Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah Satu hubungan hukum yang biasa dilakukan oleh manusia sejak zaman Nabi Adam a.s. sehingga, apabila dilihat dari sisi historis, hukum yang paling awal pertama dikenal manusia adalah hukum keluarga, khususnya hukum perkawinan yang ditandai dengan perkawinan Nabi Adam a.s dengan isterinya Siti Hawa. Manusia menyakini benar bahwa Nabi Adam a.s adalah manusia pertama dan isteri serta anak- anaknya yang hidup sezaman dengan Nabi Adam a.s dipandang sebagai generasi manusia pertama, maka hukum telah ada sejak generasi Nabi Adam a.s dan keluarganya. 1 Allaw SWT telah memilih dengan cara perkawinan manusia dapat keturunan dan dapat melestarikan kehidupannya setelah masing-masing pasangan siap melakukan peranannya yang positif. Sebagaimana Firman Allah SWT, dalam Surat an-Nisa 4 : 1 yang berbunyi : + , - . - 0 1 2 - . 3 ﺱ 5 6 7 Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan 1 M.Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004, cet. Ke I, h. 3-4 mempergunakan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. - 8 9 :; - 2 = 0 ? A BC - 3 ﺱ 5 D6 7 Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. Hukum perkawinan juga diatur dalam hadist Nabi Muhammad, diantaranya sebagai berikut : E + 2 , . FG 9 ; . , , 5 E ﺱ E + H I I; 0 J . Kﺱ L C M 2 2 C 0 N 2 ;C OK P N N QR 2 C P 3 2 , 7 2 Artinya : Dari Abdullah bin Masud r.a. ia berkata : telah berkata kepada kami Rasulullah SAW : Hai sekalian pemuda, barang siapa diantara kamu yang telah sanggup kawin, maka hendaklah ia kawin. Karena sesungguhnya kawin menghalangi pandangan terhadap yang dilarang oleh agama dan memelihara farji. Dan barang siapa yang tidak sanggup hendaklah ia berpuasa karena puasa itu adalah perisai baginya H.R. Bukhori Muslim. Allah SWT tidak ingin menjadikan manusia itu seperti makhluk yang lainnya, yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan anatara laki- laki dan perempuan secara anarki dan tidak ada aturan yang mengaturnya, demi menjaga martabat kemulyaan manusia, Allah SWT menurunkan hukum perkawinan yang sesuai dengan martabat manusia itu. 2 Al-Imam Muhammad Ibn Ismail Al-Kahlani Ash Shanani, Subul al-Salam, juz 3, Kairo, Dar Ihya al-Turas al-Araby, 1379 H1960 M, h. 109 Hukum perkawinan mengatur hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita, dimulali dari akad pernikahan hingga pernikