Perbedaan Pola Asuh Anak oleh Ibu yang Bekerja dan Ibu yang Tidak Bekerja pada Suku Jawa di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi

(1)

PADA SUKU JAWA DI DESA KEDAI DAMAR KECAMATAN TEBING TINGGI

SKRIPSI

Oleh

Hafizhoh Isneini Purba 071101032

FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Perbedaan Pola Asuh Anak oleh Ibu yang Bekerja dan Ibu yang Tidak Bekerja pada Suku Jawa di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi.”

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M. Kes. sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, S. Kp., MNS. sebagai Pembantu Dekan I, Ibu Evi Karota Bukit, S. Kp., MNS. sebagai pembantu dekan II, dan Bapak Ikhsanudin A. Harahap, S. Kp., MNS. sebagai pembantu dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Siti Zahara Nasution, S. Kp., MNS. sebagai dosen pembimbing akademik sekaligus dosen pembimbing skripsi penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat serta selalu sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan skripsi ini.

4. Bapak Iwan Rusdi, S. Kp., MNS. sebagai dosen penguji I dan Bapak Ismayadi, SKep., Ns. sebagai dosen Penguji II yang telah berkenan menyediakan waktu


(4)

skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Keperawatan USU yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan.

6. Kedua orangtua yang penulis sayangi Buya tercinta Bapak Drs. H. E. Husein Abdullah Purba dan Umi tersayang Erliana Batubara yang tak pernah berhenti dalam mendoakan, membimbing, menghibur, memperhatikan, memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

7. Sahabat – sahabat tersayang, Megita Maha Putri Sandani, Nesia Septiarini, Sri Dewi Siregar, Syamsul Riski Nasution dan Melinda Agnesha serta semua teman-teman seperjuangan stambuk 2007 yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Musa Khalik Nasution sebagai Lurah Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di desa tersebut.

9. Seluruh responden yang telah bersedia mengisi kuisioner penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

Akhirnya, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Medan, 21 Juni 2011


(5)

Halaman Judul

Halaman Pengesahan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... vii

Daftar Tabel ... viii

Abstrak ... ix

Abstraction ... x

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Tujuan Penelitian ... 5

3. Pertanyaan Penelitian ... 5

4. Manfaat Penelitian... 5

4.1Bagi Keluarga/ Masyarakat ... 5

4.2Pendidikan Keperawatan ... 5

4.3Bagi Penelitian Keperawatan ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Ibu... 7

1.1 Ibu Bekerja ... 8

1.2 Ibu Tidak Bekerja ... 10

2. Pola Asuh ... 11

2.1Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh ... 19

2.2Konsep Anak Mengenai Orang Tua ... 21

2.3Pengaruh Pengasuhan Orang Lain Terhadap Anak ... 22

2.4Penilaian Terhadap Perilaku Anak ... 24

3. Suku Jawa ... 26

3.1Kebudayaan Suku Jawa ... 26

3.2Falsafah Hidup Masyarakat Jawa ... 28

BAB III KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual Penelitian ... 34

2. Definisi Operasional ... 35

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 1. Desain Penelitian ... 36

2. Populasi dan Sampel ... 36

2.1Populasi ... 36

2.2Sampel ... 37

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 37


(6)

7. Pengumpulan Data ... 40

8. Analisa Data ... 41

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian ... 43

1.1Karakteristik Responden ... 43

1.2Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Anak oleh Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja pada Suku Jawa ... 44

1.2.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Demokratis ... 44

1.2.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Otoriter ... 47

1.2.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Permisif ... 49

1.2.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Penelantar ... 52

1.3 Rata – Rata Persentasi Pola Asuh Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja ... 54

2. Pembahasan ... 56

2.1 Pola Asuh Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja pada Suku Jawa ... 57

2.1.1 Pola Asuh Demokratis ... 57

2.1.2 Pola Asuh Otoriter ... 59

2.1.3 Pola Asuh Permisif ... 60

2.1.4 Pola Asuh Penelantar ... 62

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan ... 64

2. Saran ... 66

2.1Ibu Bekerja dan Ibu tidak Bekerja ... 66

2.2Praktik Keperawatan... 66

2.3Pendidikan Keperawatan ... 66

2.4Penelitian Keperawatan ... 67

2.5 DAFTAR PUSTAKA ... 68

Lampiran... 70

1. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 71

2. Kuesioner Penelitian... 73

3. Taksasi Dana ... 79

4. Timetable Proses Pengerjaan Skripsi ... 80

5. Berita Acara Bimbingan Skripsi ... 81

6. Surat Izin Survey Awal dari Lokasi Penelitian ... 83

7. Surat Izin Selesai Penelitian dari Lokasi Penelitian ... 84

8. Data Pengolahan Data SPSS ... 85


(7)

Skema 1. Kerangka Konsep Penelitian Perbedaan Pola Asuh Anak oleh Ibu yang Bekerja dan Ibu yang Tidak Bekerja pada Suku Jawa ... 34


(8)

Table 1. Distribusi frekuensi dan presentase karakteristik responden ... 44

Table 2. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh demokratis ... 46

Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh otoriter ... 49

Tabel 4. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh permisif... 51

Tabel 5. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh penelantar ... 53


(9)

Kecamatan Tebing Tinggi Nama Mahasiswa : Hafizhoh Isneini Purba

Nim : 071101032

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2011

ABSTRAK

Pola asuh adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Terdapat 4 macam pola asuh orang tua yaitu; demokratis, otoriter, permisif, dan penelantar.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan pola asuh anak oleh ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi. Desain penelitian ini adalah deskriptif. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. Sampel sebanyak 46 orang, yang terdiri dari 23 ibu bekerja dan 23 ibu tidak bekerja. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5 Maret sampai dengan 20 Maret 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang meliputi data demografi dan pernyataan terkait dengan empat tipe pola asuh. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase.

Berdasarkan penelitian, semua ibu baik ibu bekerja maupun ibu tidak bekerja menerapkan keempat pola asuh tersebut namun dalam persentase yang berbeda – beda. Ibu bekerja cenderung lebih demokratis (94, 02 %) dan penelatar (28, 80 %) dibandingkan ibu tidak bekerja yaitu, demokratis (92, 94 %) dan penelantar (15, 22 %). Sedangkan ibu tidak bekerja cenderung lebih otoriter (52, 72 %) dan permisif (34, 78 %) daripada ibu bekerja yaitu otoriter (51, 63 %) dan permisif (30, 44 %).

Kesimpulan dari penelitian ini ibu bekerja cenderung lebih demokratis dan penelantar dibandingkan dengan ibu tidak bekerja, dan ibu tidak bekerja cenderung lebih otoriter dan permisif dari pada ibu bekerja.


(10)

Tebing Tinggi Student Name : Hafizhoh Isneini Purba Student Identity Number : 071101032

Majors : Nursing Science

Year : 2011

ABSTRACTION

Pattern take care is family ability for providing time, attention, and support to the child so that they can grow up as well as possible in physical, bouncing and social. There are four kinds of parenting pattern of take care; democratic, autoritary, permissive, and permitted.

This research aim to explaining differences of pattern take care child by working mother and unworking mother in Java Tribe at Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi. The design of this research is description. Intake of the sample with purposive sampling. There are 46 sample, which consist of 23 working mother and 23 unworking mother. This researched did at 5 March up to 20 March 2011. Collecting data did by using questioner which consist of demography data and statement related with the four kinds of parenting pattern of take care. And then the obtained data will be processed using the computerizing technique and will be explain in the form of frequency distribution and presentation.

Pursuant to research, all of mother, working mother or unworking mother applying all of the pattern take care to the child but with different presentation. Working mother more democratic (94, 02 %) and more permitted (28, 80 %) compared to unworking mother, democratic (92, 94 %) and permitted (15, 22 %). While, unworking mother tending more autoritary (52, 72 %) and more permisif (34, 78 %) than working mother, autoritary (51, 63 %) and permisif (30, 44 %). The conclusion of this research is working mother more democratic and permitted compared to unworking mother, and unworking mother tending more autoritary and permisif than working mother.

Key word : Java Tribe, Working Mother and Unworking Mother, Pattern Differences Take Care of


(11)

Kecamatan Tebing Tinggi Nama Mahasiswa : Hafizhoh Isneini Purba

Nim : 071101032

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun : 2011

ABSTRAK

Pola asuh adalah kemampuan keluarga untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang sebaik-baiknya secara fisik, mental dan sosial. Terdapat 4 macam pola asuh orang tua yaitu; demokratis, otoriter, permisif, dan penelantar.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan pola asuh anak oleh ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi. Desain penelitian ini adalah deskriptif. Pengambilan sampel dengan teknik purposive sampling. Sampel sebanyak 46 orang, yang terdiri dari 23 ibu bekerja dan 23 ibu tidak bekerja. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 5 Maret sampai dengan 20 Maret 2011. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner yang meliputi data demografi dan pernyataan terkait dengan empat tipe pola asuh. Kemudian data yang diperoleh diolah dengan menggunakan teknik komputerisasi dan dideskripsikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase.

Berdasarkan penelitian, semua ibu baik ibu bekerja maupun ibu tidak bekerja menerapkan keempat pola asuh tersebut namun dalam persentase yang berbeda – beda. Ibu bekerja cenderung lebih demokratis (94, 02 %) dan penelatar (28, 80 %) dibandingkan ibu tidak bekerja yaitu, demokratis (92, 94 %) dan penelantar (15, 22 %). Sedangkan ibu tidak bekerja cenderung lebih otoriter (52, 72 %) dan permisif (34, 78 %) daripada ibu bekerja yaitu otoriter (51, 63 %) dan permisif (30, 44 %).

Kesimpulan dari penelitian ini ibu bekerja cenderung lebih demokratis dan penelantar dibandingkan dengan ibu tidak bekerja, dan ibu tidak bekerja cenderung lebih otoriter dan permisif dari pada ibu bekerja.


(12)

Tebing Tinggi Student Name : Hafizhoh Isneini Purba Student Identity Number : 071101032

Majors : Nursing Science

Year : 2011

ABSTRACTION

Pattern take care is family ability for providing time, attention, and support to the child so that they can grow up as well as possible in physical, bouncing and social. There are four kinds of parenting pattern of take care; democratic, autoritary, permissive, and permitted.

This research aim to explaining differences of pattern take care child by working mother and unworking mother in Java Tribe at Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi. The design of this research is description. Intake of the sample with purposive sampling. There are 46 sample, which consist of 23 working mother and 23 unworking mother. This researched did at 5 March up to 20 March 2011. Collecting data did by using questioner which consist of demography data and statement related with the four kinds of parenting pattern of take care. And then the obtained data will be processed using the computerizing technique and will be explain in the form of frequency distribution and presentation.

