Sanksi Perkosaaan Perspektif Hukum Pidana Positif

menjadi pembeda terpenting antara hukum pidana dengan hukum yang lainnya. 9

B. Sanksi Perkosaaan Perspektif Hukum Pidana Positif

Perkosaan dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia, ditulis dalam bab ke-XIV, telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya bahwa hukuman yang diberikan kepada pelaku tindak pidana perkosaan adalah paling lama 12 tahun penjara, seperti yang tercantum dalam KUHP Pasal 285: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua b elas tahun” Selanjutnya dalam Pasal 291: 1 Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun; 2 Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Sedangkan dalam RUU-KUHP ada perubahan dan peningkatan ketegasan hukuman, yaitu: 1 Dipidana karena melakukan tindak pidana perkosaan, dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun: a. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan bertentangan dengan kehendak perempuan tersebut; 9 J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum Pidana material bagian umum, Bandung: Binacipta, 1987, h. 17. b. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan di luar perkawinan, tanpa persetujuan wanita tersebut; c. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut, tetapi persetujuan dicapai melalui ancaman untuk dibunuh atau dilukai; d. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, dengan persetujuan perempuan tersebut karena perempuan tersebut percaya bahwa laki-laki tersebut adalah suaminya yang sah; e. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang berusia di bawah 14 tahun, dengan persetujuannya; atau f. Laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 2 Dianggap juga melakukan tindak pidana perkosaan jika dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1: a. Laki-laki memasukkan alat kelaminnya ke dalam anus atau mulut perempuan; atau b. Laki-laki memasukkan suatu benda yang bukan merupakan bagian tubuhnya kedalam vagina atau anus perempuan. Jadi, selama ini yang ditegakkan adalah nilai-nilai individualistis, yang mengabaikan prinsip keadilan. Hukum pidana hanya mempersoalkan 3 hal yaitu perbuatan yang dilarang, pertanggung-jawaban orangnyapelaku, dan sanksi pidana, sehingga korban tidak menjadi perhatian. Sehubungan dengan kasus perkosaan, kedudukan korban dalam proses peradilan pidana hanyalah sebagai saksi korban. Korban justru dirugikan dan seolah-olah tidak dimanusiakan hanya penting untuk memberikan keterangan tentang apa yang dilakukan pelaku, dan dijadikan barang bukti untuk mendapatkan visum et repertum. Perlindungan korban lebih banyak bersifat perlindungan abstrak atau perlindungan tidak langsung. Artinya, dengan adanya berbagai perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan selama ini berarti pada hakikatnya telah ada perlindungan in abstrakto secara tidak langsung terhadap berbagai kepentingan hukum dan hak-hak asasi korban. Hal ini tentu tidak memuaskan karena tidak dapat menjadikan pedoman perlindungan korban. Hukum positif menunjukkan pengaturan mengenai korban yang tidak memadai, seperti ketentuan dalam Pasal 14c KUHP, KUHAP Pasal 98-101 BAB XIII. Padahal, kerugian yang diderita korban sangat berat. Perempuan korban perkosaan menanggung beban mental yang lebih berat dibandingkan hukuman bagi pemerkosanya. Korban akan mengalami cacat seumur hidup dan menerima tekanan dari masyarakatnya. Dampak lain menyangkut gangguan emosi sebagai beban psikologis dan berpengaruh secara psikis misalnya schizoprenia dan fisik physiological disorder, ketakutan, tak adanya rasa aman, ketidakbahagiaan, merasa terbuang, cacat tubuh, serta kematian. Di samping itu, penghinaan dari masyarakat, perasaan tertekan merasa dirinya telah kotor dan berdosa. Ditambah lagi tekanan- tekanan yang timbul dari proses peradilan baik sebelum sidang, selama sidang, maupun setelah sidang semakin menderitakan korban. 10 Jika penulis mengkaji kembali dari dampak kejahatan perkosaan tersebut, nyatalah bahwa beberapa macam pidana yang diatur dan diberikan oleh KUHP Indonesia belum mencapai kemaksimalan hukum. Perkosaan bukan hanya sebagai penyakit masyarakat tetapi juga merusak masa depan serta pemaksaan kehendak terhadap korban dan mengoyak hak asasi manusia. Perkosaan tidak hanya merupakan masalah antar individu, melainkan sebagai problem sosial yang terkait dengan masalah hak-hak asasi, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan dari segala bentuk penyiksaan, kekerasan, dan pengabaian martabat manusia terhadap wanita. Jadi terhadap pelaku kasus perkosaan harus dihukum seberat-beratnya tanpa terkecuali. Lemahnya hukum terhadap para pelaku pemerkosaan menyebabkan jumlah kasus kejahatan ini terus meningkat serta hukuman yang dijatuhkan terhadap para pelaku tidak membuat jera. 11 Menurut hemat penulis, karena begitu beratnya dampak yang dialami korban dan keluarganya, hukuman dalam KUHP Indonesia belum bisa mengganti, atau setidak-tidaknya membuat tenang hati dan fikiran korban perkosaan. 10 http:www.ubb.ac.idmenulengkap.php?judul=Pelaku20Pemerkosaan20Pantas2 0Dihukum20Beratnomorurut_artikel=452 artikel diakses pada, Rabu, 09-02-2011, pukul 17.38 WIB. 11 http:www.ubb.ac.idmenulengkap, Ibid. Selanjutnya, dapat penulis ambil contoh misalnya, seorang laki-laki yang memperkosa perempuan namun tidak menyebabkan kematian, kemudian pengadilan memberikan vonis hukuman maksimal yaitu 12 tahun penjara. Apakah waktu yang dialami terpidana selama 12 tahun di penjara dapat menutupi dan mengganti hal-hal yang dialami korban pasca perkosaaan? Di antara hal-hal tersebut antara lain: 1. Stres berat, susah tidur, tidak mau berinteraksi; 2. Kehamilan yang tidak diinginkan; 3. Penyakit menular serta pendarahan pada organ vital karena paksaan; 4. Sulit mencari pasangan hidup; 5. Gila akibat stress yang berkepanjangan; 6. Kehilangan semangat hidup hingga bisa menyebabkan bunuh diri. Menurut penulis, contoh di atas dapat menggambarkan bahwa perkosaan adalah tindak pidana yang seharusnya harus ditindak lebih tegas lagi oleh hukum yang ada di Indonesia saat ini. Belum lagi jika perbuatan tersebut menyebabkan kematian korban, sudah tentu jelas pasca perkosaan keluarga yang menanggung semuanya. Beberapa kalangan menilai, salah satu penyebab kasus pemerkosaan terus-menerus terjadi disebabkan faktor hukuman fisik yang dilakukan sangat ringan. Dalam hitungan tahun atau bahkan bulan, pelaku dapat melenggang bebas dari penjara. Padahal, apa yang dirasakan korban bisa berupa trauma seumur hidup. Seperti yang dijelaskan Zulrizka, 12 korban tak bisa tidur, sering bermimpi buruk, malas makan, emosi tak terkendali, frigid, dan takut pada laki- laki. Itu semua kemungkinan yang terjadi pada korban. Ini memerlukan terapi. Lama atau tidaknya terapi tergantung setiap kasusnya. 13 Menurut Satochid Kartanegara, 14 bahwa hukuman pidana itu bersifat siksaan atau penderitaan, yang oleh undang-undang hukum pidana diberikan kepada seseorang yang melanggar suatu norma yang ditentukan oleh undang- undang hukum pidana, dan siksaan atau penderitaan itu dengan putusan hakim dijatuhkan terhadap diri orang yang dipersalahkan itu. Sifat yang berupa siksaan atau penderitaan itu harus diberikan kepada hukuman pidana, karena pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang terhadap norma yang ditentukan oleh undang-undang hukum pidana itu merupakan pelanggaran atau perkosaan kepentingan hukum yang justru akan dilindungi oleh undang-undang hukum pidana. Kepentingan hukum yang akan dilindungi itu adalah sebagai berikut: 1 Jiwa manusia leven; 2 Keutuhan tubuh manusia lyf; 3 Kehormatan seseorang eer; 4 Kesusilaan zede; 5 Kemerdekaan pribadi persoonlyke vryheid; 12 http:anjarmoe.multiply.comjournal, artikel diakses pada, Rabu, 09-02-2011, pukul 17.45 WIB. 13 http:anjarmoe.multiply.comjournal, Ibid. 14 Satochid Kartanegara, Kumpulan Catatan Kuliah Hukum Pidana II, disusun oleh Mahasiswa PTIK Angkatan V, Tahun 1954-1955, h. 275-276. 6 Harta bendakekayaan vermogen. Persoalan sanksi dalam hukum pidana berkaitan erat dengan pemikiran filsafat pemidanaan, akan tetapi bagaimana sesungguhnya keterkaitan antara filsafat dan pemidanaan? Secara kategorial muncul dua pendekatan yang tampak bertentangan dari fikiran di satu pihak, dan pikiran hukum di pihak lain. Pada satu sisi, para ahli filsafat memusatkan diri pada persoalan mengapa kita memidana, sedangkan pada sisi lain para ahli hukum dan ahli penologi mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah pemidanaan itu berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi. Meskipun dua pendekatan itu berbeda, namun menurut Gerber dan McAnany 15 , jalan tengah untuk mempertemukan keduanya dapat di ajukan. Persoalan efisiensi yang menjadi perhatian ahli hukum dan penologi hanya dapat dijawab dari sudut tujuan yang menjadi perhatian para ahli filsafat. Tujuan, pada gilirannya menunjukkan sesuatu pendirian sikap terhadap bidang moral berkenaan dengan keadilan dan ketidakadilan dalam pemidanaan individu tertentu atas perbuatan tertentu dengan cara tertentu. Dengan demikian, argumentasi-argumentasi yang dirumuskan dalam berbagai aliran filsafat, niscaya dapat digunakan oleh para ahli hukum dan penologi sebagai hipotesis 15 Rudolph J. Gerber and Patrick D. McAnany, The Philosophy of punishment, dalam: John Wiley and Sons, The Sociology og Punishment Correction, New York: 1970, Inc., h. 360. riset empiris tentang pemidanaan, serta bermanfaat dalam penetaan suatu sanksi hukum pidana. 16 Di samping itu, seorang hakim juga harus jeli melihat berbagai kasus pemerkosaan. Pada banyak kasus, pelaku sering berkilah dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya atas suka sama suka. Seperti kasus pembantu dengan majikan. Karena berada di bawah ancaman tidak diberikan gajinya atau ancaman kekerasan, seorang pembantu terpaksa bersedia melayani majikannya. Karena kejadian itu berulang-ulang, orang mengasumsikannya suka sama suka. Dalam hal ini hakim harus jeli melihatnya. 17 Di dalam hukum pidana positif pengaturan denda untuk korban perkosaan dapat dilihat pada KUH Perdata Bab III pasal 1365 yang berbunyi. “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. KUHPerd. 568, 602, 1246, 1447, 1918 dst; Rv. 580-71, 582; Aut. 27; Octr. 43 dst.; KUHP 1382 bis. ”

C. Sanksi Bagi Pelaku Perkosaaan Perspektif Hukum Pidana Islam