BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepustakaan Yang Relevan
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku yang relevan. Hal ini dikarenakan hasil dari suatu karya ilmiah haruslah dapat dengan mudah
dipertanggung jawabkan dan harus disertai data-data yang kuat serta ada hubunganya dengan yang diteliti.
Chaer 1987 : 3 mengemukakan makna adalah hubungan atau lambang yang berupa ujaran dengan hal atau barang atau benda yang
dimaksudkan. Adapun sebuah budaya yang selalu diwakili kode atau lambang yang secara konvensional disepakati memiliki makna. Makna
yang terkandung tersebut selalu merujuk kepada kosmologi masyarakat pemilik budaya tersebut.
Tampubolon 1986 : 9 ulos merupakan pakaian sehari-hari. Bila dipakai oleh laki-laki bagian atasnya disebut hande-hande, bagian
bawah disebut sengkot, sebagai penutup kepala disebut tali-tali, bulang- bulang atau detar. Bila dipakai oleh perempuan wanita bagian bawah
disebut haen, dipakai hingga batas dada. Untuk menutup punggung disebut heba-heba dan dipakai berupa selendang disebut ampe-ampe,
untuk kepala disebut saong. Apabila seorang wanita menggendong anak ulos yang digunakan disebut parompa dan penutup punggung disebut
hop-hop. Pendapat Tampubolon ini berdasarkan pengamatanya sebelum
Universitas Sumatera Utara
dikenal di masyarakat Batak Toba tekstil buatan luar seperti sekarang ini.
Ulos sebagai pakaian sehari-hari biasanya dipakai oleh para penatua dan
dukun-dukun Batak Toba. Ulos tersebut merupakan sebuah pelengkap dalam pelaksanaan ritual, tetapi menurut masyarakat Batak Toba seorang dukun atau
penatua memakai pakaian ulos adalah penanda bahwa dia seorang yang dituakan dan dianggap pintar. Hande-hande adalah ulos yang dipakai seorang
laki-laki di atas bahu menjulur kebawah, atau diikat sejajar dengan pinggang. Biasanya hande-hande ini dipakai seorang dukun atau yang dituakan
dilingkungan masyarakat Batak Toba. Tetapi bisa juga dipakai pada saat acara adat baik perkawinan, meninggal dan upacara ritual. Sengkot lopes adalah
ulos yang dililitkan di pinggang sebagai pengganti celana oleh sorang dukun atau yang dituakan. Tetapi pada acara adat Batak sengkot dipakai bukan hanya
sekedar pengganti celana laki-laki, tetapi sebagai pelengkap pakaian adat Batak Toba dalam acara adat. Bulang-Bulang tali-tali yaitu sebagai pengikat
kepala atau sebagai penutup kepala. Biasanya dapat dilihat pada acara ritual, perkawinan, dan acara meninggal. Seorang dukun biasanya memakai bulang-
bulang yang disebut sebagai Bonang Manalu benang tiga warna . Haen adalah sebuah ulos yang dilingkarkan pada pinggang perempuan sebagai
pengganti baju . Biasanya ini dipakai oleh isteri dari yang dituakan ataupun isteri seorang dukun. Tetapi sekarang ini sudah dapat dipakai oleh seorang
wanita pada acara-acara adat, maupun sebagai kostum pada saat menari. Heba- heba adalah ulos yang dipakai seorang wanita untuk menutup bagian punggung
sebagai pengganti baju. Ampe-ampe disebut sebagai ulos yang diletakkan pada
Universitas Sumatera Utara
bahu menjulur kebawah. Dalam menggendong anak atau bayi, orang Batak Toba menyebutkan dengan parompa gendongan sebagai tanda kasih sayang
dengan bentuk menggendong. Biasanya ulos parompa yang diberikan adalah ulos mangiring. Hop-hop yaitu ulos yang dipakai untuk menutup punggung
sebagai pengganti pakaian. Dari pendapat di atas dapat menggambarkan sebuah kepribadian orang
Batak Toba bahwa ulos adalah sumber dari segala kesuksesan dan kedamain dalam kehidupanya. Tetapi akibat dari pergeseran budaya segala bentuk dan
pemakain ulos sudah banyak tidak dipergunakan lagi akibat dari pakaian jadi yang sudah ada.
Ulos bagi masyarakat Batak Toba juga merupakan sebuah benda yang mengandung banyak arti. Dari jenisnya yang beraneka ragam demikian juga
dengan arti yang dikandungnya. Berbeda jenis ulos berbeda pula arti dan maknanya. Ada beberapa jenis ulos bagi masyarakat Batak Toba seperti
Ragidup, Sibolang, Suri-suri, Mangiring, Ragihotang, Pinunsaan, Bintang Marotur, Sadum dan lain sebagainya. Ulos ini tidaklah sama bentuk dan
maknanya. Pada acara adat Batak baik acara suka maupun duka, ulos selalu dibawa dan dipakai oleh orang-orang yang hadir pada acara tersebut. Dari jenis
ulos yang dipakai, masyarakat luas diluar dari tuan rumah dan undangan pesta dapat mengetahui acara tersebut adalah acara duka dan acara adat. Misalnya,
pada acara orang meninggal, masyarakat Batak Toba memakai ulos yang bercorak dan berwarna kehitam-hitaman, dan pihak tuan rumah memakai ulos
Sibolang yang menandakan keluarga yang berduka. Pada acara adat
Universitas Sumatera Utara
perkawinan misalnya, orang Batak Toba sering menggunakan ulos yang beraneka corak dan berwarna cerah baik dari tuan rumah maupun undangan
seperti Ragihotang, sadum. Dari penjelasan ini dapat diartikan bahwa ulos bagi masyarakat Batak
Toba adalah sebuah gambaran kehidupan yang mampu memberikan perlindungan serta adat mencurahkan rasa kepedulian, kasih sayang baik dari
sipenerima maupun sipemberi. Jenny 1995 dalam Wijana 1996, “ Pragmatik sebagai arti dalam
interaksi, ini menggambarkan bahwa makna itu bukan sesuatu arti yang melekat pada kata itu sendiri, bukan juga kata-kata yang dikeluarkan
oleh pembicara itu sendiri, atau pendengar itu sendiri. Selain itu Leech 1983:5-6 “Menyatakan pragmatik mempelajari maksud ujaran Yaitu
untuk apa ujaran itu dilakukan; menanyakan apa yang seseorang maksudkan dengan suatu tindak tutur; dan mengaitkan makna dengan
siapa berbicara kepada siapa, dimana bila mana, bagaimana”. Richrads Dalam Suyono, 1990 Menyatakan tindak tutur adalah “the
thing we actually do when we speak” atau “the minimal unit of speaking which can be said to have a function”. Tindak tutur adalah sesuatu yang benar-benar
kita lakukan pada saat kita berbicara. Sesuatu itu berupa unit tuturan minimal dan dapat berfungsi. Dalam hal ini adalah untuk berkomunikasi. Dari sini dapat
dipahami bahwa tuturan berupa sebuah kalimat dapat dikatakan sebagai tindak tutur jika kalimat itu berfungsi. Fungsi yang dimaksud adalah bisa merangsang
orang lain untuk memberi tanggapan yang berupa ucapan atau tindakan.
2.2 Teori Yang Digunakan