Pursuant to research, all of mother, working mother or unworking mother applying all of the pattern take care to the child but with different presentation. Working mother more democratic (94, 02 %) and more permitted (28, 80 %) compared to unworking mother, democratic (92, 94 %) and permitted (15, 22 %). While, unworking mother tending more autoritary (52, 72 %) and more permisif (34, 78 %) than working mother, autoritary (51, 63 %) and permisif (30, 44 %). The conclusion of this research is working mother more democratic and permitted compared to unworking mother, and unworking mother tending more autoritary and permisif than working mother.

Key word : Java Tribe, Working Mother and Unworking Mother, Pattern Differences Take Care of


(13)

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan (Effendy, 1998). Pola asuh orang tua dalam keluarga secara kuat sangat mempengaruhi tingkat perkembangan individu dalam pencapaian kesuksesan atau kegagalan dalam pergaulan dalam masyarakat (Friedman, 1998).

Pada umumnya, sebuah keluarga terdiri dari ayah, ibu dan anak yang memiliki perannya masing – masing. Seperti peranan ayah sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, rasa aman, sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat, kemudian peranan ibu mengurus rumah tangga, pengasuh/ pendidik anak, anggota masyarakat dan peran anak yaitu peran psikososial sesuai tingkat perkembangan, baik mental, fisik, sosial dan spiritual (Santrock, 2007).

Saat ini, peran ibu sebagai ibu rumah tangga telah berubah menjadi pencari nafkah. Peran ibu awalnya adalah sebagai istri, ibu dari anak – anaknya, mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, pendidik anak – anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Akan tetapi, saat ini ibu telah berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarganya (Effendy, 1998).


(14)

Banyak ibu yang menghabiskan sebagian besar waktunya jauh dari anak, bahkan bayi mereka. Lebih dari satu dari dua ribu ibu di Amerika Serikat yang memiliki anak berusia di bawah 5 tahun adalah pekerja; lebih dari dua dari tiga ibu yang memiliki anak 6 hingga 17 tahun. Ibu yang bekerja adalah bagian dari kehidupan modern, namun pengaruhnya masih diperdebatkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), partisipasi perempuan dalam lapangan kerja meningkat signifikan. Selama Agustus 2006 – Agustus 2007 jumlah pekerja perempuan bertambah 3,3 juta orang. Banyaknya jumlah perempuan yang bekerja meningkatkan secara signifikan jumlah pekerja. Kemungkinan penyebab terjadinya peningkatan jumlah pekerja perempuan adalah adanya unsur keterpaksaaan yang harus dijalani kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarganya. Seperti yang telah disebutkan diatas, peningkatan jumlah pekerja perempuan sebagian berasal dari perempuan yang sebelumnya berstatus mengurus rumah tangga (bukan angkatan kerja) (Santrock, 2007).

Perubahan peran ibu, dari ibu yang tidak bekerja (ibu rumah tangga) menjadi ibu pekerja, membuat peneliti tertarik melakukan penelitian ini, karena perubahan peran ibu menjadi ibu pekerja merupakan bentuk terjadinya pergeseran nilai dan sedikit banyak, perubahan peran ini sangat mempengaruhi pola asuh yang diterapkan oleh ibu kepada anak.

Bentuk-bentuk pola asuh sangat erat hubungannya dengan kepribadian anak setelah ia menjadi dewasa. Hal ini dikarenakan ciri-ciri dan unsur – unsur watak seorang individu dewasa sebenarnya sudah diletakkan benih – benihnya ke dalam jiwa seorang individu sejak awal, yaitu pada masa ia masih kanak – kanak.


(15)

Watak juga ditentukan oleh cara – cara ia waktu kecil diajar makan, diajar kebersihan, disiplin, diajar bermain dan bergaul dengan anak lain dan sebagainya (Koentjaraningrat,1997).

Ibu merupakan individu yang paling berperan dalam pembentukan anak sejak anak dilahirkan. Bukan bermaksud mengenyampingkan peran seorang ayah, namun penelitian ini memang difokuskan untuk peran seorang ibu dalam hal mengasuh anak terkait dengan perubahan peran ibu dalam keluarga yang berubah menjadi pencari nafkah, karena peran ibu lebih nyata dampaknya terhadap anak. Misalnya saja betapa ibu lebih peduli dengan kehidupan sehari – hari mulai dari soal gosok gigi, ganti baju, menaruh sepatu di rak, kemudian makan sepulang sekolah. Jadi, ibulah yang lebih banyak peranannya dalam menanamkan segala tindakan yang nyata sehari – hari, termasuk juga cuci tangan sebelum makan, cuci kaki sebelum tidur, dan kebiasaan lain (Sunarti, 2004).

Pemilihan suku Jawa sebagai sampel penelitian dikarenakan suku Jawa adalah suku terbesar di Indonesia yang berasal dari dan Indonesia merupakan etnis Jawa. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta. Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di

Dari sudut pandang masyarakat Jawa, sosok ibu merupakan fokus keluarga karena ibu yang paling banyak berperan dalam rumah tangga.


(16)

Masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya yang mereka anut. Nilai budaya Jawa yang menjadi pedoman masyarakat Jawa dalam proses pengasuhan anak memiliki makna bahwa anak merupakan titipan Tuhan yang harus dididik dengan baik agar mengetahui aturan – aturan budaya Jawa serta memiliki kepribadian yang baik. Aspek – aspek yang menjadi perhatian dalam proses internalisasi budaya dalam proses pengasuhan masyarakat Jawa meliputi pembinaan nilai keagamaan, sopan santun, ketaatan kepada orang tua, disiplin dan tanggung jawab serta kemandirian (Gauthama et al, 2003).

Penelitian mengenai perbedaan pola asuh anak oleh ibu bekerja dan ibu yang tidak bekerja ini telah dilakukan di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi dengan alasan karena setelah dilakukan penelusuran, terdapat masyarakat etnis Jawa di desa tersebut. Sebagian besar dari masyarakat yang bermukim di daerah tersebut merupakan ibu rumah tangga yang beralih peran sebagai ibu pekerja (pencari nafkah). Sehingga memiliki kemungkinan besar untuk dapat dilakukan penelitian terkait dengan judul yang diajukan oleh penulis. Maka dalam penyusunan skripsi ini penulis tertarik untuk meneliti “Perbedaan Pola Asuh Anak oleh Ibu yang Bekerja dan Ibu yang Tidak Bekerja pada Suku Jawa di Desa Kedai Damar, Kecamatan Tebing Tinggi.”


(17)

2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah untuk mendeskripsikan perbedaan pola asuh anak antara ibu yang bekerja dengan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa di Desa Kedai Damar, Kecamatan Tebing Tinggi.

3. Pertanyaan Penelitian

3.1 Bagaimana pola asuh anak oleh ibu yang bekerja pada suku Jawa ? 3.2 Bagaimana pola asuh anak oleh ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa ? 3.3 Apa perbedaan pola asuh anak ibu yang bekerja dengan ibu yang tidak

bekerja pada suku Jawa?

4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, antara lain ialah : 4.1 Bagi Keluarga/ Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi kepada para orang tua khususnya ibu dalam hal mengasuh anak agar dapat memilih dan menentukan pola asuh yang paling tepat yang dapat diterapkan pada anak.

4.2 Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai gambaran mengenai pola asuh anak yang diterapkan oleh ibu, baik ibu bekerja maupun ibu tidak bekerja, dan dapat memperkaya hasil penelitian yang telah ada.


(18)

4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi tambahan dan sebagai bahan referensi untuk penelitian keperawatan yang akan datang dalam ruang lingkup yang sama.


(19)

PENELUSURAN TEORITIS

1. Ibu

Struktur keluarga menggambarkan peran masing – masing anggota keluarga baik di dalam keluarganya sendiri maupun perannya di lingkungan masyarakat. Semua tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh anggota keluarga menggambarkan nilai dan norma yang dipelajari dan diyakini dalam keluarga. Bagaimana cara dan pola komunikasi diantara orang tua, orang tua dan anak, diantara anggota keluarga ataupun dalam keluarga besar (Setiawati, 2008).

Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga. Jantung dalam tubuh merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Apabila jantung berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Perumpaan ini menyimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama terlihat sejak kelahiran anaknya (Gunarsa, 2000).

Peran ibu sangat banyak, peranan ibu sebagai istri dan ibu dari anak- anaknya, mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak – anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya. Disamping itu, ibu juga dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan bagi keluarganya (Effendy, 1998).

Menurut Friedman dalam Effendy (1998), peran ibu didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengasuh, mendidik dan menentukan nilai kepribadian. Peran pengasuh adalah peran dalam memenuhi kebutuhan


(20)

pemeliharaan dan perawatan anak agar kesehatannya terpelihara sehingga diharapkan mereka menjadi anak – anak yang sehat baik fisik, mental, sosial dan spiritual. Selain itu peran pengasuh adalah peran dalam memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.

Realitas peran ibu kini adalah bahwa di banyak keluarga, tanggung jawab utama atas anak maupun pekerjaan rumah tangga dan bentuk lainnya dari pekerjaan keluarga masih dibebankan di pundak ibu (Barnard & Martell, 1995 dalam Santrock, 2007)

1.1Ibu bekerja

Ibu bekerja adalah ibu yang melakukan suatu kegiatan di luar rumah dengan tujuan untuk mencari nafkah untuk keluarga. Selain itu salah satu tujuan ibu bekerja adalah suatu bentuk aktualisasi diri guna menerapkan ilmu yang telah dimiliki ibu dan menjalin hubungan sosial dengan orang lain dalam bidang pekerjaan yang dipilihnya (Santrock, 2007).

