B. Deiksis
Deiksis sebagai salah satu kajian pragmatik merupakan gejala semantik pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya
kepada pembicara atau penulis dengan memperhitungkan waktu dan situasi pembicaraan. Sebuah ‘kata’ dikatakan bersifat deiksis apabila rujukan kata-
kata itu berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu
92
atau kata yang mengungkap makna tuturan utterance atau pengujaran kalimat pada konteks sesungguhnya.
93
Maka, deiksis merupakan ekspresi atau ungkapan yang memiliki satu makna,
namun mengacu pada entitas yang beragam sebagai perubahan konteks luar bahasa. Adapun kata-kata deiksis berfungsi sebagai pengacu, sedangkan
unsur yang diacunya disebut referen
94
atau anteseden.
95
Bagi Cummings,
96
deiksis memiliki 3 tiga macam, meliputi: 1 Deiksis persona ‘person deixis’
, 2 Deiksis waktu ‘time deixis’, dan 3 Deiksis ruang ‘place deixis’. Berikut macam-macam deiksis dalam bagan 6:
Deiksis
Persona Waktu Ruang Deiksis persona berhubungan dengan pemahaman mengenai peserta ujaran
dalam situasi pengujaran dimana ujaran tersebut dibuat. Deiksis waktu berhubungan dengan pemahaman titik ataupun rentang waktu saat ujaran
dibuat. Deiksis tempat berhubungan dengan pemahaman lokasi atau tempat yang dipergunakan pengujaran dalam situasi pengujaran.
Paham deiksis mencakup pengertian dalam konteks yang lebih luas. Bagi Verhaar
97
apa yang dimaksud dengan “deiksis” adalah semantik
92
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1984, 1.
93
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia , 9.
94
J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum Yogayakarta: Gadjah Mada University Press, 2010, 389.
95
Yayat Sudaryat, Makna dalam Wacana, 121.
96
Louise Cummings, Pragmatics, a Multidisciplinary Perspective, 31.
97
J.W.M. Verhaar, Asas-Asas Linguistik Umum, 397.
meminjam istilah Purwo,
98
bahwa semantik mempersoalkan tuturan luar, yang mengembalikan makna acuan di “dalam tuturan” tertentu yang
berakar pada identitas penutur. Berbeda dengan pengertian istilah deiksis menurut pandangan tradisional merupakan luar – tuturan, yang merupakan
terjemahan dari istilah utterance-external.
Menurut pandangan ini, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah si pembicara unsur yang tidak ada di
dalam bahasa itu sendiri. Hoed
99
meninjau deiksis dalam cakupan waktu kebahasaan, yakni perwujudan secara kebahasaan konsep waktu dengan
melibatkan peristiwa dengan saat pengujaran oleh “aku”. Bagi Moeliono
100
bahwa kata atau konstruksi yang bersifat deiksis hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi
pembicaraan. Identitas pengujar menjadi “akar” referensi untuk kata aku dan kata kamu. Selain itu, kata yang tidak bersifat deiksis adalah apabila acuan
atau rujukan tidak berpusat orientasi pada pembicara. Adapun, Lyons
101
mengemukakan prinsip deiksis sebagai suatu pernyataan berbeda dengan pesan dan menekankan pada referensi ucapan yang tergantung pada nosi
buah pikiran. Hulford dan Heasley,
102
menyatakan bahwa kata bersifat deiktis adalah kata yang pemaknaannya tergantung pada situasi ujaran pada
pembicara, lawan bicara, waktu, dan tempat. Deiksis atau Kalimah Isharah
ةرﺎﺷإ ﺔﻤﻠﻛ,
103
yakni penggunaan kata untuk menunjuk pada makna yang berkorelasi dengan waktu dan tempat
berbicara, seperti sekarang, di sana, dan ini. Kata ber-deiktis merupakan bentuk kata yang membatasi pemaknaan posisi atau pemaknaan situasi dari
kelompok serumpun dari setiap anggota atau posisinya. Kata deiktis dapat sebagai karakter, alat, pronoun kata ganti nama atau benda atau kata
keterangan. Referen salah satu sifat makna leksikal yang dipandang sebagai unsur “kata”, terbagi menjadi 2 dua macam, yaitu ekstralingual dan
intralingual
. Berdasarkan posisi referennya, deiksis dibedakan atas
98
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia, 7.
99
Benny H. Hoed, Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahannya Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1992, 56.
100
M. Anton Moeliono, Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 1997, 35.
101
John Lyons, Semantics 1 London, New York, Melbourne: Cambridge University Press, 1978, 180.
102
R. James Hurford, Heasley, Brendan dan Smith, Michael B., Semantics: a Coursebook
Cambridge: Cambridge University Press, 2008, 63.
103
Muhammad Ali al-Khuli, A Dictionary Of Theoretical Linguistics Beirut: Librairie Du Liban, 1982, 67.
eksoforis luar-tuturan dan endoforis dalam-tuturan. Deiksis eksoforis
adalah yang mengacu pada referen yang berada di luar teks atau bersifat ekstralingual atau situasional. Meliputi deiksis persona, deiksis waktu, dan
deiksis ruang. Sedangkan, deiksis endoforis adalah deiksis yang mengacu pada referen yang ada di dalam teks atau bersifat intralingual atau tekstual.
Endoforis meliputi 2 dua bentuk referen, yaitu anaforis anaphoric
104
dan kataforis cataphoric.
105
Perhatikan bagan 7 berikut ini: Referen
Ekstralingual Intralingual Eksoforis Endoforis
Anaforis Kataforis
Aras Pragmatik Aras Semantik Contoh anaforis:
Firdaus
itu suami saya. Kantornya berpusat di Cairo Referen Anaforis
Contoh kataforis:
Karena nilainya sangat baik, maka Risty mendapat hadiah
Kataforis Referen
104
Dikatakan anaforis apabila referen yang dimaksud telah disebutkan sebelumnya.
105
Dikatakan kataforis apabila referen diletakkan setelahnya atau mengajak pembaca untuk membaca lebih jauh untuk mengetahui apa atau siapa yang dimaksud.
Permasalahan yang dikaji dalam luar-tuturan atau eksoforis dan dalam-tuturan atau endoforis adalah pada labuhan “setting anchorange”.
Permasalahan dalam eksoforis adalah bidang semantik leksikal. Sementara, permasalahan pada endoforis adalah masalah sintaksis.
106
Menurut Lakoff 1970
107
, pengkaitan persona dan waktu deiksis disebabkan adanya peran serta tindak ujaran dalam menentukan pilihan kala
tenses yang tidak dapat diabaikan. Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona, waktu, dan ruang yang berganti-ganti tergantung pada peranan
yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran.
108
Berikut pemaparan deiksis dapat meliputi 3 tiga macam, yaitu:
1. Deiksis persona al-Isharah al-Shakhs}iyyah
Istilah persona berasal dari kata Latin persona sebagai terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya “topeng” topeng yang dipakai
seorang pemain sandiwara, berarti juga peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain sandiwara. Istilah persona dipilih oleh ahli bahasa
waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan bahasa.
109
Deiksis perorangan person deixis, menunjuk peran dari partisipan dalam peristiwa percakapan misalnya pembicara, yang
dibicarakan, dan entitas yanng lain. Deiksis persona ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa
bahasa.
110
Kajian persona mencakup 3 tiga macam, yaitu persona pertama P1 atau al-Mutakallim
ﻢّﻠﻜﺘﻤﻟا, persona kedua P2 atau al-Mukhat}ab
ﺐﻃﺎﺨﻤﻟا, dan persona ketiga P3 atau al-Gaib ﺐﺋﺎﻐﻟا. Deiksis persona pertama dan persona kedua rujukannya bersifat kataforis atau deiktis. Hal
ini berarti bahwa rujukan persona pertama dan persona kedua pada situasi pembicaraan.
111
Sedangkan, deiksis persona ketiga adalah jenis persona yang rujukannya lebih bersifat anaforis daripada deiktis atau disebut “weak
106
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia, 19 dan 103.
107
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia, 21.
108
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia, 22.
109
John Lyons, Semantics 2 Cambridge: Cambridge University Press, 1988, 638.
110
http:suluhpendidikan.blogspot.com200901deiksis-dalam-kajian- pragmatik.html
. Oleh I wayan Pariawan pada 24 januari 2009.
111
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Arab, 106.
deistics”.
112
Oleh karena itu, persona ketiga tidak termasuk dalam kajian penelitian ini.
D{amir ﺮﯿﻤﺿ atau pronomina
113
merupakan kata benda tetap yang mengacu pada P1, P2 dan P3
114
dan terdiri dari 2 dua bentuk morfemis, yaitu d}amir munfas}il
ﻞﺼﻔﻨﻣ ﺮﯿﻤﺿ atau pronomina leksikal atau dan d}amir muttas}il
ّﺘﻣ ﺮﯿﻤﺿ ﻞﺼ
atau pronomina afiksal. Adapun, fi’il ﻞﻌﻓ
atau verba. Verba mad}i merupakan verba yang terjadi pada waktu sebelum terjadi pengujaran. Sedangkan, verba mud}ari’ adalah peristiwa
yang terjadi pada saat pengujaran dan waktu setelah terjadi pengujaran.
Bahasa Arab tergolong tipe bahasa inflektif
115
dan derivatif
116
. Yang pertama berupa perubahan bentuk yang tidak merubah makna dasarnya,
dengan menambahkan morfem terikat pada morfem bebas.
117
Misalnya: perubahan muslim {
ﻢﻠﺴﻣ} menjadi muslimani {نﺎﻤﻠﺴﻣ} atau muslimuna {
نﻮﻤﻠﺴﻣ}. Sementara, derivatif, berupa tambahan, yakni perubahan yang terdapat dalam verba, seperti pronomina leksikal ana akan menjadi sufiks -
tu {
- ُت } atau a- { -
أ }apabila berafiks verba mad}i dan verba mud}ari’, seperti jalasa {
َﺲَﻠَﺟ} menjadi jalastu {ُﺖْﺴَﻠَﺟ} dan ajlisu {ُﺲِﻠْﺟأ}. Hal ini terkait dalam kajian morfologi s}araf dalam afiksasi. Afiksasi merupakan
112
Rita Prasetiani, “Deiksis dalam Bahasa Arab”, Tesis Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2004, 26.
113
Pronomina disebut juga kata ganti persona atau kata ganti diri, karena berfungsi menggantikan diri orang, sehingga menjadi kata ganti orang. Hakikatnya
diantara ketiga kata ganti persona itu hanya kata ganti persona pertama dan kedua yang menyatakan orang. Sedangkan, kata ganti persona ketiga dapat menyatakan orang atau
benda termasuk binatang. Lihat Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia
, 21-22.
114
Fuad Ni’mah, Mulakhas Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah Damaskus: Dar al-Hikmah, T.t, 113.
115
Maksudnya bahasa yang mempunyai sejumlah perubahan bentuk, baik bertalian morfologi dengan aturan pembentukan kata baru maupun bertalian dengan fungsi sintaksis
tiap kata, sehingga bahasa yang memiliki sistem pembentukan kata yang amat kompleks. Lihat Aziz Fahrurrozi dan Muhajir, Gramatika Bahasa Arab Jakarta: Lembaga Penelitian
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, T.t., i-ii. Lihat pula Moh. Matsna, Orientasi Semantik al- Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam
, 84.
116
Moh. Matsna, Orientasi Semantik al-Zamakhsyari: Kajian Makna Ayat-Ayat Kalam
, 84.
117
Infleksi ini dapat ditandai dengan h}uruf dan dapat ditandai dengan h}arakah. Lihat Ahmad Sholihuddin, “Kesalahan Gramatika Dalam Berbahasa Tutur: Studi Kasus
Mahasiswa Ma’had ‘Ali Hasyim Asy’ari PP Tebuireng Jombang”, tesis, Ciputat: Sekolah PascaSarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008, 25.
penggabungan akar atau pokok dengan afiks,
118
terbagi dalam 4 empat macam : Prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks.
119
Kebahasaan terkecil yang bersifat konkret dalam morfologi disebut morf
dengan bentuk abstraksinya yang disebut morfem.
120
Sebagai contoh: d}arabtu {
ُﺖﺑﺮﺿ}, qara’ani {ﻰﻧأﺮﻗ}, dan adhhabu {ُﺐھذأ}. Ketiganya adalah bentuk konkret morfem yang mempunyai satu makna, yaitu “melakukan
sesuatu”. Bentuk-bentuk morfem pada ketiga contoh di atas dinamakan morf dan bentuk-bentuk perubahan morfem seperti -tu {
- ُت }, -nun + -i { -
ﻰﻧ}, a- { أ - } dinamakan alomorf. Esensi dari ketiga contoh tersebut adalah
bentuk perwujudan dari morfem ana { ﺎﻧأ} sebagai subjek verba mad}i dan
verba mud}ari’. Dalam proses morfologis bahasa Arab dijelaskan dalam bagan 8
sebagai berikut: Konjugasi V
Fleksi
Deklinasi N Akar kata + pola leksem
Mazid V Derivasi
Istiqoq N
Maksud dari akar kata dalam bahasa Arab adalah bentuk huruf konsonan sebagai contoh: k {
ك}, t {ت}, b {ب}. Kemudian dipadukan dengan pola atau huruf vokal yaitu ka {
َك}, ta {َت}, ba {َبَ} sehingga membentuk leksem kataba
{ َﺐَﺘَﻛ}. Perubahan esensi leksem tersebut dapat berupa fleksi
121
118
Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab Malang: Misykat, 2004, 22.
119
Prefiks adalah imbuhan di sebelah kiri dasar dalam proses ‘prefiksasi’, seperti belajar, membeli, dan sebagainya. Sufiks merupakan imbuhan di sebelah kanan dasar dalam
proses ‘sufiksasi’, seperti wartawan, kelihatan, dan sebagainya. Sementara, Infiks ialah imbuhan dengan penyisipan di dalam dasar itu dalam proses ‘infiksasi’, seperti gemetar,
telunjuk, dan sebagainya. Dan Konfiks atau simulfiks, ambifiks, sirkumfiks, adalah imbuhan untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya
dalam proses ‘konfiksasi’ atau ‘simulfiksasi’, ‘ambifiksasi’, ‘sirkumfiksasi’. Lihat J.W.M. Verhaar, Asas-asas Linguistik Umum, 107.
120
Imam Asrori, Sintaksis Bahasa Arab Malang: Misykat, 2004, 22.
121
Fleksi flection merupakan proses atau hasil penambahan afiks pada dasar atau akar untuk membatasi makna gramatikalnya. Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik
Jakarta: Gramedia, 2009, 61.
berupa konjugasi dalam verba dan deklinasi dalam nomina, sedangkan derivasi berupa mazid dalam verba dan istiqoq dalam nomina.
Kasus pada morfem -nun pada { -
ﻰﻧ } secara sintaksis nah}wu disebut nun al-waqayah {
ﺔﯾﺎﻗﻮﻟا نﻮﻧ}
122
yang memiliki 3 tiga ketentuan, antara lain: 1 jika pronomina sufiks –i{ -
ي } pada persona pertama afiksal verba maka ditambahkan nun {
ن} diantara keduanya sebagai nun verba, atau dengan kata lain nun {
ن} tersebut sebagai verba genetif, sebagai contoh: khabbirni {
ﻲﻧﺮﺒﺧ} ‘beritahu aku’. 2 jika pronomina sufiks –i { - ي} pada persona pertama afiksal partikel inna wa akhwatuha {ﺎﮭﺗاﻮﺧأو ّنإ}
maka dapat menggunakan nun { ن} sebelum pronomina sufiks –i{ -
ي }. Dan 3 jika pronomina sufiks –i{ -
ي } pada persona pertama afiksal partikel jar {
ﺮﺟ} seperti min dan ‘an, maka diharuskan menggunakan nun al- waqayah
{ ﺔﯾﺎﻗﻮﻟا نﻮﻧ}.
Nomina atau al-Ism { ﻢﺳﻹا} mengenal perubahan bentuk bertalian
dengan gender - mudzakar atau maskulin dan muannath atau feminin -, dan jumlah - mufrad atau singular, muthanna atau dual, dan Jamak atau plural -.
Kedua perubahan bentuk tersebut disebut deklinasi.
123
Sedangkan, verba memiliki kaidah pembentukan kata yang bertalian dengan kata dan pelaku
dengan aturan konjugasi.
124
Pronomina dual dan plural leksikal persona pertama, yakni nah}nu {
ﻦﺤﻧ}. Pronomina nah}nu bersifat eksklusif; artinya, pronomina tersebut mencakupi pembicara atau penulis dan orang lain dipihaknya, tetapi tidak
mencakupi orang lain dipihak pendengar atau pembacanya. Sebaliknya, pronomina nah}nu dapat bersifat inklusif; artinya, pronomina tersebut
mencakupi tidak saja pembicara atau penulis, tetapi juga pendengar atau pembaca, dan mungkin pula pihak lain. Dalam bahasa Indonesia, bentuk
eksklusif adalah kami, sedangkan bentuk inklusif adalah kita. Bentukkan eksklusif, yaitu penggabungan persona pertama dengan persona ketiga, dan
bentukkan inklusif, yaitu penggabungan persona pertama dengan persona kedua.
125
Dalam pronomina afiksal memiliki bentuk terikat yang terbagi dalam 4 empat hal, yakni:
1. Pronomina afiksal pada verba berkedudukan sebagai subjek.
122
Fu’ad Ni’mah, Mulakhas} Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, 120.
123
Aziz Fahrurrozi dan Muhajir, Gramatika Bahasa Arab, x.
124
Aziz Fahrurrozi dan Muhajir, Gramatika Bahasa Arab, x.
125
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Indonesia, 24.
Bentuk pronomina ini adalah bentuk pronomina prefiks: a- { أ-}, na-
dual {
َ ـﻧ - }, na- plural {
َ ـﻧ - }, ta- {
َ ـﺗ -
}. Sufiks: -tu { -
ُت }, -ta { - َت }, -ti { -
ِت}, -tuma { - ﺎﻤﺗ }, -tum { -
ﻢﺗ }, -tunna { - ّﻦﺗ }. Konfiks: ta-ina {
َـﺗ -
ﻦﯾ }, ta-ani {
َـﺗ -
نا }, ta-una { َـﺗ
- نو }, dan ta-na { َـﺗ
- ن }.
Contoh: لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻦﻋ
: اﻮﻨﺴﺣﺄﻓ ﻢﺘﻠﺘﻗ اذﺈﻓ ،ﺊﯿﺷ ّﻞﻛ ﻰﻠﻋ نﺎﺴﺣﻹا ﺐﺘﻛ ﷲا ّنإ
ﺣﺄﻓ ﻢﺘﺤﺑذ اذإو ،ﺔﻠﺘﻘﻟا ﮫﺘﺤﯿﺑذ حﺮﯿﻟو ﮫﺗﺮﻔﺷ ﻢﻛﺪﺣأ ّﺪﺤﯿﻟو ﺔﺤﺑّﺬﻟا اﻮﻨﺴ
ﻢﻠﺴﻣ هاور .
“ ‘an rasulillah saw. qala: innallah kataba al-ihsan ‘ala kulli shai-in, faidha qataltum fa-ah}sanu al-qitlah, wa idha dhabah}tum fa-
ah}sinu al-dhibh}ah walyuh}idda ah}adakum shafratahu walyurih dhabih}atahu”.
126
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan dalam segala hal. Karena itu, jika membunuh yang dibenarkan
syari’at, bunuhlah dengan baik, dan jika menyembelih, sembelihlah dengan baik, tajamkan pisau dan jangan membuat hewan sembelihan
itu menderita”.
Pronomona afiksal sufiks –tum { - ﻢﺗ } diatas merupakan subjek verba
mad}i qatala { ﻞﺘﻗ} dan dhabah}a {ﺢﺑذ}.
“wa ra-aita al-nas yadkhuluna fi dinillahi afwajan”.
127
Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong- bondong.
Pronomina afiksal sufiks
-ta {
- َت } pada verba mad}i ra-a {ئار}
merupakan subjek atau pelaku verba.
2. Pronomina afiksal pada verba berkedudukan sebagai objek.
Bentuk pronomina ini adalah bentuk pronomina sufiks: -nun + - i
{ -
ﻰﻧ }, -i { - ي }, -ta { -
َت }, -ti { - ِت }, -tuma { -
ﺎﻤﺗ }, -tum { - ﻢﺗ }, -tunna { -
ّﻦﺗ}, -na { - ﺎﻧ }, -ka { -
َك }, -ki { - ِك }, -kuma {
- ﺎﻤﻛ }, -kum { -
ﻢﻛ }, dan – kunna
{ -
ّﻦﻛ }. Contoh:
“Inna a’t}ainaka al-kauthar”.
128
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Pronomina afiksal sufiks –ka {
- َك } tersebut merupakan objek
verba mad}i a’t}a { ﻰﻄﻋأ} dan subjek –na {ﺎﻧ}.
126
Hadith ke-17 tentang berlaku Ihsan, 116.
127
Q.S. an-Nasr 110: 2.
128
Q.S. al-Kauthar 108: 1.
لﺎﻘﻓ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒّﻨﻟا ﻰﻟإ ﻞﺟر ءﺎﺟ :
ﷲا ﻰﻨّﺒﺣأ ﮫﺘﻠﻤﻋ اذإ ﻞﻤﻋ ﻰﻠﻋ ﻰﻨّﻟد ،ﷲا لﻮﺳر ﺎﯾ سﺎﻨﻟا ﻰﻨّﺒﺣأو
. لﺎﻘﻓ
: سﺎﻨﻟا ﻚّﺒﺤﯾ سﺎﻨﻟا ﺪﻨﻋ ﺎﻤﯿﻓ ﺪھزاو ،ﷲا ﻚّﺒﺤﯾ ﺎﯿﻧّﺪﻟا ﻲﻓ ﺪھزا
ﺚﯾﺪﺣ ﺔﻨﺴﺣ ﺪﯿﻧﺎﺳﺄﺑ هﺮﯿﻏو ﺔﺟﺎﻣ ﻦﺑا هاور ﻦﺴﺣ
. “Ja-a rajulun ila al-nabiyyi saw. Faqala: ya rasulallah, dullani
‘ala ‘amalin idha ‘amaltuhu ah}abbaniyallah wa ah}abbani al-nas. faqala: izhad fi al-dunya yuh}ibbukallah, wa izhad fima ‘inda
al-nas yuh}ibbuka al-nas”.
129
Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah tunjukan kepadaku suatu amalan yang apabila kulakukan,
aku akan dicintai Allah dan dicintai manusia”. “Rasulullah saw. bersabda, “zuhudlah terhadap dunia, pasti Allah mencintaimu, dan
zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia, pasti manusia pun mencintaimu”.
Pronomina afiksal sufiks -nun + -i { -
ﻰﻧ } pada verba mad}i dullu merupakan objek dan begitupun pada afiksal sufiks –ka { -
َك } berkedudukan sebagai objek verba mud}ari’ yuh}ibbu {
ﺐﺤﯾ}.
3. Pronomina afiksal pada nomina.
Bentuk pronomina ini adalah bentuk pronomina sufiks: -i { - ي}, -na { -
ﺎﻧ }, -ka { - َك }, -ki { -
ِك }, -kuma { - ﺎﻤﻛ }, -kum { -
ﻢﻛ }, dan -kunna {
- ّﻦﻛ }.
Contoh: ؟ ﻲﺑﺎﺘﻛ ﻦﯾأ
“Aina kitabi ?”. Dimana buku saya ?.
Pronomina afiksal sufiks –i { - ي } pada nomina kitab. Yang dapat
bermakna kepemilikan atau kepunyaaan.
4. Pronomina afiksal pada partikel al-huruf.
Bentuk pronomina ini adalah bentuk pronomina sufiks: -nun + -i {
- ﻰﻧ }, -i { -
ي }, -na { - ﺎﻧ }, -ka { -
َك }, -ki { - ِك }, -kuma { -
ﺎﻤﻛ }, -kum { - ﻢﻛ}, dan -kunna { -
ّﻦﻛ }. Contoh:
“lakum dinukum wa liya din”.
130
Untukmu agamamu dan untukkulah agamaku.
129
Hadith ke-31 tentang hakikat Zuhud, 248.
130
Q.S. al-Kafirun 109: 6.
Partikel la merupakan inflektif bentuk li { ِ
ـﻟ} yang berafiks
pronomina sufiks –kum { -
ﻢﻛ } bersifat nominatif .
2. Deiksis waktu al-Isharah al-Zamaniyyah
Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Dalam banyak bahasa,
deiksis waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala”
131
. Pusat deiktis waktu yang menjadi titik referensi waktu yang pada dasarnya adalah kini.
132
Namun, waktu deiktis yang ditetapkan dalam pengujaran waktu kini dapat didasarkan pada waktu lampau dan waktu mendatang.
133
Leksem waktu bersifat deikstis apabila yang menjadi patokan adalah si pembicara
134
merujuk pada waktu pengujaran, waktu sebelum pengujaran, dan waktu setelah pengujaran.
135
Pengalokasian situasi dalam waktu atau penempatan peristiwa dalam waktu esensinya merupakan konsep semantis. Setiap bahasa
memiliki cara yang berbeda dalam melokasikan situasi dalam waktu. Walaupun demikian, hal tersebut didasarkan pada 2 dua parameter, yaitu
tingkat keakuratan pelokasian waktu dan bagaimana sebuah situasi dilokasikan dalam waktu.
136
Adapun, leksem waktu non deiktis pada perhitungan kalender dan keadaan waktu dalam putaran 24 jam, seperti
nama hari, bulan, tahun, pagi, siang, sore, malam dan sebagainya. Kala sebagai alat kebahasaan yang menempatkan peristiwa pada garis waktu
adalah salah satu bentuk gramatikal yang dihasilkan berdasarkan proses morfologis,
137
yakni mengekspresikan konsep waktu kebahasaan berupa inflektif verba dalam proses verba mad}i dan verba mud}ari’.
Novel adalah suatu bentuk komunikasi yang disampaikan dalam bentuk cerita. Oleh karena itu, pusat deiktis dalam novel sebagai teks.
138
Oleh karena itu, penetapan pusat deiktis novel didasarkan dari 3 tiga segi, yaitu: 1 saat pembacaan novel, yaitu saat penerimaan cerita menerima
131
P.W.J. Nababan, Ilmu Pragmatik, 41.
132
John Saeed, Semantics Oxford: Blackwell, 1997, 11.
133
Bernard Comrie, Tense Cambridge: Cambridge University Press, 1976, 56-82.
134
Bambang Kaswanti Purwo, Deiksis dalam Bahasa Arab, 71.
135
Rita Prasetiani, “Deiksis dalam Bahasa Arab”, 77.
136
Zaqiyatul Mardiah, “Modus, Aspek, dan Waktu Kebahasaan dalam Bahasa Arab”, Tesis, Depok: Program PascaSarjana Universitas Indonesia, 2002, 55.
137
Zaqiyatul Mardiah, “Modus, Aspek, dan Waktu Kebahasaan dalam Bahasa Arab”, 72.
138
Benny H. Hoed, Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahannya, 70.
cerita atau saat penutur berbicara pada tokoh cerita. Ini terjadi bila penceritaan tidak menyebutkan waktu dalam bentuk tahun, tanggal, dan
yang sejenis yang termasuk dalam waktu statis, 2 saat seorang tokoh berbicara pada tokoh lain atau kepada suatu waktu yang statis, dan 3
apabila suatu penceritaan disebutkan terjadi pada suatu waktu yang statis. Rumusan waktu deiktis dinamakan sistem rujukan waktu SRW. SRW
diturunkan dari waktu kebahasaan karena merupakan formulisasi dalam bentuk rumus, sehingga SRW harus dilihat sebagai konsep semantik karena
dilibatkan pada saat pengujaran atau pusat deiktis karena pusat deiktis berlabuh pada P1.
139
Tabel 1 SRW dalam novel
Pusat Deiktis
SRW Pusat
Deiktis
P rel 0 P rel R
P rel R rel 0
Pola 1 Peristiwa
ditempatkan dalam hubungan
dengan saat penerima cerita
menerima cerita Peristiwa
ditempatkan dalam hubungan dengan
peristiwa lain dalam cerita
Peristiwa ditempatkan dalam
hubungan dengan peristiwa lain dalam
cerita yang terjadi dalam hubungan
dengan saat penerima cerita
menerima cerita.
Pola 2 Peristiwa
ditempatkan dalam hubungan
dengan saat seorang tokoh
berbicara Peristiwa
ditempatkan dalam hubungan dengan
peristiwa lain yang terdapat dalam
ujaran seorang tokoh
Peristiwa ditempatkan dalam
hubungan dengan peristiwa itu terjadi
dalam hubungan saat seorang tokoh
berbicara
Pola 3 Peristiwa
ditempatkan dalam hubungan
Peristiwa ditempatkan dalam
hubungan dengan Peristiwa
ditempatkan dalam hubungan dengan
139
Benny H. Hoed, Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahannya, 56
dengan suatu waktu statis
yang menandai terjadinya suatu
ujaran peristiwa lain yang
waktunya dinyatakan dengan
waktu statis saat penceritaan
yang disebutkan waktunya dengan
waktu statis
Pusat deiktis dalam novel menempatkan peristiwa pada garis waktu yang berlabuh pada pusat deiktis saat pengujaran, titik 0, dapat dirumuskan
menjadi P, peristiwa relatif 0. Prepresentasi waktu memungkinkan pengujar menempatkan peristiwa alami pada garis waktu dan mengungkapkannya
dengan media bahasa dalam SRW. Penggambaran sebuah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, peristiwa itu dapat diletakkan secara diagramatis
di sebelah kiri titik nol P0. Begitu pun, apabila terjadi di masa mendatang, peristiwa tersebut diletakkan di sebelah kanan titik nol P0.
———————————-I———————————— Lampau 0 Mendatang
Penempatan peristiwa tersebut menjadi titik nol sebagai titik rujukan.
Sehingga hal tersebut berkaitan dengan fokus perhatian yang bertumpu pada bagaimana pengujar menempatkan dirinya dalam waktu ujaran itu
dibicarakan, dan bagaimana hal itu dilihat dari segi bahasa memandang sebuah waktu.
140
Sebuah makna dapat dinyatakan dengan beragam bentuk. Kala sebagai alat kebahasaan yang menempatkan peristiwa pada garis waktu
berdasarkan proses morfologis mencakup waktu kebahasaan, keaspekan, dan modalitas. Dalam waktu kebahasaan, pembagian atas waktu lampau,
sekarang, dan mendatang yang sebenarnya didasari oleh suatu konsep umum bahwa peristiwa dapat ditempatkan dengan menggunakan unsur
kebahasaan pada garis waktu dalam hubungan dengan saat pengujaran, yaitu sebelum
, bersama dan sesudah saat peristiwa terjadi. Adapun, bentuk kalimat waktu kebahasaan kala dalam bahasa Arab sebagai berikut:
141
140
Zaqiatul Mardiah, “Modus, Aspek, dan Waktu Kebahasaan dalam Bahasa Arab”, 35-36.
141
Zaqiatul Mardiah, “Modus, Aspek, dan Waktu Kebahasaan dalam Bahasa Arab”, 73.
Tabel 2
Waktu Kebahasaan Kala Kalimat
Bentuk Verba Waktu Kebahasaan
1. نﺎﻤﺜﻋ ﺐھذ Mad}i
Lampau 2.
