Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

101

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era globalisasi ini tidak saja memberikan dampak positif tetapi juga dampak negatif bagi kehidupan manusia. Dampak positif yang kita rasakan adalah berkembangnya sains dan teknologi yang sangat pesat namun sekaligus mengakibatkan berkembang dan meningkatnya kebutuhan-kebutuhan manusia. Salah satu konsekuensi dari pengaruh globalisasi ini adalah meningkatnya kebutuhan pendidikan agar manusia dapat menguasai dan mengendalikan teknologi. Dan pendidikan merupakan salah satu modal dasar bagi manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan lainnya. Oleh karena itu, pendidikan secara formal diberikan kepada manusia sejak masih anak-anak yaitu usia enam atau tujuh tahun dan tidak pernah dibatasi sampai kapan seseorang harus berhenti dalam menempuh pendidikan. Hasil survei mengenai Indeks Pembangunan Manusia IPM tahun 20072008 dari United Nations Development Programme UNDP melaporkan bahwa peringkat IPM Indonesia tahun 2007 berada di urutan 107 dari 177 negara. Selain semakin jauh tertinggal oleh Singapura peringkat 25, Brunei Darussalam 30, Malaysia 63, Thailand 78, dan Filipina 90, peringkat Indonesia juga sudah terkejar oleh Vietnam 105 yang pada tahun 2006 berada di peringkat 109. 1 1 United Nations Development Program, Human Development Report 20072008: Fighting Climate Change, Human Solidarity in a Divided World New York: Palgrave Mcmillan, 2007. 102 Mengacu pada data UNDP tersebut, jika setiap anak di Indonesia tidak mendapat pendidikan yang baik maka bisa dipastikan tingkat kualitas sumber daya manusia Indonesia akan semakin jauh tertinggal oleh bangsa lain. Dampak dari krisis global yang melanda dunia tak terkecuali Indonesia akan dirasakan bertambah parah jika dalam era perdagangan bebas nanti kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih rendah. Jika pendidikan semakin intensif diberikan kepada manusia sejak usia remaja, dengan asumsi bahwa remaja adalah generasi penerus yang diberikan tanggung jawab untuk melanjutkan pembangunan bangsa dan negara, maka masa depan bangsa ini akan lebih terjamin. Tetapi menyiapkan remaja sebagai generasi yang tangguh dan handal dalam melanjutkan pembangunan tidaklah mudah. Berbagai hambatan baik yang berasal dari faktor internal misalnya kemiskinan atau kelemahan intelektual remaja itu sendiri, maupun eksternal yaitu terbatasnya akses pendidikan yang sesuai atau rendahnya kualitas pendidikan yang diselenggarakan menjadi tantangan dalam mewujudkan generasi muda yang sehat, tangguh dan cerdas. Hal ini juga berkaitan erat dengan keberfungsian keluarga. Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tersebut keluarga mempunyai keterbatasan sehingga memerlukan pelayanan dari lembaga formal yakni sekolah. Tetapi tidak semua keluarga di Indonesia dapat menyekolahkan anak-anaknya untuk menempuh pendidikan formal, apakah itu sampai pendidikan tingkat atas atau pendidikan tingkat dasar sekalipun. Dengan alasan keterbatasan ekonomi banyak akhirnya anak yang menjadi korban sebagai anak putus sekolah. 103 Berdasarkan penelitian Organisasi Buruh Internasional ILO tahun 2005, 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia ternyata putus sekolah dan menjadi pekerja anak. 2 Sedangkan menurut data Komnas Anak di tahun 2006 terdapat 9,7 juta anak putus sekolah, dan dalam waktu satu tahun 2007 jumlahnya meningkat 20 persen menjadi 11,7 juta jiwa. 3 Kemudian menurut data Departemen Pendidikan Nasional, dari 25.982.000 siswa tingkat SD pada tahun ajaran 20052006, jumlah siswa yang putus sekolah mencapai 824.684 anak. Sedangkan untuk tingkat SMP, dari 8.073.086 siswa, jumlah anak yang putus sekolah sebanyak 148.890. Begitu banyaknya anak Indonesia yang putus sekolah dan setiap tahun semakin meningkat seharusnya menambah keprihatinan terhadap bangsa ini dan sistem pendidikannya. Menurut Sekjen Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, kasus putus sekolah yang paling menonjol tahun ini terjadi di tingkat SMP, yaitu 48 . Adapun di tingkat SD tercatat 23 . Sedangkan prosentase jumlah putus sekolah di tingkat SMA adalah 29 . Kalau digabungkan kelompok usia pubertas, yaitu anak usia SMP dan SMA, jumlahnya mencapai 77 . 4 Dapat dibayangkan bagaimana remaja yang masih labil dan mencari identitas diri terpaksa putus sekolah dan terpaksa meninggalkan teman-temannya yang masih terus bersekolah. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta sendiri data Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, hingga kini setidaknya terdapat 6.959 anak yang 2 Yudi Setiawan, “19 Persen Anak Usia Sekolah Putus Sekolah,” artikel diakses pada tangal 1 Agustus 2009 dari http:www.tempointeraktif.comhgnasional20050613brk, 20050613-62414,id.html 3 Republika Newsroom, “LAZ Portal Infaq Bantu Anak Putus Sekolah,” artikel diakses pada tangal 1 Agustus 2009 dari http:www.republika.co.idberita9552LAZ_Portal_Infaq_Bantu _ Anak_Putus_Sekolah 4 “Sedikit Kepedulian Untuk Kesempatan Besar,” artikel diakses pada tangal 1 Agustus 2009 dari http:www.serunifoundation. orgjournal_read.php?sxEntryID=5comments=5 104 mengalami putus sekolah. 5 Jumlah itu terdiri dari Murid SMA, SMK, SMP, maupun SD, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudhi Mulyatno mengatakan, jumlah anak putus sekolah tingkat SMA tahun 2008 mencapai 1.253 orang atau meningkat 0,04 dibanding tahun 2007 yang hanya mencapai 1.229 orang. Tingkat SMK 3.188 orang atau 1,65 , dari total jumlah SMA dan SMK 377.198 orang. Banyak lembaga pendidikan formal di Indonesia yang dinyatakan berkualitas atau memiliki kualifikasi akreditasi “A” amat baik. Indikator kualifikasi lembaga pendidikan formal berkualitas ini ditandai dengan banyaknya kelulusan murid dan banyaknya murid yang melanjutkan jenjang pendidikan formal di lembaga pendidikan tinggi PT terkemuka atau siap dalam menghadapi dunia kerja. Di satu sisi indikator kualifikasi ini tidak bisa disanggah kebenarannya namun semakin sekolah tersebut mendapat kualifikasi yang bagus maka semakin mahal biaya pendidikan di sekolah tersebut dan hal ini merupakan beban bagi masyarakat untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas baik. Hal ini mempertegas bahwa komersialisasi pendidikan telah terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak masyarakat yang memiliki paradigma bahwa “kalau miskin tidak usah sekolah”, lalu bagaimana mereka akan meningkatkan taraf hidupnya jika terus menjadi orang yang selalu “di bawah” dengan tidak memiliki pengetahuan dan keahlian. 5 Jurnal Nasional edisi 29 Januari 2009, “Ribuan Anak DKI Putus Sekolah,” artikel diakses pada tanggal 03 November 2009 dari http:www.forumsdm.orgindex.php?option=com_ contenttask=viewid=424Itemid=182 105 Sedangkan dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa, “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.” Dan dalam Pasal 48 juga dalam Undang-undang yang sama mengatakan bahwa, “Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 sembilan tahun untuk semua anak.” Kemudian dalam pasal 49 juga mengakatakan bahwa, “Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan yang seluas- luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan.” Begitu banyak ayat dan pasal di dalam undang-undang yang menyatakan bahwa setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Namun dengan biaya pendidikan yang sangat mahal membuat banyak anak di Jakarta pada khususnya tidak bisa memperoleh pendidikan. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menaungi panti bagi anak yang putus sekolah dengan memberikan keterampilan bagi mereka yang mempunyai keinginan dengan cuma-cuma. Panti Sosial Bina Remaja PSBR “Taruna Jaya” Tebet, Jakarta Selatan ini menjaring anak putus sekolah dan memberikan pelatihan keahlian untuk bekal menghadapi persaingan dalam dunia kerja. Karena itulah penulis tertarik kepada pelaksanaan pemberian keterampilan di PSBR apakah dapat membuat para remaja putus sekolah lulusan PSBR bersaing di dunia kerja dengan lulusan pendidikan formal lain sebagai usaha untuk meningkatkan sumber daya manusia. Kemudian hasil penelitian ini peneliti tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PELATIHAN KETERAMPILAN BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA 106 PSBR “TARUNA JAYA” SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA”.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dokumen yang terkait

Efektifitas Program Pelatihan Keterampilan Bagi Anak Remaja Putus Sekolah Di Upt.Pelayanan Sosial Anak Remaja Tanjung Morawa

8 156 133

Respon Remaja Binaan Terhadap Program Pelatihan Keterampilan Yang Diberikan Oleh Panti Sosial Bina Remaja "PSBR" Nusa Putera Tanjung Morawa

4 36 105

Pemberdayaan keterampilan otomotif bagi remaja putus sekolah di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Taruna Jaya Tebet-DKI Jakartaotomotif. Tehnik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara dan juga dokumentasi. Hal ini untuk memudahkan dalam

1 26 99

Peran Orang Tua Asuh dalam Mendukung Perkembangan Kemandirian Remaja Putus Sekolah di Panti Sosial Bina Remaja (PSBR) Bambu Apus Jakarta Timur

3 20 129

Pengaruh Terapi Kelompok Berbasis Outbound Terhadap Perilaku Remaja Putus Sekolah Di Panti Sosial Bina Remaja (Psbr) Bambu Apus – Jakarta Timur

0 10 164

STUDI TENTANG PENYELENGGARAAN PELATIHAN KETERAMPILAN MODISTE BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH : Studi Deskriptif Pelatihan Keterampilan Modiste di Balai Pemberdayaan Sosial Bina Remaja Cimahi.

1 6 34

PENYELENGGARAAN PELATIHAN TATA RIAS DALAM MENINGKATKAN KETERAMPILAN PEMANGKASAN RAMBUT BAGI REMAJA PUTUS SEKOLAH DI BALAI PEMBERDAYAAN SOSIAL BINA REMAJA CIBABAT-CIMAHI.

1 2 36

PELAKSANAAN PROGRAM KETERAMPILAN TATA RIAS SEBAGAI UPAYA MEMBERDAYAKAN REMAJA DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA, TRIDADI, SLEMAN, YOGYAKARTA.

0 3 173

MANFAAT PELAKSANAAN PROGRAM PELATIHAN KECAKAPAN HIDUP MONTIR SEPEDA MOTOR BAGI PEMUDA PUTUS SEKOLAH DI PANTI SOSIAL BINA REMAJA YOGYAKARTA.

0 0 150

(511 Kali)

0 0 189