f. Tube Pitch
Dalam standar TEMA, diatur bahwa jarak-jarak terpendek adalah 1- 14 kali dari titik pusat pipa. Jarak terdekat antara kedua lubang ini biasanya
disebut clearance. Keuntungan dari bentuk square pitch adalah kemudahan dalam perawatan secara mekanik karena terdapat suatu clearance yang teratur posisinya
membentuk garis horizontal dan vertical, juga pressure drop yang dimiliki tipe ini kecil karena aliran fluida tidak ada yang menghalangi. Apabila diinginkan laju
perpindahan panas yang lebih besar, dapat dipilih tipe triangular pitch. Pada tipe ini aliran fluida tidak dapat mengalir lancar karena terhalang oleh pipa yang
berada di depannya sehingga terjadi turbulensi dan pressure drop menjadi besar. Dari sisi perawatan secara mekanik tipe ini lebih sulit dalam pembersihan kerak
yang berada diluar pipa karena sikat penggosok tidak dapat melewati clearance dengan mudah. Adanya susunan pipa yang berbentuk segitiga menghalangi sikat
penggosok.
2.2 Proses Perancangan
Banyak alternatif desain yang dapat digunakan dalam perancangan heat exchanger namun perlu adanya optimalisasi desain untuk mengurangi biaya. Perlu
adanya teknik trial and error untuk mendapatkan desain yang paling optimal. Beberapa parameter dan batasan yang digunakan dalam perancangan adalah :
1. Temperatur masuk dan keluar
2. Laju aliran massa fluida
3. Tekanan operasi
Universitas Sumatera Utara
4. Pressure lossdrop atau penurunan tekanan yang diijinkan pada kedua sisi
heat exchanger. 5.
Sifat-sifat fluida 6.
Fouling resistance atau tahanan pengotor untuk masing-masing aliran. Dalam perancangan kita juga harus mempertimbangkan adanya penurunan
tekanan yang di dalam tube maupun di dalam shell. Selain itu, ada juga beberapa parameter yang menjadi batasan, yaitu :
1. Kecepatan maksimum di dalam tube. Bila kecepatan aliran fluida di dalam
tube terlalu besar maka akan terjadi erosi. 2.
Kecepatan minimum di dalam tube. Laju pengotoran dapat menigkat apabila kecepatan fluida di dalam tube terlalu kecil.
3. Kecenderugan getaran-getaran pada tube. Banyak kegagalan pada heat
exchanger yang disebabkan oleh terjadinya flow-induced vibration pada tube. Peristiwa ini terjadi karena terdapat kecepatan kritis pada tube yang
dapat menyebabkan getaran pada tube.
2.3 Perpindahan Panas pada Heat Exchager Tipe Shell and Tube
Persamaan dasar yang digunakan untuk menghitung laju perpindahan panas dalam heat exchanger adalah :
Q = U . A . ΔT
2.1
Dimana Q adalah laju perpindahan panas total, ΔT adalah perbedaan temperatur yang dihitung menggunakan metode logarithmic mean temperatur difference
Universitas Sumatera Utara
LMTD, A adalah luas permukaan perpindahan panas, dan U adalah koefisien perpindahan panas total. Luas permukaan perpindahan panas diperoleh dari :
A =
n
.
π
.D.L 2.2
dimana n adalah jumlah tube, dan L adalah panjang tube. Karena luas perpindahan panas yang dipilih sebagai referensi adalah luas permukaan luar tube, maka
diameter D yang digunakan adalah diameter luar tube.
2.3.1. Laju Perpindahan Panas
Pada heat exchanger terjadi proses perpindahan panas dari fluida bertemperatur lebih tinggi ke fluida bertemperatur lebih rendah. Berdasarkan
hukum keseimbangan energi, panas yang dilepaskan oleh fluida panas harus sama dengan panas yang diterima fluida dingin sehingga laju perpindahan panas total
yang terjadi adalah :
, ,
, ,
in c
out c
pc c
out h
in h
ph h
T T
C M
T T
C M
Q −
= −
=
2.3
subscript h dan c masing-masing mempresentasikan fluida panas dan fluida dingin.M
h
dan M
c
adalah laju aliran massa masing-masing fluida, T
h,in
dan T
c,in
adalah temperatur masuk masing-masing fluida. T
h,out
dan T
c,out
adalah temperatur keluar masing-masing fluida, serta c
ph
dan c
pc
adalah kapasitas panas spesifik masing-masing fluida.
Jika salah satu fluida yang mengalir dalam heat exchanger adalah udara basah, maka terdapat kemungkinan terjadi kondensasi pada uap air yang
terkandung di dalam udara basah tersebut. Analisis yang berhubungan dengan kondensasi akan dijelaskan pada anak subbab serikutnya.
Universitas Sumatera Utara
1. Psikometrik
Istilah udara basah digunakan untuk mempresentasikan campuran antara udara kering dengan uap air dimana udara kering dianggap sebagai komponen
murni bukan sebagai campuran. Sebagaimana dapat diperiksa dengan referensi terhadap data sifat yang sesuai, campuran keseluruhan dan setiap komponen
campuran bereprilaku sebagai gas ideal pada kondisi-kondisi yang telah ditentukan. Oleh karena itu, dalam perhitungan sifat-sifat udara basah dapat
digunakan konsep-konsep dalam perhitungan sifat-sifat gas ideal. Sebuah tingkat kaeadaan tipikal uap air dalam udara basah diperlihatkan
pada gamnbar 2.6. Pada tingkat keadaan tersebut, ditetapkan dengan tekanan p
v
dan temperatur campuran T, uap yang terjadi adalah uap super panas. Jika tekanan parsial uap air dihubungkan dengan tekanan jenuh air pada temperatur campuran,
P
g
pada gambar 2.6, maka campuran dikatakan sebagai campuran jenuh. Udara jenuh merupakan campuran udara kering dan uap air jenuh. Jumlah uap air dalam
udara basah bervariasi tergantung dari tekanan dan temperaturnya dari nol pada udara kering hingga maksimum pada kondisi campuran jenuh.
Kondensasi uap air terjadi pada temperatur titik embun, yaitu temperatur jenuh pada tekanan parsial uap air tersebut. Tekanan parasial uap air dihitung
berdasarkan rasio kelembaban udara ω, yaitu perbandigan massa uap air m
v
terhadap massa udara kering m
a
yang dinyatakan sebagai :
a v
m m
= ω
2.4
Rasio kelembaban juga dikenal dengan kelembaban spesifik.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.6 Diagram T-v untuk Uap Air dalam Suatu Campuran Udara-Uap Air
Rasio kelembaban udara dapat dinyatakan dalam bentuk tekanan parsial p
v
dan berat molekul M
v
a a
v v
a a
v v
a v
p M
p M
RT V
p M
RT V
p M
m m
= =
= ω
2.5
Dengan mengetahui bahwa p
a
= p – p
v
dan perbandigan antara berat molekul air 18 kgkmol terhadap berat molekul udara kering 28.97 kgkmol adalah 0,622
maka
v v
p p
p −
= 622 ,
ω
2.6
Dari persamaan di atas, dapat diperoleh tekanan parsial uap air.
Universitas Sumatera Utara
2.3.2. Logaritmic Mean Temperature Difference LMTD
1. Heat Exchanger Aliran Belawanan Murni
Kasus heat exchanger aliran berlawanan murni diperlihatkan dalam gambar 2.7. Panas berpindah dari suatu fluida panas pada temperatur T
h
menuju fluida dingin pada temperatur T
c
, dimana fluida yang satu mengalir dalam arah yang berlawanan terhadap fluida lainnya.
