Elastisitas demand CPO untuk pabrik minyak goreng

dipengaruhi oleh umur tanaman. Pada tiga tahun pertama tanaman kelapa sawit belum berproduksi, kemudian 3–8 tahun tanaman mulai berproduksi, 9–20 mencapai produksi optimal dan setelah itu menurun sampai akhir umur ekonomisnya di tahun ke 25. Dalam kasus ini hubungan positif lebih disebabkan oleh lokasi penelitian di dua tempat yang berbeda. Umumnya produksi dan harga TBS di Kabupaten Labuhan Batu lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Sedang Bedagei. Di samping itu, petani sampel di Kabupaten Labuhan Batu tidak ada lagi yang menggunakan bibit Dura yang umumnya menghasilkan TBS dengan kualitas rendah dan harga murah. Hal tersebut terlihat dari koefisien variabel dummy yang positif, yang menunjukkan bahwa dengan penggunaan bibit berkualitas seperti Marihat, Socfindo dan Tenera, maka jumlah suplai TBS rata-rata dapat meningkat sekitar 1 ton per usahatani. Dengan menyatukan data usahatani dari kedua kabupaten tersebut, maka diperoleh hubungan positif yang demikian. Demikian juga dengan luas lahan. Koefisien luas lahan menunjukkan bahwa setiap penambahan luas lahan sebesar 1 ha dapat meningkatkan suplai TBS sekitar 400 kg. Dengan menggunakan nilai koefisien harga TBS, harga riil data harga diambil pad bulan agustus 2009 dan jumlah rata-rata TBS, maka diperoleh nilai elastisitas sebesar 21,37. Sekali lagi, hal tersebut bukanlah menunjukkan respon produksi akibat perubahan harga, tetapi lebih menunjukkan bahwa harga yang lebih tinggi dapat diperoleh petani dengan skala yang lebih besar seperti di Kabupaten Labuhan Batu

2. Elastisitas demand CPO untuk pabrik minyak goreng

Dengan menggunakan data time series bulanan jumlah permintaan CPO Y dalam kg diregresikan terhadap harga domestik riil CPO X 1 dalam Rpkg, harga domestik riil minyak goreng X 2 dalam Rpkg dan harga internasional riil olein X 3 dalam Rpkg Lampiran 15. Dengan menggunakan metode backward SPSS 15, ternyata harga domestik riil CPO tidak berpengaruh terhadap permintaan CPO oleh pabrik minyak goreng dan dikeluarkan dari estimasi akhir. Hasil estimasinya adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Y = 9179709 + 82744,137 X 2 – 70949,400 X 3 8,023 1,832 ‐5,041 R 2 = 0.542 F hit = 19,499 Hasil estimasi menunjukkan bahwa 54 variasi permintaan CPO oelh pabrik minyak goreng dapat diterangkan oleh harga domestik riil minyak goreng dan harga internasional riil olein. Nilai koefisien variabel harga domestik riil minyak goreng menunjukkan bahwa peningkatan harga minyak goreng menyebabkan peningkatan jumlah permintaan CPO, yang merupakan bahan utama dengan kontribusi lebih dari 95 dari total biaya produksi Lampiran 7. Dengan rendemen CPO menjadi minyak goreng hampir mencapai 80, maka peningkatan harga riil inyak goreng sebesar Rp100, ‐ dapat menyebabkan peningkatan permintaan CPO sebesar 827,441 ton. Sebaliknya, peningkatan harga riil minyak goreng di pasar internasional sebesar Rp100,‐ dapat menyebabkan pengurangan permintaan sekitar 709 ton. Untuk menghitung elastisitas demand CPO untuk pabrik minyak goreng, diperlukan koefisien regresi dari variabel harga CPO. Namun demikian, melalui metode backward, variabel harga dieliminir dari estimasi akhir. Agar elastisitas dapat dihitung, maka model awal digunakan sebagai alternatif. Fungsi model awal tersebut adalah sebagai berikut: Y = 8698474 +26751,801 X 1 +64372,465 X 2 ‐67453,9 X 3 7,225 1,209 1,359 ‐4,726 R 2 = 0,562 F hit = 13,669 Dengan menggunakan koefisien harga CPO, harga riil dan jumlah rata‐rata CPO, maka diperoleh elastisitas demand CPO sebesar 0,106. Hal tersebut menunjukkan permintaan CPO oleh pabrik minyak goreng yang relatif inelastis. Artinya perubahan harga CPO tidak terlalu mempengaruhi jumlah yang diminta. Dalam kasus ini, hal tersebut dapat terjadi karena dengan hubungan integrasi vertikal , pabrik minyak goreng membeli CPO bukan dengan harga pasar melainkan dengan HPP.

3. Market Power Index