Pergeseran Alasan Perceraian Menurut Hukum Di Indonesia

(1)

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

SRI AYU UTAMI 070200154

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH: SRI AYU UTAMI

NIM : 070200154

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN : PERDATA BW

Disetujui oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Prof.Dr.H.Tan Kamello,S.H., M.S. Zulkifli, S.H., M.Hum NIP. 1962204211988031004 NIP. 196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji dan syukur Penulis ucapkan pada Allah SWT Sang Khalik, Sang Maha Pemberi Jalan kepada umat, yang telah mencurahkan rahmat dan karunia yang begitu besar kepada Penulis sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Begitu pula shalawat dan salam Penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW (Allahumma sholi ala Sayyidina Muhammad, wa ala ali Sayyidina Muhammad). Semoga kita mendapatkan syafaatnya di hari kelak.

Penulisan skripsi yang berjudul:

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA

adalah guna memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda Drs. H. Syamsul Bahri dan Ibunda Hj. Sri Rahmawati, S.Sos. yang telah mencurahkan serta memberikan perhatian, kasih sayang, bantuan, dan pengorbanan yang tak ternilai hingga Penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan formal hingga Strata Satu (S1). Semoga Allah SWT selalu memberikan kesehatan dan perlindungan bagi orangtua Penulis. Amin.

Tak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas dukungan yang besar terhadap seluruh


(4)

mahasiswa/i di dalam lingkungan Kampus Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik. Terima kasih atas perhatian, dukungan serta bimbingan yang telah Bapak berikan selama ini. You are the best lecturer I ever had.

6. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H., M.Hum. dan Ibu Rabiatul Syahriah, S.H., M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan. Terima kasih atas waktu dan kesempatan yang telah Bapak dan Ibu berikan hingga skripsi ini dapat selesai sebagaimana mestinya.

7. Bapak Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., M.S. selaku Dosen Pembimbing I. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas segala bantuan serta dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi Penulis.

8. Bapak Zulkifli, S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II dan Dosen Hukum Perdata. Terima kasih atas semua bantuan serta perhatian dan dukungan yang sangat besar manfaatnya bagi Penulis.

9. Bapak dan Ibu Dosen yang telah mendidik Penulis selama empat tahun menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(5)

10. Bang Erwin Adhanto, S.H. yang telah menjadi tempat bertanya dan bertukar pikiran selama ini, terima kasih atas perhatian dan saran-saran serta dukungannya.

11. Bapak Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. yang telah menjadi inspirasi dan penyemangat bagi Penulis selama ini, terima kasih atas perhatiannya. You are my beloved lecturer.

12. Abang dan Adikku tercinta Mhd. Fazar Kurniawan, SIP. dan Sri Rizki Sari terima kasih dukungan dan perhatiannya selama ini, yang tidak bosan-bosannya menemani dan memberi semangat Penulis dalam menyelesaikan skripsinya. Cobaan bukan penghalang suatu keberhasilan. I love you all. 13. Keluarga besar H. Panut Alfisah, S.H., khususnya sepupuku Kak Swita

Amalia, S.Kom. dan Kak Nurul Atika, S.H. yang selalu memberikan dukungan, terima kasih atas semangat yang telah diberikan selama ini. Big love for Panut Family.

14. Om dan Tanteku, Purnama Ginting, S.E. dan Hj. Sri Lelianti, S.H. yang telah menjadi orangtua kedua Penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas kasih sayang, dukungan dan perhatian yang diberikan selama ini, sehingga menambah semangat dalam mengerjakan skripsi.

15. Buat Bang Alkautsar Sailanov, S.H. dan Bang Riko Nugraha, S.H. yang telah banyak sekali memberikan ilmu dan wawasannya, Bang Indra Fadilah dan Bang Endhar Frayoga, S.H. yang setia menjadi tempat berbagi rasa dan


(6)

menjadi senior yang baik bagi Penulis terima kasih atas perhatian, dukungan dan semangat yang telah diberikan selama ini.

16. Buat Bang Ahmad Almaududy Amri, S.H. dan Bang Sudirman Naibaho, S.H., yang mengenalkan Organisasi Badan Ta’mirul Mushola (BTM) Aladdinsyah, S.H. sehingga Penulis banyak mendapat pembelajaran dan pengetahuan yang sangat bermanfaat.

17. Keluarga Besar Badan Ta’mirul Mushola (BTM) Aladdinsyah, S.H. Fakultas Hukum USU.

18. Pemerintahan Mahasiswa (PEMA) Fakultas Hukum USU periode kepengurusan 2009-2010.

19. Terima kasih juga Penulis ucapkan kepada sahabat-sahabat yang sangat Penulis sayangi, Wina Avina Nst, Ninda Ausry, Rizki Karina Azilia, Ratu Jushabella, Ferdiansyah “Kakek”, Hendry “Asun”, Ermilia Devrita, Dinda Aprilita Putri, Yulia Andarini “Jol”, Omar Akbar, Miftah Farid, Alamin Syahputra, Agmalun Hasugian, M. Febriansyah Putra “Pepy”, Theo Suwanda, S.H., Ferdian “Dedek”, Debora Risma, S.H., Finita Serena, M. Suhaji Utama, S.H., Febri Dermawan, dan Rio Randy RS. Senang bisa kenal dengan kalian semua, melalui hari-hari bersama dalam suka dan duka. Begitu banyak kenangan indah yang tidak dapat dilupakan, semoga persahabatan dan silaturahmi kita tetap terjalin sampai hari tua. Amin. Really love you all guys 

20. Dan buat seluruh teman-teman stambuk 2007 yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih telah menjadi teman yang baik selama ini.


(7)

21. Buat adek-adek stambuk 2008, Wirda, Fatya, Berliana, Fika, Putri, Anggi, Zaki, Adhari, Rozy dan yang lainnya yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, teruskan perjuangan kalian ya.

22. Dan buat semua teman-teman yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, terima kasih buat semuanya.

Kesadaran Penulis akan tidak sempurnanya hasil penulisan skripsi ini membawa harapan yang besar pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran yang konstriktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi, baik dari segi isi/materi maupun dari segi cara penulisannya di masa mendatang.

Semoga Allah SWT melimpahkan segala rahmat dan karuniaNya kepada kita semua dan membalas segala kebaikan dan jasa semua pihak yang telah membantu Penulis secara tulus dan ikhlas dengan mendapatkan balasan yang

setimpal.

Wassalam Penulis


(8)

ABSTRAKSI

Hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sebuah perkawinan tentunya tidak terlepas dari kata perceraian, walaupun tidak ada pasangan suami-isteri manapun yang ingin bercerai. Perubahan nilai-nilai sosial yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi terutama kasus cerai gugat. Akibatnya terjadi pergeseran alasan-alasan perceraian yang seyogyanya telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 namun hanya berlaku formalitas belaka.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan perceraian, dan bagaimana perkembangann alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya yang relevan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan dianalisis secara kualitatif.

Kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan percerain dalam prakteknya telah seimbang dimana prinsip kesetaraan dalam melakukan perbuatan hukum sudah diterima oleh masyarakat sebagai suatu hal yang dapat menunjukkan keadilan. Bahkan dari kedua macam jenis perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat, sebagian besar perceraian ditempuh dengan jalan cerai gugat. Perkembangan sebab-sebab perceraian memicu tingginya angka perceraian di Indonesia khususnya kasus cerai gugat. Pergeseran nilai yang terjadi dimana alasan-alasan perceraian yang telah diatur secara limitatif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dianggap sebagai formalitas demi mencapai perceraian dan berakibat munculnya perceraian atas permufakatan/kesepakatan yang pada dasarnya dilarang. Kesemuanya berdampak pada perkembangan hukum perkawinan di Indonesia baik melalui yurisprudensi maupun peraturan perundang-undangan.


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………...i

ABSTRAKSI ……..………...vi

DAFTAR ISI………...……….vii

BAB I : PENDAHULUAN………..1

A. Latar Belakang………...1

B. Perumusan Masalah………...7

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan………...…..7

D. Keaslian Penulisan……….8

E. Tinjauan Kepustakaan………...9

F. Metode Penelitian………....13

G. Sistematika Penulisan………..15

BAB II : TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN….19 A. Sejarah Hukum Perkawinan………18

B. Perkawinan………..27

C. Perceraian………38

D. Akibat Hukum Perkawinan Dan Perceraian………46

E. Perkawinan Campuran………50

F. Peraturan Mengenai Perkawinan……….57

BAB III : KEDUDUKAN SUAMI DAN ISTERI DALAM PENGAJUAN GUGATAN PERCERAIAN………...65

A. Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974………65

B. Setelah Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974………72


(10)

C. Kedudukan Suami Dan Isteri Dalam Hubungannya Dengan Perkawinan Campuran Berkaitan Dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan…………...78

BAB IV : PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DALAM PERKAWINAN DI INDONESIA………..….85

A. Sebab-Sebab Perceraian Yang Berkembang Dalam Masyarakat...85

B. Alasan Yang Menjadi Latar Belakang Perceraian………..96

C. Pergeseran Alasan Perceraian Mempengaruhi Perkembangan Hukum Perkawinan Indonesia………...…102

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………...106

A. Kesimpulan……….………...106

B. Saran………...106 DAFTAR PUSTAKA


(11)

ABSTRAKSI

Hukum Perkawinan yang berlaku di Indonesia dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Sebuah perkawinan tentunya tidak terlepas dari kata perceraian, walaupun tidak ada pasangan suami-isteri manapun yang ingin bercerai. Perubahan nilai-nilai sosial yang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi terutama kasus cerai gugat. Akibatnya terjadi pergeseran alasan-alasan perceraian yang seyogyanya telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 namun hanya berlaku formalitas belaka.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan perceraian, dan bagaimana perkembangann alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif yang dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan hukum lainnya yang relevan. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, dan dianalisis secara kualitatif.

Kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan percerain dalam prakteknya telah seimbang dimana prinsip kesetaraan dalam melakukan perbuatan hukum sudah diterima oleh masyarakat sebagai suatu hal yang dapat menunjukkan keadilan. Bahkan dari kedua macam jenis perceraian yaitu cerai talak dan cerai gugat, sebagian besar perceraian ditempuh dengan jalan cerai gugat. Perkembangan sebab-sebab perceraian memicu tingginya angka perceraian di Indonesia khususnya kasus cerai gugat. Pergeseran nilai yang terjadi dimana alasan-alasan perceraian yang telah diatur secara limitatif dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dianggap sebagai formalitas demi mencapai perceraian dan berakibat munculnya perceraian atas permufakatan/kesepakatan yang pada dasarnya dilarang. Kesemuanya berdampak pada perkembangan hukum perkawinan di Indonesia baik melalui yurisprudensi maupun peraturan perundang-undangan.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia adalah mahluk Zoon Politicon artinya manusia selalu bersama manusia lainnya dalam pergaulan hidup dan kemudian bermasyarakat. Hidup bersama dalam masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa bagi manusia dan hanya manusia yang memiliki kelainan saja yang ingin hidup mengasingkan diri dari orang lain. Salah satu bentuk hidup bersama yang terkecil adalah keluarga. Keluarga ini terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang terbentuk karena perkawinan. Kata perkawinan atau pernikahan bukan suatu kata yang asing karena sejak dahulu manusia sudah melakukan perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting dalam kehidupan manusia yang merupakan suatu ikatan yang sangat dalam dan kuat sebagai penghubung antara seorang pria dengan seorang wanita dalam membentuk suatu keluarga atau rumah tangga. Begitu pentingnya perkawinan, sehingga tidak mengherankan jika agama-agama, tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya

Sebuah perkawinan bagi masyarakat adalah suatu pilihan hidup yang memang harus dijalani agar dapat melanjutkan keturunan dalam keluarganya. Untuk melaksanakan perkawinan sepasang pria dan wanita bukan sekedar bertemu lalu menikah, tetapi ada perjalanan sehingga sampailah kepada


(13)

kesepakatan mengikatkan hubungan mereka dalam perkawinan. Begitu banyak peristiwa perkawinan yang terjadi dimasyarakat sebagian besar didasari atas rasa saling mencintai.

Seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita kemudian menjalani masa pendekatan, memperkenalkan keluarga masing-masing dan merasa cocok karena memiliki tujuan hidup yang sama maka mereka menyatukan cintanya dalam sebuah ikatan perkawinan. Berjanji sehidup semati serta saling mencintai satu sama lain. Ada juga sepasang sejoli yang saling mencintai dan hubungan mereka tidak disetujui keluarga namun mereka tetap bersikukuh melaksanakan perkawinan tanpa persetujuan atas dasar saling mencintai. Namun ada juga sepasang insan yang dipertemukan oleh keluarga masing-masing tanpa perkenalan yang mendalam atau sering disebut perjodohan kemudian melakukan perkawinan.

Rasa saling mencintai bukan satu-satunya alasan sepasang sejoli melakukan perkawinan. Apalagi pada zaman sekarang dimana kebutuhan semakin tinggi dan biaya hidup yang mahal maka banyak juga pasangan yang melakukan perkawinan atas dasar ekonomi. Seperti seoranng wanita yang menikah dengan laki-laki yang lebih tua jauh dari umurnya dengan alasan dapat memenuhi semua kebutuhan hidupnya.

Begitu banyak peristiwa yang terjadi dimasyarakat mengenai latar belakang terjadinya perkawinan yang terus berkembang dan sekarang sudah semakin cenderung mengarah pada materi. Baik adat maupun agama menjelaskan bahwa perkawinan merupakan suatu hal yang sakral dan berlangsung untuk selama-lamanya. Setiap agama yang berlaku di Indonesia menganggap bahwa


(14)

perkawinan itu pada dasarnya mempunyai makna penting, suci dan bertujuan untuk menggapai kebahagiaan dan kesejahteraan kehidupan berkeluarga. Jadi perkawinan bukan soal main-main seperti membeli baju, kalau tidak cocok langsung diganti dengan yang baru, tetapi soal serius dalam mengejar kebaikan bagi keluarga, agama dan bangsa.

Mengenai perihal perkawinan negara Indonesia telah mempunyai undang-undang perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan masyarakat tersebut.1 Adapun hukum perkawinan yang berlaku secara otentik dan menyeluruh di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan2yang selanjutnya disebut UUP.

Sesuai dengan rumusan yang tertuang di dalam UUP, maka dalam perkawinan berarti adanya ikatan lahir batin antara seorang suami dengan seorang isteri. Dalam agama Islam, perkawinan tidaklah semata-mata sebagai hubungan atau kontrak keperdataan biasa seperti yang tercantum dalam pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi ia mempunyai nilai ibadah yang bersifat sakral.

Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan selalu dibayang-bayangi dengan kata perceraian dalam arti bahwa perkawinan tidah terlepas dari perceraian. Setiap pasangan suami isteri tentunya tidak menginginkan dan bahkan tidak merencanakan untuk melakukan perceraian. Saat prosesi pernikahan

1

K.Wantjik Saleh,Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal 3 2


(15)

dilangsungkan tak satu pasanganpun yang merencanakan perceraian. Bersatu sampaitill dead do us part‘hingga maut memisahkan’ adalah impian setiap pasangan. Bunga-bunga cinta diharapkan akan terus bersemi. Kenyataannya dalam perjalanan ujian dan cobaan badai kehidupan perkawinan menciptakan jurang perbedaan yang tidak terjembatani. Perbedaan yang semakin terlihat memperburuk keadaan sehingga mereka memutuskan untuk berpisah.

Mengambil contoh yang sangat gamblang terlihat adalah kehidupan selebriti di Indonesia dimana tingginya angka perceraian memperlihatkan telah runtuhnya norma tabu dalam masyarakat. Contohnya Dewi Persik yang bercerai dengan Saiful Jamil dimana perceraian mereka disebabkan karena tidak ada kecocokan merupakan sebab yang sebenarnya kurang kuat untuk dapat diajukan sebagai alasan hancurnya rumah tangga, namun Pengadilan mengakui lewat putusan bahwa mereka resmi bercerai. Setelah bercerai Dewi Persik melangsungkan perkawinan dengan Aldi Taher tetapi kemudian bercerai lagi dalam keadaan usia perkawinan yang cukup singkat. Contoh ini menunjukkan bahwa sebagian masyarakat tidak lagi memandang perceraian sebagai hal yang dapat memporak-porandakan citra dan harga dirinya. Sakralitas nilai lembaga keluarga perlahan luntur. Grafik melonjaknya angka perceraian seperti bukan lagi hal yang patut diresahkan. Bahkan berbagai media memasukkan perceraian dalam acara yang bertajuk infotainment. Pemberitaan hancurnya ikatan perkawinan bukan lagi menjadi berita yang menerbitkan keprihatinan, sebaliknya menjadi info ringan yang disebut hiburan.


