Kedudukan Harta Bersama Apabila Teradi Perceraian

mereka ingin jadikan harta bersama, apa yang tetap menjadi milik masing-masing, apa hak nafkah isteri dari suami, apa kewajiban suami dalam nafkah keluarga, di dalam perkawinan kelak. Janji nikah tidak perlu seperti selama ini yang sudah seperti paket. 37 Barangkali hanya segelintir pasangan yang dengan kesadaran bersama mau menyusun perjanjian pernikahan sebelum mereka memutuskan menghadap ke penghulu. Karena bagi sebagian orang, perjanjian semacam itu dianggap menodai ikatan suci pernikahan dan tentu saja tidak ada pasangan yang ingin bercerai. Padahal, perjanjian pernikahan sebenarnya berguna untuk acuan jika suatu saat timbul konflik itu akan datang. Ketika pasangan harus bercerai, perjajian itu juga bisa dijadikan rujukan sehingga masing-masing mengetahui hak dan kewajibannya. Dengan demikian, untuk mengantisipasi segala persoalan yang akan terjadi di kemudian hari, upaya preventif perlu dilakukan oleh pasangan yang hendak menikah atau baru menikah untuk membuat perjanjian perkawinan secara tertulis mengenai harta bersama dalam perkawinannya. Karena ada pendapat yang mengatakan bahwa dengan akad nikah itu saja tidak cukup menjadi patokan terbentuknya harta bersama, maka lebih baik harta bersama itu terbentuk pada saat dilakukan perjanjian syirkah dalam perkawinan.

D. Kedudukan Harta Bersama Apabila Teradi Perceraian

37 KompasOnlineJakartaBuat Perjanjian Dulu Sebelum Mengucapkan Saya TerimaUpdated:Senin, 27 Juli 2005, 10:44 WIB diambil Jumat 15 Februari 2008 pk 20.30 WIB Mengenai hal ini diatur dalam pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 yaitu : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing, yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ditegaskan dalam penjelasan pasal 37 itu sendiri yaitu : Hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya. Dengan demikian, bila perkawinan putus karena perceraian maka pembagian harta bersama diatur menurut hukum agama bekas suami isteri itu, dan jika agama mereka tidak mempunyai hukum agama tentang harta bersama, maka berlakulah hukum adat mereka, dan jika mereka tidak pula mempunyai hukum adat tentang harta bersama yaitu tidak ada hidup bersama, atau suami isteri berbeda tingkat kemasyarakatannya. Hal ini bertentangan dengan pasal 1 UU No. 1 Tahun atau pada umumnya bertentangan dengan Demokrasi Pancasila. Seperti perkawinan nyaundang kagelung dalam suku sunda yang berarti isteri lebih tinggi derajat ekonominya dari suami, bahkan suami dibiayai oleh isteri. Disini tidak mengenal harta bersama karena tidak sederajat. Ada juga perkawinan manggih koyo yang berarti pihak laki-laki berdarah biru sedang perempuannya orang biasa, di sini juga tidak menimbulkan harta bersama, dan lain-lain. Maka untuk hal-hal semacam ini dijalankan hukum tertulis Hukum Perundang- undangan tentang harta bersama yakni Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974. Apabila penjelasan pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 96 dan 97 Kompilasi Hukum Islam maka penerapan hukum Islam soal pembagian harta bersama baik dalam cerai mati maupun cerai hidup sudah mendapat kepastian positif. Karena baik dalam cerai mati pasal 96 ayat 1 menegaskan : Separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Begitu pula dalam cerai hidup pasal 97 menegaskan janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. 38 Jadi menurut apa yang dirumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam penerapan pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 suami isteri masing-masing berhak mendapat setengah bagian dari harta bersama apabila perkawinan putus. Tidak menjadi soal apakah putusnya karena cerai mati atau cerai hidup. Pendirian yang digarisakan dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut sajalah dengan pandangan orientasi makna syarikat yang ditentukan dalam hukum Islam. 39

E. Ketentuan Tentang Pembagian Harta Bersama