Beberapa alasan yang mendukung tujuan ibu bekerja menurut Gunarsa (2000) adalah: (1) karena keharusan ekonomi, untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Hal ini terjadi karena ekonomi keluarga yang menuntut ibu untuk bekerja. Misalnya saja bila kehidupan ekonomi keluarganya kurang, penghasilan suami kurang untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari keluarga sehingga ibu harus bekerja, (2) karena ingin mempunyai atau membina pekerjaan. Hal ini terjadi sebagai wujud aktualisasi diri ibu, misalnya bila ibu seorang sarjana akan lebih memilih bekerja untuk membina pekerjaan, (3) proses untuk mengembangkan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang lain dan


(21)

menambah pengalaman hidup dalam lingkungan pekerjaan, (4) karena kesadaran bahwa pembangunan memerlukan tenaga kerja baik tenaga kerja pria maupun wanita. Hal ini terjadi karena ibu mempunyai kesadaran nasional yang tinggi bahwa negaranya memerlukan tenaga kerja demi melancarkan pembangunan, (5) pihak orang tua dari ibu yang menginginkan ibu untuk bekerja, (6) karena ingin memiliki kebebasan finansial, dengan alasan tidak harus bergantung sepenuhnya pada suami untuk memenuhi kebutuhan sendiri, misalnya membantu keluarga tanpa harus meminta dari suami, (7) bekerja merupakan suatu bentuk penghargaan bagi ibu, (8) bekerja dapat menambah wawasan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pola asuh anak – anak.

Alasan – alasan diatas menjadi dasar terjadinya pergeseran nilai peran seorang ibu. Ibu harus menjalankan peran ganda dalam melaksanakan perannya sebagai sosok seorang ibu. Peran ganda ini berpengaruh positif maupun negatif terhadap kondisi keluarga terutama terhadap anak.

Pengaruh ibu yang bekerja pada hubungan anak dan ibu, sebagian besar bergantung pada usia anak pada waktu ibu mulai bekerja. Jika ibu mulai bekerja sebelum anak telah terbiasa selalu bersamanya, yaitu sebelum suatu hubungan tertentu terbentuk, maka pengaruhnya akan minimal. Tetapi jika hubungan yang baik telah terbentuk, anak itu akan menderita akibat deprivasi maternal, kecuali jika seorang pengganti ibu yang memuaskan tersedia, yaitu seorang pengganti yang disukai anak dan yang mendidik anak dengan cara yang tidak akan menyebabkan kebingungan atau kemarahan di pihak anak (Hurlock, 2007).


(22)

1.2Ibu tidak bekerja

Ibu yang tidak bekerja memiliki tanggung jawab untuk mengatur rumah tangga. Dalam konteks inilah peran seorang ibu berlaku, yaitu mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak – anaknya, dan sebagai salah satu kelompok dari peranan sosialnya serta sebagai anggota masyarakat dari lingkungannya (Santrock, 2007).

Ibu yang tidak bekerja dapat lebih memahami bagaimana sifat dari anak – anaknya. Karena sebagian besar waktu yang dimiliki ibu yang tidak bekerja dihabiskan di rumah sehingga bisa memantau kondisi perkembangan anak. Kebanyakan pekerjaan yang dilakukan ibu di rumah meliputi membersihkan, memasak, merawat anak, berbelanja, mencuci pakaian, dan mendisiplinkan. Dan kebanyakan ibu yang tidak bekerja seringkali harus mengerjakan beberapa pekerjaan rumah sekaligus (Santrock, 2007). Namun, karena ikatan kasih sayang dan melekat dalam hubungan keluarga pekerjaan rumah tangga yang dilakukan oleh ibu memiliki arti yang kompleks dan juga berlawanan (Villiani, 1997 dalam Santrock, 2007). Banyak perempuan merasa pekerjaan rumah tangga itu tidak cerdas namun penting. Mereka biasanya senang memenuhi kebutuhan orang – orang yang mereka kasihi dan mempertahankan kehidupan keluarga, karena mereka merasa aktivitas tersebut menyenangkan dan memuaskan.

Pekerjaan keluarga bersifat positif dan negatif bagi perempuan. Mereka tidak diawasi dan jarang dikritik, mereka merencanakan dan mengontrol pekerjaan mereka sendiri, dan mereka hanya perlu memenuhi standart mereka sendiri. Namun, pekerjaan rumah tangga perempuan sering kali menyebalkan,


(23)

melelahkan, kasar, berulang – ulang, mengisolasi, tidak terselesaikan, tidak bisa dihindari, dan sering kali tidak dihargai (Santrock, 2007).

Namun, semua perempuan secara kodrat harus menerima peran yang harus dijalankan, yaitu sebagai istri sekaligus ibu dari anak – anaknya dan menjalankan perannya sebagai ibu dalam keluarga yang memiliki tanggung jawab penuh untuk megatur rumah tangga.

2. Pola Asuh

Pola asuh adalah cara – cara atau bentuk pengasuhan anak. Menurut Chabib Thoha (1997, dalam Puspitasari, 2006) bahwa pola asuh merupakan suatu cara yang terbaik yang dapat ditempuh orang tua dalam mendidik anak sebagai perwujudan dan rasa tanggung jawab kepada anak.

Pola asuh adalah kemampuan keluarga dan masyarakat untuk menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang sebaik – baiknya secara fisik, mental dan sosial (Soekirman, 2000 dalam Puspitasari, 2006).

Menurut Nuraeni (2006) pola asuh orang tua adalah pola perilaku yang diterapkan pada anak dan bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan oleh anak, dari segi negatif dan positif. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh serta kasih sayang pada anak dan memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga.

Setiap anak tumbuh dan berkembang melalui proses belajar tentang dirinya sendiri dan dunia sekitarnya. Proses pembelajaran ini berlangsung dan


(24)

berkesinambungan terus selama masa hidup seseorang, sejak anak usia bayi sampai mencapai usia dewasa. Kewajiban orang tua adalah terlibat dalam pengasuhan positif dan memandu anak menjadi manusia yang kompeten. Kewajiban anak adalah merespon sesuai dengan inisiatif dari orang tua dan mempertahankan hubungan positif dengan orang tua (Santrock, 2007). Pola asuh yang tepat dari orang tua terutama ibu sangat mempengaruhi proses pembelajaran ini. Diperlukan kesabaran dan kebijakan orang tua untuk dapat memberikan pertimbangan terbaik dalam pengambilan keputusan – keputusan penting di dalam kehidupan anak.

Masing – masing ibu tentu saja memiliki pola asuh tersendiri dalam mengarahkan perilaku anak. Hal ini sangat dipengaruh oleh latar belakang pendidikan, mata pencaharian hidup, keadaan sosial ekonomi, adat istiadat, dan sebagainya. Contohnya, pola asuh ibu yang bekerja sebagai petani tidak sama dengan pedagang. Demikian pula pola asuh ibu yang berpendidikan rendah berbeda dengan pola asuh ibu yang berpendidikan tinggi. Ada yang menerapkan dengan pola asuh yang keras/ kejam, kasar, dan tidak berperasaan. Ada yang memakai pola asuh yang lemah lembut dan kasih sayang dan ada pula yang memakai sistem militer, yang apabila anaknya bersalah akan langsung diberi hukuman dan tindakan tegas (pola otoriter). Pola asuh yang diterapkan tiap – tiap orang tua akan sangat mempengaruhi pada bentuk – bentuk penyimpangan perilaku anak (Sunarti, 2004).


(25)

Menurut Baumrind (1967, dalam Nuraeni, 2006), terdapat 4 macam pola asuh orang tua:

1. Pola asuh Demokratis

Pola asuh demokratis adalah suatu bentuk pola asuh yang memperhatikan dan menghargai kebebasan anak, namun kebebasan itu tidak mutlak dan dengan bimbingan yang penuh pengertian antara orang tua dan anak. Dengan kata lain, pola asuh demokratis ini memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, melakukan apa yang diinginkannya dengan tidak melewati batas – batas atau aturan – aturan yang telah ditetapkan orang tua. Orang tua juga selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan penuh pengertian terhadap anak mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak. Hal tersebut dilakukan orang tua dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006)

Pola asuh demokratis merupakan pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu – ragu mengendalikan mereka. Pola asuh demokrasi ini ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak. Mereka membuat aturan – aturan yang disetujui bersama. Anak diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginanya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain. Orang tua bersikap sebagai pemberi pendapat dan pertimbangan terhadap aktivitas anak (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).

Pola asuh demokratis memampukan anak mengembangkan kontrol terhadap perilakunya sendiri dengan hal – hal yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini mendorong anak untuk mampu berdiri sendiri, bertanggung


(26)

jawab dan yakin terhadap diri sendiri. Daya kreativitasnya berkembang baik karena orang tua selalu merangsang anaknya untuk mampu berinisiatif. Jadi dalam pola asuh ini, terdapat komunikasi yang baik antara orang tua dan anak. Orang tua dengan pola asuh ini bersikap rasional, selalu mendasari tindakannya pada rasio atau pemikiran – pemikiran. Orang tua tipe ini juga bersikap realistis terhadap kemampuan anak, tidak berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak. Orang tua tipe ini juga memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan pendekatannya kepada anak bersifat hangat. Pada pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak – anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stres, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, kooperatif terhadap orang lain (Yusniah, 2008).

Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh demokratis adalah sebagai berikut; 1) menentukan peraturan dan disiplin dengan memperhatikan dan mempertimbangkan alasan – alasan yang dapat diterima, dipahami dan dimengerti oleh anak, 2) memberikan pengarahan tentang perbuatan baik yang perlu dipertahankan dan yang tidak baik agar ditinggalkan, 3) memberikan bimbingan dengan penuh pengertian, 4) dapat menciptakan keharmonisan dalam keluarga, 5) dapat menciptakan suasana komunikatif antara orang tua dan anak serta sesama keluarga.

2. Pola asuh Otoriter

Pola asuh otoriter adalah suatu bentuk pola asuh yang menuntut anak agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua. Pola asuh ini cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti,


(27)

biasanya dibarengi dengan ancaman – ancaman tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya sendiri. Orang tua tipe ini cenderung memaksa, memerintah, dan menghukum. Apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orang tua, maka orang tua tipe ini tidak segan menghukum anak. Perintah yang diberikan berorientasi pada sikap keras orang tua. Karena menurutnya tanpa sikap keras tersebut anak tidak akan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi biasanya bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).

Penerapan pola asuh otoriter oleh orang tua terhadap anak, dapat mempengaruhi proses pendidikan anak terutama dalam pembentukan kepribadiannya. Karena disiplin yang dinilai efektif oleh orang tua (sepihak), belum tentu serasi dengan perkembangan anak. Pada pola asuh ini akan menghasilkan anak dengan karakteristik anak yang penakut, pendiam, tertutup, tidak berinisiatif, gemar menentang, suka melanggar norma, berkepribadian lemah, cemas serta menarik diri (Yusniah, 2008).