(16)

Pemaparan Sekretaris Badilag Farid Ismail dalam Focus Group Discussion di Kantor Kedeputian Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Wapres RI bahwa meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir memang merupakan fakta yang tidak bisa dibantah. Meski demikian, ditinjau dari segi sejarah, angka perceraian di negara ini sesungguhnya bersifat fluktuatif. Hal itu dapat dibaca dari hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA. Berdasarkan temuan Mark Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia. Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2009.3

Menurut data persentase Direktorat Jendral Badan Peradilan Agama terhadap perkara yang diputus oleh Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia tahun 2009 menunjukkan bahwa perkara gugat cerai mencapai 57,89% dibanding dengan perkara cerai talak sebesar 28,76% dan 13,35% merupakan perkara lain.4

Data presentase ini menunjukkan adanya pergeseran bentuk perceraian yang sedang menjadi tren dimana isteri yang mengajukan gugatan cerai. Berbagai alasan mengemuka sebagai sebab perceraian diantaranya, domestic violence

3

Hermansyah, Melonjaknya Angka Perceraian Menjadi Sorotan Lagi,

http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5167&Itemid=1, diakses tanggal 19 Desember 2010 pukul 10.49

4

Hirpan Hilmi, Informasi Keperkaraan Peradilan Agama Tahun 2009, http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20PERSENTASE%20PERKARA%2 0CT%20CG%20PERK%20LAIN%20DIPUTUS%20TAHUN%202009.pdf, diakses tanggal 19 Desember 2010 pukul 11.17


(17)

(kekeransan dalam rumah tangga) yang dilakukan suami kepada pihak isteri baik secara fisik, ekonomi, maupun psikologis, adanya infidelity (perselingkuhan) oleh isteri yang angkanya naik drastis, cerai karena pilkada dan politik, kawin di bawah umur, bahkan kasus cacat karena kecelakaan sepeda motor juga menjadi salah satu dari banyak faktor terjadinya perceraian. Kemandirian finansial isteri sepertinya tidak bisa dipungkiri sebagai faktor utama kepercayaan diri dan keberanian isteri berinisiatif terlebih dulu mengajukan gugatan cerai kepada suami. Stabilitas ekonomi secara signifikan self esteem (meningkatkan kepercayaan diri) dan otonomi perempuan untuk dapat melanjutkan hidup tanpa tunjangan suami setelah putusnya ikatan perkawinan.

Perceraian adalah bagian dari putusnya perkawinan yang tercantum dalam Pasal 30 UUP atau dalam KUH Perdata disebut pembubaran perkawinan sesuai dengan Pasal 199. Salah satu prinsip dalam Hukum Perkawinan Nasional yang seirama dengan ajaran agama adalah mempersulit terjadinya perceraian karena berarti gagalnya tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera. Oleh karena itu perceraian hanyalah merupakan pengecualian sehingga perceraian tidak dapat dilakukan kecuali telah ada alasan-alasan yang dibenarkan oleh ketentuan UUP. Alasan-alasan perceraian yang telah diatur dalam UUP telah menjadi suatu syarat yang harus dipenuhi ketika seorang suami atau isteri ingin mengajukan perceraian.

Perubahan nilai-nilai sosial yang sedang terjadi di tengah masyarakat Indonesia membuat tingkat perceraian semakin tinggi. Akibat dari perkembangan zaman inilah maka telah terjadi pergeseran alasan-alasan perceraian yang


(18)

seyogyanya telah ditentukan dalam UUP namun ketika sampai pada prakteknya di pengadilan, hakim mengabulkan perkara perceraiannya dengan alasan-alasan yang telah mengalami pergeseran nilai dari ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nasional. UUP yang menganut asas monogami dan prinsip mempersulit percerain pun pada kenyataannya hanya seperti formalitas untuk pemenuhan syarat-syarat mengajukan gugatan perceraian di pengadilan. Penjabaran di atas menjadi fokus pembahasan dalam skripsi ini. Alasan-alasan perceraian yang pada masa sekarang ini telah mengalami pergeseran karena telah terjadi perubahan nilai-nilai budaya masyarakat akibat perkembangan zaman. Pergeseran alasan-alasan perceraian ini tentunya sudah pasti juga akan membawa dampak dan pengaruh baik terhadap manusianya maupun terhadap hukum perkawinan di Indonesia. Oleh karena itu maka Penulis tertarik untuk meninjau lebih jauh melalui penulisan skripsi dengan

judul “PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI

INDONESIA”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis akan mengemukakan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan suami dan isteri dalam pengajuan gugatan perceraian? 2. Bagaimana perkembangann alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan utama dari penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat untuk mendapat gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas


(19)

Sumatera Utara. Berdasarkan permesalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui kedudukan suami dan istri dalam pengajuan gugatan perceraian.

2. Untuk mengetahui perkembangan alasan perceraian dalam perkawinan di Indonesia.

Manfaat dari penulisan yang dapat dikutip dari skripsi ini antara lain : 1. Secara teoretis, penulisan ini dapat dijadikan bahan kajian untuk menambah

pengetahuan bagi perkembangan hukum perdata dalam masalah perkawinan khususnya alasan-alasan perceraian yang telah bergeser dan mengalami perkembangan.

2. Secara praktis, adalah untuk memberikan suatu sumbangan pemikiran yang yuridis tentang alasan-alasan perceraian menurut hukum yang berlaku di Indonesia yang telah bergeser dalam prakteknya di masyarakat kepada almamater Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebagai bahan masukan bagi rekan-rekan mahasiswa.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara belum pernah ada penulisan skripsi yang menyangkut pergeseran alasan perceraian yang terjadi di masyarakat, sehingga penulisan skripsi ini adalah asli.

PERGESERAN ALASAN PERCERAIAN MENURUT HUKUM DI INDONESIA yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang


(20)

ditulis secara objektif ilmiah, melalui pemikiran referensi, dari buku-buku, bantuan dan para narasumber dari pihak-pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.

E. Tinjauan Kepustakaan

UUP memberikan definisi tentang perkawinan yaitu pasal 1 angka 1 yang menyatakan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Pasal 26 KUH Perdata dinyatakan Undang-Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata dan dalam Pasal 81 KUH Perdata dinyatakan bahwa tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan dihadapan pegawai pencatatan sipil telah berlangsung.5Sedangkan menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan bukan saja berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Perkawinan dalam arti perikatan adat adalah perkawian yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.6

Perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua

5

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal 7

6


(21)

calon mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan iman taqwanya, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan (dilarang). Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama.7

Pengertian perkawinan menurut UUP bukan saja sebagai perbuatan hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah atau tidaknya suatu perkawinan harus berdasarkan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.

UUP juga mengandung prinsip atau asas dan konsepsi mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman.

Adapun asas-asas yang tercantum dalam UUP adalah sebagai berikut :8 a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan

kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil.

b. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7

Ibid., hal 10 8

Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2007, hal 2-3


(22)

c. Asas monogami. Asas ini ada kekecualian, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama mengizinkan, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian, perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.

d. Prinsip calon suami isteri harus telah masak jiwa dan raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang sehat.

e. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian.

f. Hak dan kedudukan suami dan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami isteri. Mengenai perceraian baik dalam KUH Perdata dan UUP tidak ditentukan secara tegas tentang definisi perceraian, oleh karena itu sangatlah sukar untuk menentukan secara lengkap dan jelas tentang apa yang dimaksud dengan perceraian.


(23)

Menurut hukum adat pada umumnya aturan mengenai perceraian dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Dari semua agama yang terdapat di Indonesia, hanya agama Islam yang banyak mengatur soal perceraian.9Menurut hukum Islam istilah perceraian disebut dalam bahasa arab yaitu Talak yang artinya melepas ikatan. Hukum asal dari Talak adalah makruh (tercela). Sebagaimana hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Umar yang mana Rasulullah SAW mengatakan sesuatu yang halal (boleh) yang sangat dibenci Allah ialah Talak.10

Secara umum dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perceraian adalah pemutusan hubungan perkawinan antara suami dengan isteri yang diakibatkan oleh sebab-sebab tertentu selain daripada kematian. Perceraian dapat terjadi karena beberapa alasan-alasan yang dalam hal ini alasan-alasan perceraian ada tercantum dalam KUH Perdata, Hukum Agama dan UUP. Semua penjabaran mengenai alasan perceraian memiliki satu kesamaan yaitu mempersulit terjadinya perceraian.

Indonesia juga mengenal praktek perkawinan campuran dimana istilah perkawinan campuran yang sering dinyatakan anggota masyarakat sehari-hari, ialah perkawinan campuran karena perbedaan adat/suku bangsa yang bhineka, atau karena perbedaan agama antara kedua insan yang akan melakukan perkawinan. Perbedaan adat misalnya antara pria/wanita Minangkabau dengan pria/wanita Jawa, dan sebagainya, sedangkan perkawinan Campuran antar agama, misalnya antara pria/wanita beragama Hindu dengan pria/wanita Budha.

9

Hilman Hadikusuma, Op.cit., hal 152 10


(24)

Perkawinan ini diatur dalam Pasal 57-62 UUP, yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan, salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dari ketentuan tersebut disimpulkan bahwa perkawinan campuran di Indonesia diartikan hanyalah perkawinan antara mereka yang mempunyai kewarganegaraan berbeda, sedangkan perkawinan antara mereka yang berbeda agama bukan termasuk dalam perkawinan campuran, jika dilakukan oleh warga negara Indonesia.

Maka untuk saat ini ketentuan tentang kewarganegaraan dari suami/isteri yang melangsungkan perkawinan campuran akan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Sejalan dengan itu, Pasal 58 UUP merupakan kaidah petunjuk yang menentukan akibat-akibat dari perkawinan campuran terhadap kewarganegaraan para pihak yang menunjuk ke arah Hukum Indonesia.

F. Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian, metode penelitian harus ditetapkan secara tepat karena dengan metode penelitian ini akan membantu dalam menetapkan arah dan tujuan penelitian sehingga akan mampu mengungkapkan penelitian secara sistematis. Maka penulis mempergunakan metode sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian terhadap permasalahan dalam skripsi ini dilakukan dengan penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum


(25)

kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau hanya menggunakan data sekunder belaka.11

2. Bahan Hukum/Data

Dalam penyusunan skripsi ini, data dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang terdiri dari peraturan perundang-undangan dibidang hukum perdata yang mengikat, antara lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UUP Tentang Perkawinan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Bahan hukum sekunder yaitu, bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yakni hasil karya para ahli hukum berupa buku-buku, pendapat-pendapat pakar hukum, rancangan undang-undang, dan hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan pembahasan skripsi ini.

Bahan hukum tersier atau bahan penunjang, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan/atau bahan hukum sekunder yakni, kamus hukum dan kamus besar bahasa indonesia.

3. Metode Pengumpulan Data/Bahan Hukum

Dalam melakukan kegiatan penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu

11

Tampil Anshari Siregar, Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2005, hal 23


(26)

pengumpulan data yang diperoleh dari buku-buku, tulisan-tulisan, peraturan perundang-undangan dan referensi lainnya yang mempunyai relevansi langsung dari masalah yang akan diteliti, yang disebut sebagai data sekunder.

4. Analisis Data/Bahan Hukum

Penelitian yang dilakukan oleh penulis dalam skripsi ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif. Pengolahan data pada hakekatnya merupakan kegiatan untuk melakukan analisa terhadap pemasalahan yang akan dibahas.

Analisis data dilakukan dengan:

a. Mengumpulkan bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diteliti;

b. Memilih kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan penelitian;

c. Menjelaskan hubungan-hubungan antara berbagai konsep, pasal yang ada; d. Menarik kesimpulan dengan pendekatan deduktif kwalitatif.

G. Sistematika Penulisan

Sistem penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahan secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu sama lain. Penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam 5 (lima) bab, dimana setiap bab terdiri dari beberapa sub bab yang dimaksudkan untuk memperjelas dan mempermudah penguraian masalah agar dapat lebih dimengerti, sehingga akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan yang benar.


(27)

Adapun susunan ini skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN, yang terdiri dari beberapa sub bab, yakni : Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN, yang terdiri atas beberapa sub bab, yakni : Sejarah Hukum Perkawinan, Perkawinan, Perceraian, Akibat Hukum Perkawinan Dan Perceraian, dan Peraturan Mengenai Perkawinan.

BAB III : KEDUDUKAN SUAMI ISTERI DALAM PENGAJUAN GUGATAN PERCERAIAN, yang terdiri atas beberapa sub bab, yakni : Sebelum Diundangkannya Undang-Undang Perkawian Nomor 1 Tahun 1974, Setelah Diundangkannya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan Kedudukan Suami dan Isteri Dalam Hubungannya Dengan Perkawinan Campuran Berkaitan Dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.

BAB IV : PERKEMBANGAN ALASAN PERCERAIAN DALAM

PERKAWINAN DI INDONESIA, yang terdiri dari beberapa sub bab, yakni : Sebab-Sebab Perceraian Yang Berkembang Dalam Masyarakat, Alasan Yang Menjadi Latar Belakang Perceraian, dan Pergeseran Alasan Perceraian Mempengaruhi Perkembangan Hukum Perkawinan Di Indonesia.


(28)

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN, yang dalam bab ini dirumuskan kesimpulan yang diambil dari pembahasan-pembahasan dalam skripsi ini dan diakhiri dengan beberapa sumbang saran untuk kemajuan pembangunan nasional. Sebagai pelengkap skripsi ini, pada bagian terakhir disertakan daftar kepustakaan.


(29)

BAB II

TINJAUAN UMUM PERKAWINAN DAN PERCERAIAN

A. Sejarah Hukum Perkawinan

Penjelasan Umum UUP antara lain dinyatakan bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.12

Hal ini bermakna bahwa dengan keluarnya UUP “keanekaragaman” hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah dapat diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya, ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh UUP dan hal itu tidak bertentangan dengan UUP tersebut.13

Ketentuan hukum perkawinan yang lama masih tetap berlaku sesuai dengan peruntukan yakni untuk mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum lahirnya UUP, seperti berikut:14

a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum (perkawinan) Islam yang telah diresiplir dalam hukum adat;

12

Lihat Penjelasan Umum Angka 1 Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

13

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hal 230

14


(30)

b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum perkawinan adat; c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku

Huwelijksordonnantie Christen Indonesia (Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia) Staatsblad 1933 Nomor 74;

d. Bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa dan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa berlaku ketentuan-ketentuan KUH Perdata dengan sedikit perubahan;

e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum (perkawinan) adat dan agama mereka masing-masing;

f. Bagi orang-orang Eropa dan warga negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku KUH Perdata.

Lahirnya UUP ini bertitik pangkal dari anggapan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah perkawinan di masa lalu sudah tidak cocok lagi dengan politik hukum dan kebutuhan masa kini. Oleh karena itu, undang-undang ini harus dipandang sebagai hasil proses penyempurnaan konsepsi-konsepsi hukum dimasa lalu. Suatu perwujudan dari berbagai keinginan dalam menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat “nasional” dan sesuai dengan kebutuhan hukum rakyat Indonesia dimasa kini dan masa mendatang.15

Kelahiran UUP bukan sekedar bermaksud menciptakan suatu hukum perkawinan yang bersifat dan berlaku “nasional” dan “menyeluruh”, melainkan juga dimaksudkan dalam rangka mempertahankan, lebih menyempurnakan,

15


(31)

memperbaiki atau bahkan menciptakan konsepsi-konsepsi hukum perkawinan yang baru sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman bagi rakyat Indonesia yang pluralistik. Dalam kaitan ini, penjelasan umum UUP antara lain menyatakan dalam undang-undang ini ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan zaman.16

Cita unifikasi yang telah ditinggalkan oleh pemerintah kolonial Belanda menjadi aktual lagi dan bersifat nasional. Pemerintah kolonial belanda selalu mengalami kegagalan untuk menciptakan unifikasi hukun di Indonesia. Pada dasarnya rencana hukum tersebut mengarah dan berlandaskan kepada hukum Barat. Menggingat bangsa Indonesia merupakan bagian terbesar penduduk dan telah memiliki hukumnya sendiri, sudah tentu merasa keberatan untuk tunduk pada hukum Eropa yang merupakan bagian kecil saja dari penduduk Hindia Belanda pada waktu itu.

Ahli-ahli hukum Indonesia memiliki perbedaan pendapat mengenai perlu tidaknya dilakukan unifikasi hukum perkawinan, berhubung hukum perkawinan tersebut erat kaitannya dengan kehidupan sosial keagamaan. Sebagian besar ahli hukum menghendaki adanya suatu unfikasi hukum perkawinan, namun oleh mereka diisyaratkan agar pengunifikasiannya dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, jangan sampai menyinggung perasaan sesuatu golongan hukum tertentu. Sebaliknya ada yang mengecam pengunifikasian hukum perkawinan sebab

16


(32)

hubungan hukum perkawinan dipengaruhi secara mendalam oleh paham-paham keagamaan dan kemasyarakatan.

Tahun 1974 Indonesia telah berhasil menciptakan suatu hukum perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara Indonesia dan dengan tanpa membedakan golongan penduduk dan daerah lagi, dengan mengatasi persoalan-persoalan yang selama ini dinilai krusial. Saat ini hukum di Indonesia telah berhasil menciptakan suatu unifikasi hukum perkawinan yang bersifat nasional sebagaimana diatur dalam UUP, namun masih terbatas pada hal-hal yang bersifat administratif atau formal saja, selebihnya masih diserahkan kepada hukumnya masing-masing.17

Keinginan pemerintah untuk membentuk hukum perkawinan yang bersifat “nasional”, sudah mulai dirintis sejak tahun 1950. Pada masa lalu pembaharuan terhadap hukum perkawinan selalu menemui kegagalan berhubung subjek dan objek yang diatur hukum perkawinan berkaitan erat dengan kehidupan social keagamaan, yang tidak mudah untuk disatupadukan. Ini berarti pembaruan hukum perkawinan nasional harus dilakukan penuh hati-hati, sehingga tidak menimbulkan kekecewaan golongan penduduk lainnya.

Semenjak tahun 1950 pemerintah telah memberikan perhatiannya pada hukum keluarga, terutama sekali yang berkaitan dengan Undang-Undang Perkawinan. Usaha pembaruan hukum keluarga ini mengalami banyak kegagalan berhubung denngan sifatnya yang sangat sensitif dan sangat erat sangkut pautnya dengan faktor-faktor spiritual dan kebudayaan bangsa, yang menyebabkan

17


(33)

kewenangannya harus dilakukan secara berhati-hati.18 Pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri Agama No B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 oleh pemerintah dibentuklah Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.19 Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang diketuai oleh Tengku Hasan.20

Tahun 1952 akhir, panitia telah membuat suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953.21Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi, juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain :

18

Lili Rasjidi, Hukum Perkawinan Dan Hukum Perceraian Di Malaysia Dan Indonesia, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hal 18

19

Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, hal 9

20

Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Timun Mas, Jakarta, hal 176

21


(34)

1. Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan;

2. Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat;

3. Poligami diizinkan bila diperbolehkan oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;

4. Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi milik bersama;

5. Perceraian diatur dengan keputusan Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;

6. Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.22

Tanggal 24 April 1953 diadakan hearing oleh Panitia Nikah, Talak dan Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk menyusun Undang-Undang Perkawinan menurut sistem yang berlaku:

22


(35)

1. Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama (uniform), dengan tidak menyinggung agama; 2. Undang-Undang Organik, yang mengatur soal perkawinan menurut

agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;

3. Undang-Undang untuk golongan netral, yaitu yang tidak termasuk suatu golongan agama itu.23

Tahun 1954 akhirnya panitia telah berhasil membuat Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan Umat Islam yang kemudian disampaikan oleh Menteri Agama kepada Kabinet akhir bulan September 1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang menyusul. Tetapi sampai permulaan tahun 1958 belum ada tindakan-tindakan apapun dari pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.24

Pemerintah juga selama bertahun-tahun tidak memberikan tanggapan sampai pada tahun 1958 beberapa anggota wanita parlemen di bawah pimpinan Soemari, mengajukan rancangan inisiatif terpenting diantaranya, setidak-tidaknya bagi dunia Islam Indonesia sebuah masalah yang menggemparkan bahwa didalam usul inisiatif itu telah ditetapkan suatu keharusan untuk menjalankan monogami. Pemerintah pada waktu itu sudah memberikan reaksi dengan mengemukakan suatu rancangan yang hanya mengatur perkawinan Islam. Justru dari pihak Islam tradisional terdapat keraguan apakah bagi orang-orang Islam diperlukan hukum perkawinan. Bukankah peraturan-peraturan yang sekali telah diberikan Tuhan,

23

Ibid., hal 180 24


(36)

sebagaimana yang telah diwahyukan secara cermat dalam syariat diperuntukkan untuk segala zaman dan negara. Bahan-bahan baru untuk didiskusikan yakni rencana-rencana tersebut tidak pernah dibahas selanjutnya.25

Satu setengah tahun setelah pengajuan pengusulan, dalam bulan Oktober 1959, Rancangan Undang-Undang Soemari tersebut ditarik kembali oleh para pengajunya, kendati memperoleh perhatian yang besar dari sejumlah anggota DPR, Rancangan tersebut sepertinya tidak bepeluang untuk dibicarakan. Para anggota Partai Islam menngadakan perlawanan, terutama terhadap asas monogami yang dikandung dalam Rancangan tersebut. Sudah barang tentu sebagai organisasi kaum perempuan memprotes argumentasi yang dipergunakan untuk membenarkan poligami.26

Pembentukan UUP berproses sangat panjang dan kemudian dimusyawarahkan dengan sungguh isi Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan, agar dapat menampung aspirasi masyarakat dan memberikan formulasinya secara teknis yuridis. Dalam memberikan isi kepada Rancangan Undang-Undang tentang Perkawinan tersebut diusahakan untuk mempertemukan aspirasi hukum yang berbeda-beda itupun tidak bisa dilakukan materi yang dipermasalahkan akan dicabut.

Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa dilihat dari sudut fungsi hukum sebagai a tool of social engineering, Undang-Undang tentang Perkawinan ini tidak sesuai dengan perkiraan yang didasarkan pada kemampuan hukum untuk

25

J. Prins, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal 19-20

26

Wila Chandrawila Supriadi, Hukum Perkawinan Indonesia Dan Belanda, Mandar Maju, Bandung, 2002, hal 196-197


(37)

menjalankan a tool of social engineering di bidang-bidang yang berkaitan erat dengan kehidupan kebudayaan dan spiritual masyarakat, namun dilihat dari proses perkembangan masyarakat menuju masyarakat industri, pengundang-undangan ini patut dicatat sebagai suatu kemajuan yang besar. Undang-Undang tentang Perkawinan ini memuat ketentuan-ketentuan yang apabila dinilai dari sudut tipe keluarga yang dikehendakinya, bisa digolongkan pada keluarga yang cocok untuk masyarakat modern industrial. Apabila ditempatkan pada latar belakang sebagai bentuk perkawinan di Indonesia yang masih mendasarkan diri pada ikatan dan struktur clan (kesukuan), maka kehadirannya dapat dinilai sebagai sarana untuk melakukan perubahan sosial. Perubahan sosial di sini terjadi dengan cara melakukan perombakan-perombakan pada struktur hubungan sosial.27

Apabila dilihat dari segi peranannya bagi pembangunan nasional, hukum perkawinan yang baru ini bisa dipandang sebagai satu bangunan yang didirikan di tengah-tengah masyarakat yang memberikan peringatan tentang berbagai janji yang termuat dalam Undang-Undang Perkawinan tersebut. Ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya mungkin belum seluruhnya atau secara sempurna dapat dijalankan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini dan diingatkan pula agar berhati-hati dalam membuat hukum yang menyangkut bidang kehidupan yang bersifat pribadi, apalagi jika hukum itu hendak melakukan perombakan-perombakan dibidang tersebut.

Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman Oemar Seno Adji dalam sambutannya atas disetujuinya Rancangan Undang-Undang tentang

27


(38)

Perkawinan untuk dijadikan Undang-Undang tentang Perkawinan sangat penting terutama bagi pemerintah.

Bagi suatu Negara dan Bangsa Indonesia adalah mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan Nasional dan dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka Undang-Undang Perkawinan ini harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengandung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan hukum masing-agama agama dan kepercayaannya itu. Sebagai suatu Undang-Undang yang nasional sifatnya dan yg meliputi seluruh warga negara Indonesia, merupakan suatu penggarisan lanjutan dari TAP MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN, yang antara lain menentukan bahwa seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum, dalam arti bahwa hanya ada satu hukum dalam hukum nasional yang mengabdi kepada kepentingan nasional. Ketunggalekaan dalam Hukum Perkawinan ini dalam beberapa hal masih memungkinkan adanya kebinekaan. Undang-Undang tentang Perkawinan ini merupakan sutau refleksi dari pidato kenegaraan Presiden pada tanggal 16 Agustus 1973, tentang menyinggung Undang-Undang yang sekarang diselesaikan bersama dan disahkan oleh DPR yg terhormat. Undang-Undang tentang Perkawinan ini memiliki landasan bagi suatu perkawinan sebagai suatu lembaga yang suci dan luhur oleh semua agama dan cita budaya yang mengilhami alam fikiran, atas dasar mana dibangun suatu keluarga yang kekal, sejahtera, dan bahagia diwujudkan dalam asas monogami yang memandang poligami sebagai exceptional, dan restriktif dan perceraian harus dihindarkan, dan terdapat sesuatu untuk menaikkan kedudukan, harkat, dan martabat wanita, sedangkan pengaturan itu sejalan dengan tugas negara untuk memberikan perlindungan terhadap kesucian dan keseluruhaun tujuan perkawinan.28

Dengan adanya Undang-Undang Perkawinan, walaupun belum sempurna dan pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, baik teoritis maupun praktis tetapi telah memberikan suatu pegangan.29

B. Perkawinan

Segala peraturan yang ada mengenai perkawinan itu akan mencakup pengertian daripada perkawinan. Ditinjau dari segi adanya peraturan tentang

28

Rachmadi Usman, Op.cit., hal 243-244 29

Sri Widoyati Wiratmo Soekito, Anak Dan Wanita Dalam Hukum, Rajawali, Jakarta, 1983, hal 53


(39)

perkawinan, maka perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang pria dengan seorang wanita yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan yaitu peraturan hidup bersama.30

Menurut Ahmad Azhar Basyir dalam bukunya Hukum Perkawinan Islam, perkawinan yang disebut “nikah” berarti :

Melakukan suatu akad atau perjanjian untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.31

Dilihat dari aspek hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian yang mengandung tiga karakter khusus, yaitu :32

1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak;

2. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan tersebut berdasarkan ketentuan yang ada dalam hukum-hukumnya;

3. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Persetujuan perkawinan itu secara prinsipil berbeda dengan persetujuan-persetujuan lainnya, seperti persetujuan-persetujuan jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar dan lain-lain.

30

Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan Di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1984, hal 7

31

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, 1977, hal 10 32

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, hal 10


(40)

Sejak semula dalam persetujuan perkawinan telah ditentukan oleh hukum isi dari persetujuan antara suami isteri, sementara pada persetujuan biasa para pihak pada pokoknya bebas menentukan isi dari persetujuan itu sesuka hatinya asalkan isi persetujuan tersebut tidak bertentangan dengan kesusilaan, undang-undang dan ketertiban umum.33

Pengertian perkawinan menurut KUH Perdata Pasal 26, yang mengatakan bahwa perkawinan ialah Pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Pada KUH Perdata memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan saja, yang berarti bahwa asalnya suatu perkawinan hanya ditentukan oleh pemenuhan syarat-syarat yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, sementara syarat-syarat serta pengaturan agama dikesampingkan.34Perkawinan dianggap suatu lembaga yang terikat pada suatu pengakuan oleh negara dan hanya sah bila dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang (penguasa).35

Hal tersebut berbeda dengan perkawinan yang sekarang dianut oleh hukum positif di Indonesia. UUP memberikan defenisi perkawinan dalam Pasal 1, yang menyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian tersebut mengandung makna bahwa suatu perkawinan adalah suatu perikatan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti

33

Wirjono Projodikoro, Op.cit., hal 8 34

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 1985, hal 23 35

R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia, Surabaya Airlangga University Press, Surabaya, 1988, hal 36


(41)

dalam suatu perkawinan terdapat unsur keagamaan yang kuat, bahwa tiada perkawinan tanpa didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Terdapat beberapa hal dari rumusan perkawinan tersebut di atas yang perlu diperhatikan :36

1. Digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat.

2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalaha bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinan tahlil.

4. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

Selain pengertian perkawinan berdasarkan UUP, karena di Indonesia mengakui adanya beberapa agama dan berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1) UUP yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum

36

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007, hal 40


(42)

masing-masing agamanya dan kepercayaannya”, maka perlu juga diketahui pengertian dari perkawinan menurut hukum agama.

Menurut hukum agama pada umumnya, perkawinan merupakan perbuatan yang suci (sakramen; samskara) yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.37

Kompilasi Hukum Islam di Indonesia memberikan defenisi lain yang tidak mengurangi arti-arti defenisi UUP tersebut namun bersifat menambah penjelasan, dengan rumusan yang terdapat pada Pasal 2 menyatakan bahwa : “Perkawinan menurut islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan gahlizhanuntuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UUP yang mengandung arti bahwa akad pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UUP. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam

37


(43)

merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.38

Suatu perkawinan yang dibangun dengan dilandasi cinta kasih dan saling menghormati dan menghargai satu sama lain merupakan tonggak kuat menuju rumah tangga yang sejahtera. Atas dasar tersebut maka setiap perkawinan yang dilakukan pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut antara lain adalah ingin menciptakan suatu rumah tangga yang bahagia dan sejahtera baik secara materil maupun imateril. Dalam UUP disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti tujuan perkawinan di sini bukan hanya tujuan dari segi keperdataan saja akan tetapi tujuan di sini lebih mengarah kepada hubunngan yang bersifat spiritual, yaitu hubungan harmonis antara kedua manusia yang berlandaskan pada nilai-nilai ketuhanan yang pelaksanaannya sesuai dengan agama masing-masing. Pada penjelasan umum UUP menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan perkawinan maka suami isteri perlu saling bantu membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kebahagiaan spiritual dan materil. Agar tujuan dan cita-cita perkawinan itu dapat tercapai maka setiap anggota keluarga khususnya suami isteri dituntut agar dapat menciptakan stabilitas dalam keluarga sehingga keharmonisan akan tetap terjaga dalam rumah tangga karena ini merupakan modal utama tercapainya tujuan perkawinan.

38


(44)

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat keperdataan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, untuk kebahagiaan berumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lainnya berbeda-beda, termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dan suku bangsa yang lain.39

Tujuan perkawinan menurut hukum agama juga berbeda antar agama yang satu dan agama yang lainnya. Menurut hukum Islam tujuan perkawianan adalah untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan yang sah, untuk mencegah maksiat dan untuk membina keluarga rumah tangga yang damai dan teratur. Menurut hukum agama Kristen tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita yang berdasarkan cinta kasih dan untuk melahirkan anak dan mendidik anak serta saling tolong menolong antara suami isteri dan obat nafsu. Hukum agama Budha memberikan rumusan tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Budha dan Para Bodhisatwa-Mahatsatwa. Selanjutnya tujuan perkawinan menurut hukun agama Hindu adalah untuk mendapatkan keturunan

39


(45)

dan untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan menurunkan seorang putra (yang akan menyelamatkan orangtuanya dari neraka).40

Untuk mencapai tujuan perkawinan tersebut, maka dapat dilihat dari perumusan Pasal-Pasal dalam UUP, Penjelasan Umum, dan Penjelasan Pasal demi Pasalnya, maka dapat disimpulkan bahwa UUP menghendaki :41

a. Adanya perkawinan yang kekal abadi, artinya perkawinan diharapkan hanya putus karena kematian salah satu pihak (suami/isteri);

b. Dalam perkawinan tidak terjadi adanya perceraian;

c. Perkawinan dilakukan oleh mereka yang telah cukup umur; d. Adanya perkawinan monogami;

e. Adanya perkawinan atas dasar agama; f. Adanya keturunan dalam perkawinan; g. Adanya perkawinan berdasarkan hukum.

Beberapa unsur-unsur perkawinan adalah sebagai berikut : a. Unsur Agama/Kepercayaan

Suatu perkawinan harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 UUP. Selain itu unsur agama juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing, kemudian dalam Pasal 8 huruf (f) dijelaskan bahwa 2 (dua) orang yang berbeda agama dilarang untuk melakukan perkawinan. Oleh karena itu, unsur agama dalam suatu perkawinan merupakan salah satu unsur yang penting dalam melakukan

40

Ibid., hal 23-24 41

Wahyu Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan Dan Keluarga Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal 5


(46)

suatu perkawinan, sehingga suatu perkawinan tidak dapat dilakukan dengan seenaknya saja.

b. Unsur Biologis

UUP memberikan jalan keluar bagi pasangan yang secara biologis tidak dapat memiliki keturunan. Dalam Pasal 4 ayat (2) dijelaskan bahwa ketidakmampuan isteri untuk melahirkan keturunan dapat dijadikan alasan bagi seorang suami untuk menikah lagi. Kemudian dalam Pasal 7 ayat (2) diatur mengenai batas usia bagi pria dan wanita untuk menikah juga termasuk dalam unsur biologis. Untuk melakukan perkawinan seorang pria minimal berumur 19 (Sembilan belas) tahun, sedangkan bagi wanita minimal berumur 16 (enam belas) tahun.

c. Unsur Sosiologis

Memperoleh keturunan merupakan salah satu tujuan dari perkawinan. Dalam UUP diatur mengenai batas umur untuk melakukan perkawinan. Untuk pria batas minimal adalah berumur 19 (Sembilan belas) tahun, sedangkan untuk wanita batas minimal berumur 16 (enam belas) tahun. Kalau calon mempelai menikah dibawah umur yang ditentukan, dikhawatirkan dalam menjalankan rumah tangganya mereka belum memiliki rasa tanggung jawab, kedewasaan dan kematangan fisik dan mental, oleh karena itu perkawinan haruslah dilakukan dengan persiapan yang matang.42

42

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1978, hal 2


(47)

d. Unsur Yuridis

Suatu perkawinan harus dilangsungkan menurut ketentuan undang-undang. Perkawinan sah jika dilakukan sesuai dengan syarat dan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang. UUP menganut asas monogami, dimana seorang pria hanya boleh menikah dengan seorang wanita, dan seorang wanita hanya boleh menikah dengan seorang pria.

e. Unsur Hukum Adat

Seorang anak selalu mempunyai hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Pasal 2 ayat (1) UUP menentukan, bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari rumusan ini berarti tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu ialah suatu perkawinan adalah sah, bila dilangsungkan menurut hukum agamanya masing-masing termasuk kepercayaannya sepanjang diakui oleh negara Republik Indnonesia. Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP, maka dapat dilihat bahwa Undang-undang perkawinan ini menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pemeluknya.

