Analisa Dampak Market Power pada Industri Kelapa Sawit (Studi kasus: Propinsi Sumatera Utara)

(1)

EKONOMI

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

Analisa Dampak Market Power pada Industri Kelapa Sawit

(Studi kasus: Propinsi Sumatera Utara)

Oleh :

Ir. Diana Chalil MSi, PhD

DIBIAYAI OLEH DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

SESUAI DENGAN SURAT PERJANJIAN NO:080/H5.1.R/KEU/2009, TGL 1 APRIL 2009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

DESEMBER, 2009


(2)

RINGKASAN DAN SUMMARY

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perilaku pasar industri kelapa sawit

dalam rantai produksi minyak goreng mulai dari petani, pabrik kelapa sawit

(PKS), pabrik minyak goreng dan konsumen akhir. Analisis dilakukan dengan

pendekatan New Empirical Industrial Organization (NEIO) melalui 4 skenario

yaitu (1) pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly

power, (2) PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power, (3) PKS dan

pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopoly power dan (4) PKS

dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopsony power. Data

yang digunakan mencakup data sekunder dan data primer. Data sekunder

diperoleh dari BPS Sumut, KPB Cabang Medan, Dinas Perkebunan, Dinas Pasar,

Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan PPKS Rispa Medan. Data primer

diperoleh dari 60 petani di Pemkab Labuhan Batu dan Pemkab Sergei, 60

pedagang dan 90 pembeli di 3 pasar tradisional di Pemko Medan, 3 PKS dan 3

pabrik minyak goreng.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara umum diperoleh kesimpulan bahwa

baik PKS mapun pabrik goreng umumnya berlaku kompetitif. Hanya pada

Skenario 3, yang mengestimasikan kemungkinan kondisi di mana PKS dan pabrik

minyak goreng dapat mempunyai successive oligopoly power, PKS menerapkan

market power yang cukup kuat, bahkan mendekati kondisi monopoli. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa integrasi vertikal yang dimiliki oleh PKS dan

pabrik minyak goreng tidak cenderung meningkatkan efisiensi harga, yang

ditandai oleh PCM yang positif dan meningkat. Hal tersebut banyak dipengaruhi

oleh intervensi kebijakan harga Pemerintah yang kelihatannya lebih merupakan

reaksi atas tuntutan masyarakat dibandingkan dengan usaha untuk meningkatkan

efisiensi pasar menuju pasar yang bersaing. Masyarakat menikmati harga minyak

goreng yang relatif murah tetapi subsidi tersebut dapat memfasilitasi perusahaan

yang kurang efisien untuk dapat tetap bertahan di pasar dan merupakan

pemborosan dalam pengeluaran Pemerintah.


(3)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan karena atas izinNya penelitian mengenai “Analisa

Dampak Market Power pada Industri Kelapa Sawit“ dapat diselesaikan sesuai

dengan jadwal yang direncanakan. Kegiatan penelitian ini merupakan realisasi

dari Penelitian Hibah Bersaing dengan surat perjanjian No 030/H5.1,R/KEU/2009

tertanggal 9 April 2009.

Laporan Penelitian ini merupakan laporan akhir dari seluruh rangkaian kegiatan

penelitian tersebut, yang mencakup perencanaan yang telah disajikan pada Usulan

Penelitian, permasalahan yang dihadapi pada proses pelaksanaan yang telah

disajikan pada Laporan Kemajuan, dan kemudian dilengkapi dengan berbagai

informasi yang diperoleh peneliti di lapangan, baik melalui data sekunder, primer

atau hasil observasi. Informasi tersebut kemudian diolah dan diestimasi untuk

mendapatkan indeks market power dan dampaknya pada seluruh tingkatan pada

production chain kelapa sawit, dari petani sampai konsumen akhir.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dirjen Pendidikan Tinggi, Depdiknas

yang telah memberikan seluruh dana yang dibutuhkan untuk pelaksanaan

penelitian. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih untuk seluruh anggota

yang telah saling bekerjasama dalam suatu kerja tim yang baik. Akhir kata,

penulis menyadari bahwa denagn segala kondisi yang dihadapi di lapangan,

penelitian ini masih jauh dari sempurna. Harapan kami semoga kiranya

ketidaksempurnaan tersebut akan dilengkapi dengan berbagai penelitian lanjutan

di masa mendatang.

Medan, Desember 2009

Peneliti


(4)

DAFTAR ISI

A.

LAPORAN HASIL PENELITIAN

RINGKASAN DAN SUMMARY……….i

PRAKATA………..ii

DAFTAR ISI………..iii

DAFTAR TABEL……….iv

DAFTAR GAMBAR……….v

DAFTAR LAMPIRAN……….vi

BAB I. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang………..…1

1.2

Permasalahan………..………...2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Industri Kelapa Sawit Indonesia………..……4

2.2

Market

Power……….………..5

2.3 Sumber-sumber Market Power……….7

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.1

Tujuan Khusus………10

1.2

Keutamaan Penelitian………..10

BAB IV. METODE PENELITIAN

4.1 Penentuan Daerah Penelitian………12

4.2 Metode Pemilihan Sampel………..……….12

4.3

Sampel……….………13

4.4 Pengumpulan Data……….……….14

4.5 Metode Analisis Data...15

BAB V. DESKRIPSI INDUSTRI KELAPA SAWIT

5.1 Karakteristik Petani dan Usahatani Sawit……….……….43

5.2 Karakteristik Pabrik Kelapa Sawit dan Pabrik Minyak Goreng…….45

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA


(5)

DAFTAR TABEL

No

JUDUL

Hal

1

Wilayah potensi pengembangan kelapa sawit

12

2

Jadwal dan kegiatan penelitian tahun pertama

26


(6)

DAFTAR GAMBAR

No

JUDUL

Hal

4.1

PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power

22

4.2

Pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony

23

dan oligopoly power

4.3

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai succesive

24

oligopoly power dengan PKS dapat mempunyai oligopsony power

4.4

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai succesive 25

oligopsony power dengan pabrik minyak goreng dapat

mempunyai oligopoly power

4.5

Pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan

31

oligopoly power.

4.6

PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power

35

4.7

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai succesive

oligopoly power dengan PKS dapat mempunyai oligopsony power 38

4.8

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai succesive

41

oligopsony power dengan pabrik minyak goreng dapat

mempunyai oligopoly power

5.1

Komposisi tingkat pendidikan petani responden

43

5.2

Bibit tidak bersertifikat yang digunakan Petani Pekebun Sawit

45

5.3

Sarana Langsir yang digunakan Petani

46

5.4

Buah yang diterima PKS

47

5.5

Perkembangan harga TBS di tingkat Petani

48

5.6

Karakteristik Penjual Minyak Goreng

49

5.7

Perkembangan Margin harga bulanan TBS dan harga CPO

57

5.8

Subsidi yang mengakibatkan PCM positif

59

 


(7)

DAFTAR LAMPIRAN

No

JUDUL

1

Nilai Rendemen TBS menjadi CPO PT SC dari TBS kebun sendiri

2

Nilai Rendemen CPO PT SC dari Pihak III

3

Nilai Rendemen Minyak Goreng PT SC

4

Jumlah dan Harga Transaksi CPO oleh PKS ke pabrik minyak goreng

5

Jumlah dan Harga Minyak Goreng

6

Biaya rata-rata pengolahan TBS menjadi CPO

7

Biaya rata-rata pengolahan CPO menjadi minyak goreng

8

Karakteristik Petani Kelapa Sawit

9

Petani Responden dan Kredit

10

Deskripsi Usahatani

11

Pembentukan Harga TBS di tingkat Petani

12

Jumlah Pasar dan Jumlah Pedagang di Pemko Medan

13

Karakteristik Konsumen Akhir Minyak Goreng

14

Karakteristik Penjual

15

Data Estimasi

16

Gambar Kondisi Lapangan


(8)

RINGKASAN DAN SUMMARY

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis perilaku pasar industri kelapa sawit

dalam rantai produksi minyak goreng mulai dari petani, pabrik kelapa sawit

(PKS), pabrik minyak goreng dan konsumen akhir. Analisis dilakukan dengan

pendekatan New Empirical Industrial Organization (NEIO) melalui 4 skenario

yaitu (1) pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly

power, (2) PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power, (3) PKS dan

pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopoly power dan (4) PKS

dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopsony power. Data

yang digunakan mencakup data sekunder dan data primer. Data sekunder

diperoleh dari BPS Sumut, KPB Cabang Medan, Dinas Perkebunan, Dinas Pasar,

Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan PPKS Rispa Medan. Data primer

diperoleh dari 60 petani di Pemkab Labuhan Batu dan Pemkab Sergei, 60

pedagang dan 90 pembeli di 3 pasar tradisional di Pemko Medan, 3 PKS dan 3

pabrik minyak goreng.