Gambar 2.7 Heat Exchanger Aliran Berlawanan Murni
Pada kasus heat exchanger aliran berlawanan murni, perbedaan temperatur rata- rata disebut sebagai logarithmic mean temperatur difference
ΔT
LM
yang dinyatakan sebagai
[ ]
[ ]
in c
out h
out c
in h
in c
out h
out c
in h
LM M
T T
T T
T T
T T
T T
, ,
, ,
, ,
, ,
ln −
− −
− −
= ∆
= ∆
2.7
Universitas Sumatera Utara
2. Heat Exchanger Aliran Searah Murni
Kondisi untuk aliran searah murni diperlihatkan dalam gambar 2.8. Perbedaan temperatur rata-rata dapat diperoleh melalui prosedur yang sama
seperti dalam perhitungan aliran berlawanan, yang dinyatakan dalam persamaan berikut
[ ]
[ ]
out c
out h
in c
in h
out c
out h
in c
in h
LM M
T T
T T
T T
T T
T T
, ,
, ,
, ,
, ,
ln −
− −
− −
= ∆
= ∆
2.8
Gambar 2.8 Heat Exchanger Aliran Searah Murni
Heat exchanger aliran searah murni mempunyai efisiensi yang lebih rendah dari pada heat exchanger aliran berlawanan. Pada heat exchanger aliran
searah, temperatur keluar fluida dingin tidak bisa melebihi temperatur keluar fluida panas. Sedangkan pada heat exchanger aliran berlawanan, temperatur
keluar fluida dingin bisa mendekati temperatur masuk fluida panas. Oleh karena
Universitas Sumatera Utara
itu, heat exchanger aliran searah hanya digunakan dalam kondisi khusus seperti pada saat dibutuhkan pendinginan awal suatu fluida yang cepat.
3. Heat Exchanger Tipe Shell and Tube dengan Aliran Tube Dua laluan
Kasus ini diperlihatkan secara skematik dalam gambar 2.9 dan telah ditemukan solusinya oleh Underwood 1934. Pada kasus penukar panas tipe shell
and tube dengan aliran tube dua laluan atau one shell and two tube-passes terhadap suatu faktor koreksi dalam menentukan perbedaan temperatur rata-rata.
Perbedaan temperatur rata-rata aktual diperoleh dengan cara mengalikan perbedaan temperatur rata-rata pada kasus aliran berlawanan murni persamaan
2.7 dengan nilai suatu faktor F sehingga diperoleh
LM M
T F
T ∆
⋅ =
∆
2.9
Gambar 2.9 Heat Exchanger Tipe Shell and Tube Dua Laluan
Universitas Sumatera Utara
Nilai faktor F merupakan fungsi dari perbandingan temperatur R dan P yang didefenisikan sebagai
in c
out c
out h
in h
ph h
pc c
T T
T T
c M
c M
R
, ,
, ,
− −
= =
2.10
in c
in h
in c
out c
T T
T T
P
, ,
, ,
− −
=
2.11
dimana R dan P berkaitan erat terhadap efektivitas heat exchanger. Selanjutnya, nilai faktor F dapat dihitung melalui persamaan
[ ]
{ }
{ }
[ ]
1 1
2 1
1 2
ln 1
1 1
ln 1
2 2
2
+ +
+ −
+ −
+ −
− −
− +
= R
R p
R R
P R
PR P
R F
2.12
Persamaan 2.12 juga dapat digunakan untuk heat exchanger dengan jumlah laluan empat, enam, delapan, dan lebih besar meskipun terdapat perbedaan
yang kecil. Persamaan tersebut banyak dipakai dalam perhitungan untuk semua heat exchanger dengan jumlah laluan genap. Selain menggunakan persamaan
2.12, nilai faktor F juga bisa diperileh dari grafik pada gambar 2.10
Gambar 2.10 faktor F untuk Heat Exchanger tipe Shell and Tube Dua Laluan
Universitas Sumatera Utara
2.3.3. Koefisien Perpindahan Panas Total
Koefisien perpindahan panas total U yang merupakan jumlah dari seluruh koefisien perpindahan panas pada aliran internal, aloran eksternal, tahanan
pengotoran atau fouling resistance, dan tahanan dinding pipa dapat dihitung dari persamaan
+
+
+ +
=
i o
i i
o i
w o
o
A A
h A
A r
r r
h U
1 1
1
2.13
diamana h
o
dan h
i
adalah koefisien perpindahan panas untuk aliran eksternal dan internal, r
o
dan r
i
, masing-masing adalah tahanan termal akibat pengotoran aliran fluida eksternal dan internal, serta r
w
adalah tahanan termal dinding tube. A
o
dan A
i
adalah luas permukaan luar dan dalam tube.