Menurut pendapat Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika bahwa :

Sahnya perkawinan itu ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang melakukan perkawinan, berarti apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan degan ketentuan agama dan kepercayaannya, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.43

Jelaslah suatu perkawinan yang didasarkan pada UUP adalah mutlak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dari masing-masing

43


(48)

orang yang akan melaksanakan perkawinan, kalau tidak maka perkawinan itu tidak sah.44

Undang-undang perkawinan juga menentukan syarat-syarat perkawinan di samping ketentuan-ketentuan masing-masing agama dan kepercayaan, sebagai berikut :45

1. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua calon mempelai. Jadi, dalam perkawinan ada kebebasan berkehendak dan dihindari adanya unsur paksaan.

2. Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari orang tuanya. Sedangkan menyimpang dari umur-umur disebutkan diatas, dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak lelaki.

Dalam undang-undang ditentukan untuk pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan untuk pihak perempuan sudah mencapai 16 (enam belas) tahu. Tiap-tiap negara dapat menentukan batas umur untuk kawin.

Ketentuan itu menegaskan bahwa bagi mereka yang berumur 21 (dua puluh satu) tahun ke atas tidak memerlukan izin dari orang tuanya. 3. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak

mampu menyatakan kehendaknya, izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

44

K. Wantjik Saleh, Op.cit., hal 16 45


(49)

4. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat diantara mereka atau jika seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan kehendaknya maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan diatas.

6. Hal-hal yang disebutkan di atas angka satu sampai lima, berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaan tidak menentukan lain.

C. Perceraian

Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan yang diatur dalam UUP yang ditempatkan pada Bab VIII dimana Pasal 38 menentukan : “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan”.


(50)

Putusnya perkawinan karena perceraian bukanlah suatu hal yang mutlak terjadi karena dapat diatasi agar tidak terjadi perceraian. Penjelasan umum dari UUP menyebutkan bahwa :46

“Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian, …”

Berdasarkan penjelasan umum dinyatakan prinsip Undang-Undang sejauh mungkin menghindarkan terjadinya perceraian. Perceraian yang di maksud dalam UUP dan pengaturan yang ditentukan dalam Undang-Undang menganggap perceraian hanyalah merupakan pengecualian dari prinsip kekal abadinya perkawinan. Artinya dalam suatu perkawinan maka suami isteri pada hakikatnya diharapkan dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sehingga perceraian sejauh mungkin dapat dihindarkan.

Perceraian hanya dapat terjadi apabila sebelumnya telah ada hubungan suami-isteri (hubungan perkawinan) sebagaimana yang dimaksudkan oleh UUP. Untuk memberikan pengertian yang lebih bulat lagi, perlu pula dikemukakan pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UUP, sebagai bahan perbandingan, yakni:

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Dengan melihat perumusan Pasal tersebut, akan bertambah lagi pemahaman mengenai perceraian, yang memiliki makna yang saling bertentangan, yaitu perceraian merupakan suatu pengecualian terhadap prinsip

46

Lihat Penjelasan Umum Angka 4 huruf e Penjelasan Umum Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


(51)

perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.47 Dari uraian di atas, dapat diidentifikasikan beberapa hal mengenai perceraian, yakni :

a. Perceraian adalah salah satu peristiwa yang menyebabkan putusnya perkawinan;

b. Perceraian memiliki akibat-akibat hukum tertentu bagi masing-masing pihak;

c. Perceraian merupakan pengecualian terhadap prinsip perkawinan yang kekal yang diakui oleh semua agama.

Perceraian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal bercerai antara suami isteri, yang kata “bercerai” itu sendiri artinya “menjatuhkan talak atau memutuskan hubungan sebagai suami isteri.” Menurut KUH Perdata Pasal 207 perceraian merupakan penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atas tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu berdasarkan alasan-alasan yang tersebut dalam undang-undang. Sementara pengertian perceraian tidak dijumpai sama sekali dalam UUP begitu pula di dalam penjelasan serta peraturan pelaksananya.

Meskipun tidak terdapat suatu pengertian yang otentik tentang perceraian, tidak berarti bahwa masalah perceraian ini tidak diatur sama sekali di dalam UUP. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, pengaturan masalah perceraian menduduki tempat terbesar. Hal ini lebih jelas lagi apabila kita melihat peraturan-peraturan pelaksananya.

47

T. Jafizham, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, Mestika, Jakarta, 2006, hal 54


(52)

Dalam UUP mengenai masalah perceraian ini, diperjelas pengaturannya pada Bab VIII yang mengatur tentang Putusnya Perkawinan serta Akibatnya. Pasal 38 menentukan bahwa : “Perkawinan dapat putus karena : a. Kematian; b. Perceraian; dan c. Atas keputusan pengadilan”.

Beberapa sarjana juga memberikan rumusan atau defenisi dari perceraian, antara lain :

a. Menurut Subekti sebagai berikut : 48

“Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.”

b. Menurut R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin sebagai berikut :49 ”Perceraian berlainan dengan pemutusan perkawinan sesudah perpisahan meja dan tempat tidur yang didalamnya tidak terdapat perselisihan bahkan ada kehendak baik dari suami maupun dari isteri untuk pemutusa perkawinan. Perceraian selalu berdasar pada perselisihan antara suami dan isteri.”

c. Menurut P.N.H. Simanjuntak sebagai berikut :50

“Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan.”

d. Menurut Soemiyati sebagai berikut :

“Menurut hukum Islam talak mempunyai dua arti yaitu talak dalam arti umum adalah segala macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan sendirinya atau perceraian karena meninggal salah seorang suami atau isteri, sementara dalam arti khusus adalah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.51

48

Subekti, Op.cit., hal 42 49

R. Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, Alumni, Bandung, 1986, hal 109

50

P.N.H.Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2007, hal 53

51


(53)

Dua orang yang mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda disatukan dalam suatu ikatan perkawinan, tentu bukan suatu hal yang akan terus berjalan mulus. Pasti ada masanya di antara suami isteri akan timbul masalah baik itu disebabkan oleh isteri maupun suami. Karena masalah yang ada di antara mereka tidak menemukan jalan keluar yang baik, maka salah satu pihak dapat mengajukan perceraian.

UUP menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, karena perceraian akan membawa akibat buruk bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan maksud untuk mempersukar terjadinya perceraian maka ditentukan bahwa melakukan perceraian harus ada cukup alasan bagi suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.52

Undang-Undang tidak membolehkan perceraian dengan dasar permufakatan atau persetujuan semata antara suami dan isteri, tetapi harus ada alasan yang sah. UUP, dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) jo Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, menyebutkan beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian, yaitu :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

52

Sudarsono, Lampiran UUP Dengan Penjelasannya, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal 307


(1)

2. Untuk Pemerintah diharapkan dapat membentuk lembaga kursus pranikah di setiap kecamatan dan kelurahan agar calon mempelai yang ingin menikah diberikan sosialisasi, pemahaman dan persiapan dalam menghadapi serta menjalani kehidupan perkawinan sehingga tingkat perceraian dapat dikurangi.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Bacaan dan Makalah

Abdurrahman.1985.“Usaha-Usaha Penyempurnaan Pelaksanaan UUP”, dalam Badan Pembinaan Hukum Nasional: Himpunan Laporan Hasil Pengkajian

Bidang Hukum Adat Tahun 1983-1984. Jakarta : Badan Pembinaan

Hukum Nasional.

Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman.1993.Laporan Akhir

Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Campuran (Dalam Hukum

Perdata Internasional). Jakarta: Departemen Kehakiman Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Basyir, Ahmad Azhar. 1977. Hukum Perkawinan IslamYogyakarta: Al-Ma’arif. Darmabrata, Wahyu dan Surini Ahlan Sjarif.2004.Hukum Perkawinan Dan

Keluarga Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas

Indonesia.

Gautama, Sudargo.1995.Warga Negara dan Orang Asing. Bandung: Alumni Hadikusuma, Hilman.2007.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar

Maju.

Haryansyah, Yudie Reza.2007.Pelaksanaan UUP Tentang Perkawinan Terhadap

Perceraian Pada Perkawinan Campuram.Jakarta: Program Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Jafizham, T.2006.Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan

Islam. Jakarta: Mestika.

Kartika, Sofia. 2002. Profil Perkawinan Perempan Indonesia, Jurnal perempuan.Yayasan Jurnal Perempuan.

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika. 1978. Asas-Asas Hukum Perkawinan Di

Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.

Prawirohamidjojo, R. Soetojo. 1988. Pluralisme Dalam Peraturan


(3)

Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Safioedin.1986. Hukum Orang Dan

Keluarga. Bandung: Alumni.

Prins, J.1982.Hukum Perkawinan Di Indonesia, Alih Bahasa G.A. Ticoalu. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Prodjohamidjojo, Martiman.2007.Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing.

Projodikoro, Wirjono.1984.Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung.

Raharjo, Satjipto.1979.Hukum Dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni.

Rasjidi, Lili.1991.Hukum Perkawinan Dan Hukum Perceraian Di Malaysia Dan

Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sadli, Saparinah.2000.“Pemberontakan Perempuan Dalam Perspektif HAM”

Dalam Penghapusan Diskriminatif Terhadap Perempuan. Bandung:

Alumni.

Saleh,K.Wantjik.1976.Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia Sardjono, R.1979.Masalah Perceraian. Jakarta: Academica.

Simanjuntak, P.N.H.2007.Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Siregar, Tampil Anshari.2005.Metode Penelitian Hukum Penulisan Skripsi. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Soeimin, Soedharyo.2002.Hukum Orang dan Keluarga.Jakarta: Sinar Grafika. Soekito, Sri Widoyati Wiratmo.1983.Anak Dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta:

Rajawali.

Soemiyati.1986.Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan. Yogyakarta: Liberty.


(4)

Soewondo, Nani.1968.Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan

Masyarakat. Jakarta: Timun Mas.

Sosroatmodjo, Asro, dan A. Wasit Aulawi.1978.Hukum Perkawinan Di

Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.

Sudarsono.2005.Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.

Supriadi, Wila Chandrawila.2002.Hukum Perkawinan Indonesia Dan Belanda. Bandung: Mandar Maju.

Syarifuddin, Amir.2007.Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Usman, Rachmadi.2006.Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di

Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Zakiyah, Yani Tri.2005.Makalah Latar Belakang Dan Dampak Perceraian. Semarang.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UUP Tentang Perkawinan.

C. Internet

Arifin, Muhajir. 926 Isteri Gugat Cerai Suami Karena Faktor Ekonomi. http://surabaya.detik.com/read/2010/11/27/090632/1503715/475/926-isteri-gugat-cerai-suami-karena-faktor-ekonomi

DS, Endriani. 16 Perceraian dan Otonomi Perempuan http://penaendri.wordpress.com/2010/07/


(5)

Hermansyah. Melonjaknya Angka Perceraian Menjadi Sorotan Lagi. http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5 167&Itemid=1

Hilmi, Hirpan. Informasi Keperkaraan Peradilan Agama Tahun 2009. http://www.badilag.net/data/ditbinadpa/TABEL%20DATA%20PERSENT ASE%20PERKARA%20CT%20CG%20PERK%20LAIN%20DIPUTUS %20TAHUN%202009.pdf

Noviandi, Ferry. Sepakat Cerai Aldi-Dewi Persik Ogah Mediasi. http://www.inilah.com/read/detail/176710/sepakat-cerai-aldi-dewi-persik-ogah-mediasi

______. Susan Bachtiar-Supardi Supangkat Sepakat Cerai.

http://www.inilah.com/read/detail/979502/URLKARIKATUR

Mahkamahagung.go.id

Rustandi, Dedi, Ketika Caleg Harus Memilih,

http://jabar.tribunnews.com/index.php/read/artikel/7048 Tim PA Bengkulu, Absrak Putusan M.A.R.I,

http://www.pa- bengkulukota.go.id/foto/Microsoft%20Word%20-%20REFISI%20ABSTRAK%20PUT-MARI.pdf


(6)

LAMPIRAN

REKAP FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN PADA MAHKAMAH SYARI’AH PENGADILAN AGAMA YURUSDIKSI MAHKAMAH PROPINSI / PENGADILAN

TINGGI AGAMA SELURUH INDONESIA TAHUN 2009

N o . Mahkamah Syariah Provinsi/ Pengadilan Tinggi Agama

Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Perceeraian

Moral Meninggalkan Kewajiban

K aw in d i b aw ah u m u r Menyakiti Jasmani/ Rohani D ih u k u k C ac at B io lo g is

Terus Menerus Berselisih

L ai n -l ai n Ju m la h K et er an g an P o li g am i T id ak S eh at K ri si s A k h la k C em b u ru K aw in P ak sa E k o n o m i T id ak ad a T an g g u n g Ja w ab M en y ak it i Ja sm an i M en y ak it i R o h an i P o li ti s G an g u an P ih ak K et ig a T id ak A d a K eh ar m o n i sa n

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

1 Aceh 29 40 70 3 171 1.084 4 40 15 7 5 1 109 979 0 2.557

2 Medan 47 114 60 4 557 1.409 2 85 33 29 7 0 266 2.010 5 4628

3 Padang 14 38 66 4 380 1.586 4 28 0 1 5 0 118 1.570 0 3614

4 Pekanbaru 8 241 181 26 763 1.978 0 18 5 6 13 0 391 2.183 0 3.814

5 Jambi 0 5 2 0 120 1.282 0 6 0 0 1 1 62 563 4 2.046

6 Palembang 41 215 185 31 435 838 0 194 2 1 17 1 191 1.159 0 3.323

7 B. Belitung 8 14 39 0 118 310 0 0 0 0 0 0 196 486 0 1.171

8 Bengkulu 5 2 7 10 21 359 0 6 0 4 2 0 52 627 1 1.096

9 B. Lampung 5 64 139 12 446 429 0 52 31 6 10 0 229 1.034 20 2.47710

10 Jakarta 14 105 407 4 1.183 1.660 5 284 100 3 8 0 1.030 1.788 109 6.700

11 Banten 61 94 142 4 531 923 3 45 0 17 2 0 325 1.074 0 3.221

12 Bandung 167 584 459 53 14.966 6.181 26 127 13 23 59 2 1.400 13.330 133 37.523

13 Semarang 104 1.172 1.196 616 9.689 19.189 144 9 70 56 163 24 2.372 12.781 7 47.592

14 Yogyakarta 22 52 41 12 290 1.160 0 14 6 4 13 3 276 1.577 3 3.453

15 Surabaya 154 2.141 3.724 1.082 10.707 15.582 123 371 167 235 417 308 6.698 21.328 395 63.432

16 Pontianak 15 37 21 0 149 289 1 7 0 1 4 2 201 1.438 5 2.170

17 Palangkaraya 2 68 35 1 135 438 1 8 0 1 0 0 63 417 0 1.169

18 Banjarmasin 49 346 117 24 544 1.438 0 35 2 2 5 0 177 1.226 3 3.968

19 Samarinda 71 106 295 9 680 830 27 128 35 28 16 48 564 1.032 18 3.887

20 Manado 19 83 12 0 39 185 0 2 0 1 1 0 56 143 0 541

21 Gorontalo 0 23 14 1 9 123 0 1 0 1 1 0 84 239 0 496

22 Palu 1 50 26 7 28 437 0 26 0 0 2 1 110 704 19 1.411

23 Kendari 22 74 33 1 91 206 0 20 3 5 3 0 32 530 0 1.020

24 Makasar 106 530 567 116 830 1.728 31 377 79 4 93 6 506 2.178 37 7.248

25 Mataram 167 214 398 29 400 1.063 12 65 22 10 10 0 374 972 41 3.777

26 Kupang 8 5 1 4 4 56 0 0 0 0 1 1 15 92 0 187

27 Ambon 11 13 20 2 3 64 0 6 3 0 2 0 24 127 1 276

28 Maluku Utara 6 38 24 6 5 80 1 6 1 1 1 0 56 166 0 411

29 Jayapura 0 18 3 3 15 221 0 5 0 0 4 4 100 501 0 874

Jumlah 1.196 6.486 8.284 2.064 43.309 61.128 384 1.965 587 459 865 402 16.077 72.274 805 216.286