Sanksi pidana pungli oleh pihak sekolah (suatu tinjauan hukum positif dan hukum pidana islam)

(1)

Oleh

Nuruz Zaman NIM : 106045101511

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

(4)

persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 15 Mei 2011

Nuruz Zaman Penulis


(5)

i

menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “TINDAK PIDANA PUNGLI OLEH PIHAK SEKOLAH (SUATU TIN'JAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM)” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir untuk memperoleh Gelar Sarjana (S1).

Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Afwan Faizin, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku dosen pembimbing yang senantiasa membimbing penulis dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini dan terima kasih atas bimbingan, kesabaran, keramahan hati


(6)

ii memberikan ilmunya kepada penulis.

6. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.

7. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :

a. Kepada Ayahanda (H. Abdul Hakim) dan Ibunda (Hj. Siti Andalusia), yang tiada terkira jasanya dalam membantu penulisan Skripsi ini serta memberikan dukungan moril maupun materil hingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini. b. Kepada Kakek H. Yusuf Hasyim dan (Alm.) Nenek Hj. Jamaliyah, dan (Alm.)

Kakek Asmawi bin H. M. Nuh dan

c. Kepada (Alm.) Om Nirwan Mahdi, Om Obor Yusuf Putra, Om Yusja Hasyim, Om Irawan Firdaus, Om Novian Asmar, Om Agam Iriansyah, Bunda Sri Soraya Setiawati, Om Budi Habura, (Alm.) Tante Aslamiyah, Tante Hairiyah, (Alm.) Om Sanusi, Tante Jubaidah, Tante Aswati, Tante Atika, Tante Hikmah, Tante Nurjanah, Om Holid, Tante Holidah, (Alm.) Tante Asmarah, yang juga memberikan motivasi yang tiada terkira agar Penulis senantiasa cepat lulus dan menjadi orang sukses. Amien.

d. Kepada kakak Penulis Iqbal Alamsyah dan adik-adik Penulis tercinta Dzakiyyah dan Muhammad Zaki, serta saudara sepupu penulis juga Ridwan


(7)

iii

8. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Wismoyo, Rangga, Mahfuddin, Dayat, Muchsin, Fandi, Safrowi, Fitroh, Isa, Amir, Eril, Husen, Buldan, Haris, Aris, Faris, Guruh, Kholid, Yuswandi, Nisa, Attin, Wahyuni, Bunga Intan, dsb. Kebersamaan dan kesolidan kita selama perkuliahan dan pergaulan yang terkadang diselingi dengan berbagai aktivitas canda tawa memberikan arti pentingnya sebuah persahabatan yang tak terlupakan dan menjadi sebuah catatan sejarah bagi kita semua. Waktu terus berputar, dan masih banyak hal yang mesti saya lanjutkan selain kuliah di UIN ini. Maaf, saya duluan Lulus, Tetap semangat kawan-kawan! Doa dan Harapanku senantiasa selalu menyertai kalian semua agar temen-temen semua cepat lulus dan sama-sama menjadi orang yang sukses. Amien

9. Seluruh mahasiswa PIGood Luck Dhori, Fahdun, Tamidzi, Mamet, Santi, Hurry, Fikri, Safar, Ichal, Fitri, Indah, Fahdun, Amin, Edo, dsb. Jadikanlah BEM sebagai wadah organisasi intra bagi mahasiswa/i PI yang membantu meningkatkan keilmuan mahasiswa PI disamping ilmu dalam perkuliahan.

10. Seluruh teman-teman KKS, Muhammad Ilyas, Fadhrul Rahman, Fathur Robih, Muhammad Jamil, Armansyah, Nur Khozin Maki, Muhammad Imad Hamdi, Nurmalina, Chairul Azhar, Husen Qodri, Fatimah Azzahro, Siti Rihanah, Paridah Aini Nasution, Sigit Arga Saputra, Tunjung Hapsari, Ajun Effendi, Az Zahra, Safitri Damayanti, Dwi Wijayanti sukses selalu, dan juga keluarga Pak Wawan.


(8)

iv di balas oleh Allah SWT. Amin

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah ini. Amin

Jakarta, 03 Agustus 2011

Nuruz Zaman Penulis


(9)

v

Kata Pengantar... i

Daftar Isi... v

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………..1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………. 5

C. Tujuan Penelitian……… 6

D. Metode Penelitian………7

E. Tinjauan Pustaka……….9

F. Sistematika Penulisan………..10

BAB II : PENGERTIAN UMUM TINDAK PIDANA, SANKSI PIDANA DAN PUNGLI A. Pengertian Tindak Pidana………12

B. Pengertian Sanksi Pidana………15

C. Pengertian Pungli……….27

BAB III : PENGERTIAN UMUM TENTANG PENIPUAN, PEMERASAN, DAN PUNGUTAN LIAR


(10)

vi

Islam……….45 C. Al-Maksu Sebagai Sebuah Kejahatan Ekonomi di Masa

Nabi SAW………60

BAB IV : SANKSI PIDANA BAGI PELAKU PENIPUAN, PEMERASAN DAN PUNGUTAN LIAR

A. Sanksi Pidana Penipuan, Pemerasan, dan Pungutan Liar

Menurut Hukum Positif………...62 B. Sanksi Pidana Penipuan, Pemerasan, dan Pungutan Liar

Menururt Hukum Islam………...69 C. Perbandingan Sanksi Pidana bagi Pelaku Pungutan Liar oleh

Pihak Sekolah antara Hukum Positif dan Islam………...78

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan………...85 B. Saran………... 86


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejalan dengan arah kebijakan pemerintah, program pembangunan pendidikan perlu ditetapkan sebagai elemen sentral pengembangan sumberdaya manusia. Peningkatan mutu pendidikan merupakan langkah strategis dalam pengembangan sumberdaya manusia.

Maka, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan pendidikan yang gratis dan bermutu kepada setiap warga negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 Ayat dan Amandemen UUD 1945:

(1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Amanat konstitusi ini diperkuat lagi dengan penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi pada Pasal 34:


(12)

(1)Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.

(2)Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.

Untuk itu, pertama-tama, kebutuhan tenaga pendidikan harus tercukupi, dan kualitas tenaga pendidik perlu terus ditingkatkan baik dari segi kompetensi, sikap-mental dan etika profesi. Saat ini, pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan disebabkan faktor ekonomi yang dialami oleh banyak rakyat-rakyat yang kurang mampu, dengan demikian pemerintah sangat mengedepankan pendidikan di negara ini. Untuk mempercepat program wajib belajar 9 tahun yang direncanakan tuntas pada tahun ajaran 2008-2009 pemerintah berupaya untuk menyukseskannya dengan berbagai upaya, dengan salah satu progamnya adalah Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dibiayai Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM).1

Program ini telah dilaksanakan sejak tahun ajaran 2005-2006. Karena, BOS adalah program nasional dan memiliki misi yang sangat mulia untuk menuntaskan Wajib Belajar 9 Tahun maka agar pelaksanaan BOS tepat sasaran, tepat guna dan tepat waktu, maka dengan kegiatan sosialisasi, monitoring dan

1


(13)

evaluasi yang baik serta sanksi yang tegas diharapkan penyimpangan dan penyelewengan dalam pelaksanaan program dapat dihindari.2

Namun, pada kenyataannya sejak program BOS ini berjalan dari tahun ajaran 2005-2006, masih banyak praktik-praktik yang terjadi di sekolah-sekolah. Dari data yang penulis peroleh dari Indonesian Corruption Watch (ICW) yang dikutip dari http://news.okezone.com. Menurut Koordinator Bidang Monitoring Pelayanan Publik ICW Ade Irawan, terdapat 61 sekolah yang sebagian besar merupakan sekolah negeri dari 11 provinsi, termasuk di Jabodetabek, melakukan pungutan liar terhadap para siswanya3.

Salah satunya dalam kasus Penerimaan Siswa Baru (PSB), pungutan tersebut rata-rata dilakukan pihak sekolah dengan modus menjual seragam, buku, perlengkapan seragam, dan lain-lain. Motifnya, biasanya pihak sekolah beralasan tidak memiliki anggaran untuk menjalankan program sekolah. Sehingga, dengan segala cara pihak sekolah meminta pungutan terhadap orang tua siswa. Padahal dana untuk anggaran tersebut telah disediakan oleh pemerintah. Seperti yang tertera pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi pada Pasal 46 Ayat (2):

2 Ibid.

3 Okezone news, “ICW Laporkan Pungli Sekolah ke Kejagung”, artikel

diakses 07 Oktober 2010 dari http://autos.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/08/05/1/133952/1/icw-laporkan-pungli-sekolah-ke-kejagung.


(14)

Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan pada Pasal 25 Ayat (1):

Pendanaan biaya personalia kantor penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan oleh pemerintah menjadi tanggung jawab pemerintah dan dialokasikan dalam anggaran pemerintah.

Dari maraknya punggutan liar pihak sekolah yang membuat orang tua murid merasa terbebani dengan kondisi tersebut. Karena sebagian besar para orang tua murid di Indonesia berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu membayar biaya-biaya yang dibebankan sekolah kepada mereka.

