Hal itu juga bisa dilakukan dengan berhias dan mempercantik diri, serta  menyuguhkan  makanan  yang  disukai  suaminya  atau  memberi
surprise pada  suami.  Atau  si  suami  membawakan  hadiah  untuk  isterinya
ketika dia pulang dari tempat kerja. Dalam keadaan seperti ini, wajib bagi masing-masing  untuk  tidak  terlibat  lagi  dalam  perselisihan  sebelumnya,
seolah-olah  hal  itu  belum  pernah  terjadi.  Jika  tidak,  segala  usaha  akan menemukan kegagalan.
Yang paling penting dalam semua peristiwa adalah penyeselan dari masing-masing pihak atas apa yang telah terjadi. Menyadari dengan penuh
sepenuh  hati.  Memikirkan  semua  kesalahan  satu  persatu.  Memastikan tekad untuk menghilangkan ketegangan sebelum terlambat. Melakukan itu
harus  tanpa  keraguan,  karena  nafsu  selalu  menyuruh  kepada  keburukan yang    kadang  mengalihkan  niat  baiknya  sebelum  ia  melakukannya,  yaitu
dengan  mengkaji  persoalan  dari  segala  seginya  dan  membahayakan  apa yang  akan  terjadi  kalau  masing-masing  tetap  mempertahankan  egoisnya,
serta  dampak-dampak  buruk  lain  yang  disebabkan  yang  kadang menemukan  titik  nadirnya  pada  perceraian,  runtuhnya  rumah  tangga,  dan
terlantarnya anak-anak.
3.  Menunjuk  seseorang yang bijak
Pada saat suami isteri tidak berhasil mencapai kata sepakat atau berbaikan dengan  menghindari  setiap  pengaruh  dari  luar demi  menjaga  kesucian  kehidupan
keluarga  mereka  berdua  dan  menjauhkan  sesuatu  yang  tidak  diperbolehkan diketahui  bahkan  oleh  orang  terdekat  mereka,  yaitu  kehormatan  dan  rahasia
keluarga,  maka  tidak  boleh  tidak  mereka  mesti  berdamai  dengan  memakai perantara secara  terang-terangan,  yang  keputusannya  dapat mengeluarkan mereka
dari  masalah  yang  mereka  berdua  hadapi.  Agar  kata  putusan  itu  diserahkan kepada  seorang  hakim  agama,  atau  yang  ahli  dalam  negosiasi.  Shulh  atau
berdamai  ini  dilakukan  atasa  dasar,  bahwa  persolan-persoalan  telah  demikian sulit,  dan  tangga-tangga  untuk  mendamaikan  perselisihan  yang menimpa  mereka
berdua tidak bisa dicapai secara mudah. Biasanya, suami-isteri lalu mengangkat persoalan keluarga mereka kepada
perantara.  Yaitu,  ketika  keduanya  gagal  untuk  mencapai  kesepakatan  yang diinginkan,  dan  keberpalingan  nusyuz  keduanya,  atau  salah  satu  keduanya
membahayakan,  sampai  pada  batas  keharusan  adanya  pihak  ketiga  untuk menanganinya,  sebagaimana  yang  telah  kami  sebutkan  tadi.  Lebih  baik  masalah
ini  segera  di  bawa  ke  pengadilan,  sebelum  isu  pertikaian  merebak  keluar  dari bingkai  keluarga,  karena  hal  ini  akan  membantu  meredam  fitnah,  dan  akan
membuat sedikit lebih sulit memecahkannya bagi perantara. Ayat  yang  agung  di  atas  menjelaskan  sifat-sifat  yang  harus  dimiliki  oleh
seorang  perantara  tersebut  agar  ia  bisa  melaksanakan  tugas  ini  dengan  tanggung jawab. Sifat-sifat itu adalah sebagai berikut :
a. Sifat Adil
Sifat ini mesti dimilki oleh setiap perantara yang dimintai pendapat dan  keputusan  dalam  sebuah  perselisihan,  yang  keputusannya  nanti  akan
menjadi  putusan  dan  persoalan  yang  sedang  dipertentangkan.  Sifat  adil adalah  sifat  yang  jauh  lebih  dari  keberpihakan  pada  dua  pihakk  yang
berselisih.  Perantara  tidak  boleh  mengambil  keuntungan  pribadi  dari perselisihan  ini.  Kami  akan  menyimpulkan  pernyataan  ini  dengan
mengungkapkan  hendaknya  keputusannya  itu  objektif,  sesuai  dengan kerelaan Allah dan kedua belah pihak yang berselisih.
b. Memilki Pengetahuan
Yang  dimaksud  dengan  memiliki  pengetahuan  dalam  konteks  ini, bukanlah  seorang  perantara  harus  berada  pada  level  yang  tinggi  dalam
bidang  fiqih  dan  agama,  karena  keputusan  itu  tidak  digantungkan  pada ketinggian  derajat  pengetahuan  secara  akademis.  Hanya  saja  yang
dimaksudkan,  agar  ia  berada  pada  tingkat  mengetahui  syara  dan  hukum- hukum  agama,  khusunya  yang  berkenaan  dengan  masalah  perselisihan
yang akan diputuskannya. Keahlian  ini  membuatnya  credible  dan  capable  :  kata-katanya
didengar dan berwibawa, serta diterima oleh masing-masing pihak suami- isteri yang bertikai.
c. Mempunyai Hubungan Kerabat Famili
Kerabat memilki pengertian yang luas; ia bisa berarti masih termasuk dalam batas yang paling sempit kemudian sanak saudara, lalu suku atau atau
marga.  Namun,  hal  ini  juga  bisa  meluas,  dalam  konteks  wajar,  misalnya hingga menyangkut satu dusun atau satu daerah.
Adapun  pengertiannya  menurut  yang  disebutkan  dalam  ayat  di atas,  yang  dimaksud  adalah,  wallahu  alam:  hendaknya  perantara  atau
penengah  tersebut  adalah  termasuk  anggota  keluarga  yang  paling  dekat, jika itu mingkin.
Hikmah di balik persyarakat adanya hubungan famili sangat dalam, terlalu  banyak  untuk  disebutkan  semua  dalam  pemabahasan  ini.  Karena:
Pertama, famili  dekat  akan  menjaga  kehormatan  keluarga  dekatnya,  dan
tidak  akan  melakukan  sesuatu  yang  dapat  membuka  aib  atau  rahasia- rahasinya.  Pun  juga  ia  adalah  orang  yang  paling  mengerti  karakter,  latar
belakang dan ikhwal-ikhwal mereka berdua, serta memahami konsep yang benar untuk menciptakan iklim keluarga yang sehat bagi keduanya.
Kedua, dia  mesti  memilih  kata-kata  yang  baik  yang  dapat  dicerna
dan  dipahami  oleh  keduanya.  Artinya,  ia  menguasai  cara  untuk memberikan  pemahaman  kepada  keduanya,  dan  dia  mengerti  dari  mana
dia akan memulai dan bagaimana dia melaksanakannya. Ketiga,
jangan  lupa,  bahwa  dengan  kekerabatan  kedua  pasangan akan  lebih  berani  mengutarakan  pelik-pelik  masalah  mereka  di
hadapannya  dan  semua  rahasia  tentang  perselisihan  mereka;  sesuatu  yang tidak akan mereka lakukan di hadapan seorang hakim yang asing.
Yang segera terbersit dalam benak kita ketika merenungkan ayat ini adalah perdebatan-perdebatan  yang  telah  terjadi  pada  para  ahli  tafsir  dan  fiqih
berdasarkan  pada  perkataan-perkataan  ulama  salaf,  yaitu  apakah  fungsi  dua penengah  terbatas  pada  fungsi  pendamai  saja  ?  ataukah  sebagai  pendamai
sekaligus  penemu  kelangsungan  atau  pemutusan  tali  perkawinan,  baik  talak  atau khulu,  apabila  keadaan  menuntutnya  ?  dan  apakah  keduanya  tetap  berada  dalam
koridor  wakil  atas  pihak  suami  dan  pihak  isteri  untuk  mendamaikan,  sehingga mereka  tidak  berhak  menceraikan  kecuali  atas  izin  dari  keduanya  ?  ataukah
keduanya  memiliki  hak  untuk  menentukan  kebijakan  sesuai  dengan  fungsi keduanya sebagai penengah perdamaian secara mutlak ?
Para  ahli  tafsir  dan  ahli  fiqih  berbeda  pendapat  dalam  masalah-masalah tersebut. Mereka memiliki pendapat-pendapat yang mirip dan pendapat-pendapat
tersebut akan disimpulkan sesuai dengan pendapat empat mazhab sebagai berikut :
•  Mazhab  Maliki,  keputusan  yang  diambil  dua  orang  penengah  terhadap masalah  suami-isteri,  sesuai  dengan  kebijakan  keduanya,  yaitu  talak  atau
khulu,  adalah  sah  dan  terlaksana  tanpa  izin  dari  mereka  berdua  atau persetujuan  hakim,  setelah  keduanya  menemukan  jalan  buntu.  Apabila
keduanya  telah  memutuskan perceraian thalak, maka yang terjadi adalah talak bain.
•  Mazhab  Syafii  dan  Hambali,  mereka  berpendapat  :  dua  penengah  atau mediator
adalah wakil
dari pihak
suami dan
isteri untuk
berdamai.keduanya  tidak  memiliki  otoritas  untuk  menceraikan,  kecuali dengan izin dari kedua belah pihak.oleh karena itu, si suami harus terlebih
dahulu  memberi  izin  pada  wakilnya  untuk  bercerai  atau  berdamai  dan  si isteri  memberi  izin  wakilnya  untuk  khulu  atau  berdamai  sesuai  atas
permintaan masing-masing. •  Mazhab  Hanafi  berpendapat  :  dua  orang  penengah  boleh  mengangkat
keputusan  mereka  berdua  kepada  qadhi  hakim,  dan  hakimlah  yang
berhak  menceraikan  suami-isteri  itu  menurut  pertimbangannya.  Talak  itu adalah  talak  bain,  dengan  didasarkan  atas  persetujuan  kedua  mempelai.
Oleh sebab itu, sang penengah tidak boleh menceraikan tanpa lenih dahulu menawarkan  tidak  boleh  menceraikan  tanpa  lebih  dahulu  menawarkan
persoalan itu kepada kedua pasangan. Betapapun pendapat mereka berbeda dalam masalah ini, sesungguhnya hal
itu  menunjukkan  keinginan  yang  kuat  dan  para  imam  kaum  muslimin  untuk mengambil  dasar  dan  kitab  Allah  yang  agung  dan  petunjuk-petunjuk  nabi-Nya
yang  luhur.  Bagi  pihak  suami  dan  isteri,  mereka  harus  menerima  keputusan  dua mediator itu, demi kebaikan keduanya dan anak-anak mereka.
Akan  tetapi,  wajib  bagi  dua  orang  penengah,  sebelum  melontarkan gagasan  untuk  mendamaikan,  mempelajari  dan  mendalami  lebih  dahulu  seluruh
penyebab  perselisihan  yang  terjadi  antara  suami-isteri,  dan  meneliti  sedetail- detailnya agar hasil dan putusannya itu benar.
Begitulah  yang  seharusnya  dilakukan.  Setelah  mengetahui  semua  pelik- pelik  masalahnya  secara  baik,  barulah  keduanya  menyampaikan  gagasan
perdamaian  untuk  pasangan  suami  istri  dengan  segala  keikhlasan  dan  kejujuran, agar
tidak timbul
penyesalan dan
hasil keputusannya
itu, seraya
mempertimbangkan dengan cermat bahwa kelak tidak akan timbul penyesalan dan hasil  keputusannya  itu.  Selain  itu  juga  mempertimbangkan  dengan cermat bahwa
berlarut-larutnya  masalah  dalam  menyelesaiakan  pertikaian  keduanya  akan menambah  persoalan  semakin  rumit.  Kedua  penengah  tersebut  juga  mesti
mengingatkan  masing-masing  akan  ikatan  kuat  yang  menjalin  mereka  berdua
yang  tidak  dapat  dipisahkan  oleh  menderanya  persoalan,  egoisme,  aturan  yang kaku dan sikap yang salah dari masing-masing pihak.
Oleh  karena  itu,  tetaplah  shulh  sebagai  shulh  dalam  Islam  dan  sisi  mana pun  adanya.  Tetaplah  ia  dengan  kata  bersabda  perdamaian  :  shulh,  karena
dengannya  kehormatan  rumah  tangga  dan  kelangsungan  kehidupan  keluarga yang tenang dan bahagia tetap terjaga.
25
25
Kamil  al-Hayali,  Solusi  Islam  Dalam  Konflik  Rumah  Tangga,  Jakarta  :  PT  Raja Grafindo Persada, 2005, cet. I, h. 64-75
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA BERSAMA