27
menyelesaikan perkara, maka ditunjuk seorang atau lebih panitera sidang dalam hal ini panitera, wakil panitera, panitera muda dan panitera pengganti.
24
Tata cara pemanggilan di mana harus secara resmi dan patut, yaitu: a. Dilakukan oleh jurusita atau jurusita pengganti diserahkan kepada pribadi
yang dipanggil di tempat tinggalnya; b. Apabila tidak ditemukan maka surat panggilan tersebut diserahkan kepada
Kepala Desa dimana ia tinggal; c. Apabila salah seorang telah meninggal dunia maka disampaikan kepada ahli
warisnya; d. Setelah melakukan pemanggilan maka jurusita harus menyerahkan risalah
tanda bukti bahwa para pihak telah dipanggil kepada hakim yang akan memeriksa perkara yang bersangkutan;
e. Kemudian pada hari yang telah ditentukan sidang perkara dimulai.
25
Sedangkan proses pemeriksaan perkara di depan sidang pengadilan dilakukan melalui tahap-tahap dalam hukum acara perdata sebagaimana yang
telah tertera dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 54: “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara
khusus dalam undang- undang ini”.
26
24
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, cet.ke-1, h. 214.
25
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,..., h. 40.
26
A. Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia,...,h.202-203.
28
Setelah hakim membuka sidang dan dinyatakan terbuka untuk umum, dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan tentang keadaan para pihak, ini hanya
bersifat checking identitas para pihak apakah para pihak sudah mengerti mengapa mereka dipanggil untuk menghadiri sidang. Pada upaya perdamaian, inisiatif
perdamaian dapat timbul dari hakim. Pemohon ataupun termohon, hakim harus sengguh-sungguh mendamaikan para pihak. Apabila ternyata upaya perdamaian
yang dilakukan tidak berhasil, maka sidang dinyatakan tertutup untuk umum dilanjutkan ketahap pemeriksaan.
27
Selanjutnya pada tahap dari termohon, pihak termohon diberikan kesempatan untuk membela diri dan mengajukan segala kepentingannya terhadap
pemohon melalui hakim. Pada tahap replik pemohon kembali menegaskan isi permohonannya yang dilakukan oleh termohon dan juga mempertahankan diri
atas sanggahan-sangghan yang disangkal termohon. Kemudian pada tahap duplik, termohon dapat menjelaskan kembali jawabannya yang disangkal oleh pemohon.
Tahap replik duplik dapat diulang-ulang sampai hakim dapat memandang cukup, kemudian dilanjutkan dengan pembuktian. Pada tahap pembuktian,
pemohon dan termohon mengajukan semua alat-alat bukti yang dimiliki untuk mendukung jawabannya sanggahan, masing-masing pihak berhak menilai alat
bukti pihak lawannya. Kemudian tahap kesimpulan, masing-masing pihak mengajukan pendapat
akhir tentang hasil pemeriksaan. Kemudian pada tahap putusan, hakim
27
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,...,h.41-42.
29
menyampaikan segala pendapatnya tentang perkara tersebut dan menyimpulkan dalam putusan dan putusan hakim adalah untuk mengakhiri sengketa.
28
B. Hutang
1. Pengertian dan Dasar Hukum Hutang
Secara etimologis qardh merupakan bentuk mashdar dari qaradha- yaqridhu, yang artinya dia memutuskannya. Qardh adalah bentuk mashdar yang
berarti memutuskan. Dikatakan qaradhu asy- syai’a bil miqradh, atau memutus
sesuatu dengan gunting. Al-Qaradh adalah sesuatu yang diberikan oleh pemilik untuk dibayar.
Adapun qardh secara terminologis adalah memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya dikemudian hari.
Menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, qardh adalah penyediaan dana atau tagihan antar lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Defenisi yang dikemukakan dalam kompilasi
hukum ekonomi syariah bersifat aplikatif dalam akad pinjam-meminjam antara nasabah dan lembaga keuangan syariah.
29
Ada beberapa pendapat tentang defenisi Al-Qardh. Menurut Imam Hanafi, Al-Qardh adalah pemberian harta oleh seseorang kepada orang lain supaya ia
membayarnya. Kontrak yang khusus mengenai penyerahan harta kepada
28
R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata,...,h. 43-45.
29
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2012, h.333.
30
seseorang agar orang itu mengembalikan harta yang sama sepertinya.