Hasil estimasi menunjukkan bahwa secara umum diperoleh kesimpulan bahwa

baik PKS mapun pabrik goreng umumnya berlaku kompetitif. Hanya pada

Skenario 3, yang mengestimasikan kemungkinan kondisi di mana PKS dan pabrik

minyak goreng dapat mempunyai successive oligopoly power, PKS menerapkan

market power yang cukup kuat, bahkan mendekati kondisi monopoli. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa integrasi vertikal yang dimiliki oleh PKS dan

pabrik minyak goreng tidak cenderung meningkatkan efisiensi harga, yang

ditandai oleh PCM yang positif dan meningkat. Hal tersebut banyak dipengaruhi

oleh intervensi kebijakan harga Pemerintah yang kelihatannya lebih merupakan

reaksi atas tuntutan masyarakat dibandingkan dengan usaha untuk meningkatkan

efisiensi pasar menuju pasar yang bersaing. Masyarakat menikmati harga minyak

goreng yang relatif murah tetapi subsidi tersebut dapat memfasilitasi perusahaan

yang kurang efisien untuk dapat tetap bertahan di pasar dan merupakan

pemborosan dalam pengeluaran Pemerintah.


(9)

BAB

 

I.

 

PENDAHULUAN

 

   

1.1. Latar belakang 

Stabilisasi harga minyak goreng merupakan masalah yang telah lama dihadapi  oleh masyarakat Indonesia.  Masalah ini banyak dibicarakan baik dari kalangan ekonom  maupun Pemerintah karena  dianggap mempunyai nilai  strategis.    Sebagai produk  strategis, masalah yang timbul akibat kenaikan harga minyak  goreng tidak  hanya  terbatas pada isu ekonomi, tetapi juga dapat merambat ke masalah sosial dan politik   (Susila 2005).   

Dengan peningkatan harga minyak goreng yang cukup tajam dan konstan dalam  satu  tahun  terakhir  (mulai  dari  bulan  Mei  2007)  ini,  peran  Pemerintah  untuk  pengendalian harga menjadi sangat dibutuhkan.  Berbagai kebijakan dan intervensi telah  dilakukan Pemerintah sejak tahun 1970an (Larson 1996). Selama ini, kenaikan harga  minyak goreng selalu dihubungkan dengan naiknya harga bahan bakunya (crude paln oil  CPO)  di  pasar  internasional.    Dengan  asumsi  tersebut,  Pemerintah  kemudian  menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation, yang mewajibkan produsen CPO  dari perkebunan negara dan swasta untuk mendistribusikan sebagian dari outputnya ke  pasar domestik dengan harga yang relatif murah. Sayangnya, program stabilisasi harga  tersebut pada akhirnya gagal (Drajat, 2007).  

Gausch dan Hahn (1999) menyarankan bahwa kebijakan yang diambil baru  mencapai hasil yang diharapkan jika didukung dan didasari dengan informasi yang  relevan dan memadai. Kebijakan yang hanya didasari pada informasi yang terbatas  umumnya akan memberikan hasil yang kurang efisien dan kurang efektif.  

Dalam kasus pembentukan harga pasar, salah satu informasi yang penting yang  perlu tersedia adalah informasi mengenai perilaku pasar. Akan tetapi kajian tentang  perilaku pasar domestik pada industri kelapa sawit masih sangat terbatas. Studi yang  banyak  dilakukan  umumnya  berkaitan  dengan  keterkaitan  harga,  faktor‐faktor  pengaruh, kebijakan pajak ekspor dan yang berkaitan dengan isu lingkungan.  Padahal 


(10)

industri kelapa sawit merupakan industri penting di Indonesia.  Selain sebagai salah satu  bahan pokok, minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/ CPO) yang juga dihasilkan industri  ini merupakan kontributor devisa ekspor yang cukup signifikan (BPS, berbagai Tahun).  Tambahan lagi, industri ini menampung cukup banyak tenaga kerja (Barlow et al 2003;  Goenadi et. Al 2005). Dengan posisi yang demikian, persoalan yang terjadi pada industri  ini akan memberikan dampak yang cukup signifikan pada perekonomian Indonesia.  Dengan demikian, penulis merasa bahwa penelitian mengenai perilaku pasar di industri  kelapa sawit perlu dilakukan. 

 

1.2. Permasalahan 

 

a. Kebijakan dan Program Stabilisasi Harga Minyak Goreng gagal. Peningkatan harga  minyak goreng telah telah berlangsung lama cukup (mulai dari bulan Mei 2007) dan  belum menunjukkan adanya gejala akan turun. 

b. Kebijakan  yang  diambil  umumnya  tidak  dilengkapi  dengan  estimasi  mengenai  struktur pasar dan langsung mengasumsikan bahwa pasar dalam keadaan bersaing.   

 

                 


(11)

BAB

 

II.

  

TINJAUAN

 

PUSTAKA

 

   

2.1. Industri kelapa sawit Indonesia 

 

Di Indonesia, produsen CPO dapat dibedakan atas 3 kelompok:

perkebunan negara, swasta dan rakyat. Perkebunan negara terdiri dari 10 unit

perkebunan dengan satu Kantor Pemasaran Bersama. Perkebunan swasta

didominasi oleh 10 konglomerat dan tidak mempunyai satu Kantor Pemasaran

Bersama. Namun demikian, mereka semua terdaftar sebagai anggota Gabungan

Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. Secara umum, luas satu perkebunan negara

atau swasta berkisar antara 10.000–25.000 ha dan kebanyakan merupakan bagian

dari kelompok perkebunan dengan luas berkisar antara 100.000–600.000 ha

(Casson 2000). Umumnya, baik perkebunan negara maupun swasta mempunyai

integrasi vertikal, dengan industri hulu dan hilir, mulai dari pembibitan sampai

pengolahan minyak goreng. Berbeda dengan perkebunan rakyat, yang umumnya

hanya mempunyai luas lahan kurang dari 20 ha dan tidak memiliki fasilitas

pembibitan atau pengolahan. Dengan demikian, kelompok petani perkebunan

rakyat belum dapat dikategorikan sebagai salah satu kelompok strategis dalam

industri kelapa sawit Indonesia.

Sejak tahun 1970an, banyak kebijakan Pemerintah Indonesia yang telah

ditujukan pada industri kelapa sawit, termasuk kebijakan pendistribusian, pajak

ekspor maupun subsidi. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga kestabilan harga

minyak goreng di pasar domestik. Distribusi CPO dan pajak ekspor diatur ketika

harga CPO internasional meningkat, sehingga memberikan insentif bagi produsen

untuk meningkatkan ekspor. Akibatnya, suplai domestik berkurang dan harga

meningkat. Pada saat itu, distribusi CPO diatur agar dapat memenuhi permintaan

domestik pada tingkat harga yang terjangkau.

Berdasarkan data BPS (2004) dan Oil World (dalam KPB berbagai tahun), selama  tahun 1984–1990, perkebunan negara masih merupakan produsen CPO yang terbesar, 


(12)

dengan produksi yang dapat mencukupi seluruh permintaan domestik.   Pada saat itu,  kebijakan  distribusi  CPO  kelihatannya  masih  cukup  efektif,  karena  Pemerintah  mempunyai kemampuan untuk mengatur distribusi produksi perkebunan negara.  Akan  tetapi, sejak tahun 1996 (Data Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian 2004 dan CIC  2003) perkebunan negara tidak lagi merupakan produsen yang terbesar. Produksinya  tidak lagi cukup untuk memenuhi seluruh permintaan domestik dan membutuhkan  tambahan  suplai dari  perkebunan swasta.    Namun demikian,    tidak seperti pada  perkebunan  negara,    Pemerintah  tidak  mempunyai  kemampuan  untuk  mengatur  distribusi  produksi  perkebunan  swasta.    Akibatnya,  kebijakan  distribusi  CPO  kelihatannya menjadi kurang efektif. 

Sebagai alternatif,  Pemerintah menetapkan pajak  ekspor untuk  membatasi  ekspor.  Akan tetapi kelihatannya, kebijakan ini lebih merupakan strategi jangka pendek   dan bersifat reaktif terhadap kenaikan harga minyak goreng domestik, dan bukan  merupakan strategi jangka panjang untuk memperbaiki struktur pasar.   

Kebijakan distribusi maupun pajak ekspor merupakan kebijakan yang secara  tidak langsung mempengaruhi harga pasar CPO dan minyak goreng.   Di samping itu,  Pemerintah juga memberlakukan kebijakan langsung berupa subsidi, baik subsidi harga  CPO maupun minyak goreng.  Namun demikian, sama halnya dengan kebijakan lainnya,  kebijakan ini lebih bersifat reaktif dan tidak ditujukan untuk mencapai pasar yang  bersaing.    Akibatnya,  walaupun  secara  parsial  dampaknya  dapat  meningkatkan  kesejahteraan konsumen dengan penurunan harga, secara total dapat pula menurunkan  kesejahteraan masyarakat dengan besarnya dana yang dikeluarkan. 