Perkembangan anak itu semata – mata ditentukan oleh orang tuanya. Sifat pribadi anak yang otoriter biasanya suka menyendiri, mengalami kemunduran kematangannya, ragu – ragu di dalam semua tindakan, serta lambat berinisiatif. Anak yang dibesarkan di rumah yang bernuansa otoriter akan mengalami perkembangan yang tidak diharapkan orang tua. Anak akan menjadi kurang kreatif jika orang tua selalu melarang segala tindakan anak yang sedikit menyimpang dari yang seharusnya dilakukan. Larangan dan hukuman orang tua


(28)

akan menekan daya kreativitas anak yang sedang berkembang, anak tidak akan berani mencoba, dan ia tidak akan mengembangkan kemampuan untuk melakukan sesuatu karena tidak dapat kesempatan untuk mencoba. Anak juga akan takut untuk mengemukakan pendapatnya, ia merasa tidak dapat mengimbangi teman – temannya dalam segala hal, sehingga anak menjadi pasif dalam pergaulan. Lama – lama ia akan mempunyai perasaan rendah diri dan kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Karena kepercayaan terhadap diri sendiri tidak ada, maka setelah dewasa pun masih akan terus mencari bantuan, perlindungan dan pengamanan. Ini berarti anak tidak berani memikul tanggung jawab (Yusniah, 2008).

Menurut Yusniah (2008) ciri – ciri pola asuh otoriter adalah sebagai berikut : 1) anak harus mematuhi peraturan – peraturan orang tua dan tidak boleh membantah, 2) orang tua cenderung mencari kesalahan – kesalahan anak dan kemudian menghukumnya, 3) orang tua cenderung memberikan perintah dan larangan kepada anak, 4) jika terdapat perbedaan pendapat antara orang tua dan anak, maka anak dianggap pembangkang, 5) orang tua cenderung memaksakan disiplin, 6) orang tua cenderung memaksakan segala sesuatu untuk anak dan anak hanya sebagai pelaksana, 7) tidak ada komunikasi antara orang tua dan anak. 3. Pola asuh Permisif

Pola asuh permisif memberikan pengawasan yang sangat longgar yang ditandai dengan adanya kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak. Pola asuh permisif memberikan kesempatan pada anaknya untuk melakukan sesuatu tanpa pengawasan yang cukup darinya. Mereka cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit bimbingan yang diberikan


(29)

oleh mereka. Pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, dan melindungi secara berlebihan serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak. Namun orang tua tipe ini biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak. Pola asuh ini biasanya akan menghasilkan anak – anak yang manja, tidak patuh, kurang mandiri, mau menang sendiri, kurang percaya diri, dan kurang matang secara sosial (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006)

4. Pola asuh Penelantar

Orang tua pada pola asuh penelantar umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak – anaknya. Waktu mereka banyak digunakan untuk keperluan pribadi mereka, seperti bekerja, dan kadangkala biaya pun dihemat – hemat untuk anak mereka. Termasuk dalam tipe ini adalah perilaku penelantar secara fisik dan psikis pada ibu yang depresi. Ibu yang depresi pada umumnya tidak mampu memberikan perhatian fisik maupun psikis pada anak – anaknya. Pola asuh ini akan menghasilkan karakteristik anak – anak yang kurang bertanggung jawab, tidak mau mengalah, harga diri rendah, sering bolos, dan bermasalah dengan teman (Baumrind, 1967 dalam Nuraeni, 2006).

Seorang ibu yang bekerja di luar rumah harus pandai mengatur waktu untuk keluarga karena pada umumnya tugas utama seorang ibu adalah mengatur rumah tangga. Peran ibu dalam menerapkan pola asuh pada anak merupakan hal yang berpengaruh pada sikap keseharian anak.

Menurut Child dan Whiting yang harus diperhatikan dalam proses mengasuh anak adalah orang – orang yang mengasuh dan cara penerapan larangan


(30)

atau keharusan yang dipergunakan. Larangan maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam tetapi, prinsipnya adalah cara pengasuhan anak harus mengandung sifat: pengajaran (instructing), pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti, 2004).

Pengasuhan yang kompeten melibatkan dua faktor utama yaitu berkaitan dengan efektivitas metode sosialisasi dan berkaitan dengan penyediaan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kognitif, perkembangan emosional, dan perkembangan sosial anak. Hasil kajian menunjukkan bahwa orang tua yang efektif adalah orang tua yang memperlakukan anak dengan hangat, mendukung anak secara positif, menetapkan batas – batasan dan nilai – nilai, dan mengikuti serta memonitor perilaku anak yang secara konsisten menegakkan aturan – aturan (Sunarti, 2004).

Efektifitas pengasuhan dapat ditunjukkan dari indikator fisik seperti status gizi dan kesehatan dan dari indikator non – fisik seperti prestasi akademik, kecerdasan emosi, serta perilaku prososial anak. Seorang anak sangat beresiko mengembangkan perilaku yang bermasalah dan mendapat tekanan atau ketegangan psikologis jika orang tuanya gagal dalam pengasuhan. Pertumbuhan dan perkembangan anak sebagai dua indikator utama dari kualitas anak, membutuhkan lingkungan yang sehat, aman, nyaman, stabil, dan lingkungan yang tidak tegang. Lingkungan pengasuhan yang penuh cinta kasih dibutuhkan untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak (Sunarti, 2004).

Ibu dapat memilih pola asuh yang tepat dan ideal bagi anaknya. Ibu yang salah menerapkan pola asuh akan membawa akibat buruk bagi perkembangan jiwa anak. Tentu saja ibu diharapkan dapat menerapkan pola asuh yang bijaksana


(31)

atau menerapkan pola asuh yang setidak – tidaknya tidak membawa kehancuran atau merusak jiwa dan watak seorang

2.1Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh a) Pendidikan Ibu

Pendidikan merupakan alat di masyarakat untuk memperbaharui dirinya dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup (Suharjo, 1999 dalam Puspitasari, 2006).

b) Pengetahuan ibu

Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi mempunyai hubungan erat dengan pendidikan. Anak dari ibu dengan latar belakang pendidikan yang tinggi akan memungkinkan mendapat kesempatan untuk hadir dan tumbuh dengan baik (Kardyati dkk,1987 dalam Puspitasari, 2006). Membesarkan anak yang sehat tidak cukup dengan naluri kasih sayang belaka, namun ibu perlu pengetahuan dan keterampilan yang baik. Peningkatan pengetahuan serta kemampuan dalam mengasuh anak merupakan hal yang sangat penting dan harus diusahakan oleh ibu dalam rangka membesarkan anak – anaknya (Nadesul, 1996 dalam Puspitasari, 2006). Pengetahuan tidak mutlak diperoleh melalui pendidikan formal, tetapi bisa juga dari informasi di media masa atau hasil dari pengalaman orang lain (Sobur, 1981 dalam Puspitasari, 2006).

c) Aktivitas ibu

Kebutuhan wanita terhadap tugas dan di luar tugas sebagai ibu adalah berbeda – beda, ada beberapa wanita yang merasa bahagia dengan peran


(32)

khususnya sebagai ibu rumah tangga. Bagi ibu tidak ada hal yang menyenangkan dari pada masa – masa kecil dan remaja yang penuh kebahagiaan kepada anak – anaknya (Sobur, 1991 dalam Puspitasari, 2006).

Banyak ibu yang berperan ganda selain sebagai ibu rumah tangga juga sebagai wanita karir, yang bertujuan untuk menciptakan keadaan ekonomi keluarga yang lebih mencukupi sehingga mengakibatkan timbulnya pengaruh terhadap hubungan dengan anggota keluarga terutama anaknya. Pada mulanya ibu bisa membagi waktu, namun lama kelamaan tugas dari pekerjaan semakin banyak sehingga ibu akan mengalami kesulitan untuk membagi waktu untuk anak – anaknya (Soeleman, 1994 dalam Puspitasari, 2006). Apabila seorang ibu mendapat pekerjaan, baik penuh atau paruh waktu, maka orang yang paling cocok untuk menggantikan tugasnya adalah orang yang mengetahui kebutuhan makan anaknya, mencintai dan harus sanggup dalam memelihara dan mengasuhnya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengasuh anak – anaknya dengan baik dan mencurahkan semua kasih sayangnya, jenis – jenis makanan juga lebih diperhatikan sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kurang gizi pada anak (Lestari, 1996 dalam Puspitasari, 2006).

d) Status Sosial Ekonomi

Status sosial ekonomi dalam pengasuhan anak dipengaruhi oleh gaya dan pengalaman yang dimiliki serta pengetahuan yang diterimanya. Status sosial ekonomi ibu dari bawah dan menengah cenderung lebih demokratis (Puspitasari, 2006).


(33)

2.2Konsep Anak Mengenai Orang Tua

Pada umumnya, anak bersifat egosentris sehingga tidak mengherankan bahwa konsep mengenai “orang tua” didasarkan atas perlakuan orang tua terhadap mereka, terutama di bidang disiplin, pengasuhan dan rekreasi (Hurlock, 2007).

Menurut Hurlock (2007) konsep orang tua yang “baik” yaitu; a) melakukan berbagai hal untuk anak, b) anak dapat bergantung pada orang tua, c) bersikap cukup permisif dan luwes, d) adil dalam disiplin, e) menghargai individualitas anak, f) menciptakan suasana hangat bukan suasana penuh ketakutan, g) memberi contoh yang baik, h) menjadi kawan baik dan menemani anak dalam berbagai kegiatan, i) bersikap baik untuk sebagian besar waktu, j) menunjukkan kasih sayang terhadap anak, k) menaruh simpati bila anak merasa sedih atau mengalami kesulitan, l) mendorong anak untuk membawa kawannya ke rumah, m) berusaha membuat suasana rumah bahagia, n) memberikan kemandirian yang sesuai usia anak, o) tidak mengharapkan prestasi yang tidak masuk akal. Konsep orang tua yang “buruk” yaitu; a) menghukum secara kasar, b) sering dan tidak adil, c) menghalangi minat dan kegiatan anak, d) berusaha membentuk anak menurut suatu pola, e) memberikan contoh yang buruk, f) suka jengkel dan marah, g) menunjukkan sedikit kasih sayang terhadap anak, h) marah – marah bila anak tersebut membuat kesalahan yang tidak disengaja, i) menunjukkan sedikit perhatian terhadap anak atau kegiatan anak, j) melarang atau tidak mendorong teman sebaya untuk berkunjung, k) bersikap “jahat” terhadap teman anak, l) tidak mendorong atau melarang anak bermain dengan teman – temannya, m) berusaha “mengikat” anak, n) mempunyai harapan yang tidak realistik untuk anak, o)


(34)

mengancam atau menyalahkan anak bila gagal, p) membuat suasana rumah tegang dan tidak menyenangkan bagi semua.

