Tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya ditinjau dari hukum pidana Islam dan hukum pidana positif

(1)

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA DITINJAU DARI HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM PIDANA POSITIF

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: Puti Ramadhani NIM: 104045101563

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

JAKARTA 1429 H/2008 M


(2)

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA DITINJAU DARI HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM PIDANA POSITIF

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

Puti Ramadhani NIM: 104045101563

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Asmawi, M. Ag Dedy Nursamsi, SH, M.Hum

KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

ﺮ ا

ﺮ ا

ﷲا

KATA PENGANTAR

Dengan penuh rasa syukur yang tiada hentinya kepada kehadirat Allah SWT, yang telah memberi penulis kemudahan dari setiap kesulitan yang datang dan kekuatan yang tidak terduga dari setiap kelemahan yang menerpa. Atas rahmat dan karunia dari-Mu, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan diwarnai dengan ujian, emosi, kesabaran dan kekuatan dan juga shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang membawa rahmat bagi seluruh umat.

Penulis menyadari bahwa proses penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan semangat dari berbagai pihak dan untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Asmawi M.Ag, Ketua Program Studi Jinayah Siayasah dan Sri Hidayati, M.Ag, Sekretaris Program Studi Jinayah Siayasah atas kesabaran dan waktunya dalam menghadapi semua pertanyaan penulis. Kepada para dosen yang telah memberikan ilmu, tenaga dan waktu yang luar biasa kepada penulis selama ini, terutama untuk Bapak Sudirman Abbas dan Bapak Ayang Utriza yang selalu memberikan motivasi, Bapak Prof.Dr.H.M. Abduh Malik dan Bapak M. Nurul Irfan yang telah memberikan bantuan yang sangat besar bagi proses skripsi ini


(4)

serta tak lupa kepada staff perpustakaan syari’ah dan hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta.

3. Kepada para pembimbing skripsi, Bapak Asmawi M.Ag dan Bapak Dedy Nursamsi, SH, M.Hum yang telah memberikan saran, masukan dan pengarahan yang luar biasa bagi proses skripsi ini.

4. Kepada kedua orang tua tercinta, Bapak H. Ardi Rauf B.Ac (alm) dan Ibu Hj. Yani Utama S.Pd yang telah menekankan mengenai pentingnya pendidikan dan menghargai ilmu, memberikan dukungan dan do’a yang tidak pernah putus dan juga telah memberikan kepercayaan yang amat besar bagi penulis. Untuk ayah tercinta, ini adalah janji yang sudah penulis tepati dan maaf karena ayah tidak sempat untuk melihatnya.

5. Kepada adik-adikku yang masih belum juga beranjak dewasa, Citra Ardhini dan Andhika Utama. Terima kasih karena telah memberikan suasana yang berbeda setiap harinya di rumah. Semoga skripsi ini memberikan inspirasi buat kalian berdua untuk menyelesaikan pendidikan dengan baik dan untuk adikku tercinta Sarah Chairunnissa, sumber inspirasi, kebahagiaan dan semangat untuk hidup. Abangku Ardian Guci, yang selalu siap siaga membantu. Kepada seluruh keluarga di Jakarta dan Lampung, terima kasih untuk do’anya.

6. Kepada Tezar Irawan dan keluarga, terima kasih atas kesabaran, dukungan, do’a dan kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih karena telah bersedia menjadi sumber inspirasi terbesar dalam hidup penulis.

7. Kepada teman-teman : Ayu, Mody, Ma’ruf dan Asep, terima kasih atas bimbingannya dan teman-teman sekelas atas bantuannya baik kecil maupun besar


(5)

tetapi semuanya sangat berarti bagi penulis (I always wish all for the best) : Cepi, Amin, Hijrah, Finalto, Devison, Azis, Rifa’i, Jaelani, Nandez, Rico, Komson, Rozi, Husni, Agus, Hilmi, Irna, Novi, Zulfah dan Reva.

8. Kepada seluruh guru-guru yang pernah mengajar penulis. Skripsi ini merupakan bentuk terima kasih dan penghargaan tertinggi penulis atas jasa-jasa para guru selama ini.

Demikian ucapan terima kasih dari penulis dan penulis beharap semoga segala kebaikan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Penulis juga berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi orang lain dan dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.

Jakarta, 11 Juni 2008 M

O7 Jumadil Akhir 1429 H


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….... …i

DAFTAR ISI………..iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……….5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………...6

D. Tinjauan Pustaka ………...7

E. Metode Penelitian………...9

F. Sistematika Penulisan………...12

BAB II KONSEP TINDAK PIDANA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF A. Pengertian Tindak Pidana………... 14

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana………. 16

C. Tujuan dan Sanksi Pidana………25

BAB III TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF A. Pengertian Pembunuhan………...34


(7)

C. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan……….45

BAB IV TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF SERTA ANALISIS PERBANDINGAN

A. Anak dan Kedudukannya

1. Pengertian Anak dan Hubungan Orang Tua dengan Anak…………..53 2. Perlindungan Anak………...57 B. Pengertian Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya………. 61 C. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya.. 65 D. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan Anak oleh Orang Tuanya………… 74 E. Analisis Perbandingan………... 80

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan………...83

B. Saran-saran……….. 87


(8)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini Saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 Juni 2008 M 19 Rabiul Awal 1429 H


(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Anak adalah harta yang tidak ternilai. Anak adalah karunia dan amanat yang Allah titipkan kepada para orang tua untuk dijaga agar dapat menjadi manusia-manusia yang berkualitas. Keberadaan anak yang merupakan amanat itulah yang menjadikan anak sangat istimewa dan rumit dalam menghadapinya dan Dia memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Allah S.W.T berfirman :

) ءاﺮ ا : -(

Artinya : “Dia memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan kedua jenis lelaki dan perempuan (kepada siapa yang dikehendaki-Nya), dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.". (Q.S Asy-Syuraa : 49-50)

Hubungan antara orang tua dan anak dianggap sangat penting karena dari hubungan inilah tercipta manusia-manusia yang peduli sesama dan saling menghormati. Hubungan yang tidak akan pernah terputus oleh kondisi apapun. Hubungan yang paling abadi yang pernah dimiliki oleh antar sesama


(10)

manusia. Hubungan dimana ada pertanggungjawaban yang besar di hadapan Allah baik bagi orang tua maupun bagi anak karena Allah tidak hanya menekankan pentingnya bersikap baik kepada orang tua tetapi juga menekankan pentingnya orang tua memperlakukan anaknya dengan baik, seperti pada firman Allah :

) اﺮ ﻷا : (

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami lah yang memberi rizki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.” (Q.S Al-Israa : 31)

Negara juga mengaturnya hal tersebut dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 13, ayat 1 yang berbunyi :

“ Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlidungan dari perlakuan :

(1). Diskriminasi

(2). Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual. (3). Penelantaran

(4). Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan (5). Ketidakadilan, dan

(6). Perlakuan salah lainnya.”

Akan tetapi, hubungan yang seharusnya penuh kasih sayang dan harmonis ini semakin berkurang pada zaman sekarang ini. Banyak sekali anak


(11)

yang menerima perlakuan yang kurang baik dari orang tuanya bahkan tindakan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya mulai dari memukul sampai kepada penganiayaan yang berakibatnya nyawa anak tersebut melayang. Sangat sulit dipercaya ketika seorang anak meninggal ditangan orang yang sangat diharapkan untuk dapat melindungi dan menjaga dirinya. Padahal anak tersebut adalah darah daging mereka sendiri, penerus generasi keluarga, penjaga kehormatan keluarga dan kalau dipikirkan lebih jauh lagi, anak merupakan aset negara yang sangat mahal dan penting sehingga mereka perlu dilindungi terutama oleh kedua orang tua mereka. Oleh karena itu banyak harapan dan cita-cita dipanjatkan untuk anak-anak agar dapat menjalani kehidupan dengan jauh lebih baik daripada keadaan kedua orang tua mereka.

Salah satu kasus yang dapat dijadikan bukti tentang tindak pidana ini adalah kasus yang cukup menggemparkan adalah kasus pembunuhan yang terjadi pada tahun 2006 di Bandung yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap ketiga anaknya yang karena alasan kekhawatiran yang berlebihan atas nasib ketiga anaknya1. Kasus lain terjadi pada tahun 2008 adalah seorang ayah membunuh anak kandungnya yang masih berumur empat bulan karena tertekan akan kebutuhan sehari-hari2. Kasus-kasus seperti ini akan terus

1

Tempointeraktif, “Ibu Pembunuh Tiga Anak Diduga Mengidap Paranoid”. Diakses pada tanggal 22 Februari 2008, http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2006/06/15/brk,20060615-78943,id.html

2

Tribun Jabar, “Pembunuh Anak kandung Serahkan Diri”. Diakses pada tanggal 17 Februari 2008, http://www.tribunjabar.co.id/artikel_view.php?id=2050&kategori=9


(12)

bertambah pada tiap tahunnya jika permasalahan ini tidak ditanggapi secara serius oleh seluruh komponen masyarakat.

Melihat dari contoh kasus di atas, pada dasarnya tindak pidana pembunuhan di Indonesia sendiri sudah diatur di dalam KUHP, BAB XIX Kejahatan Terhadap Nyawa, pasal 338 :

“Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Kemudian diperkuat dengan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Di dalam Islam sendiri, ada sebuah konsep yang dapat membantu memahami dan juga merupakan tujuan dari agama islam yang disebut dengan Maqasidu Syari’ah ) yang terdiri dari :

1. Memelihara Agama 2. Memelihara Jiwa 3. Memelihara Akal 4. Memelihara Keturunan 5. Memelihara Harta

Kelima tujuan di atas saling berhubungan karena pemeliharaan diri kita dari salah satu tindak pidana berarti memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.


(13)

Dari penjelasan tentang tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya, maka dapat dipahami bahwa alasan -alasan yang melatarbelakangi penulis untuk membahas tentang tindak pidana pembunuhan ini adalah : 1. Banyaknya tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri di

Indonesia.

2. Belum ada pembahasan mengenai tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri ditinjau dari hukum pidana positif dan hukum pidana Islam.

Dengan alasan-alasan yang telah dikemukakan di atas maka penulis akan membahasnya dengan judul “ Tindak Pidana Pembunuhan Anak Oleh Orang Tuanya Ditinjau Dari Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif ”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Membicarakan tindak pidana pembunuhan anak berarti membicarakan banyak hal yang ada di masyarakat. Dari mulai peranan orang tua sampai kepada peranan media. Pembatasan masalah sangat diperlukan agar apa yang akan dibahas oleh penulis tidak melebar dan tetap fokus pada inti masalah, yaitu :

1. Penulis membicarakan mengenai tindak pidana pembunuhan yang terjadi terhadap anak-anak dan dilakukan oleh orang tuanya yang pada zaman sekarang ini sering terjadi.


(14)

2. Tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif mengenai tindak pidana pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri.

Perumusan juga sangat diperlukan untuk mencari tahu apa yang menjadi masalah dalam pembahasan ini sehingga pada akhir pembahasan diharapkan peneliti sudah dapat menemukan jawaban dari semua pertanyaan yang telah dirumuskan. Oleh karena itu, penulis telah merumuskan masalah yang akan dibahas dalam pembahasan ini, yaitu :

1. Apakah yang dimaksud dengan tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif? 2. Bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan anak oleh orang

tuanya menurut hukum pidana islam dan hukum pidana positif?

3. Bagaimana perbandingan antara hukum pidana islam dan hukum pidana positif mengenai tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Penulis meneliti hal ini tidak lepas dari beberapa tujuan. Tujuan tersebut adalah :

1. Untuk dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya sendiri.

2. Untuk dapat mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya.


(15)

3. Untuk dapat mengetahui persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kekurangan dari dua tinjauan hukum yang dipakai, yaitu: pidana islam dan hukum pidana positif mengenai tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya.

Sedangkan manfaat yang dapat diambil dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Secara Akademis

Dilihat dari akademis, manfaat dari penulisan ini adalah dapat memberikan tambahan keilmuan dalam bidang hukum pidana positif dan juga hukum pidana islam pada umumnya dan tentang pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri pada khususnya.

2. Secara Praktis

Dilihat dari segi praktis, penulisan skripsi ini dapat memberikan penjelasan kepada masyarakat luas tentang dampak atau akibat tindak pidana pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri.

D. Tinjauan Pustaka

Sebelumnya penulis sudah membuat tinjauan pustaka dengan tujuan untuk mengkaji materi-materi yang terdahulu yang memiliki tema yang sama dengan tema yang dipilih oleh penulis dan materi/karya-karya tersebut adalah karya Drs. Adami Chazawi, S.H dengan judul “Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa”. Hal yang paling utama yang dikajinya adalah bentuk-bentuk kejahatan, penjelasan mengenai unsur-unsur kejahatan serta perbedaan unsur objektif dan subjektif. Temuan penting pada karya ini


(16)

adalah bahwa semua tindak kejahatan akan mendapatkan sanksi termasuk pembunuhan.

Karya kedua adalah karya Ahmad Hanafi yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Islam”. Hal utama yang dikaji mengenai pembunuhan di dalam hukum islam. Di dalam karya ini dijelaskan bahwa adanya pembagian dari jenis-jenis pembunuhan yang terdiri dari pembunuhan sengaja, pembunuhan sengaja yang diancam dengan hukuman qisas dan pembunuhan tidak sengaja yang diancam dengan hukuman diyat. Pada dasarnya, tindak pidana pembunuhan yang dibahas di dalam karya ini adalah tindak pidana pada umumnya terlepas dari faktor pelaku ataupun korbannya apakah ada hubungan keluarga atau tidak.

Karya ketiga adalah sebuah buku yang berjudul “Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Buku ini merupakan kumpulan tulisan yang dibuat oleh orang-orang yang ahli pada bidangnya. Salah satunya adalah H.M Abduh Malik, tulisannya mengenai “Kejahatan Terhadap Jiwa dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”. Di dalam tulisannya ini dijelaskan bahwa ada perbedaan pendapat ulama dalam pembunuhan anak oleh orang tuanya. Pada intinya, karya ini tidak membahas secara detail mengenai apa yang dimaksud dengan anak dan orang tua serta bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana pembunuhan anak itu sendiri.

Karya keempat merupakan skripsi yang berjudul “Pembunuhan Massal Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif” oleh Dodi Wahyudi Jurusan Jinayah Siyasah Unversitas Islam Negeri Jakarta pada tahun 2004. Di


(17)

dalam skripsi ini, menjelaskan mengenai tinjauan hukum islam dan hukum positif tentang pembunuhan terutama pembunuhan secara massal.

Karya kelima adalah sebuah skripsi berjudul “Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif” oleh Ahmad Uluwan pada tahun 2004. Karya di atas juga membahas mengenai pembunuhan, akan tetapi lebih menitikberatkan kepada pembunuhan yang subjek hukumnya adalah anak.

Karya terakhir adalah skripsi dengan judul “Analisa Hukum Islam Tentang Hukuman Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan” oleh Yuliati Roswita pada tahun 2005. Di dalam karya ini, membahas mengenai bagaimana pandangan hukum islam terhadap hukuman yang berbentuk seumur hidup dalam tindak pidana pembunuhan.

Dilihat dari karya-karya di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa belum ada karya yang membahas mengenai tindak pidana pembunuhan anak yang dilakukan oleh orang tuanya sendiri ditinjau dari hukum pidana positif dan hukum pidana islam

E. Metode Penelitian

Metode yang akan digunakan oleh penulis adalah deskripif analisis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan pengumpulan data, menyusun, mengklasifikasikannya dan menganalisa data sehingga dapat diambil jawaban atas pertanyaan dan ditariklah suatu kesimpulan.


(18)

Dalam pengambilan data dalam penelitian, penulis akan memakai metode studi dokumentasi yang terdapat di dalam buku-buku, dokumen dalam bentuk undang-undang, lampiran-lampiran, agenda, catatan para ahli sampai internet.

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan atau data kualitatif. Data-data yang diambil merupakan pendapat atau doktrin para ahli hukum atau normatif dengan tujuan agar dapat menggambarkan masalah dengan baik berdasarkan keberadaan data-data tersebut sehingga dapat diambil kesimpulannya atau dapat juga disebut dengan deskriptif3.

2. Sumber Data Penelitian

Adapun sumber data yang digunakan pada penelitian ini adalah Sumber Data Sekunder, yang terdiri dari :

a. Bahan Primer yang digunakan, yaitu : karya, literature, norma atau aturan yang membahas langsung masalah ini yang dibahas judul skripsi ini. Seperti KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan norma-norma lainnya.

3

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : P.T RajaGrafindo Persada, 2006), h. 35.


(19)

b. Bahan Sekunder yang digunakan, yaitu : buku-buku umum, karya atau literatur lain yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Seperti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dan lain-lain.

c. Bahan Tertier yang digunakan, yaitu : bahan-bahan yang merupakan pelengkap dari bahan primer dan bahan sekunder, yaitu buku-buku tafsir, terjemahan dan lain-lain4.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah riset kepustakaan, yaitu dengan melihat atau membaca, meneliti dan mempelajari dokumen dan data-data yang diperoleh dari karya – karya atau literatur dan referensi yang berhubungan dengan judul skripsi ini5. 4. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan seluruhnya adalah metode kualitatif, yaitu menganalisis masalah berdasarkan data-data yang didapat dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang didapat dari buku-buku, karya-karya, literatur atau norma-norma dengan bersifat Penelitian deskriptif, yaitu dengan menggambarkan permasalahan yang ada, mencari data-data yang relevan, menyeleksinya dan mengambil kesimpulan dari data-data tersebut.

4

Sunggono, Bambang, loc.cit

5


(20)

Teknik Analisis Data yang digunakan adalah Teknik Analisis Komparatif secara Kualitatif. Alasan penulis menggunakan teknik ini adalah penulis ingin membandingkan tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana islam terhadap permasalahan pada penelitian ini6.

5. Teknik Penulisan

Adapun mengenai teknik penulisan karya tulis ini, penulis mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah proses dalam penulisan penelitian ini, maka penulis membuat kerangka yang sistematik untuk membentuk pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab-bab yang terdiri dari :

BAB I : pendahuluan, diawali dengan latar belakang masalah berisi penjelasan, data-data yang dijadikan alasan bagi penulis dalam memilih pembahasan ini., pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.

6


(21)

BAB II : berisi tinjauan umum hukum pidana islam dan hukum pidana positif mengenai konsep tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana dan lain-lain.

BAB III : berisi tinjauan hukum pidana islam dan hukum pidana positif mengenai tindak pidana pembunuhan yang meliputi Pengertian, Bentuk-bentuk serta Sanksi bagi Tindak Pidana Pembunuhan.

BAB IV : bab ini merupakan pembahasan utama dalam penelitian ini berisi Pengertian Anak dan kedudukannya di dalam tinjauan kedua hukum tersebut. Pengertian, Bentuk-bentuk serta Sanksi bagi Tindak Pidana Pembunuhan serta Analisis Perbandingan. BAB V : merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan atau


(22)

BAB II

KONSEP TINDAK PIDANA

MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

A. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana, di dalam hukum pidana Islam sendiri ada dua kata yang cukup mewakili kata tersebut, yaitu jinayah dan jarimah. Jinayah

merupakan bentuk mashdar dari kata

"

"

.

Menurut istilah adalah hasil perbuatan seseorang yang terbatas pada perbuatan yang dilarang dan pada umumnya, para fuqaha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa seperti pemukulan dan pembunuhan. Selain itu, para fuqaha memakai istilah tersebut pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash.7

Sedangkan jarimah, menurut Al-Mawardi adalah :

تارﻮﻈ ﺋاﺮ ا ﺮ ﺰ واﺪ ﺎﻬ ﻰ ﺎ ﺔ اﺮ زﺔ Artinya: “Segala larangan syara’ (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau

meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukum had atau takzir”.

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan suatu perbuatan yang telah diperintahkan. Dengan melihat kedua pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan

7

H.A Dzajuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta, P.T RajaGrafindo Persada, 1997, h 1.


(23)

bahwa pada dasarnya pemakaian istilah tindak pidana dalam hukum pidana islam dengan menggunakan kata jinayah atau jarimah adalah sama.

Di dalam hukum pidana positif, “ Tindak Pidana” terdiri dari dua kata, yaitu kata “tindak” dan kata “pidana”. Kata “tindak” berasal dari bahasa Jawa yang berarti perbuatan, tingkah laku, kelakuan, sepak terjang sedangkan kata “pidana” artinya adalah kejahatan, kriminal dan pelanggaran.8

Istilah tindak pidana sendiri merupakan hasil terjemahan dari kata Strafbaar feit yang berasal dari bahasa Belanda yang merupakan istilah yang dipakai dalam wetboek van strafrecht atau kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Ada banyak pendapat mengenai pengertian dari tindak pidana atau Strafbaar feit ini, diantaranya adalah :

1. Hazewinkel-Suringa telah membuat teori yang menyatakan bahwa rumusan umum dari “Strafbaar feit” adalah “suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya”.9

2. Profesor Simmons merumuskan “Strafbaar feit” sebagai berikut “suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan

8

W.J.S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1976), h. 1074

9

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung, P.T Citra Aditya Bakti, 1997), Cet III, h. 181.


(24)

atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum”.10

3. Prof. Moeljatno mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.11

Dilihat dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli sarjana hukum maka dapat disimpulkan bahwa Strafbaar feit atau tindak pidana adalah perbuatan yang bertentangan atau melawan hukum dan diancam dengan pidana yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab atas perbuatannya.

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana

Menurut Ahmad Hanafi, M.A, di dalam hukum pidana Islam, bentuk-bentuk tindak pidana atau jarimahnya (jinayah) dapat dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu :

1. Dilihat dari berat atau ringannya hukuman dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Jarimah Hudud adalah jarimah yang diancamkan dengan hukuman had,

yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya serta merupakan hak Tuhan. Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), mengkonsumsi minuman keras (syurb

10

Ibid, h. 181

11


(25)

khamr), mencuri, pembegalan / perampokkan (hirabah), murtad dan pemberontakkan.

b. Jarimah Qisas-Diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman-hukuman yang telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batas terendah atau tertinggi tapi telah menjadi hak perseorangan. Jarimah qisas-diyat ini ada lima macam, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja.

c. Jarimah Ta’zîr adalah jarimah yang ancaman hukumannya bertujuan untuk memberikan pengajaran dan yang berwenang menetapkan dan menjatuhkan hukuman tersebut adalah para penguasa.

2. Dilihat dari niat si pelaku, dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Jarimah Sengaja adalah si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya sedangkan dia tahu bahwa perbuatannya itu di larang (salah).

b. Jarimah Tidak Sengaja adalah si pelaku tidak sengaja melakukan perbuatan yang dilarang tetapi perbuatan itu terjadi sebagai akibat dari kekeliruan.

3. Dilihat dari cara mengerjakannya, dibagi menjadi dua :

a. Jarimah Positif adalah jarimah yang terjadi karena mengerjakan suatu perbuatan yang dilarang seperti mencuri, zina dan sebagainya.

b. Jarimah Negatif adalah jarimah yang terjadi karena tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan, seperti tidak mengeluarkan zakat.


(26)

4. Dilihat dari orang yang menjadi korban, dibagi menjadi :

a. Jarimah Perseorangan adalah jarimah yang penjatuhan hukumannya bertujuan untuk melindungi kepentingan perseorangan. Seperti pencurian.

b. Jarimah Masyarakat adalah jarimah yang penjatuhan hukumannya bertujuan untuk menjaga ketentraman masyarakat. Seperti pembegalan atau perampokkan.

5. Dilihat dari sifat kekhususannya dapat dibagi menjadi dua, yaitu jarimah biasa dan jarimah politik. Pembedaan dari kedua jarimah ini terletak pada motif yang mengikuti perbuatan tersebut. Pembedaan jarimah ini pun di latar belakangi dari peristiwa sejarah, tentang adanya jarimah-jarimah yang dilakukan dengan motif politis.12

Di dalam hukum pidana positif, pada hakekatnya, tindak pidana dibedakan menjadi dua yaitu kejahatan dan pelanggaran. Pembagian ini muncul di dalam KUHP Belanda pada tahun 1886 yang kemudian tetap ada pada KUHP Indonesia pada tahun 1918. Dasar pembedaan ini, menurut para sarjana karena sejak semula dapat dirasakan mana perbuatan yang bertentangan dengan hukum sebelum para pembuat undang-undang menyatakannya di dalam undang-undang atau disebut dengan delik hukum dan mana perbuatan yang bertentangan dengan hukum setelah dinyatakan di dalam undang-undang atau disebut juga dengan delik undang-undang. Pembeda lainnya adalah pada berat atau ringannya pidana yang diancamkan.

12


(27)

Dalam tindak kejahatan, diancamkan pidana yang berat seperti mati sedangkan untuk tindak pelanggaran maka diancam dengan sanksi yang ringan. Namun, dalam perkembangannya telah terjadi kesulitan dalam pembedaannya antara kejahatan dan pelanggaran karena baik kejahatan maupun pelanggaran dapat diancam dengan pidana penjara atau pun denda. 13

Kriteria pembagian tindak pidana yaitu kejahatan dan pelanggaran pada akhirnya tidak menghasilkan kesepakatan diantara para ahli sarjana hukum sehingga muncullah pembagian-pembagian tindak pidana berdasarkan jenis-jenis tertentu, yaitu :

a. Cara perumusannya

Yaitu delik formal dan delik materiil. Delik formal adalah tindakan yang dilarang tanpa mempersoalkan akibat dari tindakan itu. Contohnya dalam tindakan pencurian, selama unsur-unsur pada pasal 362 KUHP sudah terpenuhi maka tidak dipersoalkan lagi apakah tindakannya sudah selesai atau belum atau apakah korban merasa rugi atau tidak.

Delik materiil adalah tindakan yang selain dilarang juga harus ada akibat yang timbul dari tindakan tersebut sehingga dapat dikatakn telah terjadi tindak pidana sepenuhnya. Contohnya dalam hal pembunuhan.

b. Cara melakukan tindak pidana

13

S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta, Alumni Ahaem-Petehaem,1996), h. 226.


(28)

Dibagi menjadi tiga, yaitu delik komisi (delicta commissionis), delik omisi (delicta ommissionis) dan delik campuran (delicta commissionis per ommissionem commissa).

Delik komisi adalah tindakan aktif (active handeling) yang dilarang dan untuk pelanggarannya diancam pidana. Contoh : dilarang membunuh (Pasal 338), dilarang mencuri (Pasal 362) dan lain-lain.

Delik omisi adalah tindakan yang pasif (passive handeling). Tindakan yang diharuskan untuk dilakukan dan jika tidak dilakukan akan diancam dengan pidana. Contoh : Wajib melaporkan kejahatan tertentu (Pasal 164), memberikan pertolongan kepada orang yang berada dalam bahaya (Pasal 531).

Delik campuran adalah tindakan yang terdiri dari tindakan komisi dan omisi sekaligus. Contoh : membiarkan orang yang masih wajib ada di dalam pemeliharaannya sehingga mengakibatkan kematian orang tersebut (Pasal 306).

c. Dilihat dari ada atau tidaknya pengulangan atau kelanjutannya

Delik Mandiri adalah jika tindakannya hanya dilakukan satu kali saja sedangkan delik berlanjut atau sama yang berulang adalah jika tindakan yang sama dilakukan berulang seperti pemegang kas yang tiap hari menggelapkan uang sedikit demi sedikit sampai akhirnya dia tertangkap. d. Dilihat dari berakhir atau berkesinambungan suatu delik

Delik berakhir atau selesai adalah delik dengan melakukan sesuatu perbuatan seperti merampas kemerdekaan orang lain sedangkan delik


(29)

berkesinambungan adalah delik yang terjadi karena meneruskan sesuatu yang dilarang.

e. Dilihat dari tindakan itu merupakan kebiasaan atau tidak

Delik yang merupakan kebiasaan adalah delik yang dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan sedangkan yang dimaksud dengan delik yang bukan kebiasaan adalah delik sebagai pekerjaan artinya satu perbuatan saja sudah cukup. Contoh : seorang dokter yang membuka praktek tanpa izin.

f. Dilihat dari hal-hal yang dapat memberatkan atau meringankan pidana Hal-hal yang dapat memberatkan pidana seperti pencurian dengan penganiayaan sehingga ancaman hukumannya dapat diperberat sedangkan hal-hal yang meringankan seperti pelaku langsung menyerahkan diri dan mengakui kesalahannya. Hal-hal seperti ini dapat dijadikan pertimbangan bagi seorang hakim dalam memutuskan perkara.

g. Dilihat dari bentuk kesalahan dari pelaku. Dibagi sebagai delik sengaja dan delik alpa.

h. Dilihat dari tindakan tersebut mengenai hak hidup negara, ketatanegaraan atau pemerintahan. Yang dimaksud dalam delik ini adalah adanya pembedaan antara delik umum dengan delik yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan.

i. Dilhat dari perbedaan subjek.

Dibagi menjadi delik khusus (delict propria) dan delik umum (commune delicten). Delik khusus (delict propria) adalah delik yang hanya dapat


(30)

dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kualitas tertentu seprti delik jabatan, delik militer dan lain-lain sedangkan delik umum (commune delicten) adalah delik yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa mensyaratkan adanya kualitas tertentu.

j. Dilihat dari cara penuntutan.

Dibagi menjadi dua, yaitu delik aduan (klacht delicten) dan delik tanpa aduan (gewone delicten). Yang dimaksud dengan delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut jika adanya pengaduan dari orang yang merasa dirugikan. Misalnya delik pers tentang pencemaran nama baik sedangkan delik tanpa aduan adalah delik yang dapat dituntut tanpa perlu menunggu adanya aduan dari pihak yang dirugikan. Misalnya delik pembunuhan.

Dengan melihat penjabaran dari bentuk-bentuk tindak pidana ditinjau dari hukum pidana islam dan hukum pidana positif, dapat disimpulkan bahwa pembagian bentuk tindak pidana pada tinjauan kedua hukum tersebut mempunyai persamaan, akan tetapi pembagian bentuk tindak pidana pada hukum pidana islam terlihat lebih ringkas dan lebih jelas dalam memahaminya dibandingkan pada hukum pidana positif.

Di dalam suatu tindakan ataupun perbuatan pasti ada unsur-unsur yang menyertainya. Keberadaan unsur-unsur ini sangat penting agar kita dapat menentukan apakah suatu perbuatan itu dapat disebut sebagai tindak pidana atau tidak. Menurut Ahmad hanafi dalam bukunya “Azas-Azas Hukum Pidana” menjelaskan bahwa unsur-unsur umum pada tindak pidana di dalam hukum pidana Islam ada tiga, yaitu :


(31)

1. Adanya nash yang melarang perbuatan dan mengancamkan hukuman terhadapnya atau disebut dengan unsur formal atau “Rukun Syar’i”.

2. Adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan-perbuatan nyata atau pun sikap tidak berbuat dan unsur ini disebut dengan unsur materiil atau “Rukun Maddi”.

3. Pembuat adalah orang mukallaf, yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya dan unsur ini disebut dengan unsur moril atau “Rukun Adabi”.

Ketiga unsur di atas harus ada di dalam suatu jarimah, akan tetapi akan ada juga penambahan unsur-unsur dalam tiap jarimah secara khusus sehingga unsur-unsur khusus ini berbeda-beda pada bilangan dan macamnya.

Menurut Simmons, unsur-unsur dari tindak pidana di dalam hukum pidana positif itu adalah :

1. diancam dengan pidana oleh hukum 2. bertentangan dengan hukum

3. dilakukan oleh orang yang bersalah

4. orang itu dipandang bertanggungjawab atas perbuatannya.14

Sedangkan menurut Prof. Moljatno unsur-unsur yang lahir dari suatu perbuatan adalah :

a. Kelakuan dan akibat

14


(32)

b. Hal ikhwal keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Contohnya dalam kejahatan yang dilakukan oleh pejabat negara. Kalau tidak ada pejabat negara maka tidak ada pula kejahatan pejabat negara.

c. Unsur-unsur yang memberatkan pidana. Contohnya seperti penganiayaan. Menurut Pasal 351 ayat (2) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan tapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka-luka berat maka akan diancam pidana penjara lima tahun.

d. Sifat melawan hukum dilihat dari perbuatannya atau objektif artinya perbuataannya sendiri sudah mencerminkan perbuatan melawan hukum tanpa harus dijelaskan lagi atau dibuat unsur-unsur lagi. Contohnya dalan hal pemberontakan. Dalam hal ini, pemberontakkan sendiri sudah sangat jelas melawan hukum sehingga tidak perlu dijelaskan lagi dengan kata-kata bahwa perbuatan ini melawan hukum.

e. Sifat melawan hukum dilihat dari pelakunya atau subjektif. Dalam hal ini yang dimaksud adalah niat atau maksud dari si pelaku. Misalnya pada tindak pidana pencurian, di dalam rumusan Pasal 362 KUHP unsur-unsur yang merujuk kepada niat dari si pelaku yang mencuri untuk bisa menguasai sebagian atau seluruhnya dari harta milik orang lain.

Jadi, dengan demikian bahwa unsur-unsur yang harus terdapat dalam suatu tindak pidana antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, pada dasarnya memiliki persamaan, yaitu ada aturan yang dilanggar, ada ancaman


(33)

hukuman dan si pelaku dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum.

C.Tujuan dan Sanksi Pidana

Pada setiap aturan hukum yang dilanggar pasti ada ancaman hukuman yang mengiringinya. Pada hukum pidana Islam, hukuman dimaksudkan untuk memelihara, menciptakan kemaslahatan manusia dan ditetapkan untuk memperbaiki tiap-tiap orang agar dapat menjaga masyarakatnya.

Tujuan pokok penjatuhan hukuman di dalam hukum pidana Islam ada tiga macam, yaitu sebagai berikut :

1. Pencegahan

(

ﺰ ا و عدﺮ ا

)

artinya menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimahnya atau agar ia tidak terus menerus melakukannya karena dia mengetahui hukuman terhadap jarimah tersebut. 2. Pengajaran serta pendidikan

(

ز او ﺻ ا) artinya memberikan

pelajaran bagi pelaku dan orang lain tentang suatu jarimah sehingga dapat menahan orang lain untuk tidak melakukannya. 15

Menurut Ahmad Hanafi dalam “Azas-Azas Hukum Pidana Islam” hukuman itu sendiri dapat dibagi menjadi beberapa penggolongan dilihat dari segi tinjauannya, yaitu :

1. Ditinjau dari segi hubungan antara satu hukuman dengan hukuman lain :

15


(34)

a. hukuman pokok (‘uqubah asliyah), yaitu hukuman asal bagi satu jarimah. Seperti hukuman potong tangan untuk pencurian.

b. hukuman pengganti (‘uqubah badaliyah), yaitu menggantikan hukuman pokok apabila hukuman pokoknya tidak dapat dilaksanakan karena alasan yang sah. Seperti hukuman diyat sebagai pengganti hukuman qisas.

c. hukuman tambahan (‘uqubah taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri seperti larangan menerima warisan bagi orang yang melakukan pembunuhan terhadap keluarganya.

d. hukuman pelengkap (‘uqubah takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti hukuman pokok dengan syarat ada keputusan tersendiri dari hakim dan syarat inilah yang membedakan antara hukuman tambahan dan hukuman pelengkap. Seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong di lehernya.

2. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam penentuan berat ringannya hukuman :

a. hukuman yang hanya mempunyai satu batas artinya tidak ada batas tertinggi atau terendahnya, seperti hukuman jilid sebaga hukuman had. b. hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah, dimana hakim

diberikan kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut.


(35)

a. hukuman yang telah ditentukan macam dan besarnya dan hakim harus melaksanakannya tanpa dikurangi ataupun ditambah atau bahkan diganti dengan hukuman yang lain. Hukuman ini dapat disebut dengan “hukuman keharusan” (‘uqubah lazimah).

b. Hukuman yang diserahkan kepada hakim untuk memilih sekumpulan hukuman yang telah ditetapkan oleh syara’ agar bisa disesuaikan dengan keadaan pembuat dan perbuatannya atau dapat disebut dengan “hukuman pilihan” (‘uqubah mukhayyarah).

4. Ditinjau dari segi sasaran/tempat dilaksanakannya hukuman :

a. hukuman badan artinya hukuman yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera, penjara dan lain-lain.

b. hukuman jiwa, yaitu hukuman yang dikenakan atas jiwa seseorang bukan badannya seperti menegur, ancaman.

c. Hukuman harta, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada harta seseorang seperti diyat, denda dan perampasan harta.

5. Ditinjau dari macamnya jarimah yang diancamkan hukuman :

a. hukuman hudud yaitu hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah atau tindak pidana hudud.

b. hukuman qisas-diyat, yaitu hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah qisas-diyat.

c. hukuman kifarat yaitu hukuman yang ditetapkan untuk sebagian jarimah qisas-diyat dan beberapa jarimah takzir.


(36)

d. hukuman ta’zîr yaitu hukuman yang ditetapkan untuk jarimah atau tindak pidana ta’zîr. Hukuman takzir ini dapat berupa hukuman kurungan, mati atau denda dan lain-lain serta merupakan kewenangan dari hakim dalam menentukannya.

Di dalam hukum pidana positif, terdapat beberapa fase yang terjadi sebelum munculnya teori mengenai tujuan hukuman. Fase-fase tersebut adalah :

1. Fase balasan perseorangan atau individu, pada fase ini penuntutan hukuman terletak pada keluarga korban atau walinya atas dasar naluri membalas terhadap orang yang telah menyerang mereka. Pada fase ini tidak terdapat batasan sehingga terkadang pembalasannya melebihi dari perbuatan yang telah dilakukan.

2. Fase balasan Tuhan, yang dimaksud adalah bahwa pelaku harus menebus kesalahannya dengan tujuan agar pelaku merasa kapok dan orang lain tidak meniru perbuatannya, akan tetapi fase ini menyebabkan terlalu mudahnya menetapkan hukuman mati atas orang lain sehingga unsur keadilannya tidak terjaga.

3. Fase kemanusiaan, pada fase ini sudah mulai diterapkan prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang dalam mendidik dan memperbaiki diri pelaku. Selain itu, juga muncul teori dari sarjana italia, Beccaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus dibatasi dengan keadilan dan kepentingan dan merupakan suatu kedzaliman jika suatu hukuman memlebihi apa yang diperlukan untuk melindungi masyarakat.


(37)

a. Hukuman mempunyai tugas dan tujuan ilmiah, yaitu melindungi masyarakat dari perbuatan jarimah dan mencegah seseorang untuk tidak mengulangi perbuatannya serta mencegah orang lain untuk meniru perbuatannya.

b. Penjatuhan hukuman harus berdasarkan pengamatan ilmiah dan praktis serta kenyataan yang terjadi, seperti faktor-faktor yang membuat pelaku melakukan jarimah.

c. Kegiatan masyarakat dalam menanggulangi jarimah selain kepada pelakunya juga kepada kondisi-kondisi yang menimbulkan jarimah tersebut.

5. Teori gabungan adalah teori yang muncul sesudah fase keilmuan dan teori inilah yang dipakai pada masa sekarang dalam penjatuhan hukuman. Teori gabungan ini adalah menyatukan teori tradisional yang berasaskan pikiran tentang keadilan dan kebebasan seseoarng dengan teori baru yang mendasarkan hukuman atas pembelaan masyarakat akibat jarimah-jarimah tersebut. Menurut teori tersebut, hukuman itu mempunyai dua tugas :

a. Mewujudkan prinsip keadilan yang menghendaki agar dalam penjatuhan hukuman tidak boleh melebihi besar dan bahaya dari jarimah itu sendiri.


(38)

b. Membela masyarakat dengan cara mendasarkan hukuman pada kecondongan pelaku melakukan jarimah serta keadaannya yang membahayakan.16

Adanya sanksi merupakan wujud dari norma hukum. Keberadaan sanksi adalah sebagai alat pemaksa agar seseorang mentaati norma-norma yang berlaku.17 Tujuan dari adanya sanksi adalah :

1). Alat pemaksa, pendorong atau jaminan agar norma hukum ditaati oleh semua orang.

2). Merupakan akibat hukum bagi orang yang melanggar norma hukum.18 Keberadaan sanksi merupakan senjata pamungkas dalam menjaga ketertiban di dalam masyarakat. Adanya suatu pelanggaran atau kejahatan maka penentuan sanksi akan disesuaikan dengan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut. Penentuan ini diserahkan kepada negara dan dalam hal ini adalah hakim. Sanksi dalam pidana menurut Pasal 10 KUHP dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Pidana Pokok

1. pidana mati, pidana ini adalah pidana terberat diantara semua pidana. Pidana ini diancamkan atas kejahatan yang sangat berat, seperti pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP) dan pencurian dengan kekerasan (pasal 365 ayat (4)).

16

Ahmad Hanafi, M.A, op.cit , h. 192

17

S.R Sianturi, Ibid , h. 28

18


(39)

2. pidana penjara, adalah hukuman yang membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang. Hukuman penjara ini lebih berat daripada hukuman kurungan karena diancamkan atas berbagai kejahatan. Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum penjara seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

“(1). Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu (2). Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

(3). Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residivie) atau karena yang ditentukan dalam pasal 52 dan 52 a (L.N. 1958 no. 127)

(4). Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun”.

3. pidana kurungan adalah hukuman yang lebih ringan daripada hukuman penjara karena merupakan ancaman untuk pelanggaran atau kejahatan karena kelalaian. Lamanya hukuman kurungan dibatasi paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun.

4. denda, hukuman denda ini dapat diancamkan selain pada pelaku pelanggaran juga diancamkan pada pelaku kejahatan yang adakalanya sebagai alternatif atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan minimum dua puluh lima sen dan jumlah maksimumnya tidak ada ketentuannya. Hukuman denda ini dapat dilunasi oleh siapa pun, baik dari pihak keluarga ataupun kenalan.


(40)

Pidana tambahan adalah hukuman yang hanya dapat dijatuhkan bersamaan dengan hukuman pokok dan hakim tidak mempunyai kewajiban untuk menjatuhkannya.

1. pencabutan hak-hak tertentu, hal ini diatur dalam pasal 35 KUHP yang berbunyi :

“(1). Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam Kitab Undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah :

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu 2. Hak memasuki angkatan bersenjata

3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum.

4. Hak menjadi penasehat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechetelijk bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri;

5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;

6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.

(2). Hakim tidak wenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, jika dalam aturan-aturan khusus ditentukan penguasa lain untuk pemecatan itu”.

Lamanya pencabutan hak tersebut diserahkan kepada keputusan hakim. 2. perampasan barang-barang tertentu adalah perampasan barang hasil

kejahatan atau barang milik terpidana yang digunakan untuk melaksanakan kejahatannya. Hal ini diatur dalam pasal 39 KUHP :

“(1). Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. (2). Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja atau karena pelanggaran dapat juga dirampas seperti di atas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang (3). Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan kepada Pemerintah tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita”.


(41)

3. pengumuman putusan hakim, bertujuan untuk memberitahukan kepada seluruh masyarakat agar masyarakat dapat lebih berhati-hati terhadap si terhukum dan prosedurnya diatur di dalam KUHP pasal 43, yaitu :

“Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan Kitab Undang-undang ini atau aturan-aturan umum lainnya, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu atas biaya terpidana”.


(42)

BAB III

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

A. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Pembunuhan termasuk ke dalam dosa besar karena pembunuhan berarti tindakan yang membuat orang lain kehilangan nyawanya. Di dalam sejarah kehidupan umat manusia, pembunuhan pertama dilakukan oleh Qabil terhadap Habil. Keduanya adalah anak dari Nabi Adam a.s. Peristiwa tersebut dijelaskan oleh Allah di dalam Q.S Al-Maidah ayat 27-31 :

☺ ☺

⌧ ⌧


(43)

) ﺪﺋﺎ ا : -(

Artinya : “(27). Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". berkata Habil: "Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa.(28). Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam.(29). Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim.(30). Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.(31). kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana seharusnya menguburkan mayat saudaranya. berkata Qabil: "Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang menyesal”. (Q.S Al-Maidah : 27-31)

Allah S.W.T melarang tindakan pembunuhan dan ini terlihat dalam beberapa firman Allah. Seperti :

⌧ ⌧ ☯ ) مﺎ ا : (


(44)

Artinya : “Jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak…”. (Q.S. Al-An’am : 151)

Dan juga firman Allah lainnya :

⌧ ☺

) ءﺎ ا : (

Artinya : “Tidak boleh seorang mukmin membunuh orang mukmin kecuali karena tersalah…”. (Q.S An-Nisa’ : 92)

Sebagai tindakan pidana yang dilakukan pertama kali antar umat manusia, Allah menetapkan hukuman yang sangat tegas, seperti yang dijelaskan pada ayat berikut:

و

☺ ☺

) ﺪﺋ ﺎ ا : (

Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka pun ada qishash….”. (Q.S Al-Maidah : 45) Dilihat dari ayat di atas, selain menjelaskan tentang bagaimana tegasnya Allah menetapkan hukuman dalam tindakan pidana ini juga secara tidak langsung juga menjelaskan bahwa hukuman yang setimpal dalam tindak pidana pembunuhan tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an tetapi juga terdapat pada kitab suci lainnya bahkan mungkin didalam seluruh agama di


(45)

dunia ini dan hal ini juga menyiratkan bahwa hukuman yang ditetapkan dalam tindak pidana ini yaitu qishash dianggap paling adil untuk menghargai jiwa manusia yang sudah diambil atau dihilangkan nyawanya oleh orang lain.

Dalam bahasa arab, pembunuhan disebut

ا

dari kata

"

"

yang bersinonim

تﺎ ا

yang artinya mematikan.

Sedangkan mengenai pengertian dari pembunuhan itu sendiri, Abdul Qadir Al-Audah mengartikannya sebagai berikut :

ا

ﻮه

ا

د

أ

ﻰ د

أ

حور

ق

ﺎهزإ

أ

ىأ

ةﺎ ا

لوﺰ

د

أ

Artinya : ”Pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan kehidupan yakni pembunuhan itu dalah menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia yang lain”.19

Pengertian pembunuhan menurut Zainuddin Ali adalah suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dan/atau beberapa orang yang mengakibatkan seseorang dan/atau beberapa orang meninggal dunia.20

Tindak pidana pembunuhan, di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana termnasuk ke dalam kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain.21 Pembunuhan sendiri berasal dari kata bunuh yang berarti mematikan, menghilangkan nyawa. Membunuh artinya membuat supaya mati. Pembunuh artinya orang atau alat yang membunuh dan pembunuhan berarti

19

Audah, Abd Al-Qadir, At-Tasyri’ Al-Jinaiy Al-Islamiy, (Beirut : Dar Al-Kitab Al-Arabi, tanpa tahun), h. 6

20

Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2007), h. 24

21

Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa,( Jakarta, P.T RajaGrafindo Persada, 2002), h. 55.


(46)

perkara membunuh, perbuatan atau hal membunuh. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai pembunuhan adalah perbuatan oleh siapa saja yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain. 22

Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pembunuhan pada dasarnya adalah suatu perbuatan seseorang yang dapat mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, terlepas dari unsur kesengajaan atau tidak.

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Pembunuhan

Suatu perbuatan tindak pidana tidak hanya mengenai satu tindakan tetapi dapat menjdi berbagai macam jenis tergantung dari unsur-unsur yang terdapat di dalam perbuatan tersebut.

Tindak pidana pembunuhan di dalam hukum pidana islam dapat dibagi ke dalam tiga jenis, yaitu :

1. Pembunuhan sengaja yaitu suatu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang dengan maksud untuk menghilangkan nyawanya. Pembunuhan sengaja ini merupakan perbuatan yang haram dan Allah berfirman :

⌧ ⌧ )

أﺮ ﺋ ا : (

22


(47)

Artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara dzalim maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”. (Q.S Al-Isra’ : 33)

Dan bahkan Allah pun menyatakan bahwa seseorang yang membunuh orang lain sama dengan dia membunuh seluruh manusia dalam salah satu firman-Nya : ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ) ﺪﺋ ﺎ ا : (

Artinya :”Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barangsiapa membunuh seorang manusia bukan karena bukan karena orang itu (membunuh) yang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa memelihara kehidupan seseorang, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya”. (Q.S Al-Maidah : 32)

Nabi Muhammad S.A.W dalam haditsnya menyatakan sebagai berikut :

ﺔ آ

طﺮ

ءﺮ ا

ن

ﺎ ا

ا

ﺎ ﻮ ﻜ

ﷲا

ﺔ ر

ﷲا

) ا ﻰ ﻬ ا اور (


(48)

Artinya : “Barangsiapa menolong atas pembunuhan terhadap seorang muslim dengan sepatah kata, maka (di akhirat) bertemu Allah dengan dahi bertuliskan ‘Orang yang putus asa dari rahmat Allah’”. (H.R Baihaqi dari Ibn Umar).

Unsur-unsur yang terdapat pada pembunuhan sengaja adalah :

a. Korban adalah orang yang hidup, artinya adalah bahwa korban itu adalah manusia yang hidup ketika terjadi pembunuhan walaupun dia sedang sakit parah. Menurut Drs. H. Ahmad Wardi Muslich di dalam buku “Hukum Pidana Islam”, selain syarat bahwa korban itu hidup juga ditambahkan bahwa korban adalah orang yang mendapatkan jaminan keselamatan oleh negara artinya korban merupakan seorang warga negara yang dilindungi.

b. Perbuatan si pelaku yang mengakibatkan kematian korban artinya perbuatan yang dilakukan oleh si pelakulah yang menyebabkan kematian. Hubungan antara kematian dan perbuatan seseorang ini juga harus jelas menerangkan bahwa akibat dari perbuatan seseorang tersebut adalah kematian bagi orang lain begitu juga sebaliknya dan jika kaitan diantaranya terputus maka pelaku dapat dianggap tidak dengan sengaja menbunuh dan menyebabkan penjatuhan hukuman yang berbeda.

Selain itu juga berhubungan dengan alat yang digunakan. Yang dimaksud dengan alat disini adalah alat yang pada umumnya dapat mematikan sedangkan menurut Imam Malik, setiap cara atau alat yang


(49)

mengakibatkan kematian dianggap sebagai pembunuhan jika dilakukan dengan sengaja.

c. Ada niat dari si pelaku untuk menghilangkan nyawa korban. Menurut para ulama niat memegang peranan yang sangat penting dalam pembunuhan sengaja dan karena niat itu tidak terlihat maka dapat diperkirakan niat dari si pelaku melalui alat yang digunakan.

2. Pembunuhan semi sengaja yaitu perbuatan penganiayaan terhadap seseorang tidak dengan maksud membunuhnya tetapi malah mengakibatkan kematian. Ada tiga unsur dalam tindak pidana pembunuhan jenis ini adalah :

a. Pelaku melakukan sesuatu dalam bentuk apa pun yang mengakibatkan kematian korban.

b. Ada maksud penganiayaan atau permusuhan, artinya pada dasarnya pelaku tidak berniat atau bermaksud walaupun dia menyakiti korban. c. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian

si korban, yaitu penganiayaan yang dilakukan si pelaku telah menyebabkan kematian korban secara langsung atau merupakan sebab yang membawa kematiannya.

3. Pembunuhan karena kesalahan. Pada dasarnya, unsur-unsur yang terdapat di dalamnya adalah :


(50)

b. Terjadinya perbuatan karena kesalahan. Ukuran kesalahan di dalam hukum pidana Islam adalah kelalaian atau kurang hati-hati atau merasa tidak akan terjadi apa-apa.

c. Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan kesalahan dengan kematian korban. Harus dapat dicari hubungan yang dapat menerangkan bahwa kematian korban akibat dari kesalahan pelaku. Dalam tindak pidana jenis ini ada tiga kemungkinan, yaitu :

i. Bila si pelaku pembunuhan sengaja melakukan suatu perbuatan dengan tanpa maksud melakukan suatu kejahatan tetapi mengakibatkan kematian seseorang. Kesalahan seperti ini disebut salah dalam perbuatan (error in concrito).

ii. Bila si pelaku sengaja melakukan perbuatan dan mempunyai niat membunuh seseorang yang dalam persangkaannya boleh dibunuh namun ternyata orang tersebut tidak boleh dibunuh, misalnya sengaja menembak seseorang yang disangka musuh dalam peperangan tetapi ternyata adalah kawan sendiri. Kesalahan ini disebut salah dalam maksud (error in objecto).

iii. Bila si pelaku tidak bermaksud melakukan kejahatan tetapi akibat kelalaiannya dapat menimbulkan kematian, seperti seseorang terjatuh dan menimpa bayi yang berada di bawahnya hingga mati. 23 Di dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa ini dikelompokkan atas 2 dasar, yaitu : atas dasar

23


(51)

kesalahannya dan atas dasar objeknya (nyawa). Atas dasar kesalahannya, dapat dibagi menjadi :

1. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven) .

pembunuhan dalam bentuk sengaja ini dapat dibagi lagi menjadi 7 jenis, yaitu :

a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338) dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Unsur-unsurnya terdiri dari :

1). Unsur objektif : perbuatannya adalah menghilangkan nyawa dan objeknya adalah nyawa orang lain

2). Unsur subjektif : dengan sengaja

b. Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain (pasal 339) dengan ancaman penjara seumur hidup atau penjara 20 tahun. Unsur-unsur yang terdapat pada pembunuhan jenis ini adalah : 1). Semua unsur yang ada pada pembunuhan biasa dalam bentuk

pokok.

2). Yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana lain

3). Pembunuhan dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan, mempermudah pelaksanaan tindak pidana lain dan jika tertangkap tangan bertujuan untuk menghindarkan diri sendiri ataupun orang lain yang ikut terlibat atau untuk memastikan penguasaan benda yang didapatkannya dengan cara melawan hukum.


(52)

c. Pembunuhan Berencana (pasal 340) diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Unsur-unsurnya adalah :

1). Unsur objektif : perbuatannya adalah menghilangkan nyawa dan objeknya adalah nyawa orang lain

2). Unsur subjektif : dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

d. Pembunuhan bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan oleh ibunya.

Dalam pembunuhan jenis ini dapat dibagi lagi menjadi 2 macam, yaitu pembunuhan bayi biasa atau yang tidak direncanakan dan pembunuhan bayi yang direncanakan. Pada dasarnya, unsur-unsur yang terdapat pada kedua macam pembunuhan bayi tersebut adalah sama dengan pelaku adalah ibunya, objeknya adalah nyawa bayi, motifnya adalah karena takut ketahuan dan dilakukan dengan sengaja. Hal yang membedakannya adalah pada pembunuhan bayi dengan berencana maka adanya suatu keputusan yang telah diambil sebelumnya yaitu membunuh bayi itu.

e. Pembunuhan atas permintaan korban (pasal 344) diancam dengan pidana penjara 12 tahun. Unsur-unsurnya adalah :

1). Perbuatannya adalah menghilangkan nyawa 2). Objeknya adalah nyawa orang lain

3). Atas permintaan dari korban itu sendiri


(53)

f. Pembunuhan berupa penganjuran atau pertolongan pada bunuh diri (pasal 345), diancam dengan pidana penjara 4 tahun kalau orang tersebut jadi bunuh diri. Unsur-unsurnya adalah :

1). Unsur objektif : perbuatannya adalah mendorong, menolong atau memberikan sarana kepada orang untuk bunuh diri dan kemudian orang tersebut jadi bunuh diri. 2). Unsur subjektif : dengan sengaja

g. Pembunuhan kandungan atau pengguguran (pasal 346-349). Dilihat dari subjek hukumnya maka pembunuhan jenis ini dapat dibedakan menjadi :

1). Yang dilakukan sendiri (pasal 346) diancam penjara 4 tahun

2). Yang dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya (pasal 347) atau tidak atas persetujuannya (pasal 348)

3). Yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu seperti dokter, bidan dan juru obat baik atas persetujuannya ataupun tidak.

2. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja (culpose misdrijven) terdapat pada pasal 359 dengan unsur-unsur sebagai berikut : a. adanya unsur kelalaian atau culpa dalam bentuk kekurang hati-hatian. b. adanya wujud perbuatan tertentu


(54)

d. adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dan akibat kematian orang lain.24

Sedangkan atas dasar objeknya, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. kejahatan terhadap nyawa orang pada umumnya, dimuat pada pasal 338-340 dan pasal 344-345.

2. kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat pada pasal 341-343.

3. kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada di dalam kandungan Ibu atau janin, dimuat pada pasal 346-349.

C. Sanksi Tindak Pidana Pembunuhan

Sanksi dari tindak pidana pembunuhan di dalam hukum pidana islam ada beberapa jenis. Garis besarnya adalah hukuman itu terdiri dari hukuman pokok, hukuman pengganti dan hukuman tambahan. Hukuman pokok pada tindak pidana pembunuhan adalah qisas. Apabila dimaafkan oleh keluarga korban, maka hukuman penggantinya adalah diyat dan jika sanksi qishash atau diyat itu dimaafkan maka akan ada hukuman takzir dan hukuman tambahan yang dimaksud adalah seperti pencabutan hak waris.

Hukuman yang dijatuhkan untuk masing-masing jenis pembunuhan juga berbeda, yaitu sebagai berikut :

1. Hukuman Pembunuhan Sengaja

24


(55)

Hukuman pokoknya adalah qisas atau balasan setimpal. Yang dimaksud dengan balasan setimpal adalah perbuatan yang mengakibatkan kematian maka balasannya juga kematian. Hal ini berdasarkan firman Allah S.W.T pada Q.S Al-Baqarah ayat 178-179 :

⌦ ⌧

☺ ☺

) ا : (

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman ditetapkan atasmu qishash dalam pembunuhan, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan perempuan dengan perempuan. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.(178). Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hari orang-orang yang berakal supaya kamu bertakwa.(179)”. (Q.S Al-Baqarah : 178-179)

Apabila qisas tidak dilaksanakan baik karena tidak memenuhi syarat-syarat pelaksanaannya maupun mendapatkan maaf dari keluarga korban maka hukuman penggantinya adalah dengan membayar diyat berupa 100


(56)

(seratus) ekor unta kepada keluarga korban. hal ini sesuai dengan hadits Nabi Muhammad S.A.W kepada penduduk Yaman :

ناو

لﻮ ا

ءﺎ وا

ﻰ ﺮ

نا

ا

دﻮ

ﺎ ﺆ

ﻂ ْ ا

ﱠنأ

ا

ﺔ ﺪ ا

ا

ﺔﺋ

). دودﻮ ا ارو ,

ئﺎ ا , ﺰﺧ ا ,

ﺪ اونﺎ ا (

Artinya : “Sesungguhnya barangsiapa yang membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang sah dan ada saksi, ia harus diqishash kecuali apabila keluarga korban merelakan (memaafkannya) dan sesungguhnya dalam menghilangkan nyawa harus membayar diyat berupa seratus ekor unta”. (H.R Abu Daud, Al-Nasa’i, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ahmad )

Walaupun sudah ada hukuman pengganti yang berbentuk diyat namun dalam pelaksanaannya diserahkan kembali kepada keluarga korban, apakah akan menuntut hukuman diyat itu atau tidak namun pelaku akan tetap dikenai hukuman tambahan atau kifarat yang merupakan hak dari Allah.

Bentuk pertama dari hukuman kifarat ini adalah memerdekakan hamba sahaya dan bila tidak melakukannya maka wajib menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut dan hukuman kedua dari kifarat ini adalah kehilangan hak mewarisi dari yang dibunuhnya. Sesuai dengan hadits Nabi :

ءْ

ثاﺮ ا

) ﻰ ﻄ راﺪ اوئﺎ ا ارو (

Artinya : “Si pembunuh tidak boleh mewarisi harta orang yang dibunuhnya”. (H.R An-Nasa’I dan Daruquthni)


(57)

Hukuman pokoknya adalah diyat mughalladzah artinya diyat yang diperberat. Dasar dari hukuman diyat mughalladzah ini adalah :

ﺎهد وأ

ﺎﻬ

ﻮﻄ

نْﻮ

ْرأ

ﺎﻬ

ﻹا

ﺔﺋ

ﺪ ا

و

ﺈﻄ ا

ﺔ د

نإ

أ

)

ن

ا

و

اﻮىﺋ

ﺎ اودوادﻮ أ

ﺮ أ

(

Artinya :”Ingatlah, sesungguhnya diyat kekeliruan dan menyerupai sengaja yaitu pembunuhan dengan cambuk dan tongkat adalah seratus ekor unta, diantaranya empat puluh ekor yang di dalam perutnya ada anaknya (sedang bunting)”. (H.R Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

Perbedaan antara diyat pembunuhan sengaja dengan pembunuhan semi sengaja terletak pada pembebanan dan waktu pembayaran. Pada pembunuhan sengaja, diyat dipikul oleh pelaku sendiri dan pembayarannya tunai sedangkan pada pembunuhan semi sengaja, diyat dibebankan kepada keluarga pelaku atau aqilah dan pembayarannya dapat diangsur selama tiga tahun.

Hukuman kifarat terhadap pembunuhan semi sengaja adalah memerdekakan hamba sahaya dan dapat diganti dengan berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Jika hukuman diyat gugur karena adanya pengampunan maka pelaku akan dikenakan hukuman takzir yang diserahkan kepada hakim yang berwenang sesuai dengan perbuatan si pelaku. Hukuman tambahan pada pembunuhan semi sengaja sama dengan hukuman tambahan pada pembunuhan sengaja, yaitu tidak dapat mewarisi dari orang yang telah dibunuhnya.


(58)

Hukuman pokok yang dijatuhkan adalah diyat mukhaffafah, yaitu diyat yang diperingan. Keringanan tersebut dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu :

a. Kewajiban pembayaran dibebankan kepada aqilah (keluarga). b. Pembayaran dapat diangsur selama tiga tahun

c. Komposisi diyat dibagi menjadi lima kelompok : - 20 ekor anak sapi betina, berusia 1-2 tahun - 20 ekor sapi betina yang sudah besar - 20 ekor sapi jantan yang sudah besar

- 20 ekor unta yang masih kecil, berusia 3-4 tahun - 20 ekor unta yang sudah besar, berusia 4-5 tahun

Hukuman pokok lainnya adalah dengan memerdekakan hamba sahaya atau diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut dan hukuman tambahan adalah tidak dapat mewarisi harta dari orang yang telah dibunuhnya walaupun pembunuhannya karena kesalahan.

Sanksi dalam pembunuhan pada hukum pidana positif adalah sebagai berikut : 1. Pembunuhan Sengaja, dalam bentuk umum atau pokok diatur dalam

pasal 338 KUHP :

“Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”. 2. Pembunuhan Berencana, diatur dalam pasal 340 KUHP :

“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.


(59)

3. Pembunuhan Tidak dengan Sengaja. Diatur dalam pasal 359 KUHP: “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.

Di dalam hukum pidana positif, tindak pidana pembunuhan juga merupakan suatu bentuk kejahatan yang serius. Hal ini dapat dilihat dari ancaman hukuman dari ketiga bentuk tindak pidana tersebut.

Pembunuhan sengaja merupakan bentuk umum, pokok atau biasa dari suatu tindak pidana pembunuhan sedangkan pembunuhan berencana, sangat terkait dengan batin dari si pelaku. Pada dasarnya, istilah direncanakan terlebih dahulu adalah suatu pengertian yang harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut :

a. Pengambilan keputusan untuk berbuat atas sesuatu dilakukan pada suasana hati yang tenang.

b. Dari sejak adanya keputusan atau kehendak akan berbuat sesuatu sampai pada pelaksanaan ada tenggang waktu yang cukup yang dapat dipergunakan untuk berpikir kembali.

c. Dalam melaksanakan perbuatannya, dilakukan dalam suasana hati yang tenang. Artinya ketika melakukan perbuatan dalam kondisi yang tidak dipengaruhi oleh emosi dan tidak tergesa-gesa.25

Pada pembunuhan berencana ini, ancaman hukumannya lebih berat karena kembali pada niat dan kesiapan pelaku dalam melakuakan semuanya.

25


(60)

Tenggang waktu yang ada merupakan suatu kesempatan bagi pelaku untuk meneruskan atau tidak dan ketika pelaku memilih untuk tetap melanjutkan maka ancaman hukumannya pun lebih berat, sedangkan pada pembunuhan tidak disengaja, terdapat unsur-unsur sebagai berikut : adanya kelalaian, adanya wujud perbuatan tertentu, mengakibatkan kematian orang lain dan adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan kematian orang lain tersebut. Hal yang paling membedakan antara pembunuhan tidak sengaja dengan dua bentuk pembunuhan lainnya adalah tidak adanya niat dari si pelaku untuk mengakibatkan matinya seseorang dan juga adanya unsur kelalaian sehingga menyebabkan ancaman hukumannya pun jauh lebih ringan daripada dua bentuk pembunuhan lainnya.

Melihat penjabaran di atas maka dapat dikatakan bahwa penerapan sanksi pada hukum pidana islam bertujuan untuk memberikan keadilan bagi keluarga korban dan juga ketenangan baik untuk keluarga korban maupun masyarakat lainnya. Oleh karena itu, penjatuhan hukuman kepada pelaku pembunuhan berada di tangan keluarga atau wali korban, sebagai pihak yang paling dirugikan yang ketentuannya sudah diatur di dalam Al-Qur’an dan Hadits sedangkan walaupun tujuan umum dari sanksi di dalam hukum pidana positif adalah sebagai alat untuk membalas akan tetapi dengan ancaman pidana penjara paling lama lima belas tahun membuat tujuan tersebut tidak tercapai karena penjatuhan hukuman tersebut berada di tangan hakim yang justru, kadang keputusannya membuat keluarga korban tidak mendapatkan


(61)

keadilan sebagaimana mestinya dan kehidupan masyarakat pun menjadi terganggu.


(62)

BAB IV

TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK OLEH ORANG TUANYA

MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

DAN HUKUM PIDANA POSITIF A. Anak dan Kedudukannya

1. Pengertian Anak dan Hubungan antara Orang Tua dengan Anak Anak di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia mempunyai bermacam-macam batasan. Hal ini dikarenakan, hukum positif di Indonesia melihat batasan pengelompokkan anak dari segi umur. Di dalam KUHP, seseorang tidak dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya ketika belum berumur 16 tahun, seperti yang terdapat pada pasal 45 KUHP:

“Dalam menuntut orang yang belum cukup umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum berumur enam belas tahun, hakim dapat menentukan :

Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, tanpa pidana apa pun, yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497,503, 505, 514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap, atau menjatuhkan pidana.”

Melihat dari isi pasal di atas, KUHP menganggap bahwa seseorang yang belum berumur 16 tahun ke atas dapat disebut anak karena tidak dapat dimintai pertanggungjawabannya atas tindak pidana yang dia lakukan.


(63)

Di dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, pengertian anak terdapat pada pasal 1 nomor 2 :

“Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin”.

Adanya Konvensi Hak Anak telah menghasilkan kesepakatan mengenai batas umur seorang anak ditetapkan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di dalam undang-undang tersebut, pengertian anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian ini terdapat pada pasal 1, nomor 1 sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian anak pada hukum positif adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada di dalam kandungan. Artinya secara tidak langsung, hukum positif menaruh perhatian pada anak bahkan menghargai calon anak yang masih di dalam kandungan karena sudah sangat dianggap keberadaan hidupnya.

Anak berasal dari sebuah keluarga. Keluarga adalah lembaga terkecil di dalam masyarakat dan dari sanalah seorang anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya. Pada intinya, keluarga berasal dari adanya suami dan isteri yang akhirnya memegang peranan sebagai orang tua. Kalau dikatakan di awal bahwa keluarga sebagai lembaga dimana seorang anak mendapatkan pendidikan untuk pertama kalinya maka orang tua adalah pihak yang paling utama dan bertanggung jawab dalam mengemban tugas tersebut. Hubungan antara orang tua dan anak pada


(64)

dasarnya adalah hubungan yang tidak akan pernah putus. Ini merupakan hubungan seumur hidup. Oleh karena itu, kedua pihak di dalam hubungan ini, yaitu orang tua dan anak dapat menjaga dan saling menghormati keberadaan masing-masing.

Di dalam hukum pidana islam, pengelompokkan anak selain dilihat dari faktor usia juga dari cara berpikirnya. Pengelompokkan tersebut dimulai dengan melihat dari dua unsur dari pertanggungjawaban pidana, yaitu kemampuan berpikir (idrak) dan pilihan (ikhtiyar). Adanya kedua unsur inilah yang membentuk pertanggungjawaban pidana. Ketika kekuatan berpikir tidak ada pada seseorang maka tanggung jawab pidananya pun tidak ada26.

Kedua unsur ini juga yang menjadi dasar dari penetapan fase-fase yang dilalui oleh manusia dari sejak lahir sampai dengan usia dewasa, yaitu :

a. Fase pertama : fase tidak adanya kemampuan berpikir (idrak).

Menurut para fukaha, fase ini dimulai dari sejak lahir dan berakhir pada saat usia 7 (tujuh) tahun. Pada fase, seseorang dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk berpikir dan disebut dengan anak yang belum mumayyiz walaupun pada kenyataannya, tamyiz tidak terbatas pada usia tetapi juga dipengaruhi dengan lingkungan, pengaruh keluarga dan lain-lain. Pembatasan dengan menggunakan usia 7 tahun agar bisa berlaku pada semua orang.

26


(1)

(Diyat Mughallazah) awal.(Ps. 351)

UU No. 23 tahun 2002 Perlindungan Anak, Ps. 80 (3) : 10 tahun penjara dan/atau denda Rp. 200.000.000,-

Diperberat sepertiga, jika pelaku orang tuanya (Ps. 80 ayat 4)

B. Saran-saran

1. Kepada pemerintah, diharapkan perhatiannya untuk tindak pidana pembunuhan ini karena ini merupakan gambaran sudah betapa rusaknya dan susahnya kehidupan rakyatnya sehingga banyak orang tua yang membunuh anaknya hanya karena masalah sepele ataupun karena terhimpit masalah ekonomi.

2. Untuk para aparat hukum di Indonesia, dengan banyaknya peraturan yang mengatur tentang pembunuhan anak oleh orang tuanya seharusnya dapat memudahkan para aparat hukum untuk menjerat pelakunya dan tidak perlu dijerat dengan pasal-pasal pidana umum karena dalam tindak pidana ini sudah ada undang-undang khususnya.

3. Kepada para hakim, jaksa dan pengacara hendaknya lebih teliti lagi dalam memeriksa kasus-kasus yang berhubungan dengan pembunuhan anak.


(2)

Hanya karena pelaku adalah orang tuanya sendiri, jangan selalu dikaitkan dengan kondisi kejiwaan karena pada dasarnya manusia dalam hidup selalu mempunyai kesadaran untuk memilih jalan hidupnya. Para hakim juga harus berani untuk menyatakan bahwa ada kalanya masalah kejiwaan tidak ada hubungannya dengan tindak pidana ini.

4. Kepada seluruh elemen masyarakat, hendaknya lebih peka lagi dan saling menolong terhadap sesama guna menghindari tindak pidana pembunuhan anak oleh orang tuanya ini. Perkuat rasa solidaritas dan pembinaan agama di dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim.

Al-Husaini, Al-Imam Taqiyyudin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar Jilid III, Surabaya : P.T Bina Ilmu, 1997.

Al-Minawi, Kawter, The Child Rights in Islam, Riyadh : Safir Press, 1992.

Al-Zuhayly, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islamiy wal Adillatuhu, Dar Al-Fikr, tanpa tahun. Ahmad Al-Barry, Zakariya, Hukum Anak-Anak dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,

1977.

Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Alwi Al-Maliky, Muhammad, Rumah Tangga Muslim, Semarang : Mujahidin, 1981. Audah, Abd Qadir, At-Tasyri’ Jinaiy Islamiy, Beirut : Dar Kitab

Al-Arabi, tanpa tahun.

Chazawi, Adami, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa, Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 2002, Cet II.


(3)

CD Maktabah Syamilla.

Djazuli, H.A, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 1997.

Do’I, A. Rahman. I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 2002.

Gosita, Arief, Masalah Perlindungan Anak, Jakarta : Akademika Press Indo, 1985. Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia, Bandung : Alumni, 1992.

Hamzah, Andi, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2004, Cet ke 4. Hanafi, Ahmad, M.A, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : PT. Bulan Bintang,

2005, Cet ke 5.

Kansil, C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986, Cet ke 3.

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, kumpulan kuliah, Jakarta : Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun.

Lamintang, P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : P.T Citra Aditya Bakti, 1997.

Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqasidu Syari’ah Menurut Al-Syatibi, Jakarta : P.T Raja Grafindo Persada, 1996.

Joni,Muhammad, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung : P.T Citra Aditya Bakti, 1999.

Manzur, Ibnu, Lisan al-Arab, al-Qahirah : Dar al-Hadits, 2003, Jilid 9. Moeljatno, Prof, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Pustaka Cipta, 2002.

Muhyidin, Muhammad, Bijak Mendidik Anak dan Cerdas Memahami Orang Tua, Jakarta : P.T Lentera Basritama, 2003.

Mulyadi, Lilik, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta : Djambatan, 2007, Cet 2.


(4)

Prodjodikoro, Wirjono, Tindak-tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung : P.T Refika Aditama, 2003.

Setiardja, Gunawan, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta : Kanisius, 1990.

Setyowati Soemitro, Irma, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Jakarta : Bumi Aksara,1990.

Sianturi, S.R, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1996.

Siregar, Bismar, Hukum dan Hak-Hak Anak, Jakarta : C.V Rajawali, 1985. Soeroso, R, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, Cet 8. Soetodjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung : P.T Refika Aditama, 2006. Sudarsono, Prof, Hukum Kekeluargaan Nasional, Jakarta : P.T Rineka Cipta, 1991. Sulistiani, Lies. dkk, Laporan Penelitian “Implementasi Konvensi Hak Anak dalam

Hukum Positif Indonesia”, Bandung : Pusat Penelitian Perkembangan Hukum dan Dinamika Sosial Lembaga Penelitian Unversitas Padjajaran, 2002.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : P.T RajaGrafindo Persada, 2006.

Suma, Muhammad Amin. dkk. Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2001, Cet. I.

Syarifuddin, Amir, Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta : Prenada Media, 2003.

TM, Fuaduddin, Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam, Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Jender dan Perserikatan Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation,1999.

Tsalisah, Tim, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam II dan IV, P.T Kharisma Ilmu, tanpa tahun.

Ulfah Anshor, Maria, Fikih Aborsi : Wacana Penguatan Hak Reproduksi Perempuan, Jakarta : Buku Kompas, 2006.

Wardi Muslich, Ahmad, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.

Zuhri, Minan, Kitab Syari’at Islam (Bahasa Indonesia), Kudus : Menara Kudus, 1985.


(5)

Ihsan, Muhammad, Skripsi “Tindakan Kriminalitas Anak dalam Melakukan Kejahatan Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri, 2005.

Uluwan, Ahmad, Skripsi “Tindak Pidana Pembunuhan yang dilakukan oleh Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif”, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Universitas Islam Negeri, 2004.

Wahyudi, Dodi, Skripsi “Pembunuhan Massal Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Unversitas Islam Negeri, 2004.

Yuliati, Roswita, Skripsi “Analisa Hukum Islam Tentang Hukuman Seumur Hidup Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan”, Jakarta : Fakultas Syari’ah dan Hukum. Unversitas Islam Negeri, 2005.

http://www.faqihzamanih.net/buletin_16.htm, Tanwirul Afkar, “Orang Tua Biadab…! Jangan Bunuh Anakmu”. Diakses pada tanggal 11 Januari 2008, Jam 01.00 WIB.

http://kompas.com/kompas-cetak/0310/09/metro/613973.htm. Kompas, “Media Menjadi Model Kekerasan Terhadap Anak”. Diakses pada tanggal 9 November 2007.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0505/10/slo24.htm. Suara Merdeka, “Pembunuhan Anak Tiri Direkonstruksi”. Diakses pada tanggal 5 Januari 2008, Jam 01.29 WIB.

http://www.suaramerdeka.com/harian/0407/15/pan02.htm. Suara Merdeka, “Urun Rembug, Kejahatan yang Menimpa Anak” oleh Hamidah Abdurrahman. Diakses pada tanggal 9 November 2007. Jam 01.19 WIB.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan Anak.