajar. 19 Anak yang mengalami hambatan penglihatan tunanetra, khususnya buta total, tidak dapat menggunakan indra penglihatannya untuk mengikuti segala kegiatan belajar maupun kehidupan sehari-hari. Kegiatan belajar umumnya dilakukan dengan rabaan atau taktil karena kemampuan indra raba sangat menonjol untuk menggantikan indra penglihatan. Anak dengan hendaya mendengar dan berbicara tunarungu wicara pada umumnya mempunyai hambatan pendengaran dan kesulitan melakukan komunikasi secara lisan dengan orang lain. Anak dengan hendaya perkembangan kemampuan fungsional tunagrahita memiliki problematik belajar yang disebabkan adanya hambatan perkembangan inteligensi, mental, emosi, sosial dan fisik. Secara umum, mereka mempunyai tingkat kemampuan intelektual di bawah rerata, dan secara bersamaan mengalami hambatan terhadap perilaku adaptif selama masa perkembangan dari 0 tahun hingga 18 tahun. Anak dengan hendaya kondisi fisik motorik atau tunadaksa ditandai adanya kelainan pada tulang, persendian, dan saraf pengerak otot-otot tubuhnya sehingga digolongkan sebagai anak yang membutuhkan layanan khusus pada gerak anggota tubuhnya. Kelainan pada peserta didik tunadaksa dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu kelainan pada sistem serebral cerebral system dan kelainan pada sistem otot dan rangka musculoskeletal system. Anak dengan hendaya perilaku ketidakmampuan menyesuaikan diri maladjustment sering disebut dengan anak tunalaras. Karakteristik yang menonjol, antara lain sering membuat keonaran secara berlebihan, bertendensi ke arah perilaku kriminal, agresif, sering menghindarkan diri, perilaku anti sosial, mudah marah, kurang konsentrasi, suka menjawab seenaknya, tidak mampu mengendalikan diri, banyak berbicara yang tidak perlu, dan mempunyai problematik belajar. Anak berkesulitan belajar khusus merupakan anak yang mempunyai kesulitan belajar dalam satu atau lebih dari proses psikologis dasar secara spesifik meliputi pemahaman atau penggunaan bahasa secara tulisan atau lisan, kemampuan mendengar, berpikir, berbicara, membaca, menulis, pengucapan kata, atau penghitungan yang berkaitan dengan matematika. Lihat Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi Klaten: PT Insan Sejati Klaten, 2009, 2-3. 34 Faktor-faktor penentu utama keberhasilan dan keberlangsungan pendidikan inklusi adalah: adanya kerangka yang kuat, implementasi berdasarkan budaya dan konteks lokal, serta partisipasi yang berkesinambungan dan refleksi diri yang kritis. 20 Sedangkan faktor-faktor yang dapat menjadi penghambat inklusi adalah terlalu banyak penekanan pada pencapaian akademik dan ujian dan kurang memberi penekanan pada perkembangan anak secara menyeluruh. Ini biasanya terjadi di dalam budaya-budaya tertentu dan juga di kalangan masyarakat kelas menengah di daerah perkotaan. Faktor lainnya yang menjadi penghambat inklusi adalah sistem pendidikan khusus segregasi yang telah ada sebelumnya. Hambatan terbesar biasanya muncul dari guru-guru reguler yang menganggap bahwa mengajar anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah pekerjaan mereka. 21 Adapun tujuan utama dari pendidikan inklusi adalah untuk menyediakan pengalaman mendapatkan pendidikan secara normal untuk semua siswa. 22 Tujuan utama dari pendidikan inklusi ini bukan sekedar untuk melayani secara dekat pendidikan untuk semua siswa, yaitu dengan memberi fasilitas dan membantu proses belajar mengajar serta proses penyesuaian diri seluruh siswa tetapi juga untuk lebih meringankan secara finansial. Pendidikan inklusi menguntungkan semua siswa, dimana mereka mempunyai kesempatan untuk saling belajar untuk mempunyai empati dan simpati sensitive, membentuk perilaku yang positif, meningkatkan kemampuan akademik dan keterampilan sosial, serta melatih untuk siap hidup bermasyarakat. Pembentukan perilaku 20 Kerangka yang kuat adalah kerangka nilai-nilai, keyakinan, prinsip-prinsip dan indikator keberhasilan. Pendidikan inklusi tidak akan berhasil apabila pihak-pihak yang terlibat mempunyai konflik nilai-nilai yang tidak terselesaikan. Dalam mencari solusi atas suatu permasalahan, maka solusi harus dikembangkan secara lokal dengan memanfaatkan sumber- sumber daya lokal. Solusi yang diekspor dari suatu budayakonteks lain tidak akan bertahan lama. Disamping itu, pendidikan inklusi merupakan proses yang dinamis, oleh karena itu diperlukan adanya monitoring partisipatori yang berkesinambungan, yang melibatkan semua stakeholder dalam refleksi diri yang kritis. Lihat Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 53. 21 Sue Stubbs, Inclusive Education Where There Are Few Resources, 62. 22 K.A.Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom USA: Delmar Publisher, 1996, 65. 35 positif pada siswa berkebutuhan khusus terjadi dengan adanya bimbingan dan arahan dari guru-guru yang terlibat dalam kelas ini. Sebagai wadah yang ideal, pendidikan inklusi memiliki karakteristik makna yaitu: pendidikan inklusi adalah proses yang berjalan terus dalam usahanya menemukan cara-cara merespon keragaman individu anak, pendidikan inklusi berarti memperoleh cara-cara untuk mengatasi hambatan-hambatan anak dalam belajar, pendidikan inklusi membawa makna bahwa anak mendapat kesempatan utuk hadir di sekolah, berpartisipasi dan mendapatkan hasil belajar yang bermakna dalam hidupnya, dan pendidikan inklusi diperuntukkan bagi anak-anak yang tergolong marginal, esklusif dan membutuhkan layanan pendidikan khusus dalam belajar. 23 Karakteristik lainnya menurut Waldron adalah adanya kerjasama antara sekolah, orang tua dan orang-orang yang terkait dalam menyediakan program pendidikan yang terbaik bagi tiap-tiap anak, dimana mereka mempunyai kebutuhan yang berbeda dan unik. 24 Disamping itu, karakteristik lainnya adalah guru dan stafnya perlu mendapat pelatihan, informasi dan simulasi yang mendetail dalam membantunya melaksanakan program inklusi di kelasnya. Demikian juga para siswa di kelas inklusi juga perlu mendapatkan informasi tentang kelebihan dan keterbatasan strengths and weaknesses pada manusia. Tujuan dari pemberian informasi ini perlu sebagai dasar dalam melaksanakan program pelatihan teman sebaya, memperkenalkan model klub perkawanan, meningkatkan pengetahuan tentang kecacatan, dan memperbaiki kehidupan bagi anak yang kurang mendapat kesempatan ikut serta dalam kehidupan sosial di masyarakat. Pembahasan tentang pendidikan inklusi dan kebutuhan khusus telah membuktikan bahwa pendidikan inklusi sebagai sebuah layanan pendidikan untuk siswa berkebutuhan khusus dapat mengoptimalkan potensi mereka sehingga tujuan pendidikan untuk menjadikan mereka sebagai individu yang mandiri bisa tercapai. 23 Departemen Pendidikan Nasional, Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusif Jakarta: Diknas, 2007, 4. 24 K.A. Waldron, Introduction to a Special Education: the Inclusive Classroom, 70. 36

B. Dari Segregasi Menuju Inklusi