1. Aliran Internal
Penggambaran aliran fluida dalam pipa dapat dilihat kembali dari penemuan bilangan Reynolds dimana pada kecepatan rendah aliran yang terjadi
adalah laminar, yaitu fluida mengalir dalam aliran-aliran yang halus disertai perpindahan momentum dan panas di antara aliran-aliran yang diatur oleh
pergerakan molekul, serta penurunan tekanan dalam pipa berhubungan langsung dengan konduktivitas termal yang dipengaruhi oleh viskositas dan perpindahan
panas. Pada kecepatan yang lebih tinggi, aliran yang terjadi adalah turbulen dimana proses transport dipercepat oleh komponen-komponen lateral kecepatan
fluida sehubungan dengan adanya pusaran-pusaran yang terjadi. Peralihan dari aliran laminar menuju turbulen terjadi pada suatu harga bilangan Reynolds kritis.
Universitas Sumatera Utara
Re = ρ . U . D
2.14
antara 2000 hingga 4000. Untuk beberapa perhitungan, suatu nilai kritis 2300 dapat digunakan, namun perlu diingat bahwa dalam kondisi sebenarnya,
perubahan pola aliran tidak diperlihatkan secara tajam sehingga diperiksa sebagai pola aliran transisional.
1.1 Faktor Gesekan pada Aliran dalam Pipa
Faktor gesekan
f
o
, didefenisikan sebagai fo =
2
2 1
∞
U
ρ τ
2.15
dimana
τ
adalah tegangan geser di dinding pipa dan U
∞
adalah untuk kecepatan fluida di luar lapisan batas. Faktor gesekan berhubungan dengan penurunan
tekanan sebagaimana dinyatakan dalam persamaan berikut untuk suatu pipa dengan panjang L dan diameter D
DL U
f DL
D p
π ρ
π τ
π
=
= ∆
2 2
2 1
4
2.16
atau
=
∆ 2
4
2
U D
L f
p ρ
2.17
Faktor gesekan adalah suatu fungsi dari bilangan Reynolds, R
eD
. Fungsi tersebut dapat diturunkan secara analitik unutk aliran laminar, namun bergantung
pada kolerasi data ekperimental untuk aliran turbulen. Faktor gesekan untuk aliran laminar fully developed di dalam suatu pipa
yang halus adalah
Universitas Sumatera Utara
Re 16
16 =
= UD
f ρ
η
2.18
sedangkan faktor gesekan untuk aliran turbulen fully developed di dalam suatu pipa yang halus dinyatakan dengan
4 1
Re 079
,
−
= f
untuk Re ≤ 2ҳ10
4
2.19
dan
5 1
046 ,
−
= f
untuk Re 2x10
4
2.20
Selain itu menggunakan persamaan-persamaan di atas, faktor gesekan untuk aliran turbulen dapat dicari dari gambar 2.11. Pada gambar tersebut efek
kekasaran permukaan diklasifikasikan menurut nilai perbandingan eD, dimana e adalah tinggi kekasaran ekuivalen. Nilai f pada gambar merupakan empat kali dari
nilai f
o
, f=4f . Faktor gesekan untuk permukaan kasar yang mempunyai bilangan
Reynolds di atas nilai yang tercantum dalam diagram Moody tidak lagi sebagai fungsi dari Re.
Dalam kenyataannya, permukaan pipa tidaklah halus sempurna, dan faktor gesekan aliran turbulen sangat dipengaruhi oleh kondisi permukaan pipa.
Meskipun demikian, hal tersebut tidak terjadi pada aliran laminar. Sebuah persamaan eksplisit yang cukup berguna untuk aliran turbulen 10
4
Re 4.10
8
baik di dalam pipa halus maupun pipa kasar telah diberikan oleh N.H Chen 1979, yaitu
+
−
− =
8981 ,
1098 ,
1
Re 8506
, 5
8257 ,
2 1
log Re
0452 ,
5 7065
, 3
log ,
2 4
1 D
e D
e f
2.21
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.11 Faktor Gesekan sebagi Fungsi Bilangan Reynolds dan Kekasaran Relatif untuk Pipa Bulat – Diagram Moody
1.2 Koefisien Perpindahan Panas Aliran dalam Pipa