30
Sementara itu, Imam Malik menyatakan bahwa Al-Qardh merupakan jaminan atas benda
yang bermanfaat yang diberikan hanya karena belas kasihan dan bukan merupakan bantuan atau pemberian, tetapi harus dikembalikan seperti bentuk
yang dipinjamkan.
31
Dasar Hukum Qardh a. Al-
Qur’an Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 282
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...”
Fiman Allah Q.S. Al-Maidah: 1
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu...”
Firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 280
Artinya: “Dan jika orang yang berhutang itu dalam kesukaran, maka
berilah tangguh sampai ia berkelapangan...”
Firman Allah Q.S. Al-Hadid: 11
30
M. Abdul Mudjieb, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, h. 8.
31
M. Muslichuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, h. 8.
31
Artinya: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Alllah pinjaman yang baik, Allah akan melipat gandakan pinjaman itu untuknya dan ia akan
memperoleh pahala yang baik”.
32
b. Hadits Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah Saw. Bersabda:
هج ام با ا ر اترم ةقد ك اك اا يترم ا رق ا لسم رقي ملسم م ام
Artinya: “Bukan seorang muslim mereka yang meminjamkan muslim lainnya dua
kali kecuali yang satunya adalah senilai shadaqah.” H.R. Ibnu Majah.
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Saw bersabda:
اب تكم ةنجلا اب لع رسا ةليل تيار ةي ا ثب رقلا ا لثما رشعب ةقد لا
سي ئاسلا ا اق ةقد لا م فا رقلا اب ام يربج اي تلقف رشع
ق يبلا هجام با ا ر ةجاح م لا رقتس لا دنع
Artinya: “Pada malam peristiwa Isra’ aku melihat di pinti surga tertulis: shodaqah akan diganti dengan 10 kali lipat, sedangkan qardh dengan 18
kali lipat. Maka aku bertanya: wahai Jibril, mengapa qardh lebih utama daripada shadaqah? Ia menjawab: karena ketika meminta, peminta tersebut
memiliki sesuatu, sementara ketika berutang, orang tersebut tidak kurang
kecuali karena kebutuhan”. H.R. Ibnu Majah dan Baihaqi. c.
Ijma’ Ulama Umat Islam sepakat akan diperbolehkannya qardh.
33
2. Rukun dan Syarat Hutang Piutang adalah:
a. Adanya yang berpiutang: Yang disyaratkan harus orang yang cakap untuk melakukan tindakan hukum.
b. Adanya orang yang berutang: syaratnya sama dengan ketentuan point satu.
32
AH. Azharudin Lathif, fiqh muamalat,Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, h.150.
33
Isnawati Rais, Fiqh Muamalah dan Aplikasinya pada LKS, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h.150.
32
c. Objekbarang yang diutangkan: barang yang diutangkan disyaratkan berbentuk barang yang dapat diukurdiketahui jumlah maupun nilainya.
Disyaratkannya hal ini agar pada waktu pembayarannya tidak menyulitkan, sebab harus sama jumlahnilainya dengan jumlahnilai barang yang diterima.
d. Lafaz, yaitu adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan maupun dari pihak yang berutang.
34
Beberapa hukum yang berkaitan hutang piutang Pertama, akad utang piutang menetapkan peralihan pemilikan. Misalnya
apabila seseorang menghutangkan satu kilo gandum kepada orang lain, maka barang tersebut terlepas dari pemilikan muqridh orang yang menghutangi, dan
muqtaridh orang yang berhutang menjadi pemilik atas barang tersebut sehingga ia bebas bertasharruf atasnya. Hal ini sebagaimana berlaku pada akad jual-beli,
hibah dan hadiah. Kedua, penyelesaian utang piutang dilaksanakan di tempat akad
berlangsung. Sekalipun demikian, dapat juga dilaksanakan di tempat lain sepanjang penyerahan tersebut tidak membutuhkan ongkos atau sepanjang
disepakati demikian. Ketiga, pihak muqtaridh wajib melunasi hutang dengan barang yang
sejenis jika objek hutang adalah barang mitsliyyat, atau dengan barang yang sepadan senilai jika objek hutang adalah barang al-qimiyyat. Ia sama sekali
tidak wajib melunasi hutangnya dengan „ain barang yang dihutangnya. Pada sisi
34
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, h.137.