 

2.2. Market power 

 

Salah satu karakteristik utama dalam pasar persaingan adalah baik penjual  maupun pembeli bertindak sebagai penerima harga (Price taker).   Dalam pasar yang  bersaing tidak ada penjual atau pembeli yang mempunyai kekuatan yang lebih besar  dibandingkan dengan yang lainnya. Harga pasar tidak ditentukan oleh keputusan sebuah  atau sekelompok penjual atau pembeli, melainkan terbentuk dari keseimbangan seluruh 


(13)

supply dan  demand.  Penjual akan menjual outputnya dengan harga yang sama dengan  biaya marjinalnya, sedangkan pembeli akan membeli barang dengan harga yang sama  dengan benefit marjinalnya.  Dengan demikian umumnya pasar persaingan mempunyai  harga efisien, tidak seperti pasar oligopoli, oligopsoni, monopoli atau monopsoni yang  sering mengalami masalah distorsi harga karena perusahaan mempunyai kemampuan  untuk mempengaruhi harga dan mempraktekkan market power.   Market power yang  dipraktekkan penjual disebut sebagai monopoly atau oligopoly power, di mana penjual  akan  menjual  outputnya  dengan  harga  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  biaya   marjinalnya.  Sedangkan  market power  yang  dipraktekkan  pembeli disebut  sebagai  monopsony atau oligopsony power, di mana pembeli akan membeli dengan harga yang  lebih rendah daripada benefit marjinalnya.   

Pengertian market power ini kemudian diformulasi Lerner (1934) dengan sebuah  indeks yang dikenal sebagai Lerner index.   Lerner index diterima secara luas sebagai  ukuran market power, namun demikian tidak banyak penelitian yang dapat langsung  menggunakannya  karena  umumnya  data  biaya  marjinal  tidak  tersedia.    Sebagai  alternatif, banyak model telah dikembangkan untuk mengukur market power.  Model‐ model tersebut dapat dikelompokkan menjadi model structure–conduct–performance  (SCP) dan model new empirical industrial organization (NEIO). 

Model  SCP  menyimpulkan  keberadaan  market  power  (conduct)    melalui  hubungan antara structure dan performance.   Model ini juga menganalisa dampak  perubahan struktur terhadap performa pasar.   Dengan demikian, model ini banyak  digunakan dalam studi kebijakan.  Namun demikian, model ini tidak didasari oleh teori  estimasi yang kuat seperti: (1) variabel market structure tidak selalu eksogen, sehingga  penggunaan regresi tunggal (tidak simultan) akan memberikan hasil yang bias. (2)  Umumnya   market structure dan market performance sukar diukur. (3) Satu kajian  dilakukan pada berbagai industri yang mempunyai karakteristik yang berbeda. 

Model NEIO dapat dikelompokkan lagi menjadi model statis dan model dinamis.   Model statis dapat dikelompokkan lagi menjadi model statis komparatif dan conjectural  variations.  Dibandingkan dengan model SCP, teori yang mendasari model NEIO relatif  lebih kuat, terutama model dinamis yang dapat menangkap proses perilaku pasar 


(14)

menuju  kondisi ekuilibrium.    Namun  demikian, model dinamis tidak selalu  dapat  diterapkan dalam studi empiris karena melibatkan permodelan dan proses estimasi   yang rumit sehingga perlu dibatasi oleh asumsi‐asumsi yang ketat.  Di samping itu, data  yang dibutuhkan juga tidak selalu tersedia.   Dengan demikian, hingga sekarang masih  banyak studi empiris market power yang menggunakan model statis 

Dengan  menggunakan  data  empiris  dan  model  dinamis,  Chalil  (2007)  menunjukkan bahwa  terdapat  indikasi adanya  praktek  market  power  di kalangan  produsen CPO, baik Pemerintah maupun swasta.    Namun demikian, untuk  dapat  digunakan sebagai masukan yang lebih akurat dalam penyusunan kebijakan, data yang  digunakan masih merupakan data agregat, belum memasukkan kemungkinan bilateral  market power dan belum memasukkan faktor integrasi vertikal.   Jika hal‐hal tersebut  telah terjawab, maka hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai masukan yang lebih  akurat  untuk  menganalisa  masalah  stabilisasi  harga  minyak  goreng  yang  telah  berlangsung lama.  Di samping itu, hasil analisa tersebut juga dapat digunakan sebagai  masukan  dalam usaha meningkatkan kesejahteraan  petani dan konsumen  minyak  goreng.  

 

2.3. Sumber‐sumber market power 

 

Sexton dan Zhang (2001) melaporkan bahwa khusus untuk hasil pertanian, isu  market power telah banyak dibicarakan di kalangan ekonomis, mulai dari industri hulu  sampai hilir.   Di industri hulu (pasar bahan mentah) baik pembeli maupun penjual  mempunyai peluang untuk mempraktekkan market power. Monopoly atau oligopoly  power dapat berasal dari karakteristik pabrik pengolahan yang umumnya sangat spesifik,  di mana bahan mentah yang digunakan sama sekali tidak dapat disubstitusikan dengan  bahan mentah yang lain.  Akibatnya, demand menjadi sangat inelastis, sehingga penjual  dapat meningkatkan harga di atas biaya marjinalnya, tanpa harus kehilangan banyak  permintaan 

Monopsony atau oligopsony power dapat berasal karakteristik hasil produk  pertanian yang bersifat bulky sehingga biaya transportasi menjadi mahal.  Bahan mentah 


(15)

tersebut  juga  perishable  (mudah  rusak),  sehingga  petani  terpaksa  menjual  hasil  panennya  hanya ke  pengolah  yang  letaknya  berdekatan dengan  usahataninya. Di  samping itu, untuk beberapa komoditi pertanian, petani berkonsentrasi hanya pada 1  jenis produk akibat tingginya sunk costs yang menjadi exit barriers bagi petani tersebut.  Akibatnya, supply menjadi sangat inelastis, sehingga pembeli dapat menurunkan harga  di bawah benefit marjinalnya, tanpa harus kehilangan banyak penawaran. 

Pada industri kelapa sawit terdapat indikasi adanya ketiga faktor tersebut diatas,  baik karakter pabrik pengolahan yang spesifik, sifat produk yang  bulky dan perishable,  serta tingginya sunk costs.  Pertama adalah walaupun minyak goreng kelapa merupakan  substitusi minyak goreng kelapa sawit, dengan desain PKS yang sedemikian rupa,  penggunaan CPO sebagai bahan baku minyak goreng tidak dapat disubstitusi oleh  Coconut Crude Oil. Kedua,  TBS sebagai bahan baku CPO sangat bulky dan harus diolah  dalam waktu 24 jam agar kualitas CPO yang dihasilkan tetap terjaga. Ketiga, besarnya  sunk costs dalam industri kelapa sawit dapat terlihat dari kebutuhan dana investasi  untuk membangun perkebunan kelapa sawit.  Porter dan Lee (1998 dalam van Gelder  2004) memperkirakan dana yang dibutuhkan untuk membangun perkebunan kelapa  sawit adalah sekitar US$2.500–3.500 per ha.  Di samping itu, jika ingin mempunyai posisi  tawar yang cukup, investor juga harus mengeluarkan dana tambahan untuk membangun  pabrik kelapa sawit (PKS).  Pada periode 1986–1996, produsen mendapat bantuan kredit  lunak dari Pemerintah dan World Bank, sehingga masalah permodalan dapat diatasi.   Pada waktu itu, rata‐rata 77%  dari total dana investasi perkebunan swasta berasal dari  kredit lunak tersebut dan berhasil meningkatkan luas perkebunan swasta sebanyak  tujuh kali lipat (Casson 2000).   Karena sekarang dana serupa tidak tersedia lagi, akan  sukar bagi pemain baru untuk bersaing dengan pemain lama.   Dengan kata lain,  besarnya kebutuhan dana investasi dapat menjadi barrier of entry bagi new entrant.  

Di samping itu, kuatnya integrasi vertikal di antara   PKS dan pabrik minyak  goreng memberikan keleluasaan bagi perusahaan yang bersangkutan untuk mengatur  distribusi  produksinya.    Walaupun  Indonesia  merupakan  negara  yang  dapat  memproduksi  produsen  CPO  dengan  biaya  yang  terendah,  harga  minyak  goreng  domestik masih tetap relatif tinggi. Banyak kalangan berpendapat bahwa perubahan  skala usaha dan integrasi vertikal   tersebut dapat memberikan kemampuan produsen 


(16)

utama untuk mengendalikan harga pasar dan mempraktekkan market power (Basri  1998; Pasaribu 1998: Rachbini 1998; Arifin 2001; Competition Indonesia 2001; Arifin  2002; Widjojo 2004; Syachruddin 2005). Ketika harga minyak goreng naik, produsen  meningkatkan suplai CPOnya ke pabrik minyak goreng, sebaliknya jika harga CPO di  pasar internasional meningkat, maka produsen akan mengurangi suplainya ke pabrik  minyak goreng dan meningkatkan ekspor CPOnya. Dari tahun 1998 sampai 2002, utilitas  maksimum pabrik minyak goreng di Indonesia hanya mencapai sekitar 54% dari total  kapasitasnya (Departemen Perindustrian dan Perdagangan 2002). Dengan pangsa pasar  yang  cukup  signifikan,  kemampuan  mengatur  distribusi  produksi  tersebut  dapat  memberikan kemampuan bagi perusahaan tersebut untuk mempengaruhi harga dan  mempraktekkan market power. Akibatnya, harga domestik tetap tinggi dan stabilisasi  harga sukar untuk dicapai. Lebih jauh lagi, tingkat kesejahteraan masyarakat akan  menurun. 

 

   

                     


(17)

BAB

 

III.

 

TUJUAN

 

DAN

 

MANFAAT

  

PENELITIAN

 

   

3.1 Tujuan Khusus 

 

Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk: 

a. Menganalisis perilaku pasar TBS, CPO dan minyak goreng melalui estimasi market  power index, baik oligopoly power, oligopsony power, successive oligopoly power dan   successive oligopsony power. 

b. Menganalisis dampak perilaku pasar pada kesejahteraan petani perkebunan rakyat  dan konsumen minyak goreng melalui perhitungan surplus produsen dan surplus  konsumen. 

c.    Menganalisis faktor‐faktor yang mempengaruhi harga  minyak  goreng di  pasar  domestik. 

 

3.2 Keutamaan Penelitian 

 

Penelitian ini akan menghasilkan suatu estimasi mengenai struktur pasar di  sepanjang rantai produksi minyak goreng.  Umumnya kebijakan‐kebijakan yang disusun  sejak tahun 1970an sampai sekarang secara eksplisit maupun  implisit mengasumsikan  kondisi  pasar  yang  bersaing.    Sehingga  timbul  misalnya,  harapan  bahwa  dengan  penurunan harga CPO atau penghapusan PPn, maka harga minyak goreng akan turun  dengan sendirinya. 

Penggunaan asumsi struktur pasar yang benar akan meningkatkan kualitas  estimasi mengenai pergerakan dan pembentukan harga yang terjadi. Jika hasil estimasi  tersebut  pada  akhirnya  digunakan  sebagai  bahan  masukan  dalam  penyusunan  kebijakan, diharapkan kebijakan tersebut akan lebih efektif.  Dalam hal ini, diharapkan 


(18)

program stabilisasi harga yang nantinya diterapkan akan mampu menurunkan harga  minyak goreng sampai pada tingkat harga yang diharapkan.  

Disamping itu hasil estimasi ini juga dilengkapi dengan perhitungan tingkat  kesejahteraan petani perkebunan rakyat dan konsumen akhir minyak goreng, dua  kelompok yang selama ini dianggap mempunyai kepentingan yang berbeda dan yang  sering dianggap paling merasakan dampak negatif dari pergerakan harga minyak goreng  tersebut. Hasil estimasi surplus dapat dijadikan sebagai tambahan informasi mengenai  kondisi empiris yang ada dan selanjutnya dijadikan sebagai masukan dalam penyusunan  program‐program  untuk  peningkatan  kesejahteraan  petani  dan  konsumen  minyak  goreng.  

                           


(19)

BAB

  

IV.

  

METODE

 

PENELITIAN

 

   

4.1.     Penentuan Daerah Penelitian   

Daerah penelitian ditentukan secara purposive, yaitu Pemko Medan sebagai  pusat pemasaran minyak goreng di Sumatera Utara, dan Pemkab Labuhan Batu serta  Pemkab Serdang Bedagai sebagai sentra perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara  (Tabel 1).  

Tabel 1 Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kelapa Sawit

No  Nama Daerah  Luas Lahan (Ha) 

1  Kabupaten Asahan  38.746  2  Kabupaten Deli Serdang  9.626  3  Kabupaten Labuhan Batu  85.527  4  Kabupaten Langkat  24.438  5  Kabupaten Mandailing Natal  10.400  6  Kabupaten Pakpak Barat  1.260  7  Kabupaten Serdang Bedagai  50.057  8  Kabupaten Simalungun  24.902  9  Kabupaten Tapanuli Selatan  57.744  10  Kabupaten Toba Samosir  1.279  Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal 2007 


(20)

 

4.2.     Metode Pemilihan Sampel   

Untuk petani kelapa sawit, penjual dan pembeli minyak goreng, sampel  ditentukan secara random dengan jumlah  

- 30 petani sampel x 2 Pemkab =  60 petani sampel 

- 20 penjual sampel x 3 lokasi pasar di Pemko Medan = 60 penjual sampel  

- 30 pembeli sampel x 3 lokasi pasar di Pemko Medan = 90 pembeli sampel  Untuk PKS dan pabrik minyak goreng, sampel ditentukan secara purposive  sesuai dengan izin yang diperoleh nantinya. 

 

4.3.Sampel 

4.3.1. Data Petani 

Untuk data petani kelapa sawit telah berhasil diwawancara 30 petani di Serdang  Bedagei dan 30 di Labuhan Batu.   Kendala utama adalah petani tidak mempunyai  catatan  pembukuan sehingga tidak diketahui dengan pasti  jumlah penjualan pada  berbagai tingkat harga. Untuk data penjual dan pembeli minyak goreng dari 60 dan 90  orang yang direncanakan untuk diwawancara telah berhasil diwawancarai sebanyak  masing‐masing 30 dan 60 orang di 3 pasar yaitu Pasar Pringgan (Medan Baru), Pasar  Helvetia (Medan Helvetia) dan Pasar Melati (Medan Tuntungan). Adapun pemilihan  pasar tersebut karena pasar tersebut merupakan pasar yang mempunyai luasan yang  cukup besar berdasarkan data yang didapat dari BPS. Kendala utama yang dihadapi  adalah   masyarakat/konsumen sangat sibuk di pasar dan konsumen tidak ingat secara  pasti jumlah minyak goreng yang dikonsumsi selama sebulan. 

 

4.3.2.   Data PKS 

Untuk  mendapatkan  data  10  PKS  yang  ditargetkan,  dilakukan  penjajakan  terhadap 12 PKS yaitu PT Torganda, PT Paya Pinang, PT Tolan Tiga, PT Socfindo, Kebun 


(21)

Mata Pao, PTPTN IV, Kebun Brangir, PTPN III, Kebun Sei Meranti, PT Nubika, PT UMADA,  PT Merbau Tiga, PT Cisadane, PT Siringo‐Ringo dan PT Pangkatan.     Dari 12 PKS yang  tersebut 9 menolak dan 3 menerima.  PKS yang menerima adalah PT Sc, Kebun Mata Pao  di Kabupaten Serdang Bedagai, PTPN IV Kebun Merangir dan PTPN III Kebun Sei Meranti  di Kabupaten Labuhan Batu.  

 

4.3.3 Data Pabrik Minyak Goreng 

Untuk mendapatkan data 10 pabrik minyak goreng yang ditargetkan, telah  dijajaki 15 pabrik. Dan diperoleh 3  perusahaan  yang  meberi  izin. Adapun jumlah  perusahaan yang menjadi sample dalam penelitian ini adalah tiga perusahaan pengolah  minyak goreng yakni PT. A, PT. B, dan PT.C. Yang menjadi pertimbangan pemilihan  tempat  penelitian  adalah  dikarenakan  ketiga  perusahaan  merupakan  perusahaan  pengolah CPO menjadi minyak goreng selain itu hanya ketiga perusahaan ini yang  memberikan izin untuk dilakukan penelitian dari 15 perusahaan yang sudah dikunjungi. 

 

4.4. Pengumpulan Data 

4.4.1. Data Primer 

Data primer diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner.  Sebelum digunakan dilakukan uji coba kuesioner walaupun tidak tercantum dalam  proposal. Uji coba kuesioner dilakukan untuk meminimalkan kesalahan pengumpulan  data.   Data yang dibutuhkan terdiri dari data petani, PKS, pabrik minyak goreng dan  pembeli serta penjual minyak goreng. Data petani di Serdang Bedagei dan Labuhan Batu  telah terkumpul keseluruhannya sebanyak masing‐masing 30 petani yang terdiri dari  petani  produsen  saja  dan  petani  sekaligus  pengumpul.    Petani pengumpul (ram)  ditambahkan sebagai sampel karena mempunyai catatan pembukuan terutama harga  jual yang tidak dimiliki petani produsen. 

 


(22)

Data sekunder telah dijajaki dan dikumpulkan dari BPS, PPKS Rispa, Dinas  Perkebunan dan Disperindag. Data yang mula‐mula direncanakan untuk perhitungan  elastisitas dan surplus adalah data sekunder. Hasil perhitungan tersebut kemudian akan  digunakan  sebagai  perhitungan  market  power  index  dan  surplus  produsen  dan  konsumen.  Namun demikian, dari set data yang dibutuhkan tidak satupun data Sumut  yang tersedia dengan observasi sebanyak 30 tahun.  Di samping itu frekuensi data juga  tidak  sama.    Dengan  kondisi  demikian  tidak  mungkin  dilakukan  regresi  untuk  mendapatkan  nilai  elastisitas atau  perhitungan  surplus.    Sebagai  alternatif,  maka  digunakan data primer hanya dengan menggunakan variabel jumlah dan harga. Karena  tidak bersifat kontiniu, maka hasil yang diperoleh bukanlah merupakan nilai marjinal  tetapi hanya merupakan nilai rata‐rata.   Di samping itu, beberapa informasi yang  membentuk jumlah juga tidak tercakup.  Namun demikian, nilai elastisitas dan surplus  masih dapat dihtiung dengan menggunakan asumsi fungsi linear. 

