Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

bantuan dari kelompok etnis yang sama di negara lain untuk membantu perjuangan mereka, baik untuk melepaskan diri dari negara tersebut kemudian bergabung dengan kelompok etnisnya di negara lain atau untuk memperoleh pengakuan kemerdekaan sendiri. 16 Tentu saja, negara tidak dapat mentolerir gerakan separatisme kelompok etnis tersebut, meskipun pemerintah negara sadar akan berlangsungnya konflik antaretnis di wilayah kedaulatan nasionalnya.

1. Konsep Genosida

Genosida adalah pembunuhan besar-besaran yang dilakukan secara sistematis dan terencana dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, dan kelompok agama. 17 Konsep Genosida merupakan suatu bentuk kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang secara jelas telah melanggar hak-hak asasi manusia, seperti yang tertuang dalam Deklarasi Universal HAM DUHAM yang menjadi instrumen penegakan HAM Internasonal. Genosida merupakan kejahatan menurut hukum internasional, bertentangan dengan jiwa dan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dikutuk oleh dunia yang beradab. 18 ”Bahwa pengabaian dan penghinaan terhadap hak asasi manusia telah mengakibatkan tindakan-tindakan keji yang membuat berang nurani manusia, dan terbentuknya suatu dunia dimana manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan, serta kebebasan dari ketakutan dan kekurangan telah dinyatakan sebagai aspirasi tertinggi manusia pada umumnya” 16 Donald L. Horowitz, “Self-Determination: Politics, Philosophy, and Law,” dalam J. Schapiro W. Kymlicra eds., Ethnicity and Group Rights, NYU Press, 1997, hal. 429 17 Diakses dari www.preventgenocide.org , tgl 1 februari 2014, pukul 10.30 18 Diakses dari http:www.preventgenocide.orgidhukumkonvensi.htm “Bahwa sangat penting untuk melindungi hak-hak asasi manusia dengan peraturan hukum supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir menentang tirani dan penindasan”

2. Teori Organisasi Internasional

Teori Organisasi Internasional Organisasi internasional secara sederhana dapat didefinisikan sebagai pengaturan bentuk kerjasama internasional yang melembaga antara negara-negara, umumnya berlandaskan suatu persetujuan dasar, untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang memberi manfaat timbal balik yang dilaksanakan melalui pertemuan-pertemuan serta kegiatan-kegiatan secara berkala. L. Leonard dalam buku “International Organization” mengemukakan bahwa negara-negara yang berdaulat menyadari perlunya pengembangan carametode kerjasama berkesinambungan yang lebih baik mengenai penanggulangan berbagai masalah. Negara-negara membentuk organisasi internasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. 19 Organisasi internasional juga akan menampilkan sejumlah perannya yaitu: inisiator, fasilitator, dan mediator. Organisasi internasional dalam isu-isu internasional berperan sebagai aktor yang independen dengan hak-haknya sendiri. Organisasi internasional juga memiliki peran penting dalam memonitori, dan menengahi perselisihan yang timbul dari adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh suatu negara. 20 Peran-peran yang dijalankan oleh OHCHR diantaranya seperti: 19 Asrieyani, Dewi 201 3 “Peran Office Of The High Commissioner For Human Right Dalam Penyelesaian Kasus Genosida Etnis Rohingya Di Myanmar 1978- 2012”, eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 1:42-50 20 Ibid. A Sebagai Inisiator Berdasarkan pada tugas utama OHCHR untuk melindungi dan menjaga hak asasi manusia, OHCHR dapat mengambil beberapa tindakan atau inisiatifyang dipandang tepat sebagai langkah utama untuk mendapatkan penyelesaian terhadap pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada etnis Rohingya. B Sebagai Fasilitator OHCHR sebagai badan penegak HAM memiliki tugas untuk dapat menjalankan atau menciptakan suatu kerjasama dengan pihak lain. Adapun dalam kasus Rohingya, OHCHR menjalankan beberapa tindakan untuk dapat memfasilitasi pemerintah Myanmar dengan organisasi internasional lainnya, terutama agar dapat memperoleh bantuan kemanusiaan untuk masyarakat Rohingya yang menjadi korban dalam tindakan kekerasan yang terjadi. 21 C Sebagai Mediator Untuk dapat tercipta suatu penyelesaian yang efektif atas kasus pelanggaran kemanusiaan yang terjadi pada etnis Rohingya, OHCHR juga melakukan tindakan agar pemerintah Myanmar dapat menjaga hubungan baik berupa dialog atau bentuk kerjasama lainnya dengan negara-negara tetangga agar dapat membantu mencapai suatu penyelesaian secara tepat atas kasus yang terjadi. Antara lain: 21 Diakses dari www.ohchr.org , tanggal 1 Februari 2014, pukul 10.34 1. Untuk dapat membantu mendapatkan penyelesaian pada kasus pelanggaran kemanusiaan terhadap etnis Rohingya. 2. Dalam mendapatkan penyelesaian yang efektif terhadap kasus Etnis Rohingya, selama kunjungan pelapor khusus Tomas Ojea Quintana pada Agustus 2012, pihaknya juga telah mengupayakan kepada pemerintah Myanmar untuk dapat mengidentifikasi secara objektif penyebab sesungguhnya terjadinya pelanggaran kemanusiaan berupa pembakaran rumah-rumah masyarakat Rohingya serta kekerasan fisik yang dilakukan kelompok masyarakat Budha Rakhine terhadap etnis Rohingya di wilayah Arakan. Selain itu, pelapor khusus juga meminta kepada pemerintah Myanmar untuk mendirikan sebuah Komisi Investigasi independen untuk menangani permasalahan pelanggaran tersebut. Dimana tim terdiri dari berbagai lapisan pejabat publik, perwakilan dari etnis dan tokoh agama, serta kelompok masyarakat sipil lainnya, untuk dapat membawa kasus tersebut serta pihak yang bertanggung jawab ke pengadilan. Masalah politik etnografi wilayah yang dapat meningkat menjadi konflik antarnegara ini menarik untuk dikaji lebih mendalam, karenakonflik yang terjadi pada etnis Rohingya telah dianggap banyak melanggar HAM dan berbau SARA. Masalah inimulai menimbulkan keprihatinan dari negara-negara tetangga, khususnya negara yang didominasi oleh agama Muslim di Asia Tenggara.Potensi konflik antarnegara pun tidak bisa dihindari lagi jika PBB sebagai organisasi perdamaian dunia tidak bisa meredakan konflik yang ada. Hal didukung oleh Michael W. Giles dan Arthur Evans memandang konflik sebagai peningkatan intensitas kompetisi antara dua kelompok atau lebih memperebutkan kontrol terhadap sumber daya yang terbatas, power dan prestise dalam bidang ekonomi, politik dan struktur sosial masyarakat. Hasil kompetisi antarkelompok tersebut adalah pertikaian antarkelompok etnis. 22

3. Konsep Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat sejak manusia dilahirkan dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. 23 Oleh karena itu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM menunjukan nilai normatifnya Hak Asasi Manusia sebagai hak yang fundamental yang ditegaskan dalam Pasal 1: “Semua manusia dilahirkan bebas dan sama dalam martabat dan hak. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan harus bertindak sesama manusia dalam semangat persaudaraan ” Menurut Miriam Budiardjo, hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa 22 Michael W. Giles and Arthur Evans, “The Power Approach to Intergroup Hostility”, Journal of Resolusi Konflik, vol. 30, no. 3, 1986 23 http:www.negarahukum.comhukumkonsep-hak-asasi-manusia.html perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat universal. Bila menurut Giles, Evans, dan Laue yang melihat konflik dari dimensi perebutan akan sumber daya, maka Fen Osler Hampson melihat konflik dari dimensi hak-hak dasar manusia. 24 Hampson melihat bahwa akar konflik juga dapat berawal dari pelanggaran hak-hak asasi manusia yang kemudian berperan besar dalam pembentukan mekanisme perlindungan diri self-defense dan dilemma keamanan. Biasanya, kelompok etnis berusaha memperoleh kepentingannya secara damai melalui jalur politik yang legal. Namun ketika etnisitas dihadapkan dengan ketidakjelasan system social, sejarah yang diwarnai konflik dan kekhawatiran terhadap masa depan, mulailah terjadi keretakan kohesi sosial masyarakat.Kondisi dan situasi pada masyarakat yang terkotak-kotak tersebut memperkuat karakteristik negara multietnis yang lebih mementingkan identitas etnis ethnic identity daripada identitas nasional negara state-identity. Masalah ini yang terjadi di Myanmar, antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine. 25

E. Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, karena dalam penelitian ini digunakan proses berpikir yang induktif dan pemberlakuan ide-ide serta teori yang diterapkan secara tidak ketat. Sedangkan berdasarkan tujuannya, maka penelitian ini bersifat eksplanatif. Penelitian eksplanatif merupakan penelitian yang untuk menjelaskan mengapa sesuatu itu bisa terjadi. 24 Fen Osler Hampson, “Third Party Roles in the Termination of Intercommunal Conflict,” Millennium: Journal of International Studies, vol. 26, no. 3, 1997, hal. 727-750 25 Ibid. Penelitian eksplanatif dibangun dari penelitian eksploratori dan deskriptif, lalu berlanjut pada mengidentifikasi alasan terjadinya sesuatu. Penelitian eksplanatif berfokus pada sebuah topik serta melihat penyebab terjadinya sesuatu dan alasan terjadinya sesuatu. 26 Metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode pengumpulan data secara kualitatif. Sumber data-data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari perpustakaan UI, kutipan tulisan yang termuat dalam buku yang berkaitan dengan penelitian, artikel-artikel dari jurnal akademis, serta artikel-artikel yang berasal dari situ-situ internet yang relevan dengan kasus yang diteliti. Mengingat minimnya bahan sumber berupa buku maupun jurnal yang secara lengkap membahas permasalahan etnis Rohingya, maka sumber bahan-bahan yang paling banyak dipakai sebagai sumber data penelitian ini adalah dari situs-situs internet. 26 W. Lawrence, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Boston: Pearson Education, Inc fourth edition, 1999, hal. 22