Benih kelapa sawit yang sering digunakan pada perkebunan kelapa sawit adalah
hasil persilangan dari varietas Dura Deli betina dengan varietas Pisifera jantan. Hasil
persilangan dari varietas Dura dan Pisifera akan menghasilkan anakan yang bervarietas
Tenera. Kelapa sawit varietas Tenera menjadi tujuan dari kegiatan persilangan karena
kelebihan yang dimilikinya, yaitu: daging buah lebih tebal, ukuran buah lebih besar,
kandungan minyak lebih tinggi, peluang kematangan buah yang sangat tinggi, dan berat
buah cukup tinggi. Hasil penelitian Fauzi et al., 2003 dan Tim Penulis PS, 1994 dalam
Budiyanto et al., 2005 menunjukkan bahwa varietas Dura dan Tenera masing‐masing
mempunyai potensi rendemen sebesar 21,45‐21,76 dan 27,68‐28,05, dengan
nilai aktual di lapangan masing‐masing sebesar 16‐18 dan 22‐24. Di daerah
penelitian, umumnya petani menggunakan bibit yang dikeluarkan oleh Marihat 90
dari total responden dan Socfindo sekitar 25 dari total responden, tetapi ada juga
yang menggunakan varietas Dura dan Tenera selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran
10. Namun demikian, perlu dicatat bahwa banyak bibit Marihat yang digunakan petani
bukanlah merupakan bibit yang telah disertifikasi oleh Marihat. Kebanyakan hanya
mengambil bijinya dari perkebunan negara dan membibitkannya sendiri. Dengan kata
lain, kualitas bibit tersebut tidak dapat dikatakan sama dengan kualitas yang dikelurkan
oleh pembibitan Marihat. Di samping varietas bibit, kegiatan melangsir buah juga dapat
menentukan pada kualitas minyak yang akan diperoleh. Untuk petani responden, alat
yang
sering digunakan adalah sepeda yang telah ditambah dengan bak. Gambar
5.3. Sarana Langsir yang digunakan Petani
Universitas Sumatera Utara
Namun demikian, hingga pada saat penelitian dilakukan, PKS masih menerima
PKS dari petani karena umumnya PKS tidak dapat memenuhi kapasitas produksinya dari
hasil kebun sendiri, terutama pada saat panen sedikit track atau saat kebun milik
sendiri sedang dalam proses replanting. Berbeda dengan agen, PKS hanya menerima
TBS yang memenuhi kriteria terutama dari tingkat kematangannya.
Gambar 5.4. Buah yang diterima PKS
Universitas Sumatera Utara
Periode track dan kualitas TBS tersebut pada akhirnya menentukan tinggi
rendahnya harga beli yang ditawarkan oleh PKS. Hasil observasi menunjukkan bahwa
terjadi fluktuasi harga yang cukup signifikan. Harga terendah dapat mencapai Rp300,‐
kg, sedangkan harga tertinggi sebesar Rp1900,‐kg. Banyak faktor yang mempengaruhi
fluktuasi harga tersebut Lampiran 11.
Gambar 5.5. Perkembangan harga TBS di tingkat Petani
Sumber: Lampiran 11
Faktor utama penyebab tingginya harga adalah jumlah suplai yang rendah akibat
siklus musiman kelapa sawit hampir 60 dari total jawaban. Pada saat itu, banyak PKS
yang kekurangan stok TBS. Untuk mempertahankan utilitas pabrik, maka PKS biasanya
meningkatkan harga pembelian ke petani sawit. Di samping itu, harga pembelian juga
dapat meningkat jika petani menawarkan TBS dengan kualitas prima, yang berasal dari
bibit Marihat dan Tenera, atau yang mempunyai potensi rendement yang tinggi. Karena
merupakan permintaan turunan derived demand dari permintaan minyak goreng dan
margarine, fluktuasi harga TBS juga dipengaruhi oleh fluktuasi kedua produk tersebut.
Menjelang hari besar, umumnya permintaan masyarakat terhadap minyak goreng dan
margarine umumnya meningkat secara signifikan. Satu hal yang menarik adalah bahwa,
Universitas Sumatera Utara
sekitar 13 responden tidak mengetahui persis penyebab kenaikan harga, dan hanya
mengikuti harga yang ditetapkan oleh agen PKS.
Faktor utama penyebab rendahnya harga adalah dampak dari krisis global lebih
dari 40 dari total jawaban. Sebagaimana yang telah diketahui, sebagian besar
Lampiran 4 penjualan CPO dari Sumatera Utara ditujukan untuk pasar ekspor. Dengan
demikian, ketika daya beli konsumen akibat krisis global berdampak terhadap harga beli
CPO dan TBS di Sumatera Utara. Di samping itu, tingginya suplai dan rendahnya kualitas
buah juga mempengaruhi turunnya harga. Akhirnya, sama dengan kenaikan harga ,
masih ada juga petani yang tidak mengetahui persis penyebab turunnya harga, dan
hanya mengikuti harga yang ditetapkan oleh agen. Tingginya posisi tawar agen
terutama disebabkan oleh banyaknya petani yang mendapatkan bantuan pinjaman dari
agen.
5.2.2Karakteristik Pembeli dan Penjual Minyak Goreng
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam metode penelitian, dalam penelitian
ini sampel pembeli dan penjual minyak goreng diambil di 3 pasar tradisional.
Pertimbangannya adalah pertama sampai saat ini pasar tradisional masih merupakan
pasar tujuan sebagian besar konsumen dalam memenuhi kebutuhan pokoknya termasuk
minyak goreng. Kedua, pasar tradisional menyediakan kedua jenis minyak goreng, curah
dan bermerek, sehingga memberikan peluang bagi konsumen untuk memilih diantara
keduanya. Walaupun tidak tertutup kemungkinan bahwa konsumen minyak goreng
bermerek lebih banyak melakukan pembelian di pasar modern dibandingkan dengan di
pasar tradisional. Dari hasil wawancara dengan 90 pembeli sampel tersebut diperoleh
gambaran mengenai karakteristik konsumen minyak goreng sebagai berikut. Lebih dari
70 responden memilih untuk mengkonsumsi minyak goreng curah dan kurang dari
30 yang memilih minyak goreng bermerek Uraian detail dapat dilihat pada Lampiran
13 .
Gambar 6.6. Karakteristik Penjual Minyak Goreng
Universitas Sumatera Utara
Sumber: Dinas Pasar Kota Medan, 2009
Kemungkinan hal tersebut dipengaruhi oleh pemilihan pasar tradisional dan
bukan pasar modern seperti supermarket. Jika dibandingkan data dari kedua jenis
kelompok konsumen ini terdapat indikasi bahwa tingkat pendapatan, pendidikan dan
jumlah tanggungan kemungkinan turut berpengaruh. Terlihat bahwa rata‐rata
pendapatan konsumen yang mengkonsumsi minyak goreng bermerek relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan yang tidak bermerek, dengan jumlah masing‐masing sekitar
Rp2.750.000, ‐ dan Rp2.000.000,‐. Hal tersebut berbanding lurus dengan harga rata‐rata
kedua jenis minyak tersebut, di mana harga minyak bermerek yang harus dibayar
konsumen adalah sekitar Rp9000,‐kg sedangkan yang tidak bermerek hanya sekitar
Rp8000, ‐kg. Di samping itu, tingkat pendidikan mungkin juga berpengaruh. Rata‐rata
konsumen minyak goreng bermerek telah menyelesaikan 16 tahun masa pendidikan
setara S1, sedangkan yang curah 12 tahun setara SLTA.
Di pasar tradisional, semua penjual menyediakan minyak goreng curah dan
bermerek. Walaupun demikian, penjualan minyak goreng curah jauh lebih banyak
dibandingkan dengan yang bermerek. Minyak goreng curah umumnya dijual dalam
satuan kilogram, sedangkan minyak goreng bermerek dalam 2 literan. Marjin yang
diperoleh penjual dari penjualan minyak goreng bermerek hampir mencapai Rp1500,‐2
liter atau Rp622,‐kg, sedangkan dari minyak goreng curah hanya sekitar Rp550,‐kg.
Namun demikian,rata‐rata penjualan per bulan minyak goreng bermerek jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan minyak goreng curah. Rata‐rata penjualan minyak goreng
Universitas Sumatera Utara
bermerek hanya sebesar 26kgbulan, sedangkan yang curah dapat mencapai lebih dari
1200 kg bulan.
5.2 Hasil