Sanksi Bagi Pelaku Perkosaaan Perspektif Hukum Pidana Islam

riset empiris tentang pemidanaan, serta bermanfaat dalam penetaan suatu sanksi hukum pidana. 16 Di samping itu, seorang hakim juga harus jeli melihat berbagai kasus pemerkosaan. Pada banyak kasus, pelaku sering berkilah dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya atas suka sama suka. Seperti kasus pembantu dengan majikan. Karena berada di bawah ancaman tidak diberikan gajinya atau ancaman kekerasan, seorang pembantu terpaksa bersedia melayani majikannya. Karena kejadian itu berulang-ulang, orang mengasumsikannya suka sama suka. Dalam hal ini hakim harus jeli melihatnya. 17 Di dalam hukum pidana positif pengaturan denda untuk korban perkosaan dapat dilihat pada KUH Perdata Bab III pasal 1365 yang berbunyi. “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. KUHPerd. 568, 602, 1246, 1447, 1918 dst; Rv. 580-71, 582; Aut. 27; Octr. 43 dst.; KUHP 1382 bis. ”

C. Sanksi Bagi Pelaku Perkosaaan Perspektif Hukum Pidana Islam

Pidana Islam atau yang dikenal dengan fiqh jinayah mengkategorikan perkosaan sebagai jarimah takzir. Sebelum menbahas lebih jauh ada baiknya penulis menjabarkan kenapa perkosaan tidak termasuk hadd melainkan takzir. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut. 16 Ibid., h. 360-361. 17 Rudolph J. Gerber and Patrick D. McAnany Ibid., 360-361 Unsur-Unsur Perkosaan Zina Perbuatannya Memaksa Tanpa paksaan Cara Kekerasan Ancaman kekerasan Tanpa kekerasan Obyek Wanita Laki-laki dan Wanita Yang dilakukan Bersetubuh Bersetubuh Hukum Pidana Islam sangat mengecam sekali akan tindak pidana perkosaan. Selain merusak susunan moral masyarakat, juga berdampak sangat buruk bagi korban dan keluarga. Allah SWT sebagai al-Khaliq, Maha Pencipta alam semesta, antara lain manusia, adalah Maha Mengetahui mengenai tabiat atau watak manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya. Demikian pula dalam hal hasrat seksual antara laki-laki dengan perempuan. Oleh karena itu, Allah telah menentukan ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perzinaan, sebagai cinta Allah kepada hamba-Nya, agar setiap manusia tetap suci dan memelihara diri dari perbuatan keji, antara lain perkosaan. Khalifah ‘Umar ibn al-Khattab menghukum seorang lelaki dzimmiy yang memaksa seorang perempuan muslimah berzina dengan hukuman mati yang eksekusinya di kawasan Bait al-Maqdis. 18 Jarimah hudud bisa berpindah menjadi jarimah takzir bila ada syubhat, baik shubhat fi al fi’li, fi al fa’il maupun fi al mahal. Demikian juga bila jarimah 18 Syams al-Din al-Sarkhasi, al-Mabsut Syarh al-Kafiy, dalam Asmawi, Menelusuri Kebijakan Hukum Pidana Pada Masa Rezim Khulafa’ Al-Rasyidin, h.3. hudud tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian, percobaan pembunuhan dan perkosaan. Takzir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan takzir, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera. Sementara para fuqa ha’ mengartikan takzir dengan hukuman yang tidak detentukan oleh al-Q ur’an dan Hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Takzir sering juga disamakan oleh fuqa ha’ dengan hukuman terhadap setiap maksiat yang tidak diancam dengan hukuman hadd atau kaffarat. Abd Qodir Audah membagi jarimah takzir menjadi tiga, yaitu 19 : a. Jarimah hudud dan qishash diyat yang mengandung unsur shubhat atau tidak memenuhi syarat, namun hal itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat, seperti pencurian harta syirkah, perkosaan, pembunuhan ayah terhadap anaknya, dan percurian yang bukan harta benda. b. Jarimah takzir yang jenis jarimahnya ditentukan oleh nas, tetapi sanksinya oleh syari’ah diserahkan kepada penguasa, seperti sumpah palsu, saksi palsu, mengurangi timbangan, menipu, mengingkari janji, menghianati amanah, dan menghina agama. 19 http:zanikhan.multiply.comjournalitem694, artikel diakses pada hari rabu, 23 Maret 2011, pukul 23.15 c. Jarimah takzir dimana jenis jarimah dan sanksinya secara penuh menjadi wewenang penguasa demi terealisasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi perimbangan yang paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap peraturan lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran terhadap pemerintah lainnya. Dalam menetapkan jarimah takzir, prinsip utama yang menjadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemudharatan bahaya. Di samping itu, penegakkan jarimah takzir harus sesuai dengan prinsip syar’i. Hukuman-hukuman takzir banyak jumlahnya, yang dimulai dari hukuman paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk memilih diantara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan jarimah serta diri pembuatnya. Hukuman-hukuman takzir antara lain. 1. Hukuman mati Pada dasarnya menurut syariah Islam, hukuman takzir adalah memberikan pengajaran ta’dib dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu, dalam hukuman takzir tidak boleh ada pemotongan anggota badan atau penghilangan nyawa. Akan tetapi beberapa fuqa ha’ memberikan pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkan hukuman mati jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau kalau pemberantasan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan membunuhnya, seperti mata-mata, pembuat fitnah, perkosaan residivis yang membahayakan. Namun menurut sebagian fuqa ha’ yang lain dalam jarimah takzir tidak ada hukuman mati. 2. Hukuman Jilid Dikalangan fuqa ha’ terjadi perbedaan tentang batas tertinggi hukuman jilid dalam takzir. Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama’ Maliki, batas tertinggi diserahkan kepada penguasa karena hukuman takzir didasarkan atas kemaslahatan masyarakat dan atas dasar berat ringannya jarimah. Imama Abu Hanifah dan Muhammad berpendapat bahwa batas tertinggi hukuman jilid dalam ta’zir adalah 39 kali, dan menurut Abu yusuf adalah 75 kali. Sedan gkan di kalangan madzhab Syafi’i ada tiga pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad. Pendapat kedua sama dengan pendapat Abu yusuf. Sedangkan pendapat yang ketiga, hukuman jilid pada takzir boleh lebih dari 75 kali, tetapi tidak sampai seratus kali, dengan syarat lain bahwa jarimah takzir yang dilakukan hampir sejenis dengan jarimah hudud. Dalam mazhab Hambali ada lima pendapat. Tiga diantaranya sama dengan pendapat madzhab Imam Syafi’i. pendapat ke empat mengatakan bahwa jilid yang diancam atas sesuatu perbuatan jarimah tidak boleh menyamai hukuman yang dijatuhkan terhadap jarimah lain yang sejenis, tetapi tidak boleh melebihi hukuman jarimah lain yang tidak sejenisnya. Pendapat ke lima mengatakan bahwa hukuman takzir tidak boleh melebihi 10 kali. 3. Hukuman-Kawalan Penjara Kurungan Ada dua macam hukuman kawalan dalam hukum Islam. Pembagian ini didasarkan pada lama waktu hukuman. Pertama, hukuman kawalan terbatas. Batas terendah dari hukuman ini adalah satu hari, sedangkan batas tertinggi, ulama’ berbeda pendapat. Ulama’Syafi’iyyah menetapkan batas tertingginya satu tahun, karena mereka mempersamakannya dengan pengasingan dalam ja rimah zina. Sementara ulama’-ulama’ lain menyerahkan semuanya kepada penguasa berdasarkan maslahat. Kedua, hukuman kawalan tidak terbatas. Sudah disepakati bahwa hukuman kawalan ini tidak ditentukan terlebih dahulu, melainkan berlangsung terus sampai terhukum mati atau taubat dan baik pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman ini adalah penjahat yang berbahaya atau orang yang berulang ulang melakukan jarimah-jarimah yang berbahaya. 4. Hukuman Salib Hukuman salib sudah dibicarakan dalam jarimah gangguan keamanan hirabah, dan untuk jarimah ini hukuman tersebut merupakan hukuman had. Akan tetapi untuk jarimah takzir hukuman salib tidak dibarengi atau didahului dengan oleh hukuman mati, melainkan si terhukum disalib hidup-hidup dan tidak dilarang makan minum, tidak dilarang mengerjakan wudhu, tetapi dalan menjalankan shalat cukup dengan isyarat. Dalam penyaliban ini, menurut fuqa ha’ tidak lebih dari tiga hari. 5. Hukuman Ancaman Tahdid, Teguran Tahbih dan Peringatan Ancaman juga merupakan salah satu hukuman takzir, dengan syarat akan membawa hasil dan bukan hanya ancaman kosong. Misalnya dengan ancaman jilid, dipenjarakan atau dihukum dengan hukuman yang lain jika pelaku mengulangi tindakannya lagi. Sementara hukuman teguran pernah dilakukan oleh Rasulullah terhadap sahabat Abu Dzar yang memaki-maki orang lain dengan menghinakan ibunya. Maka Rasulullah saw berkata : “wahai Abu Dzar, engakau menghina dia dengan menjelek-jelekkan ibunya. Engkau adalah orang yang masih dihinggapi sifat- sifat masa jahiliyah”. Hukuman pe ringatan juga diterapkan dalam syari’at Islam dengan jalan memberikan nasehat, kalau hukuman ini cukup membawa hasil. Hukuman ini dicantumkan dalam al-Q ur’an sebagaimana hukuman terhadap istri yang berbuat dikhawatirkan berbuat nusyuz. 6. Hukuman Pengecualian Al Hajru Hukuman pengucilan merupakan salah satu jenis hukuman takzir yang disyari’atkan oleh Islam. Dalam sejarah, Rasulullah pernah melakukan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Miroroh bin Rubai’ah dan Hilal bin Umayyah. 7. Hukuman Denda Tahdid Hukuman denda ditetapkan juga oleh syari’at Islam sebagai hukuman. Antara lain mengenai pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya, hukumannya didenda dengan lipat dua kali harga buah tersebut, disamping hukuman lain yang sesuai dengan perbuatannya tersebut. Asas perlindungan bagi korban perkosaan juga dapat diketahui dari pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali, bahwa barang siapa yang memerkosa seorang wanita, maka ia harus membayar mahar misil. 20 Imam Malik berpendapat yang sama dengan Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Yahya murid Imam Malik mendengar Malik berkata, bahwa: “Apa yang dilakukan di masyarakat kita mengenai seseorang yang memerkosa seorang wanita, baik perawan atau bukan perawan, jika ia wanita merdeka, maka pemerkosa harus membayar maskawin dengan nilai yang sama dengan orang seperti dia. Jika wanita tersebut budak, maka pemerkosa harus membayar nilai yang dihilangkan. Hadd sanksi hukuman dalam kasus-kasus seperti ini diterapkan kepada pemerkosa, dan tidak ada hukuman yang diterapkan bagi yang diperkosa. Jika pemerkosa adalah budak, maka itu menjadi tanggung jawab tuannya kecuali ia menyerahkannya.” 21 20 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab [al-Fiqh al-Mazahib al-Khamsah] diterjemahkan oleh Masykur A.B., Afif Muhammad dan Idris al-Kaff, cet-1 Jakarta: Lentera Basritama, 1996, h. 367. Lihat juga, Neng Djubaedah, Perzinaan, Dalam peraturan Perundang- undangan di Indonesia Ditinjau Dari Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010, h. 216. 21 Imam Malik ibn Anas, al- Muwatta’ Kumpulan Hadits dan Hukum Islam Pertama al- Muwatta’ of Imam Malik ibn Anas the First Formulation of Islamic Law diterjemahkan oleh dwi Suri Atmaja, cet-1 Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, h. 416., Ibid., h. 217. Imam Sulaiman Al-Baji Al-Maliki mengatakan, “Wanita yang diperkosa, jika dia wanita merdeka bukan budak, berhak mendapatkan mahar yang sewajarnya dari laki-laki yang memperkosanya. Sementara, pemerkosa dijatuhi hukuman had rajam atau cambuk. Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Imam Al- Laits, dan pendapat yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu „anhu. Sementara, Abu Hanifah dan Ats-Tsauri mengatakan, „Dia berhak mendapatkan hukuman had, namun tidak wajib membayar mahar.’” Kemudian, Imam Al-Baji melanjutkan, “Dalil pendapat yang kami sampaikan, bahwa hukuman had dan mahar merupakan dua kewajiban untuk pemerkosa, adalah bahwa untuk hukuman had ini terkait dengan hak Allah, sementara kewajiban membayar mahar terkait dengan hak makhluk ….” Al-Muntaqa Syarh Al- Muwaththa’, 5:268. Ibnu Abdil Bar mengatakan, “Para ulama sepakat bahwa orang yang melakukan tindak pemerkosaan berhak mendapatkan hukuman had, jika terdapat bukti yang jelas, yang mengharuskan ditegakkannya hukuman had, atau pelaku mengakui perbuatannya. Akan tetapi, jika tidak terdapat dua hal di atas maka dia berhak mendapat hukuman selain hukuman had. Adapun terkait wanita korban, tidak ada hukuman untuknya jika dia benar-benar diperkosa dan dipaksa oleh pelaku. Hal ini bisa diketahui dengan teriakannya atau permintaan tolongnya.” Al- Istidzkar, 7:146 Syeikh Muhammad Shalih Munajid memberikan penjelasan untuk keterangan Ibnu Abdil Bar di atas, “Jika tidak terdapat bukti yang menyebabkan dia berhak mendapat hukuman had, baik karena dia tidak mengakui atau tidak ada empat orang saksi, maka diberlakukan penga dilan ta’zir selain hukuman had, yang bisa membuat dirinya atau orang semisalnya akan merasa takut darinya.” 22 Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas jelas bahwa hukum Islam telah mengenal asas perlindungan terhadap korban sejak awal, yaitu sejak Rasulullah SAW masih hidup melalui wahyu Allah yang terdapat dalam surat al-Baqarah 22 Disarikan dari Fatawa Al-Islam, Tanya-Jawab, diasuh oleh Syekh Muhammad Shaleh Munajid, fatwa no. 72338, dalam http:konsultasisyariah.comhukum-kasus-pemerkosaan, artikel diakses pada selasa, 22 Maret 2011, pukul 18.40 WIB. ayat 172 dan surat an-Nisa ayat 92 juncto surat an-Nuur ayat 33 dan pendapat para Imam Mazhab sebagaimana tersebut di atas. Ketentuan hukum tersebut sering mendapat penilaian sebagai hukum yang tidak manusiawi, melanggar hak asasi manusia, atau disebut sebagai hukuman yang hanya dapat diterapkan pada masa turunnya ayat dan Hadits hukum tersebut, karena saat ini hukum Allah, menurut kalangan yang menolak hukum Allah tentang perzinaan, sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan hukum Allah sering disebutkan atau mendapat predikat sebagai hukum yang kejam dan sadis. 23 Jika dilihat dari bentuk hukuman zina semata, tanpa melihat dan mengkaji aspek lain yang berkaitan dengan perk osaan berdasarkan syari’at Islam maupun nilai-nilai Islam, tentu melihat perkosaan akan menjadi lain dan berbeda. Misalnya, dampak dari perbuatan perkosaan terhadap pihak lain maupun sususan kemasyarakatan tanpa menghubungkannya dengan hukum kekeluargaan sesuai syari’at Islam tentu akan berbeda dengan kalangan sekuler. 24

D. Jumlah Atau Besaran Mahar Sebagai Ganti Kerugian Kepada Korban