Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah negara hukum. Kesadaran hukum merupakan faktor yang penting dalam tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia, karena tanpa adanya kesadaran hukum sangatlah mustahil dapat ditegakkannya hukum dan keadilan. Kejahatan merupakan masalah sosial dan pemerintah telah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasinya. Salah satu cara yang dapat mencegah dan mengendalikannya adalah dengan menggunakan hukum pidana yang sanksinya berupa pidana. Hukum pidana sering disebut sebagai hukum dengan sanksi istimewa karena hukum pidana mengatur tentang perbuatan apa yang diancam pidana serta di mana aturan pidana itu menjelma. 1 Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau di televisi diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat 1 Amdi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia, Di Masa Lalu, Kini, dan di Masa Depan, Cet.II, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985, h.11. walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tetapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, utamanya terhadap kepentingan seksual laki-laki. Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis. 2 Dewasa ini kasus perkosaan kerap kali terjadi, baik itu perkosaan yang dilakukan oleh orang yang sudah menikah ataupun yang belum menikah. Mirisnya lagi, perkosaan yang dilakukan oleh beberapa orang atau ayah terhadap anaknya. Masalah seperti ini sudah sepatutnya ditinjau kembali. Perlu adanya pembaharuan hukum yang maksimal hingga seseorang merasa takut atau setidaknya berfikir kembali untuk melakukan perbuatan pidana. Bagaimana tidak, dalam KUHP Indonesia tindak pidana perkosaan hanya diancam dengan hukuman paling lama 12 tahun. Itupun paling lama, belum lagi adanya pengurangan-pengurangan hukuman dan lain sebagainya. Padahal kalau ditinjau dari segi sosiologis dan psikis, perkosaan sangatlah berdampak buruk 2 Ira Dwiyati, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Peradilan Pidana, Tesis S2 Sistem Peradilan Pidana, Megister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro Semarang, 2007, h.16. dan fatal bagi si korban ataupun keluarganya. Korban akan mengalami gangguan jiwa dan mental yang besar dan berkepanjangan, sedangkan keluarga turut menanggung malu akan keadaan si korban. Dengan menjatuhkan hukuman, pelaku kejahatan sekurang-kurangnya dihambat untuk melakukan kejahatan. Pengalaman penderitaan akibat hukuman dapat membuatnya jera untuk mengulangi kejahatannya special deterrence. Hukuman bahkan dapat menciptakan efek jera bagi pihak lain publik sehingga kejahatan baik secara kuantitatif maupun kualitatif secara umum dapat ditekan atau dikendalikan. 3 Kasus tindak pidana perkosaan paling banyak menimbulkan kesulitan dalam penyelesaiannya, baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain. 4 Walaupun banyak tindak pidana perkosaan yang telah diproses sampai ke Pengadilan, tetapi kasus-kasus itu pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang maksimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP BAB XIV tentang Kejahatan 3 Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum, Membangun Hukum, Membela Keadilan, artikel diakses pada 02 Oktober 2010 dari http:www.books.google.com, h.108. 4 Laden Marpaung, Kejahatan Terhadap Kesusilaan Dan Masalah Prevensinya Jakarta: Sinar Grafika, 1996, h.81. Kesusilaan Pasal 281 sd 296, khususnya yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan Pasal 285 yang menyatakan: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun”. Di dalam hukum Islam memang tidak ada ketentuan khusus yang membahas tentang masalah tindak pidana perkosaan. Namun, jika kita lihat definisi dari perkosaan itu, sepintas hampir menyerupai definisi zina. Zina adalah hubungan kelamin antara laki-laki dengan perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah dan dilakukan dengan sadar serta tanpa adanya unsur subhat. 5 perbedaannya terletak pada kekerasan dan ancaman kekerasan. Dari definisi tersebut perkosaan tergolong kepada jarimah takzir karena tidak memenuhi unsur-unsur jarimah zina. Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari al- Qur’an dan Hadits. Dalam kasus perkosaan seperti ini yang dalam hukum Islam tergolong kepada jarimah takzir dan hukum Islam memberikan hukuman yang berat bagi pelaku perkosaan, karena secara tidak langsung pelaku telah berzina dengan menyebabkan korban yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Oleh sebab itu, hukuman yang ditetapkan sangat berat, bahkan bisa mencapai hukuman mati. 5 Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., II: hlm. 109 Firman Allah SWT dalam surat an-Nuur ayat 2:                              : Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap- tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman .” Q.S. an-Nuur ayat 24:2 Hadits Rasulullah SAW ke-1232 dalam Tarjamah Bulughul Maram: 6 ”Dari Ubadah bin Shamit ia berkata: “Rasulullah bersabda : Terimalah hukum dariku, terimalah hukum dariku, sesungguhnya Allah telah menunjukkan kepada kamu jejaka dan gadis yang berbuat zina hukuman seratus kali dera dan pengasingan satu tahun dan laki-laki yang telah kawin dengan wanita yang telah kawin hukumannya dera dan rajam. ” HR. Muslim Ayat dan Hadits di atas merupakan ketentuan hukum pidana Islam untuk jarimah zina. Karena perkosaan hampir serupa dengan zina maka penulis merujuk kepada ayat dan hadits di atas sebagai tolak ukur takzir untuk tindak pidana perkosaan. Zina di lakukan tanpa adanya paksaan, Allah dan Rasul-Nya telah menentukan hukuman yang berat, bagaimana mungkin perkosaan yang di dalam unsurnya terdapat kekerasan dapat dihukum lebih ringan. Dalam 6 Hassan, Tarjamah Bulughul Maram, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2002, h.550. pandangan sebagian besar fuqaha, bentuk sanksi dalam tradisi pemikiran hukum Islam sudah final dan tidak ada ruang kreasi manusia di dalamnya. Bentuk itu sudah sedemikian rupa diberikan oleh Allah. Sementara, dalam pemikiran pemidanaan dalam perspektif ilmu hukum dan kriminologi, sanksi itu dapat dimodifikasi tergantung pada apakah pijakan pikiran tentang sanksi itu bersifat rehabilitatif atau tekanannya pada pemberian hukuman yang berat dan berupa fisik yang arahnya menimbulkan efek jera bagi si pelaku sekaligus peringatan bagi manusia yang lain bersifat fisik dan personal. 7 Sayangnya selama ini banyak kalangan yang menganggap bahwa hukum pidana Islam adalah hukum yang kejam, tidak manusiawi dan tidak menghormati hak-hak atas manusia. Karena hukum pidana Islam hanya dipelajari secara parsial, belum menyeluruh sehingga menimbulkan persepsi bahwa dera, rajam, dan lain sebagainya adalah hukum yang tidak berperikemanusiaan. Hukum pidana Islam tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan juga oleh masyarakat Islam sendiri. Masyarakat umum hanya menangkap dan memperoleh kesan bahwa sanksi hukum pidana Islam, bila dilaksanakan kejam dan mengerikan. Sikap pembelajaran yang demikian sudah saatnya ditinjau kembali dengan menempatkan semua sistem hukum yang ada sebagai sistem hukum yang sejajar dan sebanding untuk kemudian dipelajari dan seperlunya sampai diperoleh norma hukum yang sejalan dengan nilai kebenaran dan keadilan yang 7 JM. Muslimin, Ilmu Syari’ah dan Aplikasi Umum, Senin 22 Desember 2008, h.3. akan dapat memberikan sumbangan positif bagi perkembangan hukum di Indonesia. Sering kita dengar pelaku tindak pidana yang telah tertangkap lalu diberi pidana, baik itu berupa penjara, kurungan, denda, bahkan sampai pidana mati. Namun, bisa kita perhatikan hukuman-hukuman yang dijatuhkan hakim kepada pelaku tindak pidana malah bukan membuat jera para pelaku, tetapi membuat pelaku menjadi semakin membabi buta dan menjadi pelajaran buruk bagi yang belum pernah berbuat pidana untuk melakukan pidana. Dari kejadian seperti itu timbulah pertanyaan, apakah sistem hukum kita yang kurang baik karena banyaknya makelar-makelar kasus di peradilan? Atau karena kesadaran mayarakat yang masih minim? Atau mungkin hukuman yang kurang setimpal dengan perbuatan dan tidak menciptakan efek jera, sehingga membuat para pelaku meremehkan hukuman yang diberikan hakim. Banyak sekali hal-hal yang menyebabkan hingga seorang pelaku tindak pidana tidak juga merasa jera untuk melakukan kejahatan yang berikutnya. Namun, Salah satu tujuan dari pemidanaan kepada pelaku tindak pidana adalah diharapkan si pelaku atau terpidana menjadi jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya speciale preventie serta masyarakat umum mengetahui jika melakukan perbuatan sebagaimana dilakukan terpidana, mereka akan mengalami hukuman yang serupa generale preventie,, 8 sehingga tidak menjadi pelajaran 8 Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, h.4. buruk bagi yang belum pernah melakukan tindak pidana sampai melakukan tindak pidana karena melihat hukuman yang begitu ringan dengan kejahatan yang akan dilakukan. 9 Hal inilah yang menjadi dorongan pada penulis untuk menulis skripsi tentang daya efek jera dari sanksi pidana kejahatan perkosaan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil judul Skripsi: Daya Efek Jera Sanksi Pidana Kejahatan Perkosaan Kajian Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah