atau pilihan lain yaitu tetap melepas dan membiarkan isterinya dalam keadaan ditalak.
Menurut istilah syara talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dengan kata- kata atau lafal yang menunjukkan talak atau perceraian.
16
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan
suami isteri.
17
Talak atau Furqah dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus, arti secara umum adalah segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan
oleh suami, yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh dengan sendirinya seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah seorang dari
suami atau isteri, sementara dalam arti khusus perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.
18
B. Sebab-sebab Perceraian
Kehidupan beristri tidak hanya diwarnai oleh hal-hal yang menyenangkan. Aneka hikmah bisa digali, sehingga kebahagiaan hidup beristri pun siap menanti.
Tetapi aneka penyebab konflik pun ikut mewarnai rona kehidupan beristri, sehingga apabila tidak diwaspadai akan menjadi biang ketegangan atau bahkan
bisa memutuskan ikatan persuami istrian.
16
Ibnu Masud dan Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab SyafiI Edisi Lengkap, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2000, Cet. Ke-1, h. 354
17
Al-Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Terjemah, Bandung : PT Al-Maarif, 1996, Cet. Ke-2, Jilid 9, h. 9
18
H.A.Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, Cet. Ke-2, h. 156
Sehubungan dengan itu, maka suami sebagai orang yang paling bertanggung jawab dalam kehidupan berkeluarga, hendaknya mewaspadai aneka penyebab
konflik itu sedini mungkin. Sehingga jalinan persuami istrian dapat lestari dan kebahagiaan pun tidak mudah ternoda. Adapun aneka penyebab konflik persuami
istrian di maksud tentu saja amat beragam, antara lain
19
: 1.
Kurang Teliti Memilih Pasangan Di dalam novel-novel atau telenovela, sering digambarkan betapa agungnya
sebuah percintaan, betapa romantisnya hubungan antar kekasih, keluarga dan keindahan-keindahan lain, yang disuguhkan dengan sangat mengesankan hati
penikmatnya. Karena itu, pemirsa atau pembaca novel lalu membayangkan idealnya sebuah pernikahan, andai suamiku itu… andai kekasihku seromantis
itu… dan sekian kata andai terjun pada pasangan kita. Namun, apa yang terjadi bila kenyataannya tidak demikian? Suami suka main
selingkuh dan mulai tidak transparan terhadap istri. Bahkan, jelas-jelas sudah membohongi istri karena istri menemukan banyak bukti tentang kebohongan itu.
Ternyata, kekasihnya memang telah menjalin hubungan mesra dengan wanita lain. Maka, tak pelak lagi, peperangan pun terjadi. Entah perang fisik, mulut atau
bahkan perang dingin.
2. Minim Persamaan
19
M.Nipan Abdul Hakim, Membahahagiakan Istri Sejak Malam Pertama, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2005, cet. Ke-VII, h. 128
Ada pendapat mengatakan bahwa pernikahan yang ideal adalah yang berlandaskan persamaan. Namun, sayangnya banyak yang salah dalam
menginterpretasikan pendapat tersebut. Menurut mereka, yang dimaksud dengan persamaan adalah mempunyai hobi yang sama, baik itu menonton film, renang,
penggemar barang antic, travelling, atau hobi apa pun yang sama. Padahal, yang dimaksudkan adalah sama dalam hal-hal yang prinsipil dan berkaitan dengan
sikap mental. Akan lebih bagus lagi bila pasangan itu saling melengkapi. Misalnya, yang
egois pasti sukar berdampingan dengan altruis, yang rasional pasti sulit berdampingan dengan yang mengandalkan instingtif, yang gemar bertindak cepat
pasti sangat susah melangkah dengan yang penunda, yang komunikatif akan repot bila harus bersanding dengan yang suka memendam perasaan, dan lain
sebagainya. Masalahnya, hubungan asmara itu terlalu fluktuatif karena menyangkut
masalah hati dan hati sering berbolak-balik tidak pernah konstan. Kadang, persamaan dan perbedaan tertutup sejumlah faktor dan baru terlihat saat
pernikahan sudah
terjadi, lalu
diperburuk dengan
keengganan mengkomunikasikan kekecewaan dan harapan. Banyak yang memilih untuk diam
digerogoti kenyataan yang mengecewakan, bertengkar dengan perasaan sendiri, lantas bercerai untuk meredakan marah yang dianggap sudah tidak dapat
terelakkan dan dikompromikan lagi.
3. Ketidakmampuan Pasangan Untuk Saling Mendukung Saat Melewati
Masa-masa Sulit Di dalam sebuah pernikahan, pasti ada masa-masa sulitnya. Masa-masa
sulit tersebut tidak saja dialami oleh pasangan muda, tetapi juga pasangan yang sudah bertahun-tahun membina sebuah keluarga. Masa-masa sulit yang dimaksud
adalah masa di mana pasangan suami istri sedang menghadapi persoalan dalam keluarganya. Permasalahan bisa terjadi karena faktor kesehatan, emosi, ekonomi,
anak, pekerjaan, pembagian tugas, dan peran, serta sangat mungkin faktor pengaruh orang luar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ada empat hal yang dapat menimbulkan permasalahan dalam keluarga, yaitu : 1 Faktor Fisiologis, 2
Psikologis, 3 Sosial Ekonomi, dan 4 Religius. Dalam menghadapi masa-masa sulit, bila pasangan tidak dapat
menemukan jalan keluar dengan bekerja sama dan saling mendukung, toleransi, pengertian, saling dapat menerima, memberikan cinta kasih, dan mempercayai
maka permasalahan itu justru akan semakin berat dan dapat menimbulkan permasalahan baru.
Hinnga pada akhirnya, mereka menyadari bahwa sudah tidak ada kecocokan dan kesingkronan lagi. Hal itu dapat dilihat dari ketidakmampuan
dalam mengatasi problem keluarga dengan baik sehingga bagaimana mungkin dapat melanjutkan kehidupan berumah tangga?
Bagi pasangan yang sudah tidak tahan lagi menanggung beban penderitaannya dan dirasa sudah tidak ada jalan keluar bagi kemaslahatan
bersama maka mereka akan mengambil jalan pintas, yaitu bercerai. Mereka tidak menyadari bahwa dengan jalan tersebut justru menjerumuskan mereka dalam
masalah baru yang lebih berat dan rumit. Wallahu alam bishawab. 4.
Lihat Masalah Dari Segi Pelakunya Siapakah yang tidak ingin sukses dalam berumah tangga? Tentu, semua orang
mendambakan kesuksesan dalam berumah tangga, bahkan sejak pertama menjalin hubungan asmara. Keinginan luhur seperti itulah yang menyemangati diri
memasuki jenjang pernikahan. Obsesi kian menyala untuk membangun rumah tangga agar lestari dan membahagiakan.
Namun, untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, tentu tidak semudah mengangankannya. Bahkan kerikil tajam yang berpotensi menentang keintiman
hubungan dan mengganjal laju bahtera keluarga sehingga terjadi perceraian. Hal itu bisa melanda di mana saja. Di kota, di desa, bahkan yang terpencil sekalipun.
Bisa juga melanda rakyat golongan bawah, menengah, maupun golongan atas, baik konglomerat ataupun pejabat. Melihat fenomena tersebut, kita lihat penyebab
dari pelakunya, misalnya : a.
Suami atau istri menyepelekan pasangannya. b.
Suami atau istri melakukan Perselingkuhan. c.
Masing-masing mempunyai kesibukan sehari-hari. d.