Anak – anak biasanya memandang “ibu” sebagai individu yang melakukan sesuatu baginya, individu yang memenuhi kebutuhan fisiknya, memberi kasih sayang dan perhatian, hampir selalu berbahagia dan riang gembira, mentolerir sebagian besar kenakalan anak dan membantu mereka bila ada kesulitan. Dalam persepsi anak, ibu memiliki kuasa lebih besar atas mereka dari ayah (Hurlock, 2007).

2.3Pengaruh Pengasuhan Orang Lain Terhadap Anak

Ketika peran seorang ibu dalam hal pengasuhan anak mulai mengalami pergeseran nilai dikarenakan perubahan status ibu menjadi ibu pekerja di luar rumah, beberapa ibu akan mengambil keputusan untuk menyerahkan tanggung jawab pengasuhan anak tersebut ke orang lain, biasanya seperti orang terdekat dengan keluarga atau mempekerjakan orang lain untuk mengasuh anak selama ibu bekerja di luar rumah. Namun pengaruh ibu yang bekerja pada hubungan anak dan ibu, sebagian besar bergantung pada usia anak pada waktu ibu mulai bekerja. Jika ibu mulai bekerja sebelum anak telah terbiasa selalu bersamanya, yaitu sebelum suatu hubungan tertentu terbentuk, maka pengaruhnya akan minimal. Tetapi jika hubungan yang baik telah terbentuk, anak itu akan menderita akibat deprivasi maternal, kecuali jika seorang pengganti ibu yang memuaskan tersedia, yaitu seorang pengganti yang disukai anak dan yang mendidik anak dengan cara yang tidak akan menyebabkan kebingungan atau kemarahan di pihak anak (Hurlock, 2007).


(35)

Namun, bagaimana pun juga keluarga inti adalah standar terbentuknya pribadi anak, begitu juga peran seorang ibu. Peran pengganti ibu yang mengambil alih pengasuhan dan pendisiplinan anak akan melakukan apa yang mereka anggap tepat dalam hal pengasuhan terhadap anak, misalnya peran pengasuhan ibu digantikan oleh nenek, maka nenek tidak akan berlaku layaknya ibu kepada anak melainkan berlaku layaknya nenek kepada cucu. Peran ini mencakup perlakuan khusus dan hadiah – hadiah dan sikap “lepas tangan” dalam pendidikan. Peran ini ditandai dengan hubungan tidak formal yang diperankan oleh nenek kepada cucunya dalam hal pengasuhan dan pendisiplinan anak. Namun walau demikian pembentukan watak anak juga sangat dipengaruhi oleh peran ibu meskipun ibu bekerja di luar rumah, karena bagaimanapun juga ibu adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap anak meski anak telah diasuh oleh orang lain (Hurlock, 2007).

Pengaruh orang lain yang mengasuh anak sebagai pengganti peran ibu dapat mempengaruhi hubungan keluarga, dan dalam hal ini mempengaruhi hubungan ibu dengan anak, bergantung pada dua kondisi: banyaknya waktu yang dihabiskannya dengan anak, dan bagaimana reaksi anak terhadapnya. Jika anak memiliki pengasuh luar hanya untuk jangka waktu pendek, dan jika perannya terutama menjaga anak supaya aman dan bahagia, hanya akan sedikit pengaruh pada hubungan anak dengan ibu atau dengan keluarga. Anak – anak mungkin merasa heran dan mengeluh mengapa ibu mereka tidak bermain dengan mereka seperti pengasuhnya, tetapi sebaliknya pengaruh mereka pada hubungan keluarga akan sedikit saja (Hurlock, 2007).


(36)

Namun jika pengganti ibu menggunakan metode pendidikan anak yang berbeda dari metode orangtuanya atau seandainya anak merasa diabaikan bila hadir seorang pengganti orang tua, mereka tidak akan menyukai pengalihan pengasuhan mereka dari ibu ke orang lain. Bila anak menyukai orang yang mengasuh mereka, satu – satunya pengaruh terhadap hubungan keluarga adalah membuat ibu merasa cemburu terhadap pengganti ibu untuk sementara waktu. Sebaliknya ketidaksukaan dengan pengganti ibu dapat menyebabkan malapetaka dalam hubungan keluarga. Pada anak timbul perasaan tidak senang terhadap ibu sebab ibu mengalihkan pengasuhannya kepada orang yang tidak disukainya. Hal ini mengakibatkan hubungan ibu – anak yang buruk dan suasana rumah yang diwarnai perselisihan (Hurlock, 2007).

Studi – studi menunjukkan bahwa reaksi anak terhadap bentuk pengasuhan dari pihak pengganti peran ibu dalam hal pengasuhan anak akan berubah dengan bertambahnya usia anak (Hurlock, 2007).

Faktor yang menjadi alasan mengapa hampir semua ibu bekerja akan menyerahkan tanggung jawab pengasuhan anak kepada orang lain yang telah menjadi kepercayaan keluarga adalah untuk mengatasi deprivasi maternal yang akan dialami anak ketika ibu harus bekerja, mencegah terjadinya perilaku kriminalitas yang dapat terjadi pada anak ketika ibu bekerja, membantu anak untuk memenuhi semua kebutuhannya ketika ibu bekerja, mengawasi tingkah laku dan perkembangan sosial yang terjadi pada anak (Ahmadi, 2005).

2.4Penilaian Terhadap Perilaku Anak

Menjalin hubungan emosional dengan anak bukan suatu hal yang mudah, karena seringkali anak membuat orang tua menjadi marah karena penyimpangan


(37)

perilaku yang dilakukan anak. Anak sering sekali bertingkah laku tidak sesuai dengan yang orang tua harapkan. Beberapa jenis penyimpangan perilaku yang sering dilakukan anak yaitu suka jahil, iri hati, mencela, rewel, agresif, gagap, takut, protes dan malas belajar. Sifat – sifat ini yang sering sekali membuat orang tua khususnya ibu menjadi marah dan kesal bahkan tidak jarang orang tua menjadi risih dan malu terhadap tanggapan orang lain. Semua orang tua tentu berharap anak mereka dapat menunjukkan perilaku yang manis, patuh, cerdas, mampu berempati, mampu menyesuaikan diri, tidak banyak menuntut, punya pengertian, mandiri, kreatif, punya sikap hormat dan ramah (Surya, 2004).

Dibutuhkan kesabaran dan pengambilan keputusan yang tepat untuk menentukan pola asuh yang paling benar sesuai dengan tingkat usia anak. Menghukum anak atas kesalahan dan perbuatan yang anak lakukan tidak selalu merupakan jalan keluar yang paling tepat. Sering kali anak bukan menunjukkan perubahan perilaku menjadi perilaku yang lebih baik melainkan memberi reaksi perlawanan secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung tentunya anak akan melawan secara verbal maupun fisik, seperti membalas dengan kata-kata kasar dan melawan dengan anggota tubuhnya atau menepis dengan tangannya atau memukul balik. Secara tidak langsung tentunya akan menunjukkan reaksi non – verbal, seperti menunjukkan wajah cemberut, mata melotot, murung, menangis keras dan mengurung diri. Bila kondisi seperti ini yang terjadi kepada anak, orang tua dikatakan gagal memperbaiki penyimpangan perilaku anak dan hubungan emosional dengan anak semakin memburuk. Bahkan, intensitas penyimpangan perilaku anak akan semakin memburuk (Surya, 2004).


(38)

Kurang bijaksana bila orang tua juga bertindak kasar terhadap perilaku menyimpang anak. Yang harus orang tua lakukan adalah tindakan proaktif untuk menemukan cara yang tepat untuk mengatasi perilaku anak. Orang tua harus mengenali dan menganalisa penyebab penyimpangan perilaku pada anak kemudian mencari solusi untuk mengatasi penyimpangan tersebut (Surya, 2004).

3. Suku Jawa

3.1Kebudayaan Suku Jawa

Salah satu budaya tradisional di Indonesia yang sudah cukup tua adalah budaya Jawa, dianut turun – temurun oleh penduduk di sepanjang wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meskipun banyak orang Jawa menganggap bahwa budaya Jawa itu hanya satu dan tidak terbagi – bagi, akan tetapi dalam kenyataannya terdapat berbagai perbedaan sikap dan perilaku masyarakatnya di dalam memahami budaya Jawa. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan kondisi geografis yang menjadikan budaya Jawa terbagi ke dalam beberapa wilayah kebudayaan (Sujamto, 1997: 26 dalam Gauthama et al, 2003). Setiap wilayah kebudayaan mempunyai karakteristik khas tersendiri dalam mengimplementasi falsafah – falsafah budaya Jawa ke dalam kehidupan sehari – hari.

Selain kondisi geografis, beragamnya karakteristik keseharian di dalam implementasi budaya Jawa juga disebabkan oleh masuknya pengaruh nilai – nilai agama maupun budaya lain. Sejarah menunjukkan bahwa pada awalnya budaya Jawa sangat dipengaruhi oleh agama Hindu. Salah satu contoh seni budaya Jawa yang dipengaruhi oleh agama Hindu yaitu pementasan wayang. Alur cerita wayang atau


(39)

nilai dalam agama Islam turut pula mewarnai budaya Jawa (Gauthama et al, 2003).

Budaya Jawa di daerah pesisir pantai utara Pulau Jawa (mulai dari Banyuwangi hingga Pekalongan) memiliki corak yang berbeda dengan budaya Jawa yang berasal dari daerah pedalaman (Surakarta atau Yogyakarta). Pada umumnya, budaya masyarakat di daerah pantai seringkali lebih terbuka, mudah menerima perubahan dan bersifat majemuk dibandingkan budaya masyarakat di daerah pedalaman (Gauthama et al, 2003).

Keanekaragaman budaya Jawa tampak pula pada berbagai dialek bahasa, jenis kesenian, makanan, dan upacara adat, meskipun jika ditinjau lebih jauh masih terdapat beberapa persamaan diantara unsur budaya masyarakat yang satu dengan lainnya, terutama yang berhubungan dengan kebudayaan sebagai suatu sistem budaya (Mattulada, 1993; 32 dalam Gauthama et al, 2003)

Beberapa ahli ilmu sosial membedakan keberagaman budaya Jawa bedasarkan wilayah kebudayaan (culture area), yaitu Nagarigung, Mancanagari, Banyumasan, dan Pesisiran. Kebudayaan Pesisiran kemudian dibagi lagi menjadi Pesisiran Kilen dan Pesisiran Wetan (Koentjaraningrat, 1998: 25- 28 dalam Gauthama et al, 2003). Selain keempat wilayah kebudayaan tadi, masih ada beberapa wilayah kebudayaan lainnya yang memiliki kekhasannya tersendiri, tetapi wilayah penyebarannya tidak terlalu luas, yaitu wilayah kebudayaan Ponorogo, Surabaya, Tengger, Osing, Dulangmas, dan Blambangan (Gauthama et al, 2003).


(40)

Dalam masyarakat Jawa, salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh individu atau sekelompok masyarakat. Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat. Falsafah hidup biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat. Secara pasti dapat dikatakan bahwa jarang sekali ditemukan orang Jawa yang tidak mengenal beberapa atau sebagian dari falsafah hidup mereka. Hanya saja, pengalaman hidup yang berbeda dan perubahan tahapan kehidupan telah mengakibatkan berlainannya pemahaman akan falsafah hidup tersebut (Hariyono dan Suseno, 1999 dalam Gauthama et al, 2003).

3.2 Falsafah Hidup Masyarakat Jawa 1. Hakekat Hidup

Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep – konsep religius yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya, agama (Hindu dan Islam), dan pada batas – batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya (Gauthama et al, 2003).

Banyak falsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum, yang artinya menerima apa – apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka


(41)

harus menerima dengan ikhlas apa yang telah diperolehnya, sebab segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan. Pada masyarakat Jawa tradisonal, terutama yang berpendidikan rendah (wong cilik), falsafah ini menimbulkan sikap yang cepat menyerah pada suatu keadaan yang sulit sehingga biasanya menerima keadaan tersebut sebagai nasib. Sedangkan pada masyarakat Jawa yang berpendidikan tinggi (priyayi), pengertian falsafah ini sudah berubah. Mereka mengartikan bahwa orang tidak lagi harus pasrah, melainkan harus lebih giat berusaha untuk mencapai keadaan yang lebih baik. (Gauthama et al, 2003).

Falsafah Nrima ing pandum selanjutnya diikuti oleh falsafah mawas diri. Orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam cara bertindak, apakah tindakan yang dilakukan seseorang sudah benar dan telah sesuai dengan norma – norma dan tata nilai yang berlaku atau belum. Sikap mawas diri, seseorang akan berusaha agar tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Falsafah ini sering pula digunakan dalam hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (Gauthama et al, 2003). 2. Hakekat Kerja

Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Makna yang terkandung dari hakekat kerja adalah berikhtiar dan bekerja. Bekerja merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup, karena itu di kalangan masyarakat Jawa kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk dapat makan (Hariyanto, 1994: 34 dalam Gauthama et al, 2003). Sebaliknya, pada masyarakat Jawa kelas menengah dan masyarakat Jawa kelas atas telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu


(42)

dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Falsafah yang banyak dipahami oleh masyarakat Jawa kelas menengah dan atas adalah jer basuki mawa beya. Artinya, bekerja merupakan segala sesuatu yang dicita – citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh – sungguh. Dengan falsafah ini, masyarakat Jawa kelas menengah dan masyarakat kelas atas sudah memahami bahwa untuk mewujudkan cita – cita diperlukan biaya (termasuk pengorbanan dalam bentuk uang) (Gauthama et al, 2003).

Falsafah lain yang sering dihubungkan dengan hakekat kerja adalah sepi ing pamrih rame ing gawe. Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap orang mau menolong orang lain tanpa mengharap pujian dan imbalan materil (Gauthama et al, 2003).

3. Hakekat Waktu

Banyak orang berpendapat bahwa budaya Jawa kurang menghargai hakekat waktu. Pendapat ini muncul akibat pemahaman yang salah terhadap falsafah alon – alon waton kelakon. Dalam masyarakat Jawa tradisional yang tergolong ke dalam kelas masyarakat bawah, falsafah tersebut sering diartikan bahwa bekerja tidak perlu terburu – buru, yang penting selesai. Melakukan sesuatu pekerjaan dengan perlahan – lahan memang sudah merupakan sifat orang Jawa. Selain itu, seringkali mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi memang sudah ada waton-nya yakni ketentuan yang memang telah digariskan (Gauthama et al, 2003).

Pada masyarakat Jawa kelas menengah dan kelas atas, falsafah alon – alon waton kelakon diartikan secara positif ketika mengerjakan sesuatu, individu harus berhati – hati agar hasilnya baik. Dengan demikian, dari falsafah ini muncul


(43)

pemahaman bahwa harus ada unsur ketelitian, kecermatan, dan tahapan rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, agar tercapai hasil yang diinginkan (Gauthama et al, 2003).

Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan. Di samping itu, hakekat waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang, yang oleh masyarakat Jawa disebut pasaran. Penggunaan petungan dan pasaran bertalian dengan kepercayaan bahwa peristiwa masa lalu akan menentukan keberhasilan kegiatan masa mendatang. Dalam masyarakat Jawa yang sudah merasa menjadi masyarakat modern, penggunaan petungan dan pasaran diorientasikan untuk merencanakan atau meramalkan kebutuhan yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lampau (Gauthama et al, 2003).

4. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya

Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan yang saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga (masyarakat). Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konflik. Sedangkan prinsip hormat membuat seseorang akan berbicara dan membawa dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya (Suseno, 1999: 38 dalam Gauthama et al, 2003).


(44)

Falsafah budaya Jawa yang menyinggung hakekat hubungan manusia dengan sesamanya antara lain adalah aja dumeh (jangan sok) dan tepa salira (tenggang rasa). Meskipun tampak sederhana, aja dumeh mengandung makna yang mendalam. Falsafah ini digunakan untuk memperingatkan seseorang agar jangan berperilaku aji mumpung, jangan berbuat sewenang – wenang sekehendak hati sehingga lupa diri, dan jangan memandang rendah orang lain agar hubungan baik dengan sesamanya tetap terjaga. Sedangkan tepa salira secara sederhana dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain. Dengan demikian, seseorang tidak akan bertindak sewenang – wenang jika ia menjadi pemimpin (Gauthama et al, 2003).

5. Hakekat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya

Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis. Hakekat ini diimplementasikan antara lain melalui falsafah memayu hayuning bawana (Gauthama et al, 2003).

Pada masyarakat Jawa tradisional (umumnya kelas bawah), falsafah ini memberikan kewajiban pada manusia untuk memelihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia. Pada masyarakat modern (umumnya kelas menengah dan kelas atas), falsafah ini dikembangkan dengan pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia agar bebas dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan, dan peperangan. Falsafah tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dunia menjadi aman dan tenteram (Gauthama et al, 2003).


(45)

Di samping memayu hayuning bawana, falsafah Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan manusia dengan alamnya adalah gugontuhon. Falsafah ini mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu tujuan, kita harus berhati – hati dan selalu memohon kepada Tuhan agar segala sesuatu yang dilakukan dapat tercapai tanpa aral melintang. Namun demikian, dalam praktiknya gugontuhon lebih banyak menggambarkan kepercayaan orang Jawa pada takhayul dan magis yang seringkali ditandai dengan pemikiran – pemikiran tidak logis (Gauthama et al, 2003).


(46)

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola asuh antara ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa

Skema 1. Kerangka Konsep Penelitian Perbedaan Pola Asuh Anak oleh Ibu yang Bekerja dan Ibu yang Tidak Bekerja pada Suku Jawa

Keterangan :

: Variabel yang diteliti Ibu yang bersuku Jawa

Tidak Bekerja Bekerja

Pola asuh yang diterapkan pada anak: 1. Pola asuh Demokratis 2. Pola asuh Otoriter 3. Pola asuh Permisif 4. Pola asuh Penelantar


(47)

2. Defenisi Operasional

Pola asuh adalah suatu cara yang dilakukan orang tua dengan menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak dalam mendidik anak yang bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Menurut Baumrind (1967, dalam Nuraeni 2006), terdapat 4 macam pola asuh orang tua: 1) Pola asuh demokratis yaitu pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu – ragu mengendalikan mereka, memahami kemampuan yang dimiliki anak tanpa berharap yang berlebihan yang melampaui kemampuan anak, memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih dan melakukan suatu tindakan, dan mampu bersifat hangat kepada anak, 2) Pola asuh otoriter yang cenderung menetapkan standar yang mutlak harus dituruti agar patuh dan tunduk terhadap semua perintah dan aturan yang dibuat oleh orang tua tanpa ada kebebasan untuk bertanya atau mengemukakan pendapatnya, biasanya dibarengi dengan ancaman – ancaman, paksaan, perintah, dan hukuman atas kesalahan yang dilakukan oleh anak, 3) Pola asuh permisif merupakan pola asuh yang memberikan pengawasan yang sangat longgar, cenderung tidak menegur atau memperingatkan anak apabila anak sedang dalam bahaya, dan sangat sedikit memberikan bimbingan kepada anak dalam melakukan sesuatu, akan tetapi biasanya bersifat hangat, sehingga seringkali disukai oleh anak, 4) Pola asuh penelantar, pada umumnya memberikan waktu dan biaya yang sangat minim pada anak – anaknya, orang tua lebih banyak menggunakan waktunya untuk keperluan pribadi mereka sehingga sangat jarang memberikan perhatian lebih kepada anak – anaknya.


(48)

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian adalah keseluruhan proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian, sehingga pertanyaan – pertanyaan yang ada dapat dijawab (Hasan, 2002).

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan pola asuh anak pada ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi.

2. Populasi dan Sampel 2.1 Populasi

Populasi adalah generalisasi yang terdiri dari objek/ subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2004 dalam Hidayat, 2007).

Populasi tidak hanya terbatas pada orang, tetapi juga benda – benda alam yang lain. Populasi juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/ subjek yang dipelajari, tetapi meliputi seluruh karakteristik/ sifat yang dimiliki oleh objek/ subjek tersebut (Sugiyono, 2004 dalam Hidayat, 2007).

Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga bersuku Jawa di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi dengan jumlah populasi 225 orang ibu.


(49)

2.2 Sampel

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007). Sampel adalah subunit populasi survey atau populasi survey itu sendiri, yang oleh peneliti dipandang mewakili populasi target. Dengan kata lain, sampel adalah elemen – elemen populasi yang dipilih atas dasar kemampuan mewakilinya (Danim, 2003).

Teknik pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel di antara populasi sesuai dengan kriteria yang dikehendaki penelitian. Sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi (Nursalam, 2003).

Kriteria inklusi sampel yang telah ditetapkan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1) Ibu dengan suku Jawa, 2) Bersedia menjadi responden, 3) Status sebagai pekerja atau sebagai ibu rumah tangga, 4) Memiliki anak yang berusia di atas 3 tahun.

Sampel yang diambil yaitu sekitar 20% dari jumlah populasi karena dianggap telah dapat mewakili (Arikunto, 2006). Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 20% dari 225 orang ibu yaitu sebanyak 46 orang ibu, yaitu ibu bersuku Jawa bekerja yang memiliki anak sebanyak 23 orang dan ibu bersuku Jawa tidak bekerja yang memiliki anak sebanyak 23 orang untuk dijadikan sample penelitian.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian telah dilakukan di Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi, dengan pertimbangan bahwa di desa tersebut masih banyak terdapat populasi ibu bersuku Jawa yang memiliki kriteria yang sama serta belum pernah


(50)

dilakukan penelitian mengenai pola asuh yang diterapkan oleh ibu bekerja dan ibu yang tidak bekerja terhadap anak. Penelitian telah dilakukan pada bulan Maret 2011.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Setelah mendapatkan izin dalam pengumpulan data, maka dilakukan pendekatan kepada responden dan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Nursalam (2003), ada beberapa pertimbangan etik yang diperhatikan pada penelitian ini yaitu : 1) Self Determination, peneliti memberi kebebasan kepada responden untuk menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian, 2) Informed Consent, peneliti menanyakan kesediaan menjadi responden setelah peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan, dan manfaat penelitian. Jika responden bersedia menjadi peserta penelitian maka responden diminta menandatangani lembar persetujuan, 3) Anonimity, peneliti tidak mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, tetapi akan memberikan kode pada masing – masing lembar persetujuan tersebut, 4) Confidentiality, peneliti menjamin kerahasiaan informasi responden dan kelompok data tertentu yang dilaporkan sebagai hasil penelitian.

5. Instrumen Penelitian

Menurut Suharsimi (1996, dalam Hasan, 2002) instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data


(51)

agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah.

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yaitu kuesioner data demografi responden yang meliputi umur, tingkat pendidikan, status tidak bekerja atau bekerja (jenis pekerjaan), dan penghasilan. Bagian kedua yaitu kuesioner dalam bentuk tertutup yang berisi tentang pernyataan – pernyataan yang mengidentifikasi bagaimana penerapan pola asuh yang dilakukan ibu, baik ibu yang bekerja maupun ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa. Kuesioner ini terdiri dari 32 pernyataan yang dikembangkan peneliti dari tiap tipe pola asuh, yang masing – masing pola asuh terdiri dari 8 pernyataan (pernyataan 1 – 8 untuk pola asuh demokratis, pernyataan 9 – 16 untuk pola asuh otoriter, pernyataan 17 – 24 untuk pola asuh permisif, dan pernyataan 25 – 32 untuk pola asuh penelantar). Penilaian menggunakan skala Guttman, tiap pernyataan diberi nilai 1 bila ”ya” dan diberi nilai 0 bila ”tidak”.

6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen. Instrumen yang sahih atau valid, berarti memiliki validitas tinggi, demikian pula sebaliknya. Sebuah instrumen dikatakan sahih, apabila mampu mengukur apa yang diinginkan atau mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Hasan, 2002). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini telah divalidasi oleh salah satu dosen yang berkompeten di bidangnya. Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen dilakukan uji reliabilitas instrumen sehingga dapat digunakan untuk penelitian berikutnya dalam ruang


(52)

lingkup yang sama. Reliabilitas adalah tingkat ketepatan, ketelitian atau keakuratan sebuah instrument (Hasan, 2002). Instrumen yang reliable akan dapat menghasilkan data yang dapat dipercaya atau benar sesuai kenyataannya sehingga walaupun data diambil berulang – ulang, hasilnya akan tetap sama. Kuesioner penelitian ini telah diuji dengan reliabilitas internal yang diperoleh dengan cara menganalisa data dari satu kali pengetesan (Arikunto, 2006). Uji reliabilitas dilakukan sebelum pengumpulan data kepada responden yang memenuhi kriteria seperti responden yang sebenarnya sebanyak 10 orang. Uji reliabilitas kuesioner penelitian ini dilakukan dengan menggunakan rumus K – R 20. Rumus K – R 20 merupakan salah satu uji reliabilitas untuk instrumen dalam bentuk dikotomi. Suatu instrumen baru dikatakan reliabel bila nilai reabilitasnya > 0,632 (Arikunto, 2006). Hasil uji reliabilitas yang diperoleh dari penelitian ini yaitu; nilai reliabilitas instrumen untuk ibu bekerja sebesar 0,83 dan nilai reliabilitas instrument untuk ibu tidak bekerja sebesar 0,98. Dengan kata lain, instrumen untuk kedua sample telah reliabel.

7. Pengumpulan Data

Pengumpulan data telah dilakukan setelah peneliti menerima surat dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU) dan memperoleh izin dari lokasi penelitian yaitu Desa Kedai Damar Kecamatan Tebing Tinggi.

Setelah memperoleh izin tersebut, peneliti melakukan pengumpulan data penelitian dengan terlebih dahulu meminta kesediaan responden yang memenuhi kriteria untuk mengikuti penelitian. Jumlah responden telah ditetapkan sebelumnya oleh peneliti berdasarkan kriteria sampel yang akan diambil. Peneliti


(53)

menjelaskan tentang tujuan, manfaat dan prosedur pengisian kuesioner pada calon responden. Calon responden yang bersedia, diminta untuk menandatangani informed consent (surat persetujuan). Selanjutnya peneliti akan meminta responden untuk mengisi kuesioner tanpa didampingi oleh peneliti. Data kemudian dikumpulkan oleh peneliti dua hari setelah kuesioner dibagikan kepada responden.

8. Analisa Data

Menurut Patton dalam Hasan (2002), analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan perbedaan yang terdapat pada pola asuh anak oleh ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa.

Setelah semua data terkumpul maka dilakukan analisa data melalui beberapa tahap, pertama editing yaitu memeriksa kelengkapan identitas dan data responden serta memastikan semua jawaban telah diisi sesuai petunjuk, tahap kedua coding yaitu memberi kode atau angka tertentu pada lembar kuesioner untuk mempermudah mengadakan tabulasi dan analisa data (bertujuan untuk mengelompokkan data berdasarkan kriteria sampelnya masing – masing, yaitu kelompok ibu bekerja dan ibu yang tidak bekerja), tahap ketiga processing yaitu memasukkan data dari lembar kuesioner ke dalam program komputer, tahap keempat cleaning yaitu mengecek kembali data yang telah dimasukkan untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak, tahap kelima tabulating yaitu menganalisa data secara deskriptif.


(54)

Tabulasi dilakukan dengan tiga tahapan yaitu memberi skor pada item – item pernyataan yang perlu diberi skor, memberi kode terhadap item – item yang tidak perlu diberi skor dan mentabulasi data untuk memperoleh hasil dalam bentuk angka. Penyusunan data meliputi kegiatan pengorganisasian data ke dalam master table (tabel induk) supaya mudah dijumlah, disusun, dan ditata untuk disajikan dan dianalisa. Setiap item yang dijawab “ya” diberi nilai 1 sedangkan untuk setiap item yang dijawab “tidak” diberi nilai 0. Selanjutnya peneliti menjumlahkan setiap item yang bernilai 1 dan pernyataan yang bernilai 0. Setelah itu dilakukan analisis data yang terkumpul dengan cara menghitung persentase (%) menggunakan rumus sebagai berikut :

P = x 100%

keterangan : P = Persentase

f = Frekuensi teramati

n = Jumlah responden, (Arikunto, 2006)

Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan persentase dengan menggunakan teknik komputerisasi.


(55)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai perbedaan pola asuh anak oleh ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa yang dilakukan pada tanggal 5 Maret sampai dengan 20 Maret 2011 dengan jumlah responden 23 ibu bekerja bersuku Jawa dan 23 ibu tidak bekerja bersuku Jawa.

1.1Karakteristik Responden

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden ibu berumur 36 – 45 tahun (ibu bekerja n= 12 atau 52, 17 % dan ibu tidak bekerja n= 10 atau 43, 48 %). Mayoritas tingkat pendidikan ibu yaitu SMA (ibu bekerja n= 12 atau 52, 17 % dan ibu tidak bekerja n= 14 atau 60, 87 %), penghasilan mayoritas keluarga adalah Rp. 800.000,00 - 1.500.000,00 (keluarga ibu bekerja n= 9 atau 39, 13 % dan keluarga ibu bekerja n= 14 atau 60, 87 %). Distribusi frekuensi dan persentase karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 1.


(56)

Table 1. Distribusi frekuensi dan presentase karakteristik responden Karakteristik

Demografi

Ibu Bekerja Ibu Tidak Bekerja Frekuensi Persentase

(%)

Frekuensi Persentase (%) Umur

25 – 35 tahun 36 – 45 tahun 46 – 55 tahun

7 12

4

30, 44 % 52, 17 % 17, 39 %

9 10

4

39, 13 % 43, 48 % 17, 39 % Tingkat Pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi 2 2 12 7

8, 70 % 8, 70 % 52, 17 % 30, 43 %

2 6 14

1

8, 70 % 26, 08 % 60, 87 % 4, 35 % Penghasilan Keluarga

dalam satu bulan <Rp.800.000,00 Rp. 800.000,00 - 1.500.000,00 Rp. 1.500.000,00 - 3000.000,00 >Rp. 3000.000 5 9 5 4

21, 74 % 39, 13 %

21, 73 %

17, 39 %

3 14

6

0

13, 04 % 60, 87 %

26, 1 %

0 %

1.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Anak oleh Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja pada Suku Jawa

1.2.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Demokratis Ibu bekerja

Pada penelitian ini semua ibu bekerja selalu mengutamakan kepentingan anak namun tidak ragu dalam mengendalikan perilaku anak (100 %), semua ibu bekerja juga selalu mempertimbangkan semua keputusan yang akan diambil demi


(57)

kepentingan anak (100 %), hampir semua ibu bekerja juga akan memberikan dukungan kepada tindakan anak yang bersifat positif (95, 65 %), semua ibu bekerja selalu menghargai kemampuan yang dimiliki oleh anak (100 %), hampir semua ibu bekerja memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain serta memilih dan melakukan suatu tindakan (95, 65 %), hampir semua ibu bekerja mampu untuk selalu bersifat hangat kepada anak (91, 30 %), hampir semua anak ibu bekerja merupakan anak yang mandiri dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, orang yang lebih muda darinya maupun orang yang lebih tua darinya (86, 96 %), lebih dari 3/4 anak ibu bekerja mempunyai minat dan selalu ingin mencoba hal – hal yang baru (82, 61 %).

Ibu tidak bekerja

Pada penelitian ini hampir semua ibu tidak bekerja selalu mengutamakan kepentingan anak namun tidak ragu dalam mengendalikan perilaku anak (95, 65 %), hampir semua ibu tidak bekerja juga selalu mempertimbangkan semua keputusan yang akan diambil demi kepentingan anak (95, 65 %), semua ibu tidak bekerja akan memberikan dukungan kepada tindakan anak yang bersifat positif (100 %), semua ibu tidak bekerja selalu menghargai kemampuan yang dimiliki oleh anak (100 %), hampir semua ibu tidak bekerja memberikan kebebasan kepada anak untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya dan belajar untuk dapat menanggapi pendapat orang lain serta memilih dan melakukan suatu tindakan (86, 96 %), semua ibu tidak bekerja mampu untuk selalu bersifat


(58)

anak yang mandiri dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, baik dengan teman sebaya, orang yang lebih muda darinya maupun orang yang lebih tua darinya (82, 61 %), lebih dari 3/4 anak ibu tidak bekerja mempunyai minat dan selalu ingin mencoba hal – hal yang baru (82, 61 %).

Table 2. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh demokratis

Pernyataan Ibu Bekerja Ibu Tidak Bekerja

Frekuensi Persentase (%)

Frekuensi Persentase (%) Pernyataan 1 Ya Tidak 23 0 100 % 0 % 22 1

95, 65 % 4, 35 % Pernyataan 2 Ya Tidak 23 0 100 % 0 % 22 1

95, 65 % 4, 35 % Pernyataan 3

Ya Tidak

22 1

95, 65 % 4, 35 %

23 0 100 % 0 % Pernyataan 4 Ya Tidak 23 0 100 % 0% 23 0 100 % 0 % Pernyataan 5 Ya Tidak 22 1

95, 65 % 4, 35 %

20 3

86, 96 % 13, 04 % Pernyataan 6

Ya Tidak

21 2

91, 30 % 8, 70 %

23 0 100 % 0 % Pernyataan 7 Ya Tidak 20 3

86, 96 % 13, 04 %

19 4

82, 61 % 17, 39 % Pernyataan 8

Ya Tidak

19 4

82, 61 % 17, 39 %

19 4

82, 61 % 17, 39 %


(59)

1.2.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Otoriter Ibu bekerja

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ibu bekerja, lebih dari 3/4 ibu bekerja membuat peraturan – peraturan tertentu kepada anak dalam menjalankan aktivitas (78, 26 %), lebih dari 2/4 ibu bekerja akan memberikan hukuman jika anak melanggar peraturan – peraturan yang telah ibu buat (56, 52 %), lebih dari 2/3 ibu bekerja memberikan batasan – batasan kepada anak dalam menjalankan aktivitasnya (69, 57 %), lebih dari 2/5 ibu bekerja cenderung tidak memaksakan keinginan ibu kepada anak (47, 83 %), semua ibu bekerja memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya dan mengemukakan pendapat dalam memutuskan suatu hal yang akan dilakukan oleh anak (100 %), hanya 2/9 ibu bekerja yang tidak memerintah anak untuk melakukan sesuatu (21, 74 %), sekitar 2/6 ibu bekerja tidak akan memberikan hukuman kepada anak ketika anak melakukan suatu kesalahan atau tidak mau melakukan perintah yang ibu berikan (34, 78 %), hampir semua anak ibu bekerja merupakan anak yang pemberani, aktif dalam berkomunikasi, terbuka, kreatif, dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (86, 96 %).

Ibu tidak bekerja

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada ibu tidak bekerja, 3/4 ibu tidak bekerja membuat peraturan – peraturan tertentu kepada anak dalam menjalankan aktivitas (73, 91 %), lebih dari 2/4 ibu tidak bekerja akan memberikan hukuman jika anak melanggar peraturan – peraturan yang telah ibu buat (60, 87 %), 3/4 ibu tidak bekerja memberikan batasan – batasan kepada anak


(60)

dalam menjalankan aktivitasnya (73, 91 %), lebih dari 2/4 ibu tidak bekerja cenderung tidak memaksakan keinginan ibu kepada anak (56, 52 %), hampir semua ibu tidak bekerja memberikan kesempatan kepada anak untuk bertanya dan mengemukakan pendapat dalam memutuskan suatu hal yang akan dilakukan oleh anak (95, 65 %), sekitar 2/9 ibu tidak bekerja tidak memerintah anak untuk melakukan sesuatu (26, 09 %), sekitar 2/6 ibu tidak bekerja tidak akan memberikan hukuman kepada anak ketika anak melakukan suatu kesalahan atau tidak mau melakukan perintah yang ibu berikan (34, 78 %), 3/4 anak ibu tidak bekerja merupakan anak yang pemberani, aktif dalam berkomunikasi, terbuka, kreatif, dan mampu menjalin hubungan yang baik dengan orang lain (73, 91 %).


(61)

Tabel 3. Distribusi frekuensi dan persentase pola asuh otoriter

1.2.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Pola Asuh Permisif Ibu Bekerja

Dari penelitian yang dilakukan pada ibu bekerja, hampir semua ibu bekerja memberikan pengawasan yang cukup kepada anak untuk melakukan sesuatu (95, 65 %), semua ibu bekerja akan memberi teguran atau peringatan kepada anak ketika anak sedang dalam bahaya atau melakukan suatu kesalahan

Pernyataan Ibu Bekerja Ibu Tidak Bekerja

Frekuensi Persentase (%)

Frekuensi Persentase (%) Pernyataan 9 Ya Tidak 18 5

78, 26 % 21, 74 %

17 6

73, 91 % 26, 09 % Pernyataan 10

Ya Tidak

13 10

56, 52 % 43, 48 %

14 9

60, 87 % 39, 13 % Pernyataan 11

Ya Tidak

16 7

69, 57 % 30, 43 %

17 6

73, 91 % 26, 09 % Pernyataan 12

Ya Tidak

11 12

47, 83 % 52, 17 %

13 10

56, 52 % 43, 48 % Pernyataan 13 Ya Tidak 23 0 100 % 0 % 22 1

95, 65 % 4, 35 % Pernyataan 14

Ya Tidak

5 18

21, 74 % 78, 26 %

6 17

26, 09 % 73, 91 % Pernyataan 15

Ya Tidak

8 15

34, 78 % 65, 22 %

8 15

34, 78 % 65, 22 % Pernyataan 16

Ya Tidak

20 3

86, 96 % 13, 04 %

17 6

73, 91 % 26, 09 %


(62)

(100 %), lebih dari 3/4 ibu bekerja tidak akan memberikan kebebasan tanpa batas kepada anak untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan apa yang anak inginkan (82, 61 %), lebih dari 3/4 ibu bekerja tidak selalu menuruti dan memenuhi semua keinginan anak (78, 26 %), lebih dari 3/4 ibu bekerja akan melindungi anak sesuai dengan usianya (82, 61 %), lebih dari 3/4 ibu bekerja selalu dapat bersikap hangat kepada anak (82, 61 %), hampir semua ibu bekerja memberikan bimbingan yang cukup kepada anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah (91, 30 %), 3/4 anak ibu bekerja merupakan anak yang patuh, mau berbagi dengan orang lain, percaya diri, dan matang secara sosial (mampu menjalin kedekatan dengan orang lain) (73, 91 %).

Ibu Tidak Bekerja

Dari penelitian yang telah dilakukan pada ibu tidak bekerja, semua ibu tidak bekerja memberikan pengawasan yang cukup kepada anak untuk melakukan sesuatu (100 %), semua ibu tidak bekerja akan memberi teguran atau peringatan kepada anak ketika anak sedang dalam bahaya atau melakukan suatu kesalahan (100 %), lebih dari 2/5 ibu tidak bekerja tidak akan memberikan kebebasan tanpa batas kepada anak untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan apa yang anak inginkan (47, 83 %), 3/4 ibu tidak bekerja tidak selalu menuruti dan memenuhi semua keinginan anak (73, 91 %), hampir semua ibu tidak bekerja akan melindungi anak sesuai dengan usianya (91, 30 %), semua ibu tidak bekerja selalu dapat bersikap hangat kepada anak (100 %), semua ibu tidak bekerja memberikan bimbingan yang cukup kepada anak dalam menyelesaikan pekerjaan rumah (100 %), hampir semua anak ibu tidak bekerja merupakan anak yang patuh, mau


(1)

Pernyataan17

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ya 23 100.0 100.0 100.0

Pernyataan18

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ya 23 100.0 100.0 100.0

Pernyataan19

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 12 52.2 52.2 52.2

ya 11 47.8 47.8 100.0

Total 23 100.0 100.0

Pernyataan20

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 6 26.1 26.1 26.1

ya 17 73.9 73.9 100.0


(2)

Pernyataan21

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 2 8.7 8.7 8.7

ya 21 91.3 91.3 100.0

Total 23 100.0 100.0

Pernyataan22

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ya 23 100.0 100.0 100.0

Pernyataan23

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ya 23 100.0 100.0 100.0

Pernyataan24

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 2 8.7 8.7 8.7


(3)

Pernyataan25

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 5 21.7 21.7 21.7

ya 18 78.3 78.3 100.0

Total 23 100.0 100.0

Pernyataan26

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 2 8.7 8.7 8.7

ya 21 91.3 91.3 100.0

Total 23 100.0 100.0

Pernyataan27

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid ya 23 100.0 100.0 100.0

Pernyataan28

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

Pernyataan29

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 5 21.7 21.7 100.0 ya 18 78.3 78.3 78.3

Total 23 100.0 100.0

Pernyataan30

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 7 30.4 30.4 30.4

ya 16 69.6 69.6 100.0

Total 23 100.0 100.0

Pernyataan31

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 6 26.1 26.1 26.1

ya 17 73.9 73.9 100.0


(5)

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid tidak 3 13.0 13.0 13.0

ya 20 87.0 87.0 100.0


(6)

Lampiran 9 CURICULUM VITAE

Nama : Hafizhoh Isneini Purba

Tempat Tanggal Lahir : Pabatu, 18 September 1989

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Emplasment Pabatu

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 105434 (1995 – 2001) 2. SLTP Swasta Yapendak Pabatu (2001 – 2004) 3. SMA Negeri 1 Tebing Tinggi (2004 – 2007) 4. Fakultas Keperawatan USU (2007 – 2011)