نﺎﻤﺜﻋ ﺐھذ نا Mad}i Mendatang
3. ﺐھﺬﯾ Mud}ari’
Kini 4.
ﺐھﺬﯾ نﺎﻛ Mud}ari’ Lampau
5. ﺐھﺬﯿﺳ Mud}ari’
Mendatang 6.
ﺐھﺬﯿﺳ نﺎﻛ Mud}ari’ Mendatang-lampau
Dalam tabel 2 diatas terdapat sejumlah kalimat yang menunjukkan waktu kebahasaan yang dapat diungkapkan oleh bentuk verba mad}i dan
verba mud}ari’. Verba dhahaba { ﺐھذ} ‘pergi’ pada 1 dilakukan sebelum
saat pengujaran. Dengan demikian, waktu kebahasaan lampau pada verba dhahaba
{ ﺐھذ} dan al-madrasah {ﺔﺳرﺪﻤﻟا} ‘sekolah’ pada 2 berada dalam
konstruksi conditional sentence yang menunjukan bahwa situasi al- madrasah
{ ﺔﺳرﺪﻤﻟا} ‘sekolah’ akan terwujud setelah situasi yang menjadi
persyaratan dhahaba { ﺐھذ} sudah terlaksana. Oleh karena itu, waktu
kebahasaan yang ditunjukkan kalimat 2 tersebut adalah mendatang. Pada 3, bentuk verba mud}ari’ yang tidak mendapat tambahan unsur lain
seperti kana { نﺎﻛ} dan atau sa- { ـﺳ
- }, serta tidak terdapat pula adverbia
temporal yang menyatakan waktu mendatang seperti ghadan { اﺪﻏ} ‘besok’
dan ba’da qalil { ﻞﯿﻠﻗ ﺪﻌﺑ} ‘sebentar lagi’, menunjukkan waktu kebahasaan
kini. Penambahan verba bantu kana { نﺎﻛ} menjadikan bentuk verba
mud}ari’ itu bermakna kelampauan seperti pada 4, sedangkan penambahan sa- {
ـﺳ -
} ‘akan’ mengubah waktu kebahasaan mendatang seperti pada 5. Apabila kana {
نﺎﻛ} dan sa- { ـﺳ -
} ditambahkan secara bersamaan, makna yang diungkapkan adalah past future seperti pada 6.
Lebih lanjut perhatikan contoh berikut:
1 ma
Ya’lamuna Wa inna ‘alaikum lah}afiz}in. Kiraman katibin.
. taf’alun
Padahal Sesungguhnya bagi kamu ada Malaikat-malaikat yang Mengawasi pekerjaanmu, Yang mulia di sisi Allah dan mencatat
pekerjaan-pekerjaanmu itu, Mereka mengetahui apa yang kamu kerjakan.
142
Bentuk klausa pada peristiwa sedang berlangsung terjadi pada klausa ya’lamuna
{ نﻮﻤﻠﻌﯾ}. Oleh karena itu, klausa tersebut merupakan waktu
kebahasaan kini.
2 ‘Abasa wa tawalla.
Dia Muhammad bermuka masam dan berpaling.
143
Kata yang bergaris bawah merupakan verba mad}i dengan subjek yang mengacu pada nabi Muhammad. Konteks kalimat tersebut diujarkan
oleh pengujar Allah SWT pada waktu lampau atau setelah peristiwa terjadi.
3
Fa-amma man utiya kitabahu biyaminihi. Fa saufa yuh}asabu
h}isaban yasiran. Adapun orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanannya.
Maka dia akan diperiksa dengan pemeriksaan yang mudah.
144
Partikel verba mendatang pada kalimat tersebut ditandai dengan saufa
{ فﻮﺳ}. Peristiwa yang akan terjadi pada waktu yang berlangsung
dalam jangka lama, yaitu setelah pengujaran.
4
Sayadhdhakkaru man yakhsha. Orang yang takut kepada Allah akan mendapat pelajaran.
145
Pada kalimat tersebut penggunaan partikel sa- { ـﺳ
- } merupakan
konteks waktu yang terjadi ‘segera’ setelah ujaran terjadi. Keaspekan merupakan cara pandang “sosok” peristiwa dalam sistem
kebahasaan bergantung
pada seseorang
atau pembaca
yang mempersepsikannya. Bertolak pada sistem kebahasaan, keaspekan terbagi 2
142
Q.S. al-Infithaar 82: 10-12.
143
Q.S. ‘Abasa 80: 1.
144
Q.S. Inshiqaq 84: 7-8.
145
Q.S. al-‘Ala 87: 10.
dua macam, yaitu imperfektif dan perfektif.
146
Disamping itu, waktu berkaitan pula dengan modalitas. Modalitas yakni keterlibatan P1 dalam
pandangannya terhadap peristiwa yang diungkapkannya atau pandangan subjektif P1. Piranti dalam modalitas untuk mengekspresikan berupa bentuk
unsur leksikal kata kerja bantu. Apabila piranti morfologis yang digunakan, seperti inflektif verbal, dalam gramatika tradisional dinamakan modus.
147
Disini, harus dibedakan antara modalitas dan modus, antara lain: 1 modalitas adalah konsep semantik, dan modus adalah konsep gramatikal,
dan 2 modalitas adalah konsep semantik yang memperlihatkan keterlibatan pandangan P1 pada ujarannya, sedangkan modus seringkali mencakup
modus indikatif atau kalimat keterangan.
148
Modus dalam bahasa Arab memiliki 3 tiga keadaan yang ketiganya dalam bentukan verba mud}ari’,
yaitu: 1. Modus Indikatif, yaitu menggambarkan peristiwa faktual.
Pemarkah modus ini adalah berharakat akhir nominatif al-marfu’ karena tidak adanya partikel yang mendahului verba tersebut.
2. Modus Subjungtif, sesuatu yang mengekspresikan harapan, keinginan, dan perintah serta berharakat akhir akusatif al-mans}ub.
Modus ini didahului pemarkah pada partikel : an نأ , anna ّنأ, lan
ﻦﻟ , dan sebagainya.
3. Modus Jussif, digunakan dengan partikel negasi untuk menyatakan larangan atau untuk mengungkapkan perfektifitas yang negatif,
kalimat kondisional, dan kalimat perintah. Adapun partikel yang digunakan dalam modus ini berupa: lam
ﻢﻟ, lam al-amr ل, lam al-nahiyah ﻻ, dan sebagainya.
3. Deiksis ruang al-Isharah al-Makaniyyah
Deiksis ruang ialah pemberian bentuk pada lokasi menurut pelakon dalam peristiwa bahasa. Pusat deiktis, tempat yang dekat dengan P1 disebut
proksimal dan tempat yang dekat dengan P2 atau P3 atau jauh dari P1
disebut distal. Menurut Holes,
149
sistem pronomina demonstratif deiksis ruang dalam bahasa Arab berfungsi sebagai adjektiva dan pronomina
146
Imperfektif adalah melihat peristiwa berlangsung masih dalam proses. Sedangkan, perfektif adalah melihat peristiwa sebagai suatu proses yang telah selesai. Lihat
B. Comrie, Tense, 1-13.
147
John Saeed, Semantics Oxford: Blackwell, 2000, 129.
148
Benny H. Hoed, Kala dalam Novel, Fungsi dan Penerjemahannya, 51.
149
Clive Holes, Modern Arabic: Structures, Function, and Varieties New York: Longman, 1995, 151.
meliputi proksimal: hadha اﺬھ, hadhihi هﺬھ, haulai ءﻻﺆھ, hadhani
ناذﺎھ, hadhayni ﻦﯾذﺎھ, hatani نﺎﺗﺎھ, dan hatayni ﻦﯿﺗﺎھ, dan distal: dhalika
ﻚﻟذ, tilka ﻚﻠﺗ, ulaika كءﻻوا, dhanika ﻚﻧاذ, dhaynika ﻚﻨﯾذ, tanika
ﻚﻧﺎﺗ, dan taynika ﻚﻨﯿﺗ. Selain itu, deiksis ruang dapat menunjukan lokasi relatif bagi
pembicara dan yang dibicarakan, seperti: pada ‘10 menit dari sini’, ‘5 mil dari sini’, ‘disini’, dan ‘disana’. Misalnya, mendefinisikan disini sebagai
unit ruang yang mencakup lokasi pembicara pada saat dia berujar atau lokasi terdekat pada lokasi pembicara pada saat berujar yang mencakup
tempat yang ditunjuk jika ketika berkata here dalam bahasa Inggris diikuti gerakan tangan. Ukuran dari lokasi juga berbeda-beda, yang di pengaruhi
oleh pengetahuan latar belakang. Disini dapat berarti kota ini, ruangan ini, atau titik tertentu secara pasti. Dalam hal kata petunjuk ini dan itu, pilihan
juga dapat didiktekan berdasarkan kedekatan emosional empathy dan jarak. Hal ini sering disebut deiksis empathetik.
150
Dengan demikian, deiksis ruang terbagi dalam 3 tiga hal, yaitu lokatif, demonstratif, dan temporal.
151
Lokatif, yakni hal yang menunjukan lokasi yang dekat dengan P1 seperti huna
ﺎﻨھ bermakna ‘disini’, dan yang jauh dengan P1 seperti
hunaka كﺎﻨھ
bermakna ’disana’. Lokatif terbagi dalam 2 dua kondisi tempat, yaitu statis sebagai konteks keberadaan disini, disana. Sedangkan
dinamis, yaitu konteks tujuan kesini, kesana dan asal dari sini, dari sana. Demonstratif merupakan hal yang menunjukan keadaan yang dekat
dan keadaan yang jauh, seperti proksimal: hadha اﺬھ
, hadhihi هﺬھ
dan distal: dhalika
ﻚﻟذ , tilka
ﻚﻠﺗ .
Perhatikan contoh berikut:
Wa hadha al-baladi al-amin.
Dan demi kota ini yang aman.
152
Kata hadha {
اﺬھ} dan al-balad {ﺪﻠﺒﻟا}merupakan kondisi tempat
proksimal saat ujaran terjadi. Dalam konteks ini rujukan kata hadha {
اﺬھ}
adalah kota Mekah. Temporal adalah hal penunjuk tempat pada waktu berlangsungnya
pengujaran atau unsur kebahasaan pemarkah waktu. Dalam hal ini, unsur
150
http:suluhpendidikan.blogspot.com200901deiksis-dalam-kajian- pragmatik.html
.
151
F.X. Nadar, Pragmatik dan Penelitian Pragmatik Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009, 9
152
Q.S. at-Tiin 95: 3.
temporal yang di jadikan pusat deiktis ruang adalah unsur yang melekat pada verba berupa unsur morfologis disebut kala.
153
C. Teks narasi