Translasi Singkatan Latar Belakang Masalah

TRANSLITERASI ARAB - INDONESIA A. Huruf Konsonan 1  س s l b ش s m t ص s n t ض d w j ط t h h ظ z ` k ع ‘ y d غ g d ف f r ق q z ك k

B. Translasi

 Seluruh terjemahan dalam tesis ini adalah milik penulis, kecuali terjemahan al-Qur’an. Penerjemahan al-Qur’an penulis mengutip Mushaf al-Qur’an Terjemahan, Departemen Agama RI, al- Jumanatul ‘ali al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: J-ART, 2004.  Hadith dalam tesis ini menggunakan terjemahan Musthafa Dieb al- Bugha dan Muhyidin Mistu, al-Wafi: Fi Sharhil Arba’in an- Nawawiyah , Damaskus – Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1998.

C. Singkatan

1 David Cowan, An Introduction To Modern Literary Arabic Cambridge: Cambridge University Press, 1958, 1-2. Dan pedoman transliterasi Arab – Latin Library Of Congress . t.t : Tanpa tempat t.p : Tanpa penerbit t.th : Tanpa tahun terbit

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan salah satu hasil budaya manusia yang sangat tinggi nilainya, karena melalui bahasa manusia dapat berkomunikasi dan berinteraksi dengan sekitarnya. Disamping itu, dengan bahasa manusia dimungkinkan dapat berkembang dan mengabstraksikan pelbagai gejala yang muncul di lingkungannya. Maka, jelaslah bahwa bahasa sangat penting peranannya dalam kehidupan sosial. Dalam komunikasi antarindividu, setiap kalimat yang diujarkan mempunyai fungsi yang khusus, yaitu memberitahukan, menanyakan atau memperingatkan tentang suatu realita. Dalam hal ini, pembicara mengharapkan bahwa lawan bicaranya dapat menangkap atau mengerti fungsi dari kalimat yang diujarkan pembicara tersebut. Apabila pendengar gagal menangkap fungsi tersebut, maka dikatakan ia salah mengerti. Untuk itu, fungsi bahasa memiliki tiga aspek, yaitu: Speech Act, Propositional Content , dan Thematic Structure. 2 Peranan intonasi dan konteks pembicaraan penting dalam membantu pendengar atau pembaca untuk memahami maksud suatu ujaran pembicara atau penulis. Bahasa memiliki beragam bentuk komunikasi. Menurut Boyle, bahwa hal yang membuat komunikasi manusia lebih efisien dari hewan adalah adanya bahasa. 3 Bahasa yang dihasilkan manusia untuk melakukan komunikasi dengan manusia lainnya dapat berupa bahasa lisan, bahasa tulis, dan bahasa tubuh gerak atau tindakan. Bentuk lisan ditandai dengan bunyi, sedangkan tulisan ditandai dengan tanda yang disepakati bersama. Komunikasi akan berjalan dengan lancar apabila sasaran bahasa yang digunakan tepat. Artinya bahasa itu digunakan sesuai dengan situasi dan kondisi penutur dan sifat penuturan itu dilaksanakan. Hal ini sangat bergantung pada faktor-faktor penentu dalam tindak bahasa atau tindak komunikasi, yaitu lawan bicara, tujuan pembicara, masalah yang dibicarakan, dan situasi. Penggunaan bahasa seperti inilah yang disebut pragmatik. 4 2 Speech Act yang dimaksud adalah pembicara menunjukan sebuah action meminta, meyakinkan, berjanji, menyuruh dan sebagainya. Pada Propositional Content adalah pembicara merinci ide-ide an ideational content yang ingin dimaksudkan dari speech act -nya. Dan Thematic Structure merupakan penilaian tentang keadaan mental mental state pendengar pada saat seseorang berbicara. Lihat Samsunuwiyati Mar’at, Psikolinguistik ; suatu pengantar Bandung: Refika Aditama, 2005, 31-34. 3 D.G. Boyle, Language and Thinking in Human Development London: Hutchinson University Library, 1971, 29. 4 Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. Berbeda dengan semantik yang merupakan ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara internal. Lihat I Dewa Putu Wijaya dan Muhammad Rohmadi, Analisis Wacana Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis Jakarta:Yuma Pustaka, 2010, 3-4. Semantik dan pragmatik adalah cabang-cabang ilmu bahasa yang menelaah makna-makna satuan lingual, Pragmatik digunakan untuk bidang semua tanda-tanda dan analisis semantik ‘studi relasi tanda dengan penafsirannya’, sedangkan pragmatik ‘hubungan isyarat pada pemakainya’ tersebut mempertimbangkan tindakan, keadaan di sekitarnya manusia yang bertutur atau mendengar “isyarat linguistik”. 5 Lahirnya pragmatik merupakan pengaruh kesadaran yang baru dari para linguis yang mulai di pandang penting dan menjelajah ranah aspek linguistik ini sejak empat puluh tiga tahun lalu. 6 Hal itu dikarenakan, adanya kejenuhan yang menciptakan problem baru mengenai kajian bahasa yang terbatasi pada studi struktur yang bersifat abstrak, maka ranah pada penggunaan bahasa sebagai bentuk konkret pada penerapan fungsi struktur menjadi ruh linguistik bahasa tersebut. Ranah deiksis merupakan satu dari beberapa elemen pragmatik yang bermakna kontekstual atau situasi penutur, waktu dan tempat dalam ujaran yang digunakan. 7 Kata seperti aku, kamu, kini dan disini merupakan kata- kata yang bersifat deiksis. Rujukan kata-kata tersebut barulah dapat diketahui jika diketahui pula siapa, dimana, dan pada waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Sebagai contoh: “Kini, Aku dan kamu bertemu kembali di sini “ Kata aku mengacu pada pengujar, kata kamu acuan ujaran untuk menyatakan seseorang sebagai lawan bicaranya secara langsung. Sedangkan kini , waktu diujarkannya kalimat tersebut dan kata disini adalah tempat ketika ujaran tersebut terjadi. Bagi Purwo, 8 kata yang bersifat deiksis apabila referennya berpindah-pindah atau berganti ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat diujarkannya kata itu. Dengan demikian, deiksis sebagai kata yang mengacu pada identitas pengujar, lawan ujar yang bergantung waktu ujaran, dan tempat terjadi ujaran dengan referen yang berubah-ubah. Perubahan referen deiktis disebabkan oleh pengutaraan kata si pembicara, bukan oleh apa yang hanya saja semantik mempelajari makna yang bebas konteks context independent, sedangkan pragmatik mempelajari makna yang terikat konteks context dependent. Lihat Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 Yogyakarta: Kanisius, 1990, 16. 5 Tradisi ini berlangsung terus hingga ahli bahasa dan ahli filsafat telah mengambil istilah pragmatik untuk meliputi kajian bahasa yang digunakan berkaitan dengan konteks, dan khususnya kajian komunikasi linguistik. Lihat Im Young Ho,”Teka-Teki dalam Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Linguistik dan Pragmatik”, Disertasi Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2002, 48. 6 Geoffrey Leech, The Principles of Pragmatics, diterjemahkan oleh M.D.D. Oka dengan judul terjemah Prinsip-prinsip Pragmatik Jakarta: Universitas Indonesia, 1993, 1. 7 James R. Hurford, Brendan Heasley, dan Michael B. Smith, Semantics: a Coursebook Cambridge: Cambridge Unoversity Press, 2008, 66. 8 Bambang Kawanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1984, 1. dimaksudkan si pembicara. Misalnya: dalam keadaan marah dapat mengucapkan kata monyet, yang ditujukan kepada lawan bicaranya. Dalam pemakaian yang metaforis ini kata monyet berpindah referennya; referennya bukan hewan yang pandai memanjat, melainkan bentuk celaan kepada lawan bicara yang dikenai rasa amarah itu. Berdasarkan etimologi deiksis berasal dari bahasa Yunani yaitu deiktikos , yang berarti to pointing atau hal penunjukan secara langsung. 9 Kridalaksana mendefinisikan deiksis sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. 10 Bagi Matthews, 11 deiksis deixis sebagai The way in which the reference of certain element in a sentence is determined in relation to a specific speaker and addressee and a specific time and place of utterance. Kata-kata deiksis pada setiap bahasa jumlahnya terbatas. Walau demikian, sistem deiksis justru termasuk yang sangat sulit dipahami orang yang bukan penutur asli bahasa yang bersangkutan 12 karena sistem bahasa yang satu dengan bahasa yang lain adalah berbeda. Hal ini dimungkinkan karena tiap-tiap bahasa memiliki kaidah bahasa dan latar belakang budaya tersendiri yang berbeda dengan kaidah latar belakang budaya bahasa yang lain. Perbedaan ini membawa konsekuensi tersendiri bagi orang yang akan mempelajari atau mendalami dan menggunakannya dalam tindak komunikasi. Perhatikan contoh berikut: A: “Apakah kamu bisa hadir di acara pernikahan saya minggu depan ?” B: “Ya, saya akan hadir” Pernyataan A dengan kata kamu perlu diketahui siapa orang yang diajak bicara, apakah seorang teman kerja, saudara, sahabat karib dan sebagainya. Kata saya harus diketahui siapa pengujar ujaran ini oleh lawan ujarnya. Dan kata besok merupakan keterangan waktu, saat dan hari terjadinya ujaran itu. Sedangkan B dapat memahami maksud A dengan mengetahui kapan ujaran itu terjadi jika ujaran diujarkan tanggal 1 november 2011 maka kata minggu depan mengacu pada tanggal 7 november 2011 dan dalam situasi apa ujaran itu terjadi ketika istirahat makan siang, melalui telepon, bertemu di jalan dan sebagainya. Lebih jelas, perhatikan contoh berikut:            9 Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis Dalam bahasa Indonesia, 2. 10 Harimukti Kridalaksana, Kamus Linguistik Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2009, 45. 11 Peter Matthews, The Concise Oxford Dictionary of Linguistics Oxford: Oxford University Press, 1997, 89. 12 Bambang Kaswanti Purwo, Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 , 18. “Tahukah kamu apakah hari kiamat itu?. Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran”. 13 Tahukah kamu apakah hari Kiamat itu?. Pada hari itu manusia seperti kupu-kupu yang beterbaran. Pronomina sufiks –ka { - ك } terikat verba mad}i adra {ىردأ}. Posisi objek pengujaran oleh P1 Allah swt yang merujuk pada P2 manusia. Dalam waktu Yauma merujuk pada hari kiamat. Memahami suatu bahasa diperlukan sebuah teks. Teks merupakan suatu ide yang dikembangkan melalui suatu bentuk tulisan. Bentuk tulisan yang biasa dipakai pengarang terdiri dari empat jenis, yaitu: narasi, eksposisi, deskripsi, dan argumentasi. Bentuk-bentuk tulisan narasi sebagian besar berupa cerita, yang benar-benar terjadi atau hanya diciptakan pengarang saja. Narasi sebagai salah satu bentuk wacana yang terikat oleh unsur perbuatan dan waktu. Menurut Keraf, 14 merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa itu. Sementara itu Culler, 15 berpendapat bahwa jika cerita rekaan narasi merupakan suatu sistem, subsistem yang terpenting didalamnya adalah alur, tema dan tokoh. Relasi dan sistem diferensial bahasa hanya ditemukan dalam teks yang dipahami sebagai “tenunan”, teks menetralkan pusat-pusat penandaan melalui cara kerja teks yang bersifat diseminatif, karena tanda- tanda yang termuat dalam sebuah teks menyebar dan berhubungan dengan teks-teks lain. Makna dibentuk dari teks, ditemukan dalam teks, dan direkayasa dalam teks. 16 Oleh karena itu, pemahaman teks dalam bacaan dibutuhkan konteks unsur luar bahasa reference yang mendukung makna teks tersebut. Permasalahan beda antara langue dan parole, yaitu pada bahasa dan ujaran akan berpusat pada kajian semantik dan pragmatik yang berkaitan dengan makna, dan keduanya memiliki batasan yang samar. 17 Narasi memiliki 2 dua bentuk yaitu narasi fiktif dan narasi non fiktif. 18 narasi fiktif berupa roman, novel, cerpen dan dongeng. Sedangkan, narasi nonfiktif berupa sejarah, biografi, dan autobigrafi. Dalam narasi seringkali terjadi ketaksaan makna konteks. Suatu kata mempunyai makna yang berbeda antara penuturpenulis dengan petuturpembaca dikarenakan perbedaan makna leksikal. Perbedaan tersebut disebabkan oleh konteks yang menyertai dan mempengaruhi kata tersebut. Maka, jika seseorang mengenal dan memahami dengan baik konteks yang menyertai suatu kata, 13 Q.S. Al-Qari’ah 101: 3-4. 14 Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi Jakarta: Gramedia, 1994, 135. 15 Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan Jakarta: Pustaka Jaya, 1987, 11. 16 Muhammad al-Fayyadl, Derrida Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2006, 76-77. 17 Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Pragmatik Bandung: Angkasa, 2009, 24. 18 Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, 141. maka dengan mudah ia akan dapat memahami makna kontekstual kata tersebut. Dalam membaca suatu teks narasi fiksi perlu diketahui adanya bentuk tata bahasa dan gaya bahasa yang dipakai oleh penulis, jika pembaca ingin memahami suatu gambaran atau pesan yang disampaikan dalam penceritaan tentunya pembaca harus memiliki keterampilan membaca. Untuk mengetahui dan mengerti dengan jelas apa yang dibahas dalam suatu teks, pembaca dituntut memahami teks bacaan tersebut dengan benar. Memahami isi teks dengan seksama merupakan salah satu kesulitan yang sering kali dihadapi pembaca. Dalam dunia pendidikan bahasa asing terdapat kesulitan memahami bahasa khususnya dalam bahasa Arab yaitu pragmatik atau ‘ilm Ma’ani 19 yang selama ini bertendensi pada topik gramatikal terlebih dalam penerapan memahami teks. Pada hakikatnya makna gramatikal merupakan faktor penting dalam memahami suatu teks karena mempelajari gramatikal tanpa memahami makna hanya akan menimbulkan keabstrakan dan ketaksaan makna. Teks naratif pada dasarnya adalah teks yang menceritakan sesuatu. 20 Tujuannya untuk menghibur, mendapat perhatian pembasa atau pendengar cerita, mendidik, memberitahu, dan mengembangkan imajinasi pembaca atau pendengar. Sehingga teks narasi itu sendiri bersifat imajiner yaitu menyampaikan refleksi tentang pengalaman pengarangnya dan faktual ialah menceritakan kejadian yang sesungguhnya seperti dalam novel, biografi dan sebagainya. Teori kontekstual mengisyaratkan bahwa suatu kata atau simbol ujaran tidak mempunyai makna jika ia terlepas dari konteks. Konteks merupakan konsep yang luas dengan melibatkan unsur fisik, linguistik, epistemis dan sosial. 21 Walau demikian, beberapa pakar semantik yang berpendapat bahwa setiap kata mempunyai makna dasar atau primer yang terlepas dari konteks situasi dan kata itu baru mendapatkan makna sekunder sesuai dengan konteks situasi. Sedangkan, dalam kenyataannya kata tidak akan terlepas dari konteks pemakaiannya. Pendapat yang membedakan makna primer atau makna dasar dan makna sekunder atau makna kontekstual secara tidak eksplisit mengakui pentingnya konteks situasi dalam analisis makna. 22 19 Moch. Ainin, Metodologi Penelitian Bahasa Arab Malang: Hilal Pustaka, 2007, 48. 20 Hugh Cory, Advances Writing With English In Use New York: Oxford University Press, 2002, 76. 21 Louise Cummings, Clinical Pragmatics, editor: Abdul Syukur Ibrahim dengan judul terjemah Pragmatik Klinis Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, 37. 22 Jos Daniel Parera, Teori Semantik Jakarta: Erlangga, 1991, 18. Najib Mah}fuz{ merupakan salah satu novelis raksasa dalam khazanah sastra Arab modern dan sastra dunia, peraih Hadiah Nobel Sastra 1988. Ia menulis novel dan cerpen. Pengarang Mesir yang sangat produktif ini meraih gelar sarjana filsafat pada 1934,yang kemudian memilih dunia kepengarangan walaupun ia juga sempat bekerja sebagai pegawai negeri di Departemen Kebudayaan Mesir antara 1954-1971 hingga menjabat sebagai penasehat menteri. Lalu ia menjadi editor mengawali karir sastranya dengan menulis cerpen. Salah satu karyanya yang terkenal adalah trilogi novel Bayn Al-Qasrayn, Qas}r Al-Shawq dan Al-Sukkariyya 1956-1857. Adapun, novel Al-Karnak ditulisnya tahun 1971, diterbitkan pertama pada 1974 dan sempat difilmkan pada 1975 dengan judul yang sama. Novel menjadi objek penelitian yang menarik dari tinjauan deiksis, karena berdasarkan struktur teksnya sifat novel didominasi oleh sejumlah ungkapan atau ekspresi oleh hubungan komunikasi pada tindak bahasa yang terjadi dalam 2 dua tataran, yaitu 1 tataran luar-novel dan 2 tataran dalam-novel. 23 Ini karena novel merupakan sebuah karya naratif. 24 Dalam novel al-Karnak –dan karya-karya lainnya, penulis cenderung menggunakan gaya bahasa haz}f 25 , terutama dalam dialog-dialog novel, sehingga akan mempersulit pembaca dalam memahami konteks acuan teks novel bahasa Arab. Selain itu, penggunaan balaghah berupa majaz dan isti’arah dalam novel al-Karnak akan sukar bagi pembaca untuk memaknai teks apabila tidak memahami konteksnya. Oleh karena itu, deiksis dapat dijadikan alat untuk memudahkan pembaca dalam memahami teks novel al-Karnak, dengan tujuan agar pembaca tidak memaknai acuan konteks secara rancu dan menyimpang. Selain itu, karya al-Karnak ini merupakan salah satu dari karyanya yang termasuk periode realism atau novel sejarah. Novel ini mengkisahkan berbagai peristiwa sepanjang sejarah revolusi Mesir yang paling dikritisi oleh penulis. Hal ini menarik untuk ditelaah, karena setiap peristiwa yang terjadi mendeskripsikan kenyataan yang sebenarnya di rasakan oleh penulis. 23 Komunikasi pada tataran luar-novel merupakan upaya penyampaian amanat tertentu dari pengarangnya melalui isi novel itu yang ditujukan kepada suatu publik pembaca yang diperkirakan pengarang. Sedangkan, komunikasi pada tataran dalam-novel adalah penyampaian cerita dari pencerita kepada pembacanya. Lihat, Benny H. Hoed, Kala dalam Novel Fungsi dan Penerjemahannya Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992, 7. 24 Benny H. Hoed, Kala dalam Novel Fungsi dan Penerjemahannya, 7. 25 Atau gaya penceritaan eliptik, yakni membuang kata tertentu, karena dianggap sudah memadai Muh}ammad Ah}mad Khad{ir, al-Tarkib wa al-Dilalah wa al-Siyaq: Dirasah Tatbiqiyyah Kairo: Maktabah Anjalau, 2005, 147. Penggunaan haz}f bertujuan agar ceritanya singkat, tidak bertele-tele, dan tidak berbunga-bunga. Lihat Sukron Kamil, Teori Kritik Satra Arab: Klasik dan Modern Ciputat: UIN Jakarta Press, 2008, 147. Dalam hal ini, metode yang digunakan dalam memahami sebuah narasi tidak cukup menggunakan perasa sastra saja, melainkan perlu menggunakan perangkat linguistik, salah satunya adalah deiksis. Deiksis yaitu memahami suatu teks narasi dengan melibatkan unsur-unsur eksternal bahasa unsur-unsur luar bahasa atau pragmatik konteks tersebut. Dalam mengetahui bentuk ujaran dialog yang melibatkan siapa, kapan, dimana, konteks penceritaan itu diungkapkan oleh tokoh-tokoh cerita. Rujukan dari maksud yang diungkapkan cerita terjadi pada penutur itu sendiri. Sejauh ini, penelitian mengenai deiksis telah cukup banyak dilakukan, baik oleh sarjana Indonesia maupun non Indonesia seperti yang peneliti temukan, antara lain: Bambang Kaswanti Purwo dalam deiksis dalam Bahasa Indonesia , Rita Prasetiani dalam deiksis dalam Bahasa Arab, Clive Holes dalam Modern Arabic: Structure, Function, and Varieties, F.X. Rahyono dalam Makna Invariant Deiksis Bahasa Jawa serta beberapa bentuk penelitian tentang bahasa lain oleh beberapa peneliti lainnya seperti Heeschen, Malotki, dan Batori. Namun, dari semua penelitian yang ada, penelitian mengenai deiksis teks narasi belum banyak ditemukan. Terdapat beberapa peneliti seperti Judith F. Duchan, et all dalam bukunya Deixis in Narrative: A Cognitive Science Perspective , William J. Rapaport, et all. dalam penelitian “Deictic Centers and Cognitive Structure of Narrative Comprehension” dan beberapa artikel seperti Varzegar Minoo, et all. dalam “Deixis and EFL Reading Comprehension”. Hal ini penting untuk diteliti karena para pembaca teks narasi masih mengalami kesulitan-kesulitan terutama bagi pembaca teks narasi bahasa Arab dalam hal penerapan fungsi bahasa tulis. Selama ini, penelitian bahasa Arab didominasi pada studi gramatikal, namun dalam aplikasi fungsi gramatikal bahasa dalam pemahaman masih belum banyak yang dikaji, terutama dari segi pragmatik, yaitu bagaimana cara melakukan metode yang tidak hanya memberikan informasi secara struktural tetapi lebih menekankan penerapan fungsi eksternal struktural bahasa untuk pemahaman informasi atau pesan yang tersirat dari apa yang ingin disampaikan penulis kepada pembaca. Oleh sebab itu, penelitian ini penting untuk membuka jalan dalam memahami teks narasi sehingga berbagai pesan dan informasi didalamnya lebih jelas dengan kajian linguistik melalui studi deiksis ini, serta memberikan kontribusi kebijakan dalam pendidikan bahasa pembelajaran teks narasi. Maka, penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini.

B. Permasalahan