105
guru semacam ini mempunyai tujuan pembelajaran yang diarahkan kepada hasil akhir berupa kemandirian setiap siswa untuk dapat hidup dan menghidupi diri
pribadinya tanpa bantuan khusus dari orang-orang sekitarnya dalam kehidupan nyata setelah siswa bersangkutan selesai menyelesaikan program-program
pembelajaran di sekolah. Hasil akhir dari program pembelajaran semacam ini secara konseptual adalah mengarahkan para siswa berkebutuhan khusus untuk
mampu berperilaku sesuai dengan lingkungannya atau berprilaku adaptif. Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan peserta didik untuk dapat
mengatasi secara efektif terhadap keadaan-keadaan yang tengah terjadi dalam masyarakat lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan
kemampuan berperilaku merespon tuntutan lingkungan.
136
Dengan demikian, kemampuan guru dalam memahami karakteristik siswa berkebutuhan khusus, dan membuat serta melaksanakan program layanan
pendidikan yang disesuaikan dengan kekhususannya, akan sangat menentukan keberhasilan program pendidikannya. Oleh karena itu, kompetensi pendidik di
sekolah inklusi harus terus ditingkatkan melalui berbagai pendidikan dan pelatihan untuk menambah wawasannya sehingga dapat memberikan layanan
yang terbaik untuk siswa berkebutuhan khusus.
E. Fundrising Sekolah Inklusi
Untuk menjamin keberlangsungan proses pendidikan inklusi pada sebuah sekolah, diperlukan dukungan dana financial. Dukungan dana sebagai
instrument input menjadi penting untuk mendukung kelancaran proses pendidikan. Untuk itu upaya dukungan dana yang sering disebut dengan
fundrising harus menjadi elemen penting yang harus dirancang sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pendidikan. Fundrising adalah upaya
pencarian dana yang harus dilakukan sekolah untuk membiayai seluruh proses pembelajaran, yang tidak saja untuk mendanai biaya aktivitas rutin tetapi juga
pengembangan sarana dan alat-alat yang dibutuhkan siswa dalam proses pembelajaran.
137
136
Polloway, EA. Patton JR., Strategies for Teaching Learners with Special Needs New York: Macmillan, 1993, 70-71.
137
Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, 286.
106
Upaya pencarian dana yang dilakukan sekolah semata-mata untuk
mendukung terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan berkualitas, baik untuk keperluan sarana penyediaan areal dan lokal belajar,
laboratorium dan pustaka, peralatan sekolah buku-buku pelajaran, alat-alat peraga dan keperluan olah raga, kesejahteraan guru, karyawan dan
penyelenggaraan sekolah gaji, biaya kesehatan, tunjangan pendidikan keluarganya, perumahan dan tunjangan hari tua.
Biaya sekolah merupakan salah satu faktor pendukung untuk terselenggaranya proses belajar mengajar dalam rangka mengoptimalkan seluruh
potensi fitrah siswa didik secara efektif, berkualitas dan berdaya saing tinggi. Untuk membangun manusia yang bersumber daya, maka dibutuhkan
sarana,prasarana dan beberapa penunjang untuk terselenggaranya proses belajar mengajar yang belum dapat dikelola oleh masing-masing keluarga secara
individu. Maka dibutuhkan suatu investasi untuk menyediakan segala kebutuhan sarana dan prasarana untuk menunjang terselenggranya proses belajar mengajar
yang efektif dan berkualitas. Biaya sekolah harus tersedia sebelum dan selama proses belajar mengajar
berlangsung secara berkesinambungan. Untuk itu, pihak penyelenggara sekolah harus menginformasikan kepada seluruh pihak yang terkait sebelum dimulainya
penerimaan murid baru serta minta komitmennya dari seluruh pihak agar biaya yang dibutuhkan dapat diupayakan secara bersama, proporsional, jujur dan adil.
Dengan adanya kesamaan pola pandang tentang terselenggaranya proses pendidikan yang efektif dan berkualitas, semua pihak akan mendukung segala
upaya pencarian sumber dana yang halal selama dikelola secara amanah dan bertanggung jawab.
Secara teoritis, konsep biaya di bidang lain mempunyai kesamaan dengan bidang pendidikan, dimana lembaga pendidikan dipandang sebagai produsen
jasa pendidikan yang menghasilkan keahlian, keterampilan, ilmu pengetahuan, karakter dan nilai-nilai yang dimiliki seorang lulusan. Kegiatan pendidikan
107
sebenarnya dapat dipandang sebagai pelayanan services terhadap siswa atau peserta didik selama belajar.
138
Demikian juga komponen biaya sekolah pada lembaga pendidikan inklusi tidak jauh berbeda dengan sekolah lainnya. Biaya dalam pendidikan
inklusi meliputi biaya langsung direct cost dan biaya tidak langsung indirect cost. Biaya langsung terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk keperluan
pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi, gaji guru, baik yang dikeluarkan
oleh pemerintah, orang tua maupun siswa sendiri. Sedangkan biaya tidak langsung berupa keuntungan yang hilang earning forgone dalam bentuk biaya
kesempatan yang hilang opportunity cost yang digunakan oleh siswa selama belajar.
139
Dalam pengertian luas, pembiayaan dikenal dengan istilah biaya budgetair dan nonbudgetair. Pengertian pembiayaan pendidikan yang bersifat
budgetair, yaitu biaya pendidikan yang diperoleh dan dibelanjakan oleh sekolah sebagai suatu lembaga. Sementara biaya-biaya pendidikan yang dibelanjakan
oleh murid, atau orang tuakeluarga secara langsung atau tidak, termasuk dalam pengertian biaya pendidikan yang sifatnya nonbudgetair.
140
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai
tujuan-tujuan pendidikan. Anggaran penerimaan adalah pendapatan yang diperoleh setiap tahun oleh sekolah dari berbagai sumber resmi dan diterima
secara teratur. Sedangkan anggaran dasar pengeluaran adalah jumlah uang yang dibelanjakan setiap tahun untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Belanja sekolah sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang jumlah dan proporsinya bervariasi diantara sekolah yang satu dan daerah yang lainnya serta
dari waktu ke waktu. Berdasarkan pendekatan unsur biaya ingredient
138
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, 4.
139
Thomas Jones, School Finance : Technique and Social Policy London: Collier MacMillan Publishers, 1985, 25.
140
Thomas Jones, School Finance : Technique and Social Policy, 25.
108
approach, pengeluaran sekolah dapat dikategorikan ke dalam beberapa item pengeluaran, yaitu: pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran, pengeluaran untuk
tata usaha sekolah, pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah, kesejahteraan pegawai, administrasi, pembinaan teknis pendidik, dan pendataan
141
Standar Pembiayaan Pendidikan berdasarkan Standar Nasional Pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasi, dan biaya personal. Biaya
investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumberdaya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya operasi
satuan pendidikan meliputi: gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji, bahan atau peralatan pendidikan habis pakai,
dan biaya operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur, transportasi, konsumsi, pajak,
asuransi, dan lain sebagainya. Standar biaya operasi satuan pendidikan ditetapkan dengan Peraturan Menteri berdasarkan usulan BSNP. Biaya personal
meliputi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan.
142
Biaya pendidikan merupakan salah satu komponen masukan instrumental instrumental input yang sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan di
sekolah. Dalam setiap upaya pencapaian tujuan pendidikan –baik tujuan-tujuan yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif – biaya pendidikan memiliki peranan
yang sangat menentukan. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan peranan biaya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa biaya,
proses pendidikan di sekolah tidak akan berjalan. Biaya cost dalam pengertian ini memiliki cakupan yang luas, yakni semua jenis pengeluaran yang
berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan tenaga yang dapat dihargakan dengan uang. Dalam
pengertian ini, misalnya, iuran siswa adalah jelas merupakan biaya, tetapi sarana fisik, buku sekolah dan guru juga adalah biaya. Bagaimana biaya-biaya itu
141
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, 23-24.
142
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
109
direncanakan, diperoleh, dialokasikan, dan dikelola merupakan persoalan pembiayaan atau pendanaan pendidikan educational finance.
143
Pembiayaan pendidikan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, penyelenggara sekolah, orang tua peserta didik, masyarakat
dan pengusaha. Hendaknya tanggung jawab pembiayaan secara bersama ini dilaksanakan dengan suatu pola pembiayaan yang adil, merata, seimbang dan
proporsional. Peran pemerintah direalisasikan dengan besaran anggaran pendidikan yang cukup dan dijamin undang-undang, sementara pihak keluarga
memberi kontribusi dalam besaran sumbangan biaya pendidikan yang terjangkau dan disesuaikan dengan tingkat penghasilan yang diperolehnya, masyarakat
dapat berperan melalui pengelolaan sekolah-sekolah swasta yang bekerja semata-mata untuk kepentingan sosial nirlaba dengan menjalin kerjasama
dengan pengusaha dan dermawan. Masyarakat, diminta untuk berperan serta dalam bentuk memberikan
beasiswa kepada siswa yang berprestasi tetapi kurang mampu dalam ekonomi, anak asuh, kepada anak-anak yang tidak mampu walaupun belum berprestasi,
serta sebagai donatur tetap penyelenggara sekolah. Pihak Pengusaha juga harus punya kepedulian terhadap pendidikan sebagai bagian dari tanggungjawab
sosial. Pemerintah dalam membiayai penyelenggaraan pendidikan nasional
haruslah sesuai dengan amanat UUD 45 yang menyebutkan bahwa negara memprioritaskan sekurang-kurangnya 20 dari APBN. Komitmen ini mesti
diikuti dengan alokasi distribusi yang efisien dan meminimkan tingkat kebocoran serta mengalokasikan pos-pos yang produktif untuk penyelenggaraan
pendidikan nasional, merata dengan menyebarkan ke seluruh lapisan dan wilayah masyarakat, proporsional dalam memberikan prosentase subsidi
pendidikan dasar dan menengah dibandingkan subsidi ke pendidikan tinggi, serta adil dalam memberikan subsidi kepada masyarakat golongan
berkemampuan ekonomi lemah. Penyelenggara sekolah, harus dapat
143
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, Bandung: Rosda, 2003, 3-4.
110
merencanakan berapa anggaran yang dibutuhkan untuk terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif dan berkualitas serta dapat merealisasikannya
sesuai dengan yang diamanahkan secara jujur dan bertanggung jawab. Pembiayaan pendidikan di suatu negara berpengaruh positif terhadap
kinerja pendidikan nasional di negara bersangkutan. Maka sangatlah wajar bila kinerja pendidikan Indonesia masih sangat memprihatinkan, karena dalam
sejarahnya, sejak republik ini berdiri hingga kini, pemerintah belum pernah mengalokasikan dana memadai untuk pembiayaan pendidikannya. Jika diukur
dari GNP, pembiayaan pendidikan di Indonesia tergolong amat rendah. Indonesia hanya mengalokasikan dana untuk pembiayaan pendidikan sebesar 1,4
persen dari GNP. Bandingkan dengan negara tetangga yaitu Malaysia yang mengalokasikan dana untuk biaya pendidikan sebesar 5,2 persen dari GNP,
Singapur 3,0 persen, Thailand 4,1 persen, dan Australia sudah mencapai 5,6 persen.
144
UUD 1945 yang diamandemen juga mengatur alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan. Pasal 31 ayat 4 secara eksplisit menyebutkan “negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara APBN serta Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Di sisi lain pasal 49 ayat 1 UU no 20 tahun 2003 tentang
SISDIKNAS menyebutkan bahwa dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada
sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.
145
Konsistensi untuk menjalankan peraturan yang dibuat sendiri itulah yang kini amat diperlukan
untuk mewujudkan komitmen memajukan pendidikan melalui alokasi dana untuk pembiayaan pendidikan yang cukup dan memadai.
