Y = 9179709 + 82744,137 X
2
– 70949,400 X
3
8,023 1,832 ‐5,041 R
2
= 0.542 F
hit
= 19,499
Hasil estimasi menunjukkan bahwa 54 variasi permintaan CPO oelh pabrik
minyak goreng dapat diterangkan oleh harga domestik riil minyak goreng dan harga
internasional riil olein. Nilai koefisien variabel harga domestik riil minyak goreng
menunjukkan bahwa peningkatan harga minyak goreng menyebabkan peningkatan
jumlah permintaan CPO, yang merupakan bahan utama dengan kontribusi lebih dari
95 dari total biaya produksi Lampiran 7. Dengan rendemen CPO menjadi minyak
goreng hampir mencapai 80, maka peningkatan harga riil inyak goreng sebesar
Rp100, ‐ dapat menyebabkan peningkatan permintaan CPO sebesar 827,441 ton.
Sebaliknya, peningkatan harga riil minyak goreng di pasar internasional sebesar Rp100,‐
dapat menyebabkan pengurangan permintaan sekitar 709 ton.
Untuk menghitung elastisitas demand CPO untuk pabrik minyak goreng,
diperlukan koefisien regresi dari variabel harga CPO. Namun demikian, melalui metode
backward, variabel harga dieliminir dari estimasi akhir. Agar elastisitas dapat dihitung,
maka model awal digunakan sebagai alternatif. Fungsi model awal tersebut adalah
sebagai berikut:
Y = 8698474 +26751,801 X
1
+64372,465 X
2
‐67453,9 X
3
7,225 1,209 1,359 ‐4,726 R
2
= 0,562 F
hit
= 13,669
Dengan menggunakan koefisien harga CPO, harga riil dan jumlah rata‐rata CPO,
maka diperoleh elastisitas demand CPO sebesar 0,106. Hal tersebut menunjukkan
permintaan CPO oleh pabrik minyak goreng yang relatif inelastis. Artinya perubahan
harga CPO tidak terlalu mempengaruhi jumlah yang diminta. Dalam kasus ini, hal
tersebut dapat terjadi karena dengan hubungan integrasi vertikal , pabrik minyak goreng
membeli CPO bukan dengan harga pasar melainkan dengan HPP.
3. Market Power Index
Universitas Sumatera Utara
Dari data primer diketahui bahwa nilai rendemen TBS k
1
sebesar 21,98. Dengan
asumsi keseimbangan jangka panjang, nilai riil biaya marjinal pengolahan dari TBS
menjadi CPO didekati dari biaya rata‐ratanya sebesar Rp1.228kg, sedangkan harga riil
rata‐rata TBS dan CPO masing‐masing sebesar Rp7,08,‐kg dan Rp36,04,‐kg. Selanjutnya,
dengan menggunakan hasil perhitungan elastisitas penawaran TBS dan elastisitas
permintaan CPO yang telah dihitung, diperoleh persamaan
Persamaan 10
0,841 = 0,331 θ
PKS
+ 74,73 ξ
PKS
.
Persamaan tersebut menunjukkan adanya indikasi market power karena bahwa
kondisi θ
PKS
= ξ
PKS
= 0 tidak mungkin terjadi dalam kasus ini. Artinya, tidak mungkin PKS
bersikap bersaing sekaligus sebagai pembeli TBS dari petani dan sebagai penjual CPO ke
pabrik minyak goreng.
Dari pengumpulan informasi di lapang diketahui bahwa PKS berintegrasi dengan
pabrik minyak goreng dan menjual CPO dengan HPP. Dari pengumpulan informasi di
lapang juga diketahui bahwa masih banyak petani yang hanya mengikuti harga yang
ditetapkan pedagang pengumpul agen PKS. Jika diasumsikan nilai θ =1 dan dengan
menggunakan rumus pada skenario 2, maka diperoleh nilai ξ
PKS
menjadi 0,007. Hal tersebut
sesuai dengan dugaan semula, di mana penjualan CPO ke perusahaan yang berintegrasi
umumnya dengan HPP dan nilai ξ
PKS
akan mendekati nol. Jika diasumsikan nilai
ξ =0 dan dengan menggunakan rumus pada skenario 2, maka diperoleh nilai θ
PKS
sebesar ‐5.3. Nilai θ
PKS
0 mengindikasikan bahwa sebagai pembeli, PKS ternyata membeli
TBS dengan harga yang lebih mahal dibandingkan dengan manfaat marjinalnya
harga belinya pada kondisi bersaing. Hal tersebut dapat dilihat dari rumus buyer
index Persamaan 11.
Universitas Sumatera Utara
Persamaan 11
W W
R
Di mana R merupakan revenue nilai manfaat yang diperoleh PKS dengan
membeli TBS, W harga unit yang harus dibayar PKS untuk membeli TBS, ε elastisitas
suplai TBS oleh petani dan θ merupakan buyer index. Nilai negatif hanya akan terjadi
jika R W. Dalam kasus ini harga beli TBS lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada
kondisi kompetitif. Dari Lampiran 6 terlihat bahwa harga rata‐rata pembelian TBS pada
periode Januari – September 2009 adalah sekitar Rp1200,‐, sementara harga produksi
input dan transportasi rata‐rata TBS Tahun 2008 adalah sekitar Rp400,‐ kg Rispa,
2008. Jika tingkat inflasi sebesar 11,5 y‐o‐y inflation, untuk periode Januari 2008 –
Januari 2009, BPS, 2009, maka dapat diperkirakan harga produksi TBS sekitar Rp450,‐
kg. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam periode tersebut harga beli
harga pada kondisi bersaing. Hal tersebut dapat disebabkan oleh meningkatnya harga
jual CPO baik di pasar domestik maupun dipasar internasional dan adanya campur
tangan Pemerintah dalam penetapan harga TBS. Peningkatan harga tersebut
menyebabkan PKS dapat mempertahankan atau meningkatkan marjin penjualannya,
walaupun dengan peningkatan harga pembelian TBS Lihat Persamaan 11.
Sebagaimana yang diketahui bahwa harga TBS ditetapkan oleh Dinas Perkebunan
berdasarkan rumus
Persamaan 12
IS IS
MS MS
TBS
xR H
xR H
k H
Dimana H dan R adalah harga ekspor dan rendemen minyak sawit dan inti sawit, dan k merupakan indeks proporsi. Dari rumus tersebut terlihat bahwa jika
harga ekspor meningkat, maka harga TBS juga akan meningkat. Harga tersebut dapat lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada kondisi bersaing karena biaya
Universitas Sumatera Utara
marjinal atau biaya rata-rata produksi tidak berubah. Data empiris dari Januari sampai September 2009, menunjukkan bahwa perbedaan harga TBS dan harga
CPO rata-rata sekitar 400, dengan perbedaan terbesar dapat mencapai 1350.
Gambar 5.7. Perkembangan Marjin Harga Bulanan TBS dan Harga CPO Minyak Sawit
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan skenario 2 ini, PKS berlaku
kompetitif, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli.
5.2.2. Skenario 3