Elastisitas suplai TBS ke PKS

1. Elastisitas suplai TBS ke PKS

Dalam model ini, data diperoleh dari 60 petani sampel dari Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Serdang Bedagei Lampiran 9,10 dan 11. Di samping harga X 1 , lama berusaha X 2 , luas lahan X 3 dan persentase luas tanaman menghasilkan X 4 juga dimasukkan sebagai variabel bebas dalam fungsi suplai TBS yang akan diestimasi. Lama berusaha digunakan sebagai proksi untuk mengakomodir pengaruh umur tanaman terhadap jumlah produksi. Data umur tanaman tidak dapat dikumpulkan karena umumnya tanaman kelapa sawit petani mempunyai umur yang cukup beragam dan dalam jumlah yang sedikit‐sedikit. Di samping itu, ditambahkan lagi 2 variabel dummy D 1 dan D 2 untuk penggunaan kredit dan jenis bibit. Sebelum dilakukan estimasi, data dibersihkan dari outlier terlebih dulu. Dalam hal ini, data produsen TBS dengan jumlah suplai sebesar 100.000 kg dikeluarkan dari data estimasi. Dengan menggunakan data tersebut dan dengan metode backward SPSS 15, lama usahatani dan persentase luas tanaman menghasilkan dikeluarkan dari estimasi akhir. Tidak signifikannya pengaruh kedua variabel tersebut kemungkinan besar akibat beragamnya umur tanaman dan dalam skala yang kecil‐kecil. Hasil akhirnya adalah sebagai berikut: Y = ‐4789,138 + 5254 X 1 + 400.859 X 3 + 1070,349 D 2 ‐2,612 2,472 19,592 1,825 R 2 = 0,930 F hit = 198,835 Hasil estimasi menunjukkan bahwa hampir seluruh 93 variasi dalam produksi TBS dapat diterangkan oleh harga TBS, luas lahan dan jenis bibit yang digunakan. Koefisien variabel harga TBS menunjukkan bahwa peningkatan harga TBS sebesar Rp100,-kg akan meningkatkan suplai TBS sebesar 52 ton panen. Tentu peningkatan tersebut tidak disebabkan oleh peningkatan produksi karena kelapa sawit merupakan tanaman tahunan. Peningkatan produksi lebih banyak Universitas Sumatera Utara dipengaruhi oleh umur tanaman. Pada tiga tahun pertama tanaman kelapa sawit belum berproduksi, kemudian 3–8 tahun tanaman mulai berproduksi, 9–20 mencapai produksi optimal dan setelah itu menurun sampai akhir umur ekonomisnya di tahun ke 25. Dalam kasus ini hubungan positif lebih disebabkan oleh lokasi penelitian di dua tempat yang berbeda. Umumnya produksi dan harga TBS di Kabupaten Labuhan Batu lebih tinggi dibandingkan dengan di Kabupaten Sedang Bedagei. Di samping itu, petani sampel di Kabupaten Labuhan Batu tidak ada lagi yang menggunakan bibit Dura yang umumnya menghasilkan TBS dengan kualitas rendah dan harga murah. Hal tersebut terlihat dari koefisien variabel dummy yang positif, yang menunjukkan bahwa dengan penggunaan bibit berkualitas seperti Marihat, Socfindo dan Tenera, maka jumlah suplai TBS rata-rata dapat meningkat sekitar 1 ton per usahatani. Dengan menyatukan data usahatani dari kedua kabupaten tersebut, maka diperoleh hubungan positif yang demikian. Demikian juga dengan luas lahan. Koefisien luas lahan menunjukkan bahwa setiap penambahan luas lahan sebesar 1 ha dapat meningkatkan suplai TBS sekitar 400 kg. Dengan menggunakan nilai koefisien harga TBS, harga riil data harga diambil pad bulan agustus 2009 dan jumlah rata-rata TBS, maka diperoleh nilai elastisitas sebesar 21,37. Sekali lagi, hal tersebut bukanlah menunjukkan respon produksi akibat perubahan harga, tetapi lebih menunjukkan bahwa harga yang lebih tinggi dapat diperoleh petani dengan skala yang lebih besar seperti di Kabupaten Labuhan Batu

2. Elastisitas demand CPO untuk pabrik minyak goreng