Suami atau istri tidak dapat memenuhi kewajiban atau perannya dengan baik.
e. Pasangan mempunyai penghasilan yang berlebihan dan tidak dapat
menggunakan dengan baik terutama suami yang berkantong tebal.
f. Suami dan istri hidup berjauhan.
g. Tidak ada lagi perasaan saling memberi dan menerima, cinta kasih,
toleransi dan saling mempercayai sehingga sulit untuk terjadi komunikasi yang baik.
h. Provokasi dari pihak luar agar rumah tangga menjadi hancur. Perceraian
juga bisa terjadi karena ada pihak lain yang tidak senang dengan kebahagiaan dan keberhasilan kita. Ketidaksenangan itu bisa dengan cara
menciptakan suasana panas sehingga sering terjadi pertengkaran dan salah paham yang berkepanjangan antara suami dan istri, sampai akhirnya
terjadi perceraian.
20
Kekerasan dalam sebuah perkawinan dapat terjadi karena : a.
Pertengkaran soal uang : suami mengetatkan uang belanja, diberi paspasan hanya untuk kebutuhan masak, sementara isteri punya kebutuhan yang
lainnya. b.
Cemburu : biasanya kalau isteri bekerja dan mempunyai kedudukan atau penghasilan yang lebih tinggi dari suami maka suami merasa rendah diri
dan ini merupakan benih kecemburuan; atau isteri seorang yang pandai bergaul sehingga banyak kawannya baik laki-laki maupun perempuan,
suami mudah menjadi cemburu. c.
Problema seksual : impotensi, frigidity, hiperseks, dapat menjadi pangkal pertengkaran. Mungkin gejala sudah muncul ketika masih bulan madu,
20
Afifah Pujihastuti, Karena Istri Ingin Dimengerti, Sukoharjo : Samudera, 2006, cet. I, h. 83-86
suami menunjukkan sikap cara yang brutal kasar dalam hubungan seks sehingga isteri menarik diri secara fisik dan psikis.
d. Alkohol atau minuman keras : dalam keadaan dibawah pengaruh
minuman keras yang berlebihan biasanya suami kurang dapat kontrol diri. e.
Pertengkaran tentang anak : ketidakserasian dalam pandangan sikap ataupun cara menghukum anak merupakan benih subur untuk terjadinya
pertengkaran yang sering kali diikuti dengan kekerasan. f.
Suami di PHK atau menganggur : kesalahan suami karena kesulitan ekonomi sebagai akibat menganggur ata di PHK seringkali disalurkan
dengan cara yang keliru yaitu marah-marah kepada isteri dan tidak tertutup kemungkinan dalam bentuk kekerasan.
g. Isteri ingin sekolah lagi atau bekerja : bayangan tentang terganggunya roda
kehidupan rumah tangga dan isteri yang senang-senang dengan teman- temannya terutama laki-laki seringkali jadi pemicu pertengkaran.
Apabila isteri bekerja maka isteri tidak lagi bergantung secara ekonomi kepada suami, hal ini dapat menurunkan harga diri ego kepada suami,
disinilah biasanya cekcok akan terjadi. h.
Kehamilan : belum adanya kehamilan atau kehamilan yang tidak direncanakan dapat merupakan gannguan dalam hubungan suami-isteri
dan menjadi pangkal pertikaian. i.
Isteri suami menggunakan obat-obatan drug abused atau minum alcohol : ketidaksenangan suami atas kelakuan isteri disambut dengan sikap yang
kurang control dari isteri pengaruh obat dan alcohol seringkali menimbulkan kekerasan.
Adapun aneka penyebab konflik persuami-isterian di maksud tentu saja amat beragam, antara lain :
a Kesibukan
Kehidupan bersuami-isteri takkan luput dari beragam kesibukan. Apalagi di era sekarang yang tidak hanya kaum suami saja yang memiliki
kesibukan di luar rumah, tetapi kaum isteri pun tidak sedikit yang memiliki profesi di luar rumah.
Kesibukan harian biasanya cukup menyita waktu, sehingga waktu untuk berbagi rasa dengan keluarga pun bisa-bisa tersita habis. Suami
harus pulang larut malam dan pergi pagi-pagi sebelum sempat berbagi rasa dengan isteri dan anak-anak. Bahkan isteri pun misalnya harus melakukan
hal yang sama, sehingga rumah yang susah-payah dibangunnya hanya berfungsi sebagai tempat transit. Anak-anak harus rela menjalani hari-
harinya tanpa ksih sayang dan pendidikan langsung dari kedua orang tua
kandungnya. Akhirnya, kecurigaan dari masing-masing pihak pun bisa bermunculan dan bisa jadi hubungan di antara sesama anggota keluarga
semakin menegang, bahkan bisa jadi membuahkan konflik berkepanjangan yang memporak-porandakan ikatan persuami-isterian.
Jangankan kesibukan yang sampai menyita waktu dari masing- masing pihak. Kesibukan dari satu pihak pun terkadang dapat menjadi
penyebab panasnya hubungan persuami-isterian. Hal ini bisa terjadi
manakala di antara masing-masing pihak itu tidak ada rasa saling pengertian dan tidak ada rasa saling pengertian dan tidak ada pengaturan
waktu secara tepat. Suami merasa asyik dengan pekerjaannya sendiri dan isteri pun merasa disibukkan oleh pekerjaan rumah tangga yag tak kunjung
selesai. Masing-masing tidak mau menghargai kesibukan pasangannya. Suami merasa capai dengan kesibukan pekerjaannya dan isteri pun merasa
kecapaian menyelesaikan kesibukannya sendiri. Sehingga hubungan sehari-hari bisa menegang dan konflik pun bisa terjadi setiap saat.
Di balik kesibukan, pengangguran pun sangat mudah menyulut konflik. Apalagi jika salah satu terlalu sibuk dan pihak yang lain terlalu
banyak waktu yang terluang. Suami terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sementara isteri terlalu berleha-leha dengan ngerumpi dan berfoya-foya.
Atau bahkan sebaliknya, isteri sibuk bekerja, sementara kerja suami hanya tidur dan lontang-lantung.
Semua itu harus diwaspadai secermat mungkin oleh para suami. Suami hendaknya membuat komitmen yang tegas bersama isteri
tercintanya, agar dalam diri masing-masing tertanam betul rasa saling pengertian dan memahami kesibukan pasangannya. Dan waktu yang
digunakan untuk menyelesaikan kesibukannya masing-masing pun hendaklah diatur sedemikian rupa, sehingga tetap tersedia waktu yang
cukup untuk saling berbagi rasa. Kesibukan dapat terselesaikan dengan baik, tetapi waktu untuk keluarga pun tetap harus mendapat porsi yang
cukup.
b Beda Pendapat
Beda pendapat tidak jarang menjadi pemicu terjadinya konflik. Terlebih lagi jika masing-masing bersikukuh mengklaim bahwa
pendapatnya sendiri yang benar dan memaksakan kepada pemilik pendapat lain sebagai yang tidak benar. Maka yang terjadi adalah ibarat
seekor kucing bertemu dengan seekor anjing. Satu pendapat ibarat seekor kucing dan pendapat yang lain ibarat seekor anjing. Sulit dipertemukan
dan dalam banyak hal sering meruncing menjadi perang tanding. Sebagai suami-isteri, hendaklah beda pendapat itu dipandang
sebagai sesuatu yang wajar. Isteri tidak harus sama pendapatnya dengan suami. Suami hendaknya lebih dahulu mengawali kesadaran yang
demikian seraya mempertanyakan kepada diri sendiri: Jikalau aku boleh berpendapat demikian, mengapa isteriku tidak boleh berpendapat begitu?
Kemudian kesadaran yang demikian itu , hendaklah ditanamkan pula kepada isteri tercinta. Sehingga terjadilah saling pengertian antara yang
satu dengan yang lain secara selaras. Beda pendapat tidak perlu diperuncing dan konflik antara keduanya pun tak perlu terjadi.
Kewajaran beda pendapat antara suami-isteri, jika dipertemukan ke arah yang positif, justeru akan membuahkan sesuatu yang terbaik dan akan
melengkapi kebahagiaan berdua. Dengan beda pendapat, hasil musyawarah akan lebih matang. Dengan beda pendapat, hasil musyawarah
akan lebih matang. Sebuah rencana besar akan terprogram lebih tepat
melalui perumusan dari berbagai pendapat. Sebuah diskusi akan menghasilkan titik temu yang paling bijak melalui adu pendapat.
Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami hendaklah lebih arif dalam menghadapi perbedaan pendapat dengan isteri tercintanya.
Anggaplah beda pendapat itu sebagai penyedap yang dapat menambah kemesraan bersuami-isteri. Bisa jadi pendapat isteri yang berbeda dengan
pendapat dirinya itu justeru lebih baik ketimbang pendapat dirinya. Maka lebih arif apabila setiap beda pendapat yang terjadi di antara keduanya itu
dipertemukan melalui musyawarah terbuka. Sehingga yang ditemukan adalah rahmat bukan konflik dan bukan bencana.
c Kehadiran Pihak Ketiga
Kehidupan berkeluarga takkan luput dari kehadiran pihak ketiga, baik dari keluarga besarnya sendiri maupun dari luar keluarga besarnya.
Bagi suami, pihak ketiga dari keluarga besarnya sendiri meliputi : orang tua sendiri, mertua, saudara kandung, saudara sepupu, para ipar, saudara
sepupu isteri, paman, bibi dan segenap keluarga besar lainnya. Sedangkan dari luar keluarga meliputi : teman-teman dekat suami, teman sekerja
suami, teman dekat isteri atau teman sekerja, para tetangga, masyarakat sekitar dan kenalan-kenalan lainnya.
Semua itu dapat membuka dua kemungkinan yang berbeda. Kemungkinan pertama adalah menguntungkan dan mempererat hubungan
suami-isteri serta membahagiakannya. Kemungkinan kedua adalah merugikan atau merenggangkan hubungan suami-isteri yang bisa
membuka konflik atau bahkan kehancuran keluarga. Terutama jika kehadiran mereka itu mulai mencoba menyentuh urusan intern suami-
isteri. Kehadiran orang tua suami, bukan tidak mungkin akan
menimbulkan ketegangan antara suami dengan isteri. Orang tua yang biasanya memang memiliki rasa sayang sepanjang masa kepada anak-
anaknya, kadang-kadang tidak bisa memisahkan dalam mengungkapkan kasih sayangnya. Sehingga pengungkapan kasing sayang kepada anak
yang telah beristeri pun kadang-kadang disamakan dengan ketika ia belum beristeri. Mereka mungkin kurang menyadari, bahwa perlakuannya yang
demikian itu bisa menimbulkan kecemburuan dan ketidaksenangan menantunya.
Selain pihak orang tua sendiri hendaknya menyadari akan hal itu, pihak suami pun hendaknya bertindak bijaksana. Ia harus bisa bertindak
tegas dalam membatasi antara urusan keluarganya sendiri dengan keluarga lain, sekalipun itu adalah orang tuanya sendiri. Ia harus ikut menyadarkan
orang tuanya jika bertindak yang tidak semestinya terhadap dirinya. Dan juga bisa menjernihkan suasana itu terhadap isterinya. Sehingga suasana
persuami-isterian tetap damai dan terhindar dari konflik yang tidak diinginkan.
Demikian halnya dengan kehadiran mertua yang mungkin masih belum bisa memisahkan antara pengungkapan kasih-sayang terhadap
putrinya tatkala belum bersuami dengan sesudahnya. Maka selain mertua
sendiri hendaknya menyadari bahwa putrinya telah berkeluarga sendiri, pihak suami pun hendaknya bisa bersikap arif. Jika perlu, ia ikut
menyadarkan mertua yang memperlakukan putrinya tidak sebagaimana mestinya dan tidak mudah terpancing emosinya tatkala menghadapi
kenyataan itu. Sedangkan kehadiran pihak ketiga lainnya, baik dari dalam
keluarga besarnya sendiri maupun dari luar keluarga besarnya, hendaknya tetap diwaspadai kemungkinannya. Kemungkinan pertama, mereka dapat
mengisukan sesuatu yang dapat menegangkan hubungan suami-isteri. Dan kemungkinan kedua, mereka adalah manusai biasa yang tidak luput dari
perasaan cinta dan cemburu, sekalipun itu adalah saudara kandung atau iparnya sendiri. Mereka yang laki-laki, tidak mustahil kemudian timbul
benih-benih cinta terhadap isteri kita. Dan kita para suami pun tidak tertutup kemungkinan tumbuh perasaan cinta terhadap salah satu dari
meraka yang wanita, sekalipun ia adalah ipar sendiri. Apalagi wanita lain, seperti teman sekerja atau kenalan baru misalnya.
Sehubungan dengan itu, maka sebagai langkah kewaspadaan yang harus ditempuh suami adalah menanamkan kedewasaan diri, baik kepada
dirinya sendiri maupun kepada isterinya. Yakni tidak mudah terkecoh oleh berita yang tidak benar atau kasak-kusuk tentang keluarganya yang belum
tentu benar, dan menjauhi kedekatan hubungan atau terlalu seringnya berhubungan dengan lawan jenis, sekalipun dia adalah ipar sendiri.
Sehingga tidak mudah termakan isu dan tidak mudah cemburu atau
dicemburui. Hubungan suami-isteri tetap padu dan terhindar dari konflik
yang tidak diinginkan. d
Kesalahpahaman
Kesalahpahaman juga sering mewarnai kehidupan bersuami-isteri dan bisa berbuntut konflik. Bahkan tidak mustahil pula akan menyebabkan
keretakan dan
kehancuran persuami-isterian.
Terutama jika
kesalahanpahaman itu
berkepanjangan dan
tidak diruntut
akar permasalahannya.
Maka sebagai suami yang bijak hendaknya senantiasa berpijak pada kearifan sikap dalam menghadapi setiap masalah. Tidak mudah
terpancing oleh segala sesuatu yang belum jelas akar permasalahannya atau belum tahu persis masalah yang sesungguhnya. Dan juga tidak
memiliki hobi membuat masalah atau gemar melakukan sesuatu yang mengandung masalah.
Setiap permasalahan yang muncul di tengah-tengah persuami- isterian, alangkah bijaksananya apabila terlebih dahulu ditelusuri akar
permasalahannya. Kemudian dicarikan jalan keluar melalui musyawarah. Sehingga masalah bisa diselesaikan secara tuntas, tidak meninggalkan
bekas-bekas yang mencurigakan bagi masing-masing pihak dan kesalahpahaman pun tak perlu terjadi.
Aktifitas yang dilakukan oleh suami maupun isteri, hendaknya dilakukan secara terbuka, terutama hal-hal yang dilakukan di luar rumah
dan tidak terlihat secara langsung oleh masing-masing pihak. Ke mana
suami pergi dan apa tujuannya, hendaknya diungkapkan apa adanya kepada isteri di rumah. Begitu pun sebaliknya. Suami hendaknya
menanamkan komitmen ini secara adil, diberlakukan bagi isteri dan diteladankan oleh dirinya sendiri.
Selain itu, di dalam pergaulan suami-isteri sehari-hari hendaknya juga ditanamkan kebiasaan berlaku jujur. Tidak mencoba-coba menipu
salah satunya. Karena sekali dua kali mencoba untuk menipu, lama-lama akan terbiasa. Padahal kemungkinan besar suatu saat tipuan itu akan
terketahui oleh pihak yang merasa ditipu. Dan sekali perbuatan itu diketahui, maka selamanya pihak yang ditipu itu akan kehilangan
kepercayaan atas ucapan dan perbuatannya. Kecurigaan demi kecurigaan akan selalu muncul dan kesalahpahaman pun sulit dihindarkan. Bahkan
konflik demi konflik pun tiidak mustahil bakal terjadi dan kebahagiaan keluarga sulit diharapkan. Ucapan dan perbuatan yang dapat menimbulkan
kecurigaan, hendaknya sedini mungkin dihindarkan. Sehingga tidak mengundang kesalahpahaman dan tidak memancing masalah.
21
e Arogan
Sifat arogan tidak jarang meracuni dan memecah belah umat manusia. Ia muncul dari perasaannya yang berlebihan, merasa paling
besar, merasa paling kaya, merasa paling wajib dihormati, merasa paling cantik, merasa paling tampan, merasa paling pandai, merasa paling
berpengalaman, merasa paling benar dan seterusnya.
21
M. Nipan Abdul Halim Membahagiakan Isteri Sejak Malam Pertama, hal 128-136
Maka bagaimana jadinya dengan pasangan suami-isteri yang salah satunya bersifat egois ? dan bagaimana pula jika keduanya sama-sama
egois ? Seorang suami hendaknya memenuhi dari dirinya menghindari sifat egois
dan kemudian menanamkan pula kepada isteri tercintanya agar menghindarinya jauh-jauh. Kesadaran itu hendaknya tidak hanya
diberlakukan dalam kehidupan bersuami-isteri belaka, melainkan dalam kehidupannya secara menyeluruh.
Dengan menghindari sifat arogan, niscaya konflik antar suami- isteri tidak perlu terjadi, perang tanding dapat dihindarkan dan kedamaian
pun dapat diharapkan. f
Kemandulan
Satu hal yang bisa menyebabkan konflik antara suami dengan isteri adalah kemandulan. Jika hal ini sampai terjadi, maka tak urung suami-isteri tersebut
dirundung kegelisahan, penuh penyesalan yang berkepanjangan dan dunia pun serasa mencekam. Dan apabila masing-masing lepas kendali, maka kejadian-
kejadian kecil pun dengan gampangnya membangkitkan konflik. Oleh karena itu, maka jauh sebelum duduk di kursi pelaminan, para calon
suami hendaklah berhati-hati dalam menentukan pilihan. Pilihan wanita yang subur dan
penyayang, agar nantinya
tidak terjadi penyesalan yang berkepanjangan. Anak yang ditunggu-tunggu segera lahir, proses regenerasi
lancar, dan masalah yang dapat menyebabkan konflik pun teratasi.
Namun apabila upaya itu telah dilaksanakan secara optimal, tetapi kehendak Tuhan tidak mengijinkan, sehingga kemandulan pun tetap terjadi; maka
langkah yang paling bijak adalah berserah diri kepada-Nya dan mencarikan jalan keluar yang terbaik melalui musyawarah yang benar.
Demikian beberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya konflik yang harus diwaspadai, utamanya oleh para suami. Sebenarnya masih banyak masalah
yang dapat menimbulkan konflik antara suami-isteri. Namun dengan beberapa yang telah diisebutkan di atas, kiranya cukup memberikan gambaran yang
memadai. Rona kehidupan beristeri tidak selamanya manis dan tidak selamanya
getir. Maka yang manis harus terus diupayakan dan yang getir sedini mungkin diwaspadai agar tidak sampai terjadi. Kalaupun telah terlanjur terjadi, maka mesti
diupayakan agar tidak berlarut-larut dan dapat segera di atasi, hingga keberadaannya menjadi bumbu penyedap yang cukup berarti.
22
C. Akibat Perceraian