 

4.5. Metode Analisis Data

Dalam tahun pertama studi ini menggunakan metode NEIO statis yaitu

conjectural variations. Metode conjectural variations digunakan untuk

mengestimasi perilaku pasar melalui market power index dengan menggunakan 4

skenario. Hasil analisa tersebut akan digunakan sebagai dasar penyusunan

kebijakan-kebijakan alternatif yang mungkin diterapkan dalam industri kelapa

sawit.

4.5.1. Analisa conjectural variations (Estimasi market power index)

Dalam studi ini yang akan diteliti adalah rantai suplai minyak goreng yaitu:

(1)

Petani perkebunan rakyat kelapa sawit sebagai produsen TBS dan bertindak

sebagai penjual bahan mentah (TBS), yang diasumsikan selalu bertindak

kompetitif.

(2)

PKS sebagai pengolah bahan mentah (TBS) menjadi bahan setengah jadi

(CPO), yang bertindak sebagai pembeli TBS ke petani dan penjual CPO ke

pabrik minyak goreng.


(23)

(3)

Pabrik minyak goreng sebagai pengolah bahan setengah jadi (CPO) menjadi

bahan jadi (minyak goreng), yang bertindak sebagai pembeli CPO ke PKS dan

penjual minyak goreng ke konsumen akhir.

(4)

Konsumen akhir sebagai pembeli dan pengguna bahan jadi (minyak goreng),

yang diasumsikan selalu bertindak kompetitif.

Dengan kata lain, hanya PKS dan pabrik minyak goreng yang dianggap

mempunyai kemungkinan untuk mempraktekkan market power. Market power

index diestimasi dengan menggunakan 4 skenario yaitu:

(1)

PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

(2)

Pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

(3)

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopoly

power.

(4)

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopsony

power.

Prosesor, baik PKS maupaun pabrik minyak goreng, diasumsikan

menggunakan teknologi fixed proportion dalam mengubah bahan mentah menjadi

bahan setengah jadi atau bahan setengah jadi menjadi bahan jadi, sehingga

 

k

Q

k

Q

k

Q

Q

k

Q

CPO

1

;

mg

2 CPO

2 1

k

2

k

1

Q

k

3

Q

atau

,

dimana Q dan q adalah jumlah TBS pada tingkat pasar dan perusahaan, k

q k q q k

qCPO1 ; mg3

1

dan k

2

merupakan rendemen CPO dan minyak goreng, superscript TBS, CPO dan mg

menyatakan tandan buah segar, crude palm oil dan minyak goreng yang

merupakan output yang dihasilkan petani, pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak

goreng.

Skenario 1

Pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

Market power index pabrik minyak goreng diperoleh dari turunan pertama

dari fungsi profit pabrik minyak goreng. Jika diketahui fungsi profit pabrik

minyak goreng

mgD

 

Q k3qS

 

Q k1qcok1q

, di mana

menunjukkan

inverse demand yang dihadapi pabrik minyak goreng,

 

Q

D

 

Q


(24)

baku atau CPO, dan

menunjukkan biaya marjinal pengolahan dari CPO

menjadi minyak goreng. Turunan pertama dari fungsi profit adalah sebagai

berikut:

o

c

Persamaan 1

 

 

0

1

3









q

q

Q

Q

Q

S

c

P

k

q

q

Q

Q

Q

D

P

k

q

o CPO mg mg

  atau 

Persamaan 2









 

1

o

CPO mg CPO mg mg mg

c

P

k

P

k

1

1

1 3

di mana

CPO

CPO CPO CPO CPO

P

Q

Q

P

adalah elastisitas harga suplai CPO (oleh PKS),

mg mg mg mg mg

Q

P

P

Q

1

adalah nilai absolut elastisitas harga permintaan minyak

goreng oleh konsumen yang berperlaku kompetitif, dan

CPO

CPO CPO CPO mg

Q

q

q

Q

,

mg mg mg mg mg

Q

q

q

Q

adalah conjectural elasticities pabrik minyak goreng.

dan

mengukur oligopsony market power dan oligopoly

market power pabrik minyak goreng dalam membeli CPO ke PKS dan menjual

minyak goreng CPO ke konsumen. Nilai 0 menunjukkan kondisi persaingan

sempurna, sedangkan nilai 1 menunjukkan kondisi monopsoni atau monopoli.

 

0

,

1

mg

mg

0

,

1

Skenario 2

PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

Market power index PKS diperoleh dari turunan pertama dari fungsi profit


(25)

 

Q

D

CPO

menunjukkan inverse demand yang dihadapi PKS,

merupakan

inverse suplai bahan baku atau TBS, dan

menunjukkan biaya marjinal

pengolahan dari TBS menjadi CPO. Turunan pertama dari fungsi profit adalah

sebagai berikut:

 

Q

S

TBS

o

c

1

Persamaan 3

 

 

0

1

q

q

Q

Q

Q

S

c

q

q

Q

Q

Q

D

P

k

q

TBS o TBS CPO CPO PKS

P

  atau   

Persamaan 4





TBS PKS





 

0

1

1

P

1

P

1

c

1

k

CPO TBS

PKS CPO

di mana

TBS

TBS TBS TBS TBS

Q

P

P

Q

adalah elastisitas harga suplai TBS,

CPO CPO CPO CPO

Q

P

P

Q

CPO

1

adalah nilai absolut elastisitas harga permintaan CPO oleh

pabrik minyak goreng yang berperlaku kompetitif, dan

PKS

PKS PKS PKS PKS

Q

q

q

Q

,

CPO CPO CPO CPO PKS

q

Q

0

,

PKS

Q

q

adalah conjectural elasticities PKS.

dan

mengukur oligopsony market power dan oligopoly market power PKS

dalam membeli TBS ke petani dan menjual CPO ke pabrik minyak goreng. Nilai 0

menunjukkan kondisi persaingan sempurna, sedangkan nilai 1 menunjukkan

kondisi monopsoni atau monopoli.

0

,

1

PKS

1

Skenario 3


(26)

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopoly power

Pada skenario 3 ini baik PKS maupun produsen minyak goreng yang

berada pada rantai produsen minyak goreng mempunyai oligopoly power. Market

power index successive oligopoly power diperoleh dari turunan pertama dari

fungsi profit produsen minyak goreng dan PKS. Dalam hal ini harga minyak

goreng ditentukan berdasarkan 2 tahap. Tahap pertama, harga CPO ditentukan

oleh PKS yang dapat mempunyai oligopoly power tetapi berlaku kompetitif dalam

pasar input. Dengan kata lain, harga output yang merupakan variabel yaitu invers

demand dari perusahaan minyak goreng

D

CPO

 

Q

sedangkan harga input

merupakan konstanta

P

TBS

. Dengan demikian, fungsi profit PKS dapat dinyatakan

sebagai

, dengan turunan pertama dari fungsi

profit menjadi:

 

Q

k

1

q

P

q

c

q

D

CPO TBS

PKS 0 1

Persamaan 5

0 1 1

1

P

1

P

c

k

TBS

CPO PKS

CPO





 

atau      





 

CPO PKS TBS CPO

k

c

P

P

1 1 0 1

1

 

Tahap kedua, harga minyak goreng ditentukan oleh pabrik minyak goreng

yang juga dapat mempunyai oligopoly power tetapi berlaku kompetitif dalam

pasar input. Dengan kata lain, harga output juga merupakan variabel yaitu invers

demand minyak goreng

D

mg

 

Q

sedangkan harga input merupakan konstanta

CPO

P

. Dengan demikian, fungsi profit pabrik minyak goreng dapat dinyatakan

sebagai

, dengan turunan pertamanya sebagai

berikut:

 

Q k q c k q

Dmg o

mg

1

3 

qPCPOk1

Persamaan 6

0 1

3

P

1

k

P

c

k

mg CPO

mg

mg





 


(27)

atau





 

mg mg CPO

mg

P

c

k

k

P

1

0 3 1

Dengan harga CPO yang telah ditetapkan PKS sebesar





 

CPO PKS TBS CPO

k

c

P

P

1 1 0 1

1

atau

0

1 , c

Q D

PCPOCPO

PKS

, yang menunjukkan inverse demand CPO oleh pabrik

minyak goreng, given market power index PKS dan biaya marjinal pengolahan

TBS menjadi CPO maka Persamaan 6 dapat ditulis menjadi





 





 

0

1 1 0 1 3

1

1

P

c

k

c

P

k

CPO PKS TBS mg mg mg

atau





 





 



0 1 1 0 1

3

1

1

1

c

k

c

P

k

P

CPO PKS TBS mg mg mg

Skenario 4

PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai successive oligopsony

power.

