Dalam masyarakat Jawa, salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah
falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh individu atau sekelompok masyarakat.
Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat. Falsafah hidup biasanya tercermin dalam berbagai ungkapan yang
dikenal dalam masyarakat. Secara pasti dapat dikatakan bahwa jarang sekali ditemukan orang Jawa yang tidak mengenal beberapa atau sebagian dari falsafah
hidup mereka. Hanya saja, pengalaman hidup yang berbeda dan perubahan tahapan kehidupan telah mengakibatkan berlainannya pemahaman akan falsafah
hidup tersebut Hariyono dan Suseno, 1999 dalam Gauthama et al, 2003.
3.2 Falsafah Hidup Masyarakat Jawa
1. Hakekat Hidup
Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep – konsep religius yang bernuansa mistis.
Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat
dipengaruhi oleh budaya, agama Hindu dan Islam, dan pada batas – batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya Gauthama et al,
2003. Banyak falsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang
Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum, yang artinya menerima apa – apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini,
orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka
Universitas Sumatera Utara
harus menerima dengan ikhlas apa yang telah diperolehnya, sebab segala sesuatu telah diatur oleh Tuhan. Pada masyarakat Jawa tradisonal, terutama yang
berpendidikan rendah wong cilik, falsafah ini menimbulkan sikap yang cepat menyerah pada suatu keadaan yang sulit sehingga biasanya menerima keadaan
tersebut sebagai nasib. Sedangkan pada masyarakat Jawa yang berpendidikan tinggi priyayi, pengertian falsafah ini sudah berubah. Mereka mengartikan
bahwa orang tidak lagi harus pasrah, melainkan harus lebih giat berusaha untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Gauthama et al, 2003.
Falsafah Nrima ing pandum selanjutnya diikuti oleh falsafah mawas diri. Orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri sebagai
pedoman dalam cara bertindak, apakah tindakan yang dilakukan seseorang sudah benar dan telah sesuai dengan norma – norma dan tata nilai yang berlaku atau
belum. Sikap mawas diri, seseorang akan berusaha agar tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggungjawabkan. Falsafah ini sering pula digunakan
dalam hakekat hubungan manusia dengan sesamanya Gauthama et al, 2003. 2.
Hakekat Kerja Masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun
perkotaan jarang memikirkan hakekat kerja dan usaha. Makna yang terkandung dari hakekat kerja adalah berikhtiar dan bekerja. Bekerja merupakan suatu
keharusan untuk mempertahankan hidup, karena itu di kalangan masyarakat Jawa kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk
dapat makan Hariyanto, 1994: 34 dalam Gauthama et al, 2003. Sebaliknya, pada masyarakat Jawa kelas menengah dan masyarakat Jawa kelas atas telah memiliki
tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu
29
Universitas Sumatera Utara
dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Falsafah yang banyak dipahami oleh masyarakat Jawa kelas menengah dan atas adalah jer basuki mawa beya. Artinya,
bekerja merupakan segala sesuatu yang dicita – citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh – sungguh. Dengan falsafah ini, masyarakat Jawa kelas
menengah dan masyarakat kelas atas sudah memahami bahwa untuk mewujudkan cita – cita diperlukan biaya termasuk pengorbanan dalam bentuk uang
Gauthama et al, 2003. Falsafah lain yang sering dihubungkan dengan hakekat kerja adalah sepi
ing pamrih rame ing gawe. Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap orang mau menolong orang lain tanpa mengharap pujian dan imbalan materil Gauthama et
al, 2003. 3.
Hakekat Waktu Banyak orang berpendapat bahwa budaya Jawa kurang menghargai
hakekat waktu. Pendapat ini muncul akibat pemahaman yang salah terhadap falsafah alon – alon waton kelakon. Dalam masyarakat Jawa tradisional yang
tergolong ke dalam kelas masyarakat bawah, falsafah tersebut sering diartikan bahwa bekerja tidak perlu terburu – buru, yang penting selesai. Melakukan
sesuatu pekerjaan dengan perlahan – lahan memang sudah merupakan sifat orang Jawa. Selain itu, seringkali mereka menganggap bahwa segala sesuatu yang
terjadi memang sudah ada waton-nya yakni ketentuan yang memang telah digariskan Gauthama et al, 2003.
Pada masyarakat Jawa kelas menengah dan kelas atas, falsafah alon – alon waton kelakon diartikan secara positif ketika mengerjakan sesuatu, individu
harus berhati – hati agar hasilnya baik. Dengan demikian, dari falsafah ini muncul
30
Universitas Sumatera Utara
pemahaman bahwa harus ada unsur ketelitian, kecermatan, dan tahapan rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan, agar tercapai hasil yang diinginkan
Gauthama et al, 2003. Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam
kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan. Di samping itu, hakekat
waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang, yang oleh
masyarakat Jawa disebut pasaran. Penggunaan petungan dan pasaran bertalian dengan kepercayaan bahwa peristiwa masa lalu akan menentukan keberhasilan
kegiatan masa mendatang. Dalam masyarakat Jawa yang sudah merasa menjadi masyarakat modern, penggunaan petungan dan pasaran diorientasikan untuk
merencanakan atau meramalkan kebutuhan yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lampau Gauthama et al, 2003.
4. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya
Masyarakat Jawa menghendaki hidup yang selaras dan serasi dengan pola pergaulan yang saling menghormati. Hidup yang saling menghormati akan
menumbuhkan kerukunan, baik di lingkungan rumah tangga maupun di luar rumah tangga masyarakat. Dua prinsip yang paling menentukan dalam pola
pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konflik.
Sedangkan prinsip hormat membuat seseorang akan berbicara dan membawa dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya Suseno, 1999: 38 dalam
Gauthama et al, 2003.
31
Universitas Sumatera Utara
Falsafah budaya Jawa yang menyinggung hakekat hubungan manusia dengan sesamanya antara lain adalah aja dumeh jangan sok dan tepa salira
tenggang rasa. Meskipun tampak sederhana, aja dumeh mengandung makna yang mendalam. Falsafah ini digunakan untuk memperingatkan seseorang agar
jangan berperilaku aji mumpung, jangan berbuat sewenang – wenang sekehendak hati sehingga lupa diri, dan jangan memandang rendah orang lain agar hubungan
baik dengan sesamanya tetap terjaga. Sedangkan tepa salira secara sederhana dapat diartikan sebagai perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan
orang lain. Dengan demikian, seseorang tidak akan bertindak sewenang – wenang jika ia menjadi pemimpin Gauthama et al, 2003.
5. Hakekat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya
Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan
keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis. Hakekat ini diimplementasikan antara lain melalui falsafah memayu hayuning
bawana Gauthama et al, 2003. Pada masyarakat Jawa tradisional umumnya kelas bawah, falsafah ini
memberikan kewajiban pada manusia untuk memelihara dan melestarikan alam, karena alam telah memberikan kehidupan bagi manusia. Pada masyarakat modern
umumnya kelas menengah dan kelas atas, falsafah ini dikembangkan dengan pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia agar bebas
dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan, dan peperangan. Falsafah tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur,
sehingga dunia menjadi aman dan tenteram Gauthama et al, 2003.
32
Universitas Sumatera Utara
Di samping memayu hayuning bawana, falsafah Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan manusia dengan alamnya adalah gugontuhon.
Falsafah ini mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu tujuan, kita harus berhati – hati dan selalu memohon kepada Tuhan agar segala sesuatu yang
dilakukan dapat tercapai tanpa aral melintang. Namun demikian, dalam praktiknya gugontuhon lebih banyak menggambarkan kepercayaan orang Jawa pada takhayul
dan magis yang seringkali ditandai dengan pemikiran – pemikiran tidak logis Gauthama et al, 2003.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 KERANGKA PENELITIAN
1. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep penelitian bertujuan untuk mengetahui perbedaan pola asuh antara ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja pada suku Jawa
Skema 1. Kerangka Konsep Penelitian Perbedaan Pola Asuh Anak oleh Ibu yang Bekerja dan Ibu yang Tidak Bekerja pada Suku Jawa
Keterangan : : Variabel yang diteliti
Ibu yang bersuku Jawa
Tidak Bekerja Bekerja
Pola asuh yang diterapkan pada anak: 1.
Pola asuh Demokratis 2.
Pola asuh Otoriter 3.
Pola asuh Permisif 4.
Pola asuh Penelantar Baumrind, 1967 dikutip oleh Nuraeni, 2006
34
Universitas Sumatera Utara