Berdasarkan penulusuran penulis yang penulis dapatkan dari beberapa informasi dari Internet bahwa banyak sekolah-sekolah yang melakukan punggutan liar terhadap muridnya terlebih pada murid baru pada saat pelaksanaan PSB. Masalah pungli di sekolah ini merupakan masalah lama yang sampai pada saat ini belum dapat ditanggulangi secara menyeluruh. Punggutan


(15)

liar sekolah adalah suatu kenyataan, sehingga sekolah sering dianggap menguras. Kegiatan ini lalu membengkak menjadi eksploitasi yang amat menguras.4

Bambang Sudibyo (Menteri Pendidikan Nasional Priode 2004-2009) menilai beberapa penyebab terjadinya punggutan liar di sekolah ini diakibatkan karena tingkatkan kesejahteraan tenaga pendidik. Karena itu, sambung Bambang, sudah selayaknya gaji guru dinaikkan.5

Dari beberapa kejadian serta peristiwa yang terjadi dalam tindak pidana punggutan liar yang dilakukan oleh beberapa pihak sekolah, peran serta guru untuk tidak melakukan punggutan liar kepada siswa/i sangatlah penting dalam menjaga moralitas dan martabat individu.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis tertarik untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai perbuatan-perbuatan punggutan liar yang dikriminalisasi beserta sanksinya bagi para pelaku pungli di sekolah. Oleh karena itu penulis menyusun skripsi dengan judul:“SANKSI PIDANA PUNGLI OLEH PIHAK SEKOLAH (SUATU TIN'JAUAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM)”.

4

Syarifudin Al Mandari,Rumahku Sekolahku, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), h. 3.

5 DetikNews, “Mendiknas Minta Bupati Tindak Pungli di Sekolah”, artikel

diakses pada 26 Oktober 2010 dari http://www.detiknews.com/read/2006/08/31/141944/666223/10/mendiknas-minta-bupati-tindak-pungli-di-sekolah.


(16)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah sebagai berikut:

1. Punggutan liar yang penulis maksud adalah pungutan liar yang terjadi di sekolah-sekolah.

2. Hukum Islam yang penulis maksud, adalah kajian hukum Islam bidang jinayah, yaitu hukum pidana Islam yang di antara pembahasannya adalah tentang penipuan, pemerasan, dan pungutan liar.

3. Hukum positif yang penulis maksud, adalah Undang-undang yang berhubungan dengan masalah pendidikan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam tentang Pidana Punggutan Liar di sekolah?

2. Apa sanksi bagi pelaku tindak Pidana Punggutan Liar di sekolah menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam?


(17)

3. Bagaimana Perbandingan antara Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam tentang Pungutan Liar di sekolah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun Tujuan dan Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan mengenai pengertian penipuan dan pemerasan.

2. Menjelaskan tentang betapa pentingnya dana BOS kepada siswa/i.

3. Menemukan jenis dan sanksi hukuman bagi pelaku Tindak Pidana Punggutan Liar di sekolah menurut Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam.

Penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan akademisi maupun masyarakat umum dalam rangka memperkaya wawasan bagi masyarakat luas khususnya bagi umat Islam di Indonesia.

D. Metode Penelitian

Dalam membahas masalah-masalah dalam penyusunan skripsi ini, diperlukan suatu penelitian tidak lain untuk memperoleh data yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dan gambaran dari masalah tersebut secara jelas dan akurat. Ada beberapa metode yang akan penulis gunakan antara lain:


(18)

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis pergunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan sumber data sekunder,6 yang mana pada hakekatnya berarti mengadakan kegiatan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku dan undang-undang yang terkait dengan pokok masalah yang akan diteliti.

3. Sumber Data

Sumber data yang penulis:

6

Soejono dan H. Abdurrahman,Metode Penelitian Hukum, cet. I,(Jakarta: PT. Rineka Cipta,


(19)

a. Data primer, yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan jawaban terhadap masalah penelitian.7 Buku-buku yang berkaitan dengan bahan penulisan antara lain UU Nomor 23 Tahun 2003, PPRI Nomer 48 Tahun 2008, dan buku-buku lain yang berkaitan dengan pembahasan penulisan.

b. Data skunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini yaitu kitab-kitab syarah hadis, artikel-artikel dan makalah-makalah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Teknik Analisis

Adapun cara yang digunakan penulis dalam menganalisa datanya adalah dengan teknikcontent analisys, yaitu pengolahan data dengan menganalisis materi sesuai dengan pembahasan. Dalam hal ini materi pokoknya adalah pengutan liar yang dilakukan oleh para pihak sekolah.

5. Teknik penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”

7


(20)

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan dan penelusuran yang penulis lakukan, penulis belum menemukan skripsi yang membahas mengenai punggutan liar ini. Namun, ada satu skripsi yang sedikit berhubungan dengan penelitian ini, yaitu penelitian yang

dilakukan oleh Lulu Il Maknun (102018224187) yang berjudul “Efektivitas

Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Di SMP al-madzhab Ciheulang-Bogor”. Dalam skripsinya ia membahas tentang

pentingnya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Dengan demikian, bisa penulis kemukakan bahwa belum ada penelitian mengenai punggutan liar di sekolah. Hal ini yang menjadi alasan penulis untuk meneliti tentang pungutan liar di sekolah secara lebih mendalam dalam skripsi ini.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini, dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. untuk lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut:

Bab I: Pada bab ini, penulis menjelaskan tentang kerangka dasar dengan memaparkan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan


(21)

Bab II: pada bab ini, penulis memberikan gambaran kepada pembaca agar lebih mudah memahami skripsi ini, maka terlebih dahulu penulis memberikan gambaran tentang tindak pidana dan sanksi pidana serta pengertian pungli, yang meliputi: pengertian tindak pidana, sanksi pidana yang ditinjau dari perspektif hukum positif dan hukum Islam, dan pengertian umum mengenai pungutan liar.

Bab III: Pada bab ini memuat uraian teoritis yaitu mengenai pengertian umum tentang, penipuan, pemerasan dan pungutan liar, agar diketahui oleh pembaca, bahwa perbuatan pungli itu merupakan suatu tindak pidana penipuan dan pemerasan.

Bab IV: pada bab ini, penulis memaparkan analisa penelitian ini mengenai sanksi pidana penipuan, pemerasan dan pungutan liar, agar diketahui oleh pembaca, bahwa pelaku akan dikenakan sanksi pidana bila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana telah disebutkan di atas

Bab V: pada bab ini penulis menyimpulkan suatu permasalahan-permasalahan yang ada dan saran-saran.


(22)

BAB II

PENGERTIAN UMUM TINDAK PIDANA, SANKSI PIDANA DAN PUNGLI A. Pengertian Tindak Pidana

1. Menurut Hukum Positif

Secara etimologis, kata tindak pidana terdiri dari dua kata, yaitu kata tindak dan kata pidana. Kata tindak berasal dari bahasa Jawa yang artinya perbuatan, tingkah laku, kelakuan dan sepak terjang. Sedangkan kata pidana berarti kejahatan criminal dan pelanggaran.sementara kalau dilihat dari segi hukum bararti hukum mengenai perbuatan-perbuatan kejahatandan pelanggaran terhadap penguasa.1

Dalam keterangan lain, pengertian yang lebih luas tentang tindak pidana, ialah untuk menyatakan kongkrit sebagaimana halnya peristiwa dengan perbedaan bahwa tindak adalah kelakuan, tingkah laku, dan gerak gerik atau sikap jasmani seseoarang.2 Secara traditional, pidana dipandang sebagai suatu nestapa (derita) yang dikenakan kepada si pembuat karena melakukan suatu delik (kejahatan).3 Pembentukan undang-undang kita telah

menggunakan perkataaan “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita

1

Poerwa Darminto, W.J.S.,Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),

h. 1074. 2

Moeljanto,Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1986), h. 55.

3


(23)

kenal sebagai “ Tindak Pidana” di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa

sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit.” Perkataan “feit

itu sendiri di dalam bahasa Belanda berarti sebagina dari suatu kenyataan atau

een gedeelte van de werkelijkheid,” sedangkan “strafbaar” berarti dapat dihukum,, sehingga secara harfiah “strafbaar feit” itu dapat diterjemahakan sebagai “bagaian darikenyataan yang dapat dihukum,” yang sudah barang

tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakkan.

Oleh karena itu seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa pembentuk undang-undang kita itu tidak memberikan suatu penjelasan

mengenai apa yang sebenarnya telah ia maksud dengan perkataan “strafbaar feit,” maka timbullah di dalam doktrin pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan “strafbaar feit” tersebut. Para sarjana hukum telah

menrumuskan suatu teori yang berbeda-beda di antara mereka, antara lain ialah:

Pendapat Hazewinkel Suringa sebagaimana yang dikutip oleh

Lamintang dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia” bahwa kata “strafbaar feit” adalah sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu


(24)

dianggap sebagai prilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.4

Moeljatno mengatakan bahwa perkataan “strafbaar feit” secara

teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana disertai suatu sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.5

Dari beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum

tersebut, dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan “strafbaar feit

(tindak pidana) menurut hukum pidana positif adalah perbuatan, gerak-gerik, tingkah laku, sikap jasmani seseorang yang bertentangan dengan hukum atau mengadakan suatu pelanggaran terhadap penguasa yang diancam dengan hukuman, yang dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu mempunyai kemampuan untuk bertanggungjawab atas perbuatan, di mana pelaksanaannya dilakukan oleh instansi yang diberi wewenang untuk menjalankannya.

2. Menurut Hukum Islam

Dalam ensiklopedi Hukum Pidana Islam, tindak pidana (jarimah) diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara yang diancam 4

P.A.F., Lamintang,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditiya Bakti,

1997), h. 181. 5


(25)

oleh Allah SWT dengan hukuman hudud atau takzir.6 Adapun menurut istilah

syar’i, jinayah adalah pebuatan yang dilarang oleh syara, baik perkataan itu

mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda ataupun lain-lainnya.7 Sualaiman Rasyid dalam bukunya Fiqih Islam memberikan pengertian jinayah adalah yang meliputi beberapa hukum, yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota badan, menghilangkan aonggota badan, seperti salah satu panca indera.8

Para Fuqaha sering memakai kata-kata “jinayah” ini untuk “jarimah,

bahkan kebanyakan Fuqaha memakai kata-katajinyah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa, orang, atau anggota badan, seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud denganjarimah adalah larangan-larangan syara’ yang diancam oleh

Allah SWT dengan hukuman had dan takzir.

B. Pengertian Sanksi Pidana 1. Menurut Hukum Positif

Dalam ruang lingkup hukum pidana, istilah sanksi diidentikan dengan pidana namun pada dasarnya pengertian sanksi lebih luas jangkauannya

6

Alie Yafie dkk.,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007), h. 87.

7

Ahmad Hanafi,Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 1.

8


(26)

dibandingkan dengan istilah pidana. Kata sanksi berasal dari bahasa Belanda

yaitu “sanc tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat

kepada perjanjian.9 Sedangkan menurut kamus bahasa Indonesia, Sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk memaksa orang untuk menepati perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Dalam kamus istilah hukum, sanksi mempunyai arti ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu kaidah (undang-undang).10 Sanksi pidana lebih menekankan unsur pembalasan. Ia merpakan penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seorang pelanggar.11

Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya, sanksi adalah suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat hukum (rechtgevolg) daripada pelanggaran suatu kaidah.12

Akibat ini berupa suatu tindakan, dimana hukuman dijatuhkan berhubung dilanggarnya suatu norma oleh seseorang. Sedangkan sanksi dalam hukum pidana berupa ancaman dengan hukuman, yang bersifat penderitaan dan siksaan. Hukuman itu bersifat siksaan bahwa hukuman itu dimaksudkan

9

S. Wojo Wasito,Kamus Umum Belanda-Indoneisa, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1990) ,

h. 560. 10

J.C.T. Simorangkir dkk.,Kamus Hukum,(Jakarta: Sinar grafika, 2004), h. 152.

11

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

2003), h.32. 12

Satochid Karta Negara,Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Jakarta: Balai Rektur


(27)

sebagai hukumanan terhadap pelanggaran, yang dilakukan oleh seseorang terhadap kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana.13

Pada umumnya tujuan sanksi pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu) atau hak-hak asasi manusia dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara dengan pertimbangan yang serasi dengan kejahatan atau tindakan tercela di satu pihak dan tindakan penguasa yang sewenang-wenang di lain pihak.14 memberi penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar supaya ia merasakan akibat perbuatannya. Selain ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.15

Dalam teori mengenai pemidanaan itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Teori Pembalasan (Absolut)

Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana, sehingga pelakunya mutlak dijatuhkan pidana yang merupakan pembalasana terhadap tindakkan tadi.

13

Ibid,. h. 49. 14

Hambali Thalib,Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan, cet.II, (Jakarta: Kencana,

2009), h. 19. 15


(28)

Tidak dipersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Bahkan pertimbangan untuk pemidanaanhanya masa lampau, maksudnya masa terjadinya tindak pidana itu. Masa datang bermaksud memperbaiki penjahat tidak dipersoalkan. Jadi seorang penjahat mutlak harus dipidana.16 Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.

b. Teori Tujuan (Relatif)

Teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu tadi, pidana merupakan suatu yang terpaksa perlu diadakan.17

c. Teori Gabungan

16

S.R. Sianturi dan Mompang L. Pengabean, Hukum Penitensia di Indonesia, (Jakarta:

Alumni Ahaem-petchhaem, 1996), h. 27. 17

Adami Chazawi,Pelajaran Hukum Pidana: Bagian 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


(29)

Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar penjatuhan pidana. teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut:18

1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat.

2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh kalangan ilmu hukum, tersimpul adanya pandangan, perkembangan teori pemidanaan cenderung mengalami perubahan paradigma.19 Bergesernya paradigma dalam pemidanaan ini dapat dengan mudah dipahami karena adanya perkembangan masyarakat. Dalam konteks ini dinamika selalu kearah yang lebih baik dan lebih beradab. Oleh karenanya hukum pidana sebagai norma yang juga

18

Ibid., h. 166. 19

Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, cet.I, (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 31.


(30)

berlaku dalam masyarakat mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan masyarakat tersebut.

Perkembangan yang dimaksud, pertama berkenaan dengan aliran yang berkembang dalam hukum pidana itu sendiri yang melatar belakangi permunculan konsep pemidanaan dan kedua pergulatan teoritis (konseptual) mengenai pemidanaan yang masing-masing mempunyai implikasi moral yang berbeda satu sama lainnya. Aliran hukum pidana terbagi atas:

a. Aliran Hukum Pidana Klasik (Daad Strafrecht)

Aliran ini lahir sekitar abad ke-18 dan merupakan aliran yang sangan kental bernuansa legisme. Dilihat dari sejarahnya, aliran klasik merupakan respons terhadap adanya kesewenang-wenangan penguasa yang terjadi di Prancis dan Inggris pada abad ke-18.Sebagai respon terhadap kesewenag-wenangan penguasa, aliran ini menghendaki agar setiap orang memperoleh kepastian secara hukum, khususnya dalam hukum pidana. Karena hukum pidana harus dikembangkan sebagai norma tertulis yang sistematis.20

Dalam konteks pemidanaan, rumusan yang pasti juga diberlakukan. Dalam aliran klasik, pidana yang dirumuskan dalam

20

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, cet.III, (Bandung: PT. Alumni, 2005), h. 25.


(31)

Undang-Undang bersifat pasti (definite sentence).21 Pidana harus sesuai dengan yang dirumuskan dalam undang-undang dan hakim tidak mempunyai kewenangan unutk menjatuhkan pidana lain selain yang telah ditentukan dalam Undang-undang.

b. Aliran Hukum Pidana Modern (Daader Strafrecht)

Secara garis besar, konsep pemikiran tentang hukum pidana beraliran modern memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:22

1) Titik sentral perhatian hukum pidana dan penegakannya dalam aliran ini adalah pada diri si pelaku kejahatan. Jadi, ketika terjadi suatu tindak pidana maka tidaklah selalu otomatis pelakunya harus dijatuhi sanksi pidana tertentu sesuai dengan ketentuan hukum. Karena dalam ini harus diselidiki/atau dibuktikan terlebih dahulu apa yang sesungguhnya menjadi latar belakang atau motivasi dari pelaku saat melakukan tindak pidana tersebut.

2) Timbulnya konsep Daader Strafrecht di atas, secara teoritik adalah akibat adanya pengaruh kuat dari paham

21

Ibid., h. 26. 22

M. Abduh Kholiq, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas UII, (Yogyakarta: 2002), h. 20.


(32)

"Determinisme," yaitu paham yang memandang bahwa manusia dan perbuatannya adalah sama sekali tidak otonom. Artinya dipengaruhi oleh hal-hal eksternal diluar dirinya. Dalam perkembangannya Determinisme ini pun kemudian sampai pada gagasan perlunya mengganti konsep pemberian sanksi pidana yang cenderung bersifat punishment

(hukuman), menjadi penegakan tindakan yang bersifat

treatmen (pembinaan).

3) Apabila aliran pemikiran hukum pidana modern ini dikaitkan dengan salah satu konsep tentang tujuan hukum pidana, maka bisa dikatakan bahwa aliran ini sesungguhnya adalah cermin atau malah penjabaran dari konsep mengenai tujuan diadakannya hukum pidana kedua (yaitu melindungi kepentingan-kepentingan yang bersifat perseorangan dari setiap individu warga negara). Hal ini terlihat dari konsep aliran modern ini yang menghendaki aspek kondisional dalam diri pelaku kejahatan yang menjadi calon terpidana tersebut pun dapat tetap terjamin perlindungan hak-haknya dari kemungkinan mengalami kesewenang-wenangan penguasa.


(33)

Dalam konteks tersebut para penganut aliran modern mengemukakan pemikiran agar penjatuhan pidana tidak didasarkan pada pelaku tindak pidana.

c. Aliran Neo-Klasik (Daad-Daader Strefrecht)

Aliran neo-klasik Adalah aliran yang muncul sebagai reaksi atas aliran klasik. Kritik aliran neo-klasik terhadap pendahulunya ini terlihat pada pandangan terhadap pidana yang dijatuhkan oleh aliran klasik. Menurut aliran neo-klasik, pidana yang dijatuhkan/dihasilkan oleh aliran klasik sangat berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat ini.