Pada skenario ini baik PKS maupun produsen minyak goreng yang berada

pada rantai produsen minyak goreng mempunyai oligopsony power. Market

power index successive oligopsony power diperoleh dari turunan pertama dari

fungsi profit produsen minyak goreng dan PKS. Analog dengan skenario 3,

dalam hal ini harga TBS juga ditentukan berdasarkan 2 tahap. Tahap pertama,

harga CPO ditentukan oleh pabrik minyak goreng yang dapat mempunyai

oligopsony power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar output. Dengan kata lain,

harga input yang merupakan variabel yaitu invers supply dari PKS

S

CPO

 

Q


(28)

profit pabrik minyak goreng dapat dinyatakan sebagai

, dengan turunan pertamanya sebagai berikut:

 

Q kq c k q S

q k

Pmg CPO o

mg

1 1

3  

Persamaan 7



CPO mg

P

k

P

k

3 1

1



o CPO PKS

c

atau  









CPO PKS o mg CPO

c

P

k

k

P

1

1 3

Tahap kedua, harga TBS ditentukan oleh PKS yang juga dapat mempunyai

oligopsony power tetapi berlaku kompetitif dalam pasar output. Dengan kata lain,

harga input juga merupakan variabel yaitu invers supply TBS

sedangkan

harga output merupakan konstanta

 

Q

S

TBS

CPO

P

atau

P

CPO

S

CPO

Q

mg

, c

0

yang

menunjukkan inverse supply CPO oleh PKS, given market power index pabrik

minyak goreng dan biaya marjinal pengolahan CPO menjadi minyak goreng.

Dengan demikian, fungsi profit PKS dapat dinyatakan sebagai

 

Q

k

q

S

 

Q

q

c

q

P

CPO TBS

PKS 0

1

1

, dengan turunan pertama dari fungsi profit

menjadi:

Persamaan 8

o TBS PKS TBS CPO

c

P

k

P

1

1

1





 

atau  TBS PKS o CPO TBS

P

k

c

P

1

1 1  


(29)

Dengan harga CPO given market power index pabrik minyak goreng pada

Persamaan 7, maka Persamaan 8 dapat dinyatakan sebagai





 





 





TBS PKS o TBS PKS o mg TBS

c

k

c

P

k

k

P

1

1

1 1 2 1 3

4.5.2. Analisa Kesejahteraan

Dalam studi ini kesejahteraan diukur dengan consumer surplus dari

konsumen akhir minyak goreng dan producer surplus produsen TBS. Consumer

surplus dan producer surplus dari masing-masing 4 skenario tersebut di atas

dibandingkan dengan kondisi persaingan sempurna untuk melihat perubahan

surplus yang diterima konsumen minyak goreng maupun produsen TBS akibat

market power.

Skenario 1

Gambar 4. 1 PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

                  F 

Dmg(Q)

I  D  B  A 

SP SSK(Q) TBS

(Q)

MOSPKS(Q)


(30)

Pada skenario 1 PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

Jika kurva demand dan supply linear, maka perubahan surplus dapat diilustrasikan

dengan Gambar 4. 1. Tanpa oligopsony dan oligopoly power, CPO ekuilibrium

adalah sebanyak Q

1

dan harga E. Pada saat itu jumlah minyak goreng adalah

sebesar

mg

Q k Q

1 1

1

dengan harga D. Consumer surplus dari konsumen akhir

minyak goreng adalah sebesar segitiga ADF, dan producer surplus petani

perkebunan rakyat adalah sebesar segitiga GIJ. Jika PKS mempraktekkan

oligopsony dan oligopoly power, maka output ekuilibrium akan berkurang

menjadi Q

2

.

Pada saat itu consumer surplus dari konsumen akhir minyak goreng

berkurang menjadi segitiga ABC, sedangkan producer surplus petani perkebunan

rakyat berkurang menjadi segitiga HIK.

Skenario 2

Gambar 4. 2 Pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan

oligopoly power.

                 

K  H

DPKS(Q) Dr

(Q)

Jumlah CPO  Q2  Q1 

MRPKS(Q)

F  D 

C  B 

MOSmg(Q)

SPKS(Q)

STBS(Q) 

Jumlah migor  Harga migor 


(31)

Dr(Q) Dmg(Q)

K  Q2  Q1  I 

MRmg(Q)

G  J 

Pada skenario 2 pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan

oligopoly power. Jika kurva demand dan supply linear, maka perubahan surplus

dapat diilustrasikan dengan Gambar 4. 2. Tanpa oligopsony dan oligopoly power,

output ekuilibrium adalah sebanyak Q

1

dengan harga E. Pada saat itu jumlah

minyak goreng adalah sebesar Q

1

dengan harga D. Consumer surplus dari

konsumen akhir minyak goreng adalah sebesar segitiga ADF, dan producer

surplus petani perkebunan rakyat adalah sebesar segitiga GIJ. Jika PKS

mempraktekkan oligopsony dan oligopoly power, maka output ekuilibrium akan

berkurang menjadi Q

2

.

Pada saat itu consumer surplus dari konsumen akhir

minyak goreng berkurang menjadi segitiga ABC, sedangkan producer surplus

petani perkebunan rakyat berkurang menjadi segitiga HIK.

Skenario 3

Gambar 4.3 PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai succesive

oligopoly power dengan PKS dapat mempunyai oligopsony

power

               

Dmg(Q)

C

I  D  B  A 

SP SSK(Q) TBS

(Q) MOSPKS(


(32)

   

   

Q3 Q2  Q1 

MRPKS(Q) = DTBS(Q)

K  H

G  E 

MRmg(Q) = DPKS(Q) D r

(Q)

Pada skenario 3, PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai

succesive oligopoly power dan PKS juga dapat mempunyai oligopsony power.

Jika kurva demand dan supply linear, maka perubahan surplus dapat diilustrasikan

dengan Gambar 4.3. Tanpa oligopsony dan oligopoly power, CPO ekuilibrium

adalah sebanyak Q

1

dan harga E. Pada saat itu jumlah minyak goreng adalah

sebesar

mg

Q k Q

1 1

1

dengan harga D. Consumer surplus dari konsumen akhir

minyak goreng adalah sebesar segitiga ADF, dan producer surplus petani

perkebunan rakyat adalah sebesar segitiga GIJ. Jika PKS dan pabrik minyak

goreng mempraktekkan sucessive oligopoly power dan PKS juga mempunyai

oligopsony power, maka output ekuilibrium akan berkurang menjadi Q3

. Pada

saat itu consumer surplus dari konsumen akhir minyak goreng berkurang menjadi

segitiga ABC, sedangkan producer surplus petani perkebunan rakyat berkurang

menjadi segitiga HIK.

Skenario 4

Gambar 4.4 PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai succesive

oligopsony power dengan pabrik minyak goreng dapat

mempunyai oligopoly power

 

   

C

MOSPKS(Q) = Smg(Q)


(33)

             

   

MRmg(Q)

K  H

J  D 

SPKS(Q)

STBS(Q)

Dr(Q)

Q3  Q2  Q1 

Pada skenario 4, PKS dan pabrik minyak goreng dapat mempunyai

succesive oligopsony power dan pabrik minyak goreng juga dapat mempunyai

oligopoly power. Jika kurva demand dan supply linear, maka perubahan surplus

dapat diilustrasikan dengan Gambar 4. Tanpa oligopsony dan oligopoly power,

CPO ekuilibrium adalah sebanyak Q

1

dan harga E. Pada saat itu jumlah minyak

goreng adalah sebesar

mg

Q k Q

1 1

1

dengan harga D. Consumer surplus dari

konsumen akhir minyak goreng adalah sebesar segitiga ADF, dan producer

surplus petani perkebunan rakyat adalah sebesar segitiga GIJ. Jika PKS dan

pabrik minyak goreng mempraktekkan sucessive oligopoly power dan PKS juga

mempunyai oligopsony power, maka output ekuilibrium akan berkurang menjadi

Q

3

. Pada saat itu consumer surplus dari konsumen akhir minyak goreng

berkurang menjadi segitiga ABC, sedangkan producer surplus petani perkebunan

rakyat berkurang menjadi segitiga HIK.


(34)

 

4.6.Jadwal  

Pada proposal ditentukan 10 bulan jadwal penelitian sebagai berikut: 

Tabel 2  Jadwal dan Kegiatan Penelitian Tahun Pertama 

Bulan (Tahun I)  No  Kegiatan 

1  2  3  4  5  6  7  8  9  10  1  Persiapan Penelitian                                2  Pengumpulan data                                

Pengolahan data model 

NEIO                              

4  Analisis dan evaluasi                               5  Penyusunan draft laporan                               6  Seminar lokal                               7  Penulisan laporan akhir                                8  Penyerahan laporan akhir                               

                   


(35)

Namun demikian, terjadi perubahan jadwal penelitian menjadi 8 bulan dari  bulan  Mei  dan  berakhir  pada  bulan  Desember  pada  saat  laporan  akhir  harus  dikumpulkan.  Dengan demikian dilakukan perubahan jadwal sebagai berikut: 

Tabel 3 Perubahan  Jadwal dan Kegiatan Penelitian Tahun Pertama 

Bulan (Tahun I)  No  Kegiatan 

5  6  7  8  9  10  11  12  1  Persiapan Penelitian                          2  Pengumpulan data                           3  Pengolahan data                          4  Analisis dan pembahasan                         5  Penyusunan draft laporan                         6  Seminar lokal                         7  Penulisan laporan akhir                          8  Penyerahan laporan akhir                         

 

Jadwal disusun berdasarkan kondisi lapang yang telah berjalan.   Kegiatan 1 dan 2  merupakan kegiatan yang paling panjang waktunya.  Lamanya waktu yang dibutuhkan  untuk persiapan penelitian karena sulitnya memperoleh izin untuk meneliti di PKS dan  pabrik minyak goreng.  Alasan utama adalah menjaga kerahasiaan perusahaan, terutama  yang  berkaitan  dengan  data  finansial.    Walaupun  telah  dinyatakan  bahwa  nama  perusahaan tidak akan dicantumkan, beberapa perusahaan tetap menolak.   Untuk  kegiatan 2, lamanya waktu  yang dibutuhkan untuk mengumpulkan data  terutama  karena lokasi PKS yang tersebar di berbagai daerah di Labuhan Batu.  Kegiatan lain tidak  terlalu lama karena dilakukan dengan tidak melibatkan kewenangan dan partisipasi  pihak lain.  


(36)

 

4.7.Keluaran yang Diharapkan pada Tahun Pertama 

Pada tahun pertama dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder yang  akan digunakan untuk analisa NEIO. Pengumpulan data penelitian dilakukan di Pemko  Medan, Pemkab Labuhan Batu dan Pemkab Serdang Bedagai, yang merupakan sentra  perkebunan  kelapa  sawit  di  Propinsi  Sumatera  Utara. Dengan menggunakan data  tersebut pada analisa NEIO keluaran yang diharapkan adalah: 

a. Diketahui perilaku persaingan pada pasar TBS, CPO dan minyak goreng domestik  dengan menggunakan 4 skenario dalam ukuran market power index masing‐ masing pelaku pasar.  

b. Diketahui  dampak  market  power  pada  masing‐masing  skenario  terhadap  kesejahteraan petani dan konsumen akhir. 

 

4.8.Metode Estimasi 

Untuk mengetahui perilaku tersebut digunakan METODE NEIO dengan 4 skenario  pada 3 jenis pasar sebagai berikut 

jenis ps.  skenario 1:   skenario 

2  skenario 3  skenario 4  ps. TBS  PPS  hasil θ  PPS  hasil θ  ps. CPO  hasil θ  hasil ξ  hasil ξ  hasil θ  ps. Migor  hasil ξ  PPS  hasil ξ  PPS 

         


(37)

 

Skenario 1 

Pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

  petani PKS pabrik migor konsumen        









 

o

CPO mg CPO mg mg mg

c

P

k

P

k

1

1

1 1 3     CPO CPO CPO CPO CPO

Q

P

P

Q


(38)

  mg mg mg mg mg

Q

P

P

Q

1

 ; (nilai absolut) elastisitas permintaan minyak goreng (oleh  konsumen yang berperilaku kompetitif) 

  CPO CPO CPO CPO mg

Q

q

q

Q

oligopsony market power pabrik minyak goreng 

mg mg mg mg mg

Q

q

q

Q

 adalah oligopoly market power pabrik minyak goreng 

o

c  ;  biaya marjinal pengolahan dari CPO menjadi minyak goreng. 

 

k

Q

k

Q

k

Q

Q

k

Q

CPO

1

;

mg

2 CPO

2 1

k

2

k

1

Q

k

3

Q

atau

q k q q k

qCPO  1 ; mg  3

k

1

dan k

2

merupakan rendemen CPO dan minyak goreng, dan k

3

= k

1

k

2

Untuk mendapatkan perilaku persaingan pabrik migor (oligopoli dan oligopsoni) diukur    market power index dengan perhitungan sebagai berikut:  

Dengan data lapangan diketahui k1, k3, nilai rata‐rata Pmg dan Pcpo.  Dengan  estimasi diketahui elastisitas supply dan demand.  Sehingga semua komponen diketahui  kecuali MP index untuk oligopoly dan oligopsoni. 

Dengan memasukkan semua nilai, maka dapat diketahui rasio MP indeks 

mg mg

 

sebesar konstanta , di mana  ; oligopsony market power pabrik minyak goreng dan 

 adalah oligopoly market power pabrik minyak goreng.   

mg

mg

Jika     atau     maka    

0

mg mg

mg 0

0

mg mg

 

Artinya jika dari hasil perhitungan diperoleh konstanta nilai rasio MP indeks  sebesar 0,   maka dapat dikatakan terdapat 2 kemungkinan, pabrik minyak goreng  berlaku kompetitif baik sebagai penjual maupun pembeli, atau hanya kompetitif sebagai  pembeli. 


(39)

Jika     dan     maka    

0

mg 0  mg

mg

mg

 

Artinya jika dari hasil perhitungan diperoleh konstanta nilai rasio MP indeks  sebesar  ,   maka dapat dikatakan bahwa pabrik minyak goreng berlaku kompetitif  sebagai penjual tetapi tidak sebagai pembeli. Jika  

   maka     

0

mg mg

0

mg mg

 

Artinya jika dari hasil perhitungan diperoleh konstanta nilai rasio MP indeks  yang  positif,    maka  dapat  dikatakan  bahwa  pabrik  minyak  goreng  tidak  berlaku  kompetitif baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. 

     

Untuk  mengetahui  dampak  market power pabrik  minyak  goreng terhadap  kesejahteraan petani dan konsumen akhir pada skenario 1 ini digunakan perhitungan  sebagai berikut: 

Gambar 4.5 Pabrik minyak goreng dapat mempunyai oligopsony dan

oligopoly power.

 Harga migor 

MCmg(Q)

                F  D  C  B  A 

SCPO(Q)

STBS(Q)  Smg(Q)


(40)

 

Pasar: migor 

Produsen: pabrik migor (Smg) 

Supply pabrik migor (migor) merupakan derived demand dari supply PKS (CPO)  Konsumen: wholesaler (Dmg) 

Demand wholesaler merupakan derived demand dari konsumen akhir/ retailer 

 

Pada  saat  pabrik  migor  tidak  mempunyai  market  power,    Smg=Dmg.   Keseimbangan berada di Q1, dengan harga jual pada konsumen akhir sebesar D, dan 

harga beli TBS sebesar G.  Pada saat itu kesejahteraan konsumen akhir ditunjukkan oleh  consumer surplius sebesar ADF, dan kesejahteraan petani ditunjukkan oleh producer  surplus sebesar IGJ. 

Dengan adanya oligopoly dan oligopsony power pabrik migor, keseimbangan  dibentuk oleh MRmg=MCmg, dengan jumlah migor sebanyak Q2, harga jual yang diterima 

konsumen akhir sebesar B dan  harga beli TBS sebesar H.  Pada keseimbangan baru ini  kesejahteraan konsumen akhir tinggal sebesar ABC, sedangkan   petani tinggal sebesar  HIK. 

Perhitungan  surplus  konsumen dilakukan  dengan metode integrasi  dengan  menghitung  luas  areal  di  bawah  kurva  demand  dan  di  atas  harga.    Kemudian  dibandingkan surplus konsumen pada harga kompetitif dan harga yang berlaku.  Harga  kompetitif diperoleh dengan menetapkan nilai  sehingga persamaan  pada scenario 1 menjadi  

0

mg mg

CPO o

mg

c P

k P

k3  1 

 

dan dapat dihitung rasio harga minyak  goreng dan CPO  CPO

mg

P

P

 

pada kondisi kompetitif. Harga market power diperoleh dari  harga rata‐rata sampel.  

K  Q2 

Dr(Q) Dmg(Q)

Q1 

MRmg(Q)

J  I 


(41)

Dampak market power dianalisa dengan melihat selisih CS dan PS pada kedua  titik keseimbangan tersebut. Selanjutnya dari hasil analisa tersebut dapat disarankan  jumlah subsidi atau penetapan harga yang optimal, yaitu yang dapat merubah kondisi  non kompetitif menjadi kondisi kompetitif.   Dengan kata lain, kebijakan subsidi dan  penetapan harga tidak lagi hanya bersifat reaktif tetapi lebih ditujukan pada target  pencapain pasar kompetitif yang lebih efisien  

 

Skenario 2 

PKS dapat mempunyai oligopsony dan oligopoly power.

petani PKS pabrik migor konsumen    









 

0

1

1

P

1

P

1

c

1

k

TBS PKS TBS CPO PKS CPO

  TBS TBS TBS TBS TBS

Q

P

P

Q


(1)

  Filma  23,000 21,500  24 8

  Sania  21,000 19,100  24 8

  Fortune  19,000 17,600  24 12

40  Madina  22,000 21,000  26 24

  Sania  21,000 20,500  28 25

  Tropical  21,000 20,500  15 15

 

Maulana  Helvetia  Pengecer 

Citra   22,000 21,000  15 10

41  Sania  22,000 20,300  24 12

  Madina  20,000 19,300  24 12

 

Helentina  Helvetia  Pengecer 

Fortune  20,000 18,700  24 12

42  Tropical  23,000 21,000  26 26

 

Elly  Melati  Pengecer 

Bimoli  24,000 22,000  30 30

43  Madina  21,000 19,000  24 20

 

Fariz  Melati  Pengecer 

Bimoli  25,000 23,500  30 26

44  Bimoli  23,000 22,000  24 18

  

Pinem  Pringgan  Pengecer 

Filma  21,000 20,000  24 12

Rata‐Rata  14,122 13,768  674 30

   


(2)

Lampiran 15.  Data Estimasi 

   (1)  (2)  (3)  (4)  (5)  (6)  (7)  (8)  (9)  (10)  (11) 

Bulan  IHK  P cpo  P migor 

retail 

Q cpo  supply 

P cpo  int. 

Nilai  tukar 

P migor  produsen 

Q cpo 

demand  dummy 

Q migor  supply 

P olein  int. 

    (Rp/ kg)  (Rp/ kg)  (kg)  (US$/kg) (Rp/US$) (Rp/ kg)  kg  hr.besar kg  Rp/kg 

jan 06  129.42  3363.74  3654.148  9872377  420.9  9466.17  3654.15  9,872,377  1  2000000  3575.28  feb 06  129.08  3454.27  3599.93  9154752  441.3  9281.81  3599.93  9,154,752  0  2004420  3518.98  mar 06  129.34  3465.8  3738.871  10382343  438.1  9177.32  3738.87  10,382,343  0  1311210  3621.36  april 06  128.96  3352.63  3567.435  9859628  434  8973.41  3567.43  9,859,628  0  1692510  3505.62  mei 06  127.92  3408.99  3537.426  10332735  438.9  9217.44  3537.43  10,332,735  0  1002050  3602.49  juni 06  127.98  3528  3845.876  7807372  437.2  9341.83  3845.88  7,807,372  0  2007150  3872.45  juli 06  127.79  3524.19  3717.13  8805147  466.7  9141.17  3717.13  8,805,147  0  1000650  3719.14 

agt 06  125.92  3801.08    10282914  511  9092.81  3876.14  10,282,914  0  0  3895.46 

sept 06  123.13  3736.18  4090  9951661  497.4  9147.41  4090.00  9,951,661  1  2270  4189.94  okt 06  136.44  3715.51  4090  7728439  496.6  9159.73  4090.00  7,728,439  1  7170  4119.24  nov 06  132.4  4010.31  4340  7742163  540.5  9167.58  4340.00  7,742,163  0  1930  4114.60  des 06  134.6  4431.96  4278.838  9723108  579.6  9113.94  4278.84  9,723,108  0  3270  4412.52  jan 07  140.56  4602.91  5013.189  10101081  597.3  9117.87  5013.19  10,101,081  1  1001830  4711.20  feb 07  139.66  4654.5  4977.937  9123292  602.4  9092.38  4977.94  9,123,292  0  1002610  4990.86  Mar 07  140.17  4851.81  5000  10353982  618.2  9150.41  5000.00  10,353,982  0  4300  5132.87  april 07  144.45  5442.72  5688.308  10061224  705.8  9107.12  5688.00  10,061,224  0  1001450  5056.05  mei 07  148.61  5873.56    10251128  765.1  8716.61  5686.51  10,251,128  0  0  5142.55 


(3)

   (1)  (2)  (3)  (4)  (5)  (6)  (7)  (8)  (9)  (10)  (11) 

Bulan  IHK  P cpo  P migor 

retail 

Q cpo  supply 

P cpo  int. 

Nilai  tukar 

P migor  produsen 

Q cpo 

demand  dummy 

Q migor  supply 

P olein  int. 

    (Rp/ kg)  (Rp/ kg)  (kg)  (US$/kg) (Rp/US$) (Rp/ kg)  kg  hr.besar kg  Rp/kg 

agt 07  156.02  6339.27  5838.73  9826498  819.9  9371.42  5838.73  9,826,498  0  2010300  5785.43  sept 07  157.33  6332.35  5897.742  9830648  823.5  9135.77  5897.74  9,830,648  1  6310  6182.13  okt 07  170.3  6432.91  5910  6899244  873.2  9141.86  5910.00  6,899,244  1  8030  6084.74  nov 07  176.76  7093.15    10033956  947.5  9213.17  5987.65  10,033,956  0  0  6849.89  des 07  178.82  7152.89  6000  10356786  950.1  9341.11  5997.89  10,356,786  0  12390  6941.93  jan 08  184.29  7664.47  9292.571  8869987  979.2  9484.17  5013.19  8,869,987  1  5800  6685.01  feb 08  196.07  8562.9  8439.377  9165398  1079.9  9120.48  4977.94  9,165,398  0  1006360  6812.29  mar 08  213.84  8687.33  8483.157  10103394  1173.1  9178.18  5000.00  10,103,394  0  8990  6636.48  april 08  215.04  8222.08  8500  7595075  1174  9291.43  5688.00  7,595,075  0  10390  6639.07  mei 08  216.57  8952.27  8500  9996663  1193  9278.59  5686.51  9,996,663  0  8260  7131.03  juni 08  141.76  8678.43  8500  9515010  1209  9251.47  5689.05  9,515,010  0  9230  6011.48  juli 08  141.29  8070.71  8500  8285172  1118  9148.58  5651.39  8,285,172  0  14240  6967.34  agt 08  138.62  6286.74  7870.258  9088859  916  9173.61  5838.73  9,088,859  1  5440  8338.82  sept 08  135.29  5316.47  7500  9542577  770  9298.31  5897.74  9,542,577  1  6590  9334.26  okt 08  129.77  3,096.45  7500  5155378  531  9831.26  5910.00  5,155,378  0  2160  11612.95 nov 08  124.16  4164.45  5804.512  4384375  531  11832.18 5987.65  4,384,375  0  2950  14432.26 des 08  125.66  4658.23    6658026  531  11960.2  5997.89  6,658,026  0  1000000  12569.74

Rataan  149.39  5478.86  5844.25  9075705.42 728.23  9347.72  5028.11  9075705.42   560282.78 6036.28 

   


(4)

Lampiran 16.  Hasil Estimasi  16.1. Fungsi Suplai CPO domestik 

Model     Unstandardized Coefficients 

Standardized 

Coefficients  Sig. 

      Std. Error  Beta  Std. Error 

1  (Constant)  8216595.796 1231489.835    6.672  .000

   P riil cpo dom  437884.575 82007.815 2.458  5.340  .000

   P riil cpo int  ‐324085.169 65834.550 ‐2.418  ‐4.923  .000

   P riil migor dom  ‐14048.087 34713.871 ‐.061  ‐.405  .688

   hari besar  120044.581 390549.049 .036  .307  .761

2  (Constant)  8237323.198 1212119.403    6.796  .000

   P riil cpo dom  437884.351 80839.178 2.458  5.417  .000

   P riil cpo int  ‐324332.625 64891.535 ‐2.420  ‐4.998  .000

   P riil migor dom  ‐13452.172 34165.780 ‐.059  ‐.394  .696

3  (Constant)  7863755.087 744624.964    10.561  .000

   P riil cpo dom  454609.374 67892.938 2.552  6.696  .000

   P riil cpo int  ‐339747.943 51083.048 ‐2.535  ‐6.651  .000

a  Dependent Variable: Q cpo supply 

 

   

16.2.  Fungsi Permintaan Minyak Goreng 

Unstandardized  Coefficients 

Standardized 

Coefficients  Sig. 


(5)

(Constant)  11.807 4.380   2.696  .009

P migor  ‐.001 .001 ‐.235 ‐1.954  .056

income  1.17E‐006 .000 .372 3.027  .004

dependant  .279 .228 .146 1.220  .228

education  ‐.166 .076 ‐.266 ‐2.186  .033

(Constant)  12.458 4.367   2.853  .006

P migor  ‐.001 .001 ‐.223 ‐1.855  .069

income  1.25E‐006 .000 .396 3.249  .002

education  ‐.169 .076 ‐.271 ‐2.218  .031

a  Dependent Variable: Q migor demand   

     

 

16.3.  Fungsi Suplai TBS 

 Model     Unstandardized Coefficients 

Standardized 

Coefficients  Sig. 

      Std. Error  Beta  Std. Error 

1  (Constant)  ‐53917.812 17616.391    ‐3.061  .004

   P tbs  44.781 18.831 .349  2.378  .022

   kredit  11265.027 4032.140 .380  2.794  .008


(6)

   luas lahan  95.246 201.658 .074  .472  .639

   persentase luas TM  36.785 48.041 .097  .766  .448

   jenis bibit  2506.400 5347.024 .060  .469  .642

2  (Constant)  ‐53029.188 17358.103    ‐3.055  .004

   P tbs  46.065 18.465 .359  2.495  .016

   kredit  11166.826 3990.831 .377  2.798  .008

   lama ustan  184.830 167.097 .135  1.106  .275

   luas lahan  95.081 199.861 .073  .476  .637

   persentase luas TM  42.257 46.186 .111  .915  .365

3  (Constant)  ‐57786.554 14065.634    ‐4.108  .000

   P tbs  50.802 15.416 .396  3.295  .002

   kredit  11980.880 3574.242 .404  3.352  .002

   lama ustan  194.592 164.401 .142  1.184  .243

   persentase luas TM  42.729 45.777 .113  .933  .356

4  (Constant)  ‐57869.864 14045.658    ‐4.120  .000

   P tbs  54.494 14.879 .425  3.662  .001

   kredit  11633.939 3549.886 .392  3.277  .002

   lama ustan  195.121 164.170 .142  1.189  .241

5  (Constant)  ‐54980.237 13894.226    ‐3.957  .000

   P tbs  53.676 14.929 .419  3.595  .001

   kredit  12682.648 3453.539 .428  3.672  .001

a  Dependent Variable: Q tpb supply