144
Apabila besarnya dana yang dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan itu dihitung dari Total Government Expenditure TGE, yang di negara kita disebut Anggaran Pendapatan
dan Belanja negara APBN, hasilnya sama saja. Dari catatan UNDP dalam Human Development Report 2004, dana yang dialokasi untuk pembiayaan pendidikan di Indonesia selama periode
1999-2001 hanya 9,8 persen dari TGE. Sebagai perbandingan Malaysia sudah mengalokasi dana untuk membiayai pendidikan sebesar 20 persen dari TGE. Lihat Tonny D. Widiastono, ed,
Pendidikan Manusia Indonesia Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004, 426.
145
Tonny D. Widiastono, ed, Pendidikan Manusia Indonesia, 433.
111
Berdasarkan laporan UNDP 2004, Human Development Report 2004 ternyata Indonesia dengan indeks HDI sebesar 0,692 menduduki peringkat 111
dari 177 negara.
146
Posisi ini menunjukkan sejauhmana keberhasilan pembangunan manusia suatu negara dari segi pendidikan, ekonomi, dan
kesehatan dibanding negara lain. Di satu pihak, peringkat ini mengisyaratkan belum memuaskannya pembangunan manusia di negara kita; di lain pihak
menganjurkan kita untuk mau mengakui keunggulan negara-negara tetangga dalam hal membangun manusianya.
147
Dalam teori dan praktik pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro, dikenal beberapa kategori biaya pendidikan, yaitu: biaya
langsung direct cost dan biaya tidak langsung indirect cost , biaya pribadi private cost dan biaya sosial social cost, biaya dalam bentuk uang monetary
cost dan bukan uang non-monetary cost.
148
Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan.
Biaya tidak langsung adalah pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang proses pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di
sekolah, misalnya biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jajan, biaya kesehatan, dan harga kesempatan opportunity cost. Biaya pribadi adalah
pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau dikenal juga pengeluaran rumah tangga household expenditure. Biaya sosial adalah biaya yang dikeluarkan oleh
146
Indonesia termasuk negara berkembang berdasarkan pencapaian Indek Pembangunan Manusia Human Development Index versi UNDP. Dalam konteks ini, negara-negara belum
maju ialah negara-negara yang pencapaian HDI –nya kurang dari 0,500. Negara berkembang adalah negara-negara yang pencapaian HDI nya antara 0,500 hingga 0,799. Dan negara-negara
maju adalah negara-negara yang pencapaian HDI- nya minimal 0,800. Lihat Tonny D. Widiastono, ed, Pendidikan Manusia Indonesia, 420.
147
Indonesia tertinggal dari tetangga-tetangganya seperti Australia, Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand dan Filipina, yang masing-masing sudah berada di urutan 3, 25,
33, 58, 76, dan 83. Tetangga kita yang terdekat seperti Malaysia pada sekitar tahun 1980 an yang lalu, kinerja pendidikannya lebih buruk dari Indonesia sehingga ia banyak belajar dan berguru ke
Indonesia. Malaysia minta disuplai konsultan pendidikan dari Indonesia, dan banyak mengirimkan pemuda untuk belajar di Indonesia. Sekarang sudah berbalik, justru kinerja
pendidikan Malaysia lebih baik dari Indonesia, sehingga tidak banyak lagi guru dan konsultan Indonesia yang dikirim kesana. Lihat Ridjaluddin, Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam Jakarta:
PKI FAI UHAMKA, 2008, 110-111.
148
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 4. Lihat juga M.I. Anwar dalam “Biaya Pe ndidikan dan Metode Penetapan Biaya Pendidikan”, Mimbar
Pendidikan, No. 1 tahun X, 1991, 28-33.
112
masyarakat untuk pendidikan, baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh pemerintah kemudian digunakan untuk membiayai pendidikan.
Biaya yang dikeluarkan pemerintah pada dasarnya termasuk biaya sosial.
149
Pada tingkat sekolah satuan pendidikan, biaya pendidikan diperoleh dari subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa, dan sumbangan
masyarakat. Sejauh tercatat dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah RAPBS, sebagian besar biaya pendidikan di tingkat sekolah berasal
dari pemerintah pusat, sedangkan pada sekolah swasta berasal dari para siswa atau yayasan.
150
Dengan hanya memperhitungkan dua sumber penerimaan, yaitu pemerintah dan keluarga, siswa pendidikan dasar dan menengah seringkali
harus berhadapan dengan problem financial yang cukup mengganggu proses pendidikan.
151
Sementara sumber pembiayan lain seperti pengusaha dalam konteks pendidikan Indonesia belum maksimal diupayakan. Bagi dunia usaha
belum begitu familier untuk melakukan investasi dalam dunia pendidikan. Problem pembiayaan ini jauh lebih dirasakan oleh sekolah yang
menerapkan pendidikan inklusi. Pemenuhan biaya operasional pengelolaan pendidikan inklusi di Indonesia masih cukup memprihatinkan. Baik pemerintah
maupun masyarakat masih sangat minim memberi kontribusi perhatian terhadap pendidikan inklusi. Apalagi keterlibatan dunia usaha dalam pendidikan ini dapat
dikatakan tidak ada kalau tidak dikatakan tidak ada keterkaitan antara dunia usaha dengan pendidikan inklusi.
Meskipun dalam batas tertentu pemerintah telah berusaha memberi perhatian kepada pendidikan siswa berkebutuhan khusus akan tetapi
149
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 4.
150
Pada tahun 19911992, sebanyak 92,39 penerimaan biaya pendidikan di SD berasal dari pemerintah pusat, hanya 0,23 dari pemerintah daerah, 6,98 dari iuran siswa yang
ditampung melalui BP3 Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan – sebelumnya bernama POMG Persatuan Orang Tua Murid dan Guru, 0,20 dari masyarakat, dan 0,20 dari sumber-
sumber lain. Lihat Ditjen PUOD, Penelitian dan Pengkajian Satuan Biaya Sekolah Dasar, Jakarta: Ditjen PUOD Depdagri, 1993.7. Keadaan ini tidak banyak berubah hingga tahun
19951996, sebanyak 93-96 penerimaan SD Negeri, 78-91 penerimaan SLTP Negeri , dan 80 penerimaan SLTA Negeri berasal dari pemerintah. Lihat N.Triaswati. et al., Pendanaan
Pendidikan di Indonesia, dalam F.JalalD.Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2001, 72.
151
Dedi Supriadi, Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Menengah, 7.
113
dibandingkan dengan alokasi lainnya prosentase masih relatif kecil. Karena pemerintah mengalokasikan dananya lebih kecil untuk pendidikan inklusi ini,
maka rasio jumlah siswa berkebutuhan khusus dengan lembaga pendidikan inklusi yang disediakan tidak imbang atau tidak merata sehingga tidak bisa
menampung semua masyarakat penyandang cacat. Maka dari itu, pendidikan inklusi di Indonesia masih sulit dijangkau oleh masyarakat yang berada di
daerah pinggiran yang secara ekonomi sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah. Dampak dari kurangnya perhatian negara terhadap
penyediaan dana untuk pendidikan inklusi adalah pembebanan yang lebih besar kepada masyarkat untuk menanggulangi semua beban biaya operasional
pendidikan. Pendidikan Inklusi di sekolah swasta misalkan dapat dikatakan seratus persen biaya operasional pendidikannya mengandalkan pembiayaan dari
swadaya masyarakat. Tentu saja hal ini akan sangat memberatkan masyarakat yang memiliki anak berkebutuhan khusus tetapi tidak mampu untuk
menyekolahkan ke sekolah inklusi. Di sekolah swasta yang seratus persen dikelola oleh masyarakat,
komponen pembiayaan pendidikan inklusi harus ditanggung orang tua siswa cukup banyak. Selain kewajiban pembayaran SPP seperti siswa reguler lain
setiap bulannya juga harus ikut turut berkontribusi menutupi biaya untuk penanganan khususnya sesuai karakteristik siswa berkebutuhan khusus. Artinya
orang tua siswa masih harus menanggung biaya berlipat karena selain harus membayar biaya sekolah regular juga harus membayar biaya layanan khususnya.
Biaya operasional yang memerlukan keterlibatan para ahli di bidang lain selain bidang pendidikan seperti ahli psikologi dan fisioterapi juga cukup banyak
menyedot biaya. Contoh dari sekolah inklusi yang pembiayaan pendidikannya ditanggung oleh orang tua siswa adalah Madania. Sumber pembiayaan untuk
semua biaya operasional pendidikan inklusi masih mengandalkan kontribusi dari orang tua siswa. Kalaupun ada dari pihak pemerintah itu pun hanya sebatas
bantuan insidentil yang temporal dan tidak mengikat. Karena itu pendidikan inklusi bagi masyarakat Indonesia masih terbilang
barang mewah karena memerlukan biaya yang mahal. Pendidikan inklusi di
114
Indonesia masih terbatas , hanya siswa yang berasal dari kalangan menengah ke atas saja yang dapat mengaksesnya. Dalam konteks negara sebagai penanggung
jawab dalam layanan pendidikan untuk semua warga apalagi warga yang tidak berdaya, maka kondisi ini bertolak belakang dengan maksud diselenggarakannya
pendidikan inklusi yaitu untuk memperluas akses pendidikan bagi siswa berkebutuhan khusus.
Oleh karena itu, pendidikan inklusi di Madania selama ini hanya melayani siswa berkebutuhan khusus dari orang tua yang siap bisa diajak
bekerjasama dalam menutupi seluruh kebutuhan biaya operasional pendidikan. Di sana biaya operasional pendidikannya masih mengandalkan kontribusi dari
orang tua siswa dan belum bisa mengandalkan bantuan dari pihak luar seperti pemerintah
152
atau dunia usaha lainnya. Khusus untuk kepentingan pembiayaan program khusus untuk siswa berkebutuhan khusus, Madania melakukan sharing
pembiayaan dengan perbandingan 30 : 70. Pihak sekolah menyediakan pembiayaan 30 sementara pihak orang tua menyediakan 70. Sebagai contoh
dalam penyusunan IEP dan program-progam khusus lainnya untuk siswa berkebutuhan khusus misalkan 70 dari semua biaya operasionalnya
ditanggung oleh orang tua siswa, termasuk penyediaan tenaga ahli psikolog dan untuk guru pendamping aide teacher. Bahkan jika waktu pertemuan dalam
rangka pembuatan IEP melebihi jam kerja sekolah, maka biaya transportasi guru-guru yang terlibat masuk dalam pembiayaan ini yang disesuaikan dengan
kebutuhan.
153
Berdasarkan bukti-bukti tersebut dapat disimpulkan bahwa pembiayaan pendidikan inklusi di Indonesia masih harus mendapatkan perhatian lebih serius
dari pemerintah sehingga bisa memberikan kesempatan yang lebih luas pada semua siswa berkebutuhan khusus untuk mengakses pendidikannya. Sampai saat
152
Sejak dimulainya pendidikan inklusi tahun 1998, Madania baru sekali mendapatkan dana bantuan Block Grand dari pemerintah pada tahun 2009 lalu. Dana bantuan tersebut
diperuntukkan untuk biaya operasional dan sarana prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusi. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN
Unit di Madania, 22-7- 2010.
153
Educational Support Department, Handbook 2009-2011, 21 dan penjelasan dari Bapak Abdul Hakim Anshory, S.P., koordinator SEN Unit di Madania, pada 22-7-2010.
115
ini, karena pemerintah kurang memberi perhatian penuh pada penyelenggaraan pendidikan inklusi, maka hanya orang tua yang mampu saja yang dapat
menyekolahkan anaknya ke sekolah inklusi. Terlebih lagi untuk sekolah inklusi swasta, pemerintah seolah lepas tangan sehingga seluruh pembiayaan pendidikan
siswa berkebutuhan khusus ditanggung sepenuhnya oleh orang tua.
116
BAB IV MODEL PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM