Pada umumnya revolusi didahului oleh adanya ketidakpuasan dari golongan-golongan tertentu, halmana biasanya telah didahului oleh
tersebarnya suatu ide baru. Saat pecahnya suatu revolusi ditandai oleh adanya terror. Tidak semua revolusi berhasil, bahkan biasanya suatu
revolusi berakhir dalam perpecahan antara kekuatan-kekuatan revolusi itu sendiri karena adanya irihati satu sama lain ataupun tidak adanya konsep
yang jelas mengenai pembangunan setelah revolusi. Dilihat dari segi sosialnya, maka suatu revolusi pecah apabila di dalam suatu masyarakat
faktor disorganisasi adalah lebih besar dari pada faktor reorganisasi, atau apabila faktor-faktor adaptive adalah lebih kecil dari pada faktor non-
adaptive.
34
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan yang terjadi di masyarakat, baik itu perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, politik,
budaya bisa terjadi dengan perlahan-lahan, maupun dengan cepat. Proses perubahan yang terjadi dalam masyarakat seringkali membawa dampak bagi
pola hidup masyarakat yang mengalaminya, sehingga bisa terjadi perselisihan antar masyarakat karena perubahan yang terjadi.
5. Perubahan dalam Islam
Untuk menganalisa fenomena perubahan sosial dari kacamata Islam, maka kajian tentang sosiologi Islam perlu dihidupkan kembali. Karena, kajian
tentang perubahan sosial umat Islam merupakan bagian atau cabang sosiologi Islam.
34
Susanto, Pengantar Sosiologi, 197
Sosiologi Islam, yaitu teori sosiologi yang merujuk pada ajaran Islam dan disesuaikan dengan data-data empiris. Dalam konteks lebih luas, beberapa
cendekiawan muslim mengajukan dan mengajak untuk membangkitkan kembali “keilmuan Islam” untuk meng-counter dominasi ilmu sosial Barat, di
antaranya yaitu: Naquib al-Attas, Mulyadi Kartanegara, dan juga Kuntowijoyo.
35
Perspektif Islam terhadap paradigma transformasi sosial, menurut Kuntowijoyo, adalah adanya sentimen kolektif dalam struktur internal umat,
yaitu yang didasari oleh immateri yaitu iman.
36
Karena perubahan struktur sosial tidak menjamin perubahan kesadaran. Hal ini, bertentangan dengan
tesis Marxisme yang menyatakan bahwa kesadaran itu ditentukan oleh kondisi materinya. Artinya juga, superstructure ditentukan oleh structure.
37
Kuntowijoyo menguraikan, sistem nilai tauhid yang menderivasi Islam kemudian memunculkan komunitas jamaah atau ummah, yaitu komunitas
yang menciptakan sistem kelembagaan dan otoritasnya sendiri. Struktur semacam ini terbentuk pada tingkat normatif. Artinya, struktur sosial umat
adalah derivasi dari sistem nilai normatif yang kemudian menjadi acuan pembentukan pranata-pranata dan lembaga-lembaga sosial. Dengan kata lain,
umat menjadi suatu entitas yang ideal karena unsur konstitutifnya adalah nilai seperti konsep amanah-wahidah.
38
35
Sidi Gazalba, Islam dan Perubahan Sosio-Budaya Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1983, h. 39
36
Kuntowijoyo menilai bahwa kemajuan bagi umat Islam itu diukur dari bertambahnya iman. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi-interpretasi Aksi Bandung: Mizan,
1996, h. 170
37
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi-interpretasi Aksi, h. 341
38
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi-interpretasi Aksi, h. 342
Oleh karena itu, Kuntowijoyo mengajukan prasyarat intelektual yaitu reorientasi kesadaran dari tingkat normatif ke tingkat ilmiah. Kuntowijoyo
berkesimpulan bahwa konsep-konsep normatif yang terbangun sebagai sistem nilai, memerlukan orientasi kesadaran agar dapat dipahami secara empiris.
Selanjutnya, ini berarti membutuhkan objektifikasi dan konseptualisasi. Dengan bergerak dari tingkat kesadaran normatif ke tingkat kesadaran ilmiah,
maka diharapkan sistem nilai yang terkandung dalam doktrin-doktrin Islam al-Qur’an dan al-Sunnah dapat dikaitkan dengan masalah-masalah gejala-
gejala kemasyarakatan yang empirik dan kemudian menjadi sebuah teori sosial.
Apalagi sekarang umat Islam dihadapkan pada perubahan masyarakat dan teknologi. Maka, tugas penting Islam di sini – baik sebagai sebuah ilmu
maupun ideologi – menurut Kuntowijoyo adalah mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai perubahan sosial serta mengubah
masyarakat ke tatanan yang lebih ideal. Teori-teori yang diambil dari sebuah ideologi sosial dengan sendirinya
akan melahirkan perubahan sosial. Karena menurut Kuntowijoyo, hampir semua teori sosial bersifat transformatif, sesuai dengan paradigmanya untuk
membangun tatanan masyarakat yang dicita-citakan Islam sebagai ideologi sosial, juga menderivasi teori-teori sosialnya.
39
Jelasnya, perspektif Islam terhadap paradigma perubahan sosial adalah adanya sentimen kolektif dalam struktur internal umat, yaitu yang didasari
atas nilai-nilai transendental. Dalam Islam, rumusan iman, ilmu dan amal
39
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi-interpretasi Aksi, h. 337
adalah sandaran epistemologisnya. Jadi, transformasi sosial dalam paradigma Islam, berakar pada misi ideologisnya, yaitu cita-cita untuk menegakkan amar
ma’ruf dan nahyi al-munkar dalam masyarakat di dalam rangka tu’minuna
billah keimanan kepada Tuhan.
40
Dengan demikian, perubahan dalam pandangan Islam pada dasarnya merupakan gerakan kultural yang didasarkan pada humanisasi, liberasi dan
transendensi yang bersifat profetik, yakni mengubah sejarah kehidupan masyarakat oleh masyarakat sendiri ke arah yang lebih partisipatif, terbuka,
dan emansipatoris.
41
Dengan menggunakan pendekatan paradigma Barat Marxis, Weber, Durkheim dan paradigma teoritis Islam, umat diharapkan dapat menangkap
fenomena perubahan sosial yang terjadi pada dirinya. Hal tersebut dilakukan dengan melihat persamaan dan perbedaan kedudukan pendekatan tersebut
hanya membandingkan dalam tingkatan metodologis, bukan filosofis- epistemolois, karena keduanya juga sama-sama bersifat empiris.
42
B. Ulama