Dalam upayanya mengatasi sistem pemidanaan yang berlaku saat ini, aliran neo-klasik mencoba menawarkan sistem pidana yang lebih manusiawi. Untuk kebutuhan tersebut aliran klasik merumuskan pidana dengan sistem pidana minimum dan maksimum. Selain adanya sistem tersebut, aliran ini juga mengakui asas-asas tentang keadaan yang meringankan.

2. Menurut Hukum Islam

Secara umum, kata sanksi dalam Pidana Islam disebut dengan istilah


(34)

pembalasan dengan keburukan.23 Dalam kamus Al-Munawir kata sanksi

berasal dari “hukuman atau sanksi”:

ُب ﺎ َﻘ ِﻌ ﻟ ا َو ُﺔ َﺑ ْﻮ ُﻘ ُﻌ ﻟ ا ُص ﺎ َﺼ ِﻘ ﻟ ا

24

Sedangkankan menurut terminolagi yang dikutip dari pendapat Abdul Qadir Audah, member definisi sanksi (hukuman) didefinisikan sebagai berikut:

َ

25

ِع ِر ﺎ َّﺸ ﻟ ا ِﺮ ْﻣ أ ِنﺎَﯿْﺼِﻋَ ﻰ ﻠ ََﻋ ِﺔ َﻋ ﺎ َﻤ َﺠ ﻟ ْا ِﺔ َﺤ ﻠ َْﺼ َﻤ ِﻟ ُر َّﺮ ﻘ َُﻤ ﻟ ْا ُء ا َﺰ َﺠ ﻟ ْا َﻲِھﺔ َُﺑ ْﻮ ﻘ ُُﻌ ﻟ ْا َ

“Sanksi adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan

masyarakat karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan

syara.”

Berdasarkan kedua pengertian tersebut, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan Uqubah adalah balasan yang ditetapkan oleh perbuatan-perbuatan yang dilarang untuk menjamin kehormatan perintah syar’iyyah yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan individu dan masyarakat.

23

Luis Ma’luf,al-Munjid, cet.X, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1952), h. 541. 24

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet.XI, (Surabaya:

Pustaka Progresif, 1997), h. 952. 25

Abdul Qadir Audah, at-Tasryi Al-Zinai al-Islami, cet.II, (Beirut: Muassarah ar-Risalah,


(35)

Ahmad Hanafi mengkatagorikan jarimah kepada tiga macam bentuk, yaitu:26

a. Jarimah Hudud, adalah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman yang telahditentukan macam dan jumlahnya serta menjadi hak Tuhan. Dengan demikian, maka hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, dan pengertian hak tuhan ialah bahwa hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perorangan (yang menjadi korban jarimah), ataupunoleh masyarakat yang diwakili oleh Negara (sultan).

b. Jarimah Qisas-diyat, adalah perbuatan-perbuatan yang diancamkan hukuman qisas atau hukuman diyat kepada pelakunya. Baik qisas maupun diyat adalah hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasannya, dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak perseorangan, dengan pengertian bahwa si korban bisa memaafkan si pembuat dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus.

c. Jarimah Ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang diancamkan dengan

satu atau beberapa hukuman ta’zir. Pengertian ta’zir itu sendiri ialah

memberikan pengajaran (at-ta’dib). Syara tidak menentukan macam -macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya 26


(36)

menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya sampai kepada yang seberat-beratnya hukuman. Dalam hal ini hakim diberikan kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang

sesuai dengan macam jarimah ta’zir serta keadaan si pembuat juga.

Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu.

Ahmad Fathi Bahasi sebagaiman dikutip oleh Ahmad Ratomi Zain dalam skripsinya memberikan definisi sanksi (uqubah), adalah balasan

berbentuk ancaman yang ditetapkan oleh syar’i (Allah) untuk mencegah terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarangnya dan perbuatan meninggalkan yang ia perintah. Menurut A. Djazuli bahwa maksud pokok hukuman (sanksi) adalah untuk memelihara adalah untuk memelihara dan meciptakan kemaslahatan manusia dan menjaga hal-hal dari mafsadat, serta memberi petunjuk dan pelajaran kepada manusia.27 Begitu juga menurut Ahmad Hanafi, bahwa tujuan dari pada penjatuhan hukuman (sanksi) menurut syariat Islam adalah pencegahan(ar-radu waz-jazru) dan pengajaran serta pendidikan

(al-islah wat taahdzib).28

Tujuan sanksi pidana adalah pencegahan, maka besarnya hukuman harus sedemikian rupa cukup mewujudkan tujuan tersebut, tidak boleh kurang atau lebih dari batas yang diperlukannya, dan dengan demikian maka terdapat 27

A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan), cet.II, (Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1997), h. 25. 28


(37)

prinsip keadilan dalam menjatuhkan hukuman. Selain mencegah dan menakut-nakuti, syariat Islam tidak lalai untuk memberikan perhatian terhadap diri pembuat. Bahkan memberikan pelajaran dan pengusahaan kebaikan kepada diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga menjauhkan manusia terhadap jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena kesadaran dalam diri sendiri dan kebenciannya terhadap melakukan jarimah (kejahatan). Di samping segi kebaikan pribadi pembuat jarimah, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik dan yang dikuasai rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggota masyarakat dengan mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya masing-masing.29

C. Pengertian Umum Pungutan Liar30

Istilah Pungli merupakan perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai perbuatan pungli sebenarnya merupakan suatu gejala sosial yang telah ada di Indonesia, sejak Indonesia masih dalam masa penjajahan dan bahkan jauh sebelum itu. Namun penamaan perbuatan itu sebagai perbuatan pungli, secara nasional baru diperkenalkan pada bulan September 1977, yaitu saat Kaskopkamtib yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menpan

29

Ibid., h. 191-192.

30 Legalitas.org, “Pungutan Liar (Pungli)”, artikel diakses pada 27 Juni 2011 dari http://www.legalitas.org/?q=node/239


(38)

dengan gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), yang sasaran utamanya adalah pungli.

Istilah pungli sebenarnya hanyalah merupakan istilah politik yang kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia jurnalis. Di dalam dunia hukum (pidana), istilah ini tidak dijumpai. Belum pernah kita mendengar adanya tindak pidana pungli atau delik pungli. Jika kita bersikeras menggunakan istilah pungli, maka secara hukum (pidana), pelaku pungli tidak dapat dihukum. Karena memang tidak ada ketentuan hukumnya yang mengatur secara tegas perbuatan pungli tersebut.

Bertolak dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk meluruskan penggunaan istilah pungli tersebut. Pungli merupakan kependekan dari "Pungutan Liar". Semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (pungli). Dalam bekerjanya, pelaku pungli selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban.

Jika kita sepakat dengan konsep pungli seperti diuraikan di atas, maka sesungguhnya pungli itu tidak lain adalah merupakan pemerasan. pemerasan dalam dunia hukum pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang, sehingga termasuk dalam kategori tindak pidana.


(39)

Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP yang secara tegas menetapkan:

(1)“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”


(40)

BAB III

PENGERTIAN UMUM TENTANG, PENIPUAN, PEMERASAN, DAN PUNGUTAN LIAR

A. Penipuan, Pemerasan dan Pungutan Liar Menurut Hukum Positif 1. Penipuan Menurut Hukum Positif

Penipuan berasal dari kata tipu, yang berarti perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu dan sebagainya), dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau mencari untung. Penipuan adalah proses, cara, perbuatan menipu atau perkara penipu (mengecoh).1 Jadi penipuan adalah cara pelaku penipuan untuk membohongi seseorang korban agar pelaku dapat mengecoh si korban dan pelaku mendapatkan keuntungan dari si korban tersebut.

Penipuan berasal dari kata tipu yang mendapat imbuhan “pe” dan

akhiran “an” yang berarti perbuatan menipu, membodohi, atau memperdayai2

untuk memperoleh keuntungan dari orang lain.

1

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi III, h. 1199.

2

Eko Endarmoko,Tesaurus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pt. Gramedia Pustaka Utama, 2006),


(41)

Penipuan adalah suatu bentuk dari berkicau. Sifat umum dari perbuatan berkicau itu adalah bahwa orang dibuat keliru, dan oleh karena itu ia rela menyerahkan barangnya atau uangnya.3

Penipuan menurut bahasa asli KUHP Belanda adalah “bedrog”,

Tindak pidana penipuan merupakan salah satu kejahatan yang mempunyai objek terhadap harta benda.4 Kejahatan penipuan (bedrog)dimuat dalam Bab XXV Buku II KUHP, dari pasal 378 s/d pasal 394. Title asli bab ini adalah

bedrogyang oleh banyak ahli diterjemahkan sebagai penipuan, atau ada juga yang menerjemahkannya sebagai perbuatan curang.

Perkataan penipuan itu sendiri mempunyai dua pengertian, yakni:5

a. Penipuan dalam arti luas, yaitu semua kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XXV KUHP. Adapun seluruh ketentuan tindak pidana dalam Bab XXV ini disebut dengan penipuan, oleh karena dalam semua tindak pidana di sini terdapatnya perbuatan-perbuatan yang bersifat menipu atau membohongi orang lain.

3

Sudrajat Bassar,Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam Kitab Undang Undang Hukum

Pidana, cet.II, (Bandung: Remadja Karya CV, 1986), h. 81.

4 Pakar Hukum, “Penipuan” artikel ini diakses pada 13 Januari 2011 dari http://pakarhukum.site90.net/penipuan.php.

5

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, cet.II, (Malang: Banyumedia


(42)

b. Penipuan dalam arti sempit, ialah bentuk penipuan yang dirumuskan dalam pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379 (bentuk khususnya), atau yang biasa disebut dengan oplichting.

Ketentuan dalam pasal 378 ini adalah merumuskan tentang tindak

pidana “oplichtong” yang berarti juga penipuan dalam arti sempit.6 Rumusan ini adalah bentuk pokoknya, dan ada penipuan dalam arti sempit dalam bentuk khusus yang meringankan. Karena adanya unsur khusus yang bersifat meringankan sehingga diancam pidana sebagai penipuan ringan (pasal 379). Sedangkan penipuan dalam arti sempit tidak ada dalam bentuk diperberat. Pasal 378 dalam KUHP merumuskan sebagai berikut:7

"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu; dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."

Rumusan penipuan tersebut terdiri dari unsur-unsur objektif yang meliputi:8

6

Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, cet.III, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2003), h. 36. 7

Andi Hamzah, KUHP & KUHAP Edisi Revisi 2008, cet.XV (Jakarta: PT. Rineka Cipta,

2008), h. 146. 8


(43)

1) Perbuatan menggerakkan (Bewegen). Menggerakkan dapat didefinisikan sebagai perbuatan mempengaruhi atau menanamkan pengaruh pada orang lain. Objek yang dipengaruhi adalah kehendak seseorang. Perbuatan menggerakkan adalah berupa perbuatan yang abstrak, dan akan terlihat bentuknya secara konkret bila dihubungkan dengan cara melakukannya.

2) Yang digerakkan adalah orang. Pada umumnya orang yang menyerahkan benda, orang yang memberi hutang dan orang yang menghapuskan piutang sebagai korban penipuan adalah orang yang digerakkan itu sendiri. Tetapi hal itu bukan merupakan keharusan, karena dalam rumusan pasal 378 tidak sedikitpun menunjukkan bahwa orang yang menyerahkan benda, memberi hutang maupun menghapuskan piutang adalah harus orang yang digerakkan.

3) Tujuan perbuatan.

a) Menyerahkan benda: Pengertian benda dalam penipuan mempunyai arti yang sama dengan benda dalam pencurian dan penggelapan, yakni sebagai benda yang berwujud dan bergerak. Pada pencurian, pemerasan, pengancaman, dan kejahatan terhadap harta benda lainnya, di mana secara tegas


(44)

disebutnya unsur milik orang lain bagi benda objek kejahatan, berbeda dengan penipuan di mana tidak menyebutkan secara tegas adanya unsur yang demikian. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa pada penipuan benda yang diserahkan dapat terjadi terhadap benda miliknya sendiri asalkan di dalam hal ini terkandung maksud pelaku untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

b) Memberi hutang dan menghapuskan piutang: Perkataan hutang di sini tidak sama artinya dengan hutang piutang, melainkan diartikan sebagai suatu perjanjian atau perikatan. Demikian juga dengan istilah utang dalam kalimat menghapuskan piutang mempunyai arti suatu perikatan. Menghapuskan piutang adalah menghapuskan segala macam perikatan hukum yang sudah ada, di mana karenanya menghilangkan kewajiban hukum penipu untuk menyerahkan sejumlah uang tertentu pada korban atau orang lain.

4) Upaya-upaya penipuan.

a) Dengan menggunakan nama palsu (valsche naam): Ada dua pengertian nama palsu.Pertama, diartikan sebagai suatu nama bukan namanya sendiri melainkan nama orang lain. Kedua,


(45)

suatu nama yang tidak diketahui secara pasti pemiliknya atau tidak ada pemiliknya.

b) Menggunakan martabat/kedudukan palsu (valsche hoedanigheid): Ada beberapa istilah yang sering digunakan sebagai terjemahan dari perkataan valsche hoedanigheid itu, ialah: keadaan palsu, martabat palsu, sifat palsu, dan kedudukan palsu. apun yang dimaksud dengan kedudukan palsu itu adalah suatu kedudukan yang disebut/digunakan seseorang, kedudukan mana menciptakan/mempunyai hak-hak tertentu, padahal sesungguhnya ia tidak mempunyai hak tertentu itu.

c) Menggunakan tipu muslihat (listige kunstgreoen) dan rangkaian kebohongan (zamenweefsel van verdichtsels): Kedua cara menggerakkan orang lain ini sama-sama bersifat menipu atau isinya tidak benar atau palsu, namun dapat menimbulkan kepercayaan/kesan bagi orang lain bahwa semua itu seolah-olah benar adanya. Namun ada perbedaan, yaitu: pada tipu muslihat berupa perbuatan, sedangkan pada rangkaian kebohongan berupa ucapan/perkataan.


(46)

Selanjutnya adalah unsur- unsur subyektifyang meliputi:9

1) Maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Maksud si pelaku dalam melakukan perbuatan menggerakan harus ditujukan pada menguntungkan diri sendiri atau orang lain, adalah berupa unsur kesalahan dalam penipuan. Kesengajaan sebagai maksud ini selain harus ditujukan pada menguntungkan diri sendiri, juga ditujukan pada unsur lain di belakangnya, seperti unsur melawan hukum, menggerakkan, menggunakan nama palsu dan lain sebagaianya. Kesengajaan dalam maksud ini harus sudah ada dalam diri si petindak, sebelum atau setidak-tidaknya pada saat memulai perbuatan menggerakkan.

2) Maksud melawan hukum. Unsur maksud sebagaimana yang diterangkan di atas, juga ditujukan pada unsur melawan hukum. Maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan perbuatan menggerakkan haruslah berupa maksud yang melawan hukum. Nunsur maksud dalam rumusan penipuan ditempatkan sebelum unsur melawan hukum, yang artinya unsur maksud itu juga harus ditujukan pada unsur melawan hukum.

2. Pemerasan Menurut Hukum Positif

9


(47)

Pemerasan berasal dari kata peras yang mendapat imbuhan “pe” dan akhiran “an” yang berarti perbuatan memeras, mengancam, atau mengambil

keuntungan dari orang lain secara paksa.10

Pemerasan menurut bahasa asli KUHP Belanda adalah “afpersing”.

Tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP yang dirumuskan sebagai pemerasan dan pengancaman,11 yang diatur di dalam buku ke II bab ke XXIII KUHP itu sebenarnya terdiri dari dua macam kejahatan, masing-masing yaitu, masing-masing yaitu apa yang disebut ““afpersing”” atau “pemerasan” dan “afdreiging” atau “pengancaman”. Akan tetapi karena kedua macam

perbuatan itu mempunyai sifat-sifat yang sama, yaitu mempunyai tujuan memeras orang lain, maka kedua kejahatan tersebut biasanya disebut dengan

nama yang sama, yaitu “pemerasan”.12

Tindak pidana pemerasan ini sangat mirip dengan pencurian dengan kekerasan dari pasal 365 KUHP. Bedanya adalah bahwa dalam hal pencuri si pelaku sendiri yang mengambil barang yang dicuri, sedangkan pemerasan si

10

Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 885. 11

Sudrajat., h. 63-64. 12

Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Yang Ditujukan


(48)

korban dipaksa setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si pemeras.13

Bentuk kejahatan yang disebut “afpersing” itu diatur di dalam pasal

368 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:14

(1) “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

(2) “Ketentuan pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.”

Ketentuan dalam 368 (1) di atas mengandung dua unsur:15

a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:

1) Memaksa;

2) Orang lain;

3) Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; 13

Prodjodikoro., h. 27. 14

Hamzah., h. 143.

15 Pakar Hukum, “Pemerasan” artikel ini diakses

pada 13 Januari 2011 dari http://pakarhukum.site90.net/pemerasan.php.


(49)

4) Untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain);

5) Supaya memberi hutang; dan

6) Untuk menghapus piutang.

b. Unsur subyektif, yang meliputi unsur-unsur:

1) Dengan maksud; dan

2) Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Ketentuan dalam 368 (2) diatas, pasal 365 adalah sanksi hukuman tindak pidana pencurian, ini berarti bahwa:16

a. Jika kejahatan pemerasan itu dilakukan pada malam hari, di dalam sebuah tempat kediaman atau dilakukan di atas sebuah pekarangan tertutup yang di atasnya berdiri sebuah tempat kediaman ataupun jika kejahatan pemerasan tersebut dilakukan di jalan umum atau di atas kereta api atau tram yang bergerak;

b. Jika kejahatan pemerasan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama;

16 Syarifah Maulafatu,

“Tindak Pidana Pemerasan (Afpersinf) Yang Dilakukan Anak Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 36.


(50)

c. Jika kejahatan pemerasan itu untuk dapat masuk ke tempat kejahatan dilakukan dengan perbuatan-perbuatan membongkar, merusak, memanjat, memakai kunci-kunci palsu atau memakai seragam palsu;

d. Jika kejahatan pemerasan itu menyebabkan terjadinya luka berat pada seseorang.

Maka kejahatan pemerasan tersebut diperberat dengan ancaman hukumannya dengan hukuman selama-lamanya 15 tahun. Jika kejahatan tersebut telah menimbulkan luka berat atau suatu kematian, di mana kejahatan itu dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama maka diancam dengan hukuman mati, dengan hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara 20 tahun.

Dari unsur unsur tersebut dapat kita simpulkan bahwa pemerasan adalah suatu perbuatan di mana si pelaku harus mengadakan suatu upaya pemaksaan agar si korban mau menyerahakan sendiri objek yang ingin dikuasai oleh si pemeras. Korban yang didesak oleh perasaan takut dan terpaksa akan dengan spontan memberikan barang yang awalnya ada pada penguasaannya. Terlebih apabila cara yang dilakukan menggunaakaan


(51)

kekerasan yang akan menimbulkan efek takut yang lebih besar kepada korban.17

3. Pungutan Liar Menurut Hukum Positif

Pungli akronim18 dari pungutan liar. “Pungutan” yang berarti

mengambil, menarik dan “liar” yang berarti tidak resmi, tanpa izin resmi dari

yang berwenang.19 Jadi pungli berarti mengambil sesuatu dengan cara yang tidak resmi atau menarik sesuatu tanpa izin yang berwenang.

Dalam kasus tindak pidana pungutan liar ini tidak terdapat secara pasti dalam KUHP, namun dapat disamakan dengan kejahatan jabatan yang diatur dalam pasal 415 tentang penggelapan yang dilakukan oleh pejabat atau instansi terkait, 418 dan 419 ayat (1) tentang pejabat yang menerima hadiah. Pada KUHP bab XXVIII ini yang dirumuskan sebagai kejahatan jabatan. Pungutan liar yang diatur di dalam buku ke II KUHP itu mengenai kejahatan jabatan yang juga terdapat unsur penggelapan (verduistering).

17

Retno Kusumastuti, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkara Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sragen),” (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009), h. 42.

18

Definisi akronim atau pengertian pemendekan adalah hasil bentuk gabungan dua kata atau lebih yang memiliki unsur-unsur huruf awal dari suku kata dari beberapa kata yang digabungkan menjadi satu.

19


(52)

Bentuk kejahatan yang disebut pungutan liar ini yang dapat disamakan dalam kejahatan jabatan yang diatur di dalam pasal 415 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:20

“Seorang pegawai negeri atau orang lain yang ditugaskan menjalankan

suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu, yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat-surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam

dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Ketentuan dalam 415 di atas mengandung dua unsur:

a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:

1) Pegawai negeri;

2) Orang lain yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum terus-menerus atau untuk sementara waktu;

3) Menggelapkan uang atau surat-surat berharga;

4) Disimpan karena jabatannya;

5) Membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan oleh orang lain;

20


(53)

6) Menolong sebagai pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

b. Unsur subyektif, yang meliputi unsur “Dengan sengaja.”

Dalam pasal 418 disebutkan:21

“Seorang pegawai negeri yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Ketentuan dalam 418 di atas mengandung dua unsur:

a. Unsur objektif, yang meliputi unsur-unsur:

1) Pegawai negeri;

2) Menerima hadiah atau janji;

3) Karena kekuasaan atau kewenangan; dan

4) Berhubungan dengan jabatannya

b. Unsur subyektif, yang meliputi unsur “Menerima.”

Dan dalam pasal 419 ayat (1) disebutkan:22

21


(54)

“Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun, seorang pegawai negeri:

(1) “Yang menerima hadiah atau janji padahal diketahuinya bahwa

hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”

Kebanyakan punggutan liar dipungut oleh pejabat atau aparat, walaupun pungli termasuk ilegal dan digolongkan sebagai KKN, tetapi kenyataannya hal ini jamak terjadi di Indonesia.23

Dalam kasus tindak pidana pungutan liar ini selain terdapat unsur-unsur tindak pidana penggelapan (verduistering) juga terdapat beberapa unsur-unsur tindak pidana lain yang saling berhubungan dengan kasus tindak pidana pungutan liar, di antaranya adalah tindak pidana penipuan (bedrog), pemerasan (afpersing), dan juga tindak pidana korupsi atau yang biasa disebut dengan Tipikor.

a. Tindak pidana penipuan.

Penipuan dan pungutan liar adalah tindak pidana yang mana terdapat unsur-unsur yang sama dan saling berhubungan, antara lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian kebohongan untuk atau agar orang lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.

22

Hamzah., h. 163. 23

Pungutan Liar, Wikipedia artikel ini diakses pada 10 Februari 2011 dari


(55)

b. Tindak pidana pemerasan.

Penipuan dan pungutan liar adalah tindak pidana yang mana terdapat unsur-unsur yang sama dan saling berhubungan, antara lain untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan rangkaian kekerasan atau dengan ancaman agar orang lain menyerahkan barang atau sesuatu kepadanya.

c. Tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi yang sangat erat kaitannya dengan kajahatan jabatan ini, karena rumusan pada pasal 415 pasal penggelapan dalam KUHP diadopsi oleh UU No. 31 tahun 1999 yang kemudian diperbaiki oleh UU No. 20 tahun 2001, yang dimuat dalam pasal 8.24 Dalam UU No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ayat dalam pasal 8 berbunyi:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan

perbuatan tersebut.”

24


(56)

Dari penjelasan Pasal ini, terdapat unsur-unsur yang sama antara tindak pidana korupsi dan tindak pidana pungutan liar antara lain,

unsur subjektif yang mana “dengan sengaja” dan unsur objetif antara

lain:

1) Pegawai negeri;

2) Orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu;

3) Yang dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga;

4) Disimpan karena jabatannya;

5) Membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil oleh orang lain; dan

6) Membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

Selanjutnya, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat perundang-undangan yang mengatur tentang kedisiplinan pegawai negeri yaitu Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Jika kita mengkaitkan masalah pungutan liar dengan Peraturan Pemerintah No. 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai


(57)

Negeri Sipil, maka akan dapat diketahui bahwa pungutan liar tersebut memenuhi unsur-unsur pelanggaran terhadap beberapa ketentuan yang ada pada Bab II tentang Kewajiban dan Larangan, Pasal 3 ayat (1) yang berbunyi:

“Setiap pegawai negeri dilarang:

a. Huruf h:

“Menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari

siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa pemberian itu bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan

jabatan atau pekerjaan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.”

b. Huruf k:

“Melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu

tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian

bagi pihak yang dilayani.”

c. Huruf r:

“Melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam

melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan, atau

pihak lain.”

B. Penipuan, Pemerasan dan Pungutan Liar Menurut Hukum Islam 1. Penipuan Menurut Hukum Islam

Dalam bahasa Arab penipuan disebut sebagai . Secara etimologis kata " " yang artinya menipu, memperdaya. Orang yang menipu disebut


(58)

sebagai " ," sedangkan orang yang tertipu atau terpedaya disebut sebagai " ."25

Penipuan adalah suatu perilaku yang bersumber dari sifat kemunafikan. Hal ini merupakan suatu tindak pidana yang erat kaitannya dengan harta.26 Dalam tindak pidana penipuan, kesalahan tidak hanya terdapat pada si penipu saja, melainkan pada pihak pemilik harta juga bersalah, karena kebodohannya sehingga ia tertipu.27

Ditinjau dari ruh syariat menipu adalah membohongi. Berperilaku dusta adalah merupakan ciri munafik. Munafik seperti dinyatakan dalam ayat al-Quran surah an-Nisa ayat 145:

                   

(QS. An-Nisa/4 : 145)

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS. An-Nisa/4 : 145).

25

Munawwir,Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, h. 326.

26

Zainuddin Ali,Hukum Pidana Islam, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 71.

27

Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar


(59)

Dalam hadis Nabi SAW bersabda:28

:

) (

“Dari Abu Hurairah RA, katanya Nabi SAW bersabda: tanda-tanda munafik ada tiga: apabila berkata ia berdusta, apabila berjanji ia mungkir, dan apabila dipercaya ia khianat.” (H.R.al-Bukhari)

Hal mengenai penipuan dalam Islam banyak diterangkan dalam masalah-masalah jual-beli. Islam mengharamkan seluruh jenis penipuan. Seorang muslim dituntut untuk berlaku jujur dalam seluruh urusannya. Sebab, keikhlasan dalam beragama nilainya lebih tinggi dari pada seluruh usaha duniawi.29Nabi SAW bersabda:30

: :

, ,

) (

Dari Abdullah bin Haris berkata: Saya mendengar Hakim Hizam R.S: dari Nabi SAW bersabda: “Penjual dan pembeli berhak melakukan tawar-menawar selama mereka belum berpisah. Jika mereka jujur dan memjelaskan (ciri-ciri dagangannya), maka mereka akan diberi barakah dalam perdagangan itu. Tetapi jika mereka berdusta dan menyembunyikan (cacatnya), maka berkah dagangannya akan dihapus.”(H.R. Bukhari)

28

Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, al-Jami’ Shahih al-Mukhtasar, cet.III,

(Beirut: Dar Ibnu Kasir, 1987), Juz 1, h. 21. 29

Halal dan Haram dalam Islam artikel ini diakses pada 27 Januari 2011 dari http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/Halal/4027/html.

30


(60)

Rasulullah SAW, sangat melarang yang namanya penipuan, seperti hadis yang diungkapkan Rasulullah SAW:31

» «

. .

»

« ) (

“Rasulullah SAW pernah mendapati tumpukkan makanan. Beliau lalu memasukkan tangannya ke dalam tumpukkan tersebu dan jari-jarinya menemukkan sesuatu yang basah. Beliau bertanya: apa ini wahai pemilik makanan? Ia menjawab: makanan itu terkena air hujan, wahai Rasulullah. Rasulullah SAW lalu bersabda: kenapa kamu tidak meletakkannya di atas supaya dapat dilihat oleh orang-orang? Barang siapa menipu, maka ia bukan termasuk golonganku.” (H. R. Muslim)

Dalam hadis lain yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda:32

:

) (

Dari Abu Hurairah RA, katanya Nabi SAW bersabda: “Barang siapa yang mengangkat senjata terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami, dan barang siapa melakukan kecurangan terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami.” (H.R. Muslim)

Dari hadis di atas dapatlah penulis simpulakan bahwa penipuan dalam Islam adalah jelas haram hukumnya dan barang siapa menipu bukanlah termasuk dari golongan Rasulullah SAW dan pasti bukan orang muslim.

31

Abu al-Husain Muslim An-Naysaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Jail, t.th) Juz. 1, h.

69. 32


(61)

Dalam jual-beli, ada yang dinamakan dengan jual-beli Najasy yaitu berpura-pura membayar lebih mahal dari harga yang seharusnya agar pembeli lain tertipu. Penipuan model seperti ini bisa saja dilakukan dengan kesepakatan antara pedagang dengan pembeli yang menipu atau pembeli itu hanya ingin menipu pembeli yang lain. Seorang penjual wajib pula menjelaskan cacat yang terdapat pada barang dagangannya kepada pembeli. Karena jika tidak, dia berarti telah melakukan penipuan atau pemalsuan.33 Larangan ini seperti di sampaikan oleh Ibnu Umar bahwa Nabi SAW dalam hadisnya melarang jual-beli najasy:34

: )

(

Diriwayatkan dari Ibnu Umar Radiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Sesungguhnya Rasulullah SAW melarang jual-beli dengan cara najasy, yaitu pura-pura membayar dengan harga yang lebih mahal supaya pembeli lain tertipu.(H.R. Bukhari)”

Dalam hal jual-beli pedagang juga dilarang bersumpah. Rasulullah SAW menganjurkan agar kita tidak mengobral sumpah saat jual-beli karena akan mengurangi berkah.35 Apalagi jika kita bersumpah palsu, ini akan menjadi dosa besar, seperti hadis Nabi SAW:36

33

Syekh Abdurrahman As-Sa’di, dkk, Fiqih Jual-Beli, Panduan Praktis Bisnis Syari’ah,

(Jakarta: Senayan Publising, 2008), h. 138-139. 34

Al-Bukhari., Juz 2, h. 753. 35

Aam Amiruddin, Bedah Masalah Kontemporer II: Tanya Jawab Seputar Ibadah &


(62)

: :

" : "

: :

) (

“Dari Abdullah bin ‘Amr r.a., ia berkata: “Sesungghnya seorang badui (Arab) menemui Nabi SAW, dan bertanya: Wahai Rasulullah, apa dosa-dosa besar itu?” -lalu perawi (Abdullah) menuturkan isi hadis berikutnya, dan diantaranya disebutkan- sumpah palsu. Dalam hadis itu aku bertanya: Apa itu sumpah palsu? Beliau bersabda: yaitu sumpah yang digunakan untuk mengambil harta seorang muslim, padahal ia bohong” (H.R. Muslim)

2. Pemerasan Menurut Hukum Islam

Pemerasan ini bisa disebut juga orang yang mengambil barang orang lain secara paksa. Dalam bahasa Arab orang yang mengambil barang orang lain secara paksa ini disebut sebagai al-ghasaba. Secara etimologis kata "ﺐ ﺼ ﻏ " yang artinya memaksa atau merampas. Orang yang dirampas atau dipaksa disebut sebagai " ."37

Dalam istilah para ahli fikih, ghasab berarti menguasai milik orang lain secara paksa tanpa alasan yang benar.38Jadi ghasab adalah mengambil barang orang lain dengan niat untuk menguasai dengan cara paksa dan zalim.

36

Al-Bukhari., Juz 6, h. 2535. 37

Munawwir., h. 1007-1008. 38


(63)

Allah mengharamkan pelanggaran dan perampasan terhadap semua jenis harta milik orang lain tanpa alasan yang benar. Ghasab ini sangatlah diharamkan, Allah sangatlah melarang manusia untuk mengambil hak muslim lain atau orang lain dengan cara-cara yang tidak benar, hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:

                               (QS. Al- Baqarah/2 : 188)

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al- Baqarah/2 : 188).

Ghasab termasuk bentuk yang paling besar dari memakan harta orang secara batil. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:39

" :

) " (

“Dari Sa’id bin Zaid r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tanah itu pada hari kiamat dari tujuh lapis bumi.” (H.R. Muslim)”

Dalam hadis lain Nabi bersabda:40

39


(64)

. ﺎ ﻫ ﺎ ﻨ ﺒ ﻬ ﺘ ﻧ ﺎ ﻓ . . . . : )

ﻪ ﺟ ﺎ ﻣ ﻦ (

Dari Tsa’labah bin al-Hakam RA, ia berkata: “Kami menemukan kambing milik musuh. Lalu kami merampasnya, lalu kami masak dalam kuali kami. Rasulullah SAW melewati kuali tersebut. beliau memerintahkan agar membuangnya, maka akupun menumpahkan isinya, kemudian beliau berkata:“Sesungguhnya merampas itu tidak halal.” (H.R. Ibnu Majah)

Dan dalam hadis lain Rasulullah SAW bersabda:41

لﺎﻗ ﮫﻤﻋ ﻦﻋ ﻲﺷﺎﻗﺮﻟا ةﺮﺣ ﻲﺑأ ﻦﻋ :

ﻢّﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﻰّﻠــﺻ ﷲا لﻮﺳر لﺎﻗ :

ﻻإ ئﺮﻣا لﺎﻣ ﻞﺤﯾ ﻻ

ﮫﻨﻣ ﺲﻔﻧ ﺐﯿﻄﺑ )

ه ا و ر ﺪ ﻤ ﺣ أ (

“Dari Abi Hurrah al-Raqasyi dari pamannya berkata: Bahwa Nabi SAW bersabda: Harta seorang muslim tidak halal bagi muslim lainnya kecuali dengan kerelaannya. (H.R. Ahmad)”

Dari pemaparan hadis-hadis di atas dapat penulis simpulkan bahwa merampas hak orang lain itu sangatlah dilarang oleh Rasulullah SAW, karena perbuatan merampas adalah perbuatan yang sangat dilarang oleh Allah SWT, dan pelakunya akan dihukum tujuh kali lipat dari harta yang dirampasnya tersebut. Perbuatan merampas ini haram hukumnya karenanya tidak dipebolehkan.

Pemerasan juga seperti halnya hirabah (merampok). Hirabah adalah merampas atau mengambil harta orang lain dengan cara memaksa

40

Muhammad Ibnu Yazid Abu Abdillah Al-Qazwayni, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar

al-Fikri, t.th), Juz 2, h. 1299. 41

Ahmad bin Hambal Abu Abdillah As-Syaibani,Musnad Imam Ahmad bin Hambal,(Kairo:


(65)

korbannya.42 Perbedaan asasi antara pencurian dan perampokan terletak dari cara pengambilan harta, yakni dalam pencurian secara diam-diam sedangkan dalam perampokan secara terang-terangan atau disertai kekerasan.43

Hirabah dalam al-Quran merupakan suatu kejahatan yang gawat. Ia dilakukan oleh suatu kelompok atau seorang bersenjata yang mungkin akan menyerang musafir atau orang yang berjalan di jalan raya atau di tempat manapun, mereka merampas harta korbannya dengan menggunakan kekerasan bila korbannya lari mencari pertolongan.44

Allah SWT berfirman dalam surat an-Nisa ayat 33 yang berbunyi:

                                                             

(QS. An-Nisa/5 : 33)

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

(QS. An-Nisa/5 : 33).

42

Zainuddin.,Hukum Pidana Islam,h. 69.

43

A. Djazuli,Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet.III, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 86-87. 44

A. Rahman I. Doi,Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syariah), cet.I, (Jakarta: PT.


(66)

Dari ayat ini dapat di jelaskan bahwa orang-orang yang membuat merusak di muka bumi ini adalah musuh Allah dan rasul-Nya, jadi perbuatan hirabah (merampok) adalah perbuatan yang dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya.

3. Pungutan Liar Menurut Hukum Islam

Dalam bahasa Arab pungutan liar disebut sebagai al-maksu. Secara bahasa kata " " itu bentuk masdar atau infinitive dari kata kerja " ﺲ ﻜ ﻣ -ﺲ ﻜ ﳝ" yang mempunyai arti memungut cukai, menurunkan harga dan menzalimi.45

Maksu (pungutan liar) adalah pajak yang ditagih oleh seseorang secara tidak legal, biasanya dari pedagang-pedagang kecil.46 Ibnu Manzur juga mengartikan kata " " dengan " " cukai bahkan secara lebih detail dia

mengemukakan “Al-Maksu adalah sejumlah uang (dirham) yang diambil dari para pedagang di pasar-pasar pada zaman jahiliyah.”

45

Munawwir., h. 1352. 46

Terminologi Zakat Barang Tambang dan Hasil Laut, Pondokzakat.com artikel ini diakses

pada 09 Februari 2011 dari

http://pondokzakat.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=35&Itemid =2&limitstart=5.


(67)

Penulis kitab Aunul Ma’bud (syarah Sunan Abu Daud), penulisnya mengatakan “Dalam al-Qamus al-Muhinth disebutkan bahwa maks adalah mengurangi atau menzalimi. Maks adalah uang yang diambil dari para pedagang di pasar pada masa jahiliyyah atau uang yang diambil oleh amil

zakat (untuk dirinya) setelah ia selesai mengambil zakat.”47

Para ulama manyebutkan bahwa maks itu memiliki beberapa bentuk, yaitu:48

a. Maks yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyyah yaitu uang pajak yang diambil dari para penjual pasar.

b. Uang yang diambil oleh amal zakat dari muzakki untuk kepentingan pribadinya setelah ia mengambil zakat.Uang yang diambil dari para pedagang yang melewati suatu tempat tertentu.

c. Uang yang diambil tersebut dibebankan kepada barang dagangan yang dibawa, perkepala orang lewat atau semisalnya.49

: .

47

Hukum Kerja di Kantor Pajak, ustadzaris.com artikel ini diakses pada 19 Februari 2011 dari http://ustadzaris.com/hukum-kerja-di-kantor-pajak

48 Ibid. 49


(68)

"Al Baghawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pemungut maks adalah orang yang meminta uang dari para pedagang jika mereka lewat di suatu tempat dengan kedok ‘usyur (yaitu zakat)."

Dalam Nailul Author, asy-Syaukani mengatakan:50

“Pemungut maks adalah orang yang mengambil pajak dari masyarakat tanpa adanya alasan yang dibenarkan.”

Lebih lanjut Ahmad Siharanfuri mengutip uraian pengarang kitab al-Hasyiyah yang mendefiniskan al-maksu dengan mengambil bentuk isim fa'ilnya yaitu:51

ﻦ ﻣ ﻦ ﻣ

ﺺ ﻘ ﻨ ﻳ ﻦ ﻣ ﺎ ﻬ ﻴ ﻄ ﻌ ﻳ ﻻ

ﻼ ﻣ ﺎ ﻛ ﺎ ﻬ ﻣ ﺎ ﻤ ﺘ ﺑ ﻦ ﻣ

ﺬ ﺧ ﺄ ﻳ

ﻪ ﻴ ﻔ ﻓ

“Pengawai-pegawai pemungut cukai adalah orang yang mengurangi hak-hak orang-orang miskin tidak diberikannya secara sempurna (dikorup). Adapun petugas pemungut zakat dan pungutan sebanyak 1/10 dengan cara benar atau secara sah/resmi dia justru akan mendapatkan pahala (dengan manjalankan tugas ini), tugas ini dilakukan oleh anak-anak remaja.”

Sementara itu Muhammad bin Salim bin Sa'id Babasil mendefinisikan

al-maksu sebagai berikut:52

50 Ibid. 51

Khalil Ahmad As-Siharanfuri,Bazlu al-Majhud fi Hilli Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub


(1)

Hanbal, Ahmad bin,Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut: Dar al-Fikr, tth).

Hasan, Moh. Syamsi dan Achmad Ma’ruf Asrori,Khotbah Jum’at Sepanjang Masa: Membangun Kehidupan Dunia Akhirat, (Surabaya: Karya Agung, 2002).

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar.

Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Irfan, Muhammad Nurul, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqih Jinayah, (Jakarta: Badan Litbang & Diklat Departemen Agama RI, 2009).

Kholiq, M. Abduh, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas UII, (Yogyakarta: 2002).

Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-Delik Khusus: Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito, tth).

Lamintang, Delik-Delik Khusus; Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, cet. I, (Bandung: Sinar Baru, 1989).

Lamintang, P.A.F.,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Aditiya Bakti, 1997).


(2)

Ma’luf, Luis,al-Munjid, cet.X, (Beirut: Dar al-Masyrik, 1952).

Moeljanto ,Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1986).

Moeljanto,Asas-Asas Hukum Pidana, cet.VII, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, cet.III, (Bandung: PT. Alumni, 2005).

Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, cet.XI, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997).

Muslich, Ahmad Wardi,Hukum Pidana Islam, cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).

Negara, Satochid Karta,Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1, (Jakarta: Balai Rektur Mahasiswa, t.th).

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan.

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu, cet.III, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003).


(3)

Sabiq, Sayyid,Fiqh Sunnah, (t.tp: t.p, t.th).

Saebani, Beni Ahmad,Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).

Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003).

Sianturi, S.R. dan Mompang L. Pengabean,Hukum Penitensia di Indonesia, (Jakarta: Alumni Ahaem-petchhaem, 1996).

Simorangkir, J.C.T. dkk.,Kamus Hukum,(Jakarta: Sinar grafika, 2004).

Soejono dan H. Abdurrahman,Metode Penelitian Hukum, cet. I,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1999).

Sulaiman, Abu Daud,Sunan Abu Daud, (Beirut: Dar al-Kitab Arabi, t.th).

Thalib, Hambali, Sanksi Pemidanaan Dalam Konflik Pertanahan, cet.II, (Jakarta: Kencana, 2009).

Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, cet.I, (Jakarta: Djambatan, 2001).

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


(4)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Wasito, S. Wojo,Kamus Umum Belanda-Indoneisa, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1990).

Yafie, Alie, dkk.,Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, (t.tp: PT. Kharisma Ilmu, 2007).

Yanggo, Huzaimah Tahido, Masail Fiqhiyah: Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005).

Sumber dari Internet

DetikNews, “Mendiknas Minta Bupati Tindak Pungli di Sekolah”, artikel diakses

pada 26 Oktober 2010 dari

http://www.detiknews.com/read/2006/08/31/141944/666223/10/mendiknas-minta-bupati-tindak-pungli-di-sekolah.

Halal dan Haram dalam Islam, artikel ini diakses pada 27 Januari 2011 dari http://luk.staff.ugm.ac.id/kmi/islam/Qardhawi/Halal/4027/html.

Hukum Kerja di Kantor Pajak, ustadzaris.com artikel ini diakses pada 19 Februari 2011 dari http://ustadzaris.com/hukum-kerja-di-kantor-pajak

Hukum Pajak Dan Pemungutannya Dalam Islam, facebook.com artikel ini diakses

pada 17 Maret 2011 dari

http://www.facebook.com/topic.php?uid=62919588456&topic=17124

Legalitas.org, “Pungutan Liar (Pungli)”, artikel diakses pada 27 Juni 2011 dari http://www.legalitas.org/?q=node/239


(5)

Makalah Ta’zir, artikel ini diakses pada 29 Maret 2011 dari http://student.sunan-ampel.ac.id/ryana/2011/01/05/makalah-tazir/

Okezone news, “ICW Laporkan Pungli Sekolah ke Kejagung”, artikel diakses 07

Oktober 2010 dari

http://autos.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/08/05/1/133952/1/icw-laporkan-pungli-sekolah-ke-kejagung.

Pajak Dalam Islam (Nasehat Untuk Para Pemungut Pajak), suaraquran.com artikel ini diakses pada 17 Maret2011 dari http://suaraquran.com/pajak-dalam-islam/

Pakar Hukum, “Pemerasan” artikel ini diakses pada 13 Januari 2011 dari http://pakarhukum.site90.net/pemerasan.php.

Pungutan Liar, Wikipedia artikel ini diakses pada 10 Februari 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Pungutan_liar.

Terminologi Zakat Barang Tambang dan Hasil Laut, Pondokzakat.com artikel ini

diakses pada 09 Februari 2011 dari

http://pondokzakat.com/index.php?option=com_content&view=category&lay out=blog&id=35&Itemid=2&limitstart=5.

Tinjauan UmumTentang tindak Pidana Penipuan, artikel ini diakses pada 07 Februari

2011 dari

http://www.find-docs.com/view.php?url=http%3A%2F%2Fdigilib.ubaya.ac.id%2Fskripsi%2F hukum%2FPI_187_2811089%2FPI_187_Bab%2520II.pdf&searchquery=huk uman+pasal+penipuan+kuhp

Sumber lainnya


(6)

Retno Kusumastuti, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perkara Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sragen),” (Skripsi S1 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2009).

Syarifah Maulafatu, “Tindak Pidana Pemerasan (Afpersinf) Yang Dilakukan Anak Di Bawah Umur Menurut Hukum Islam Dan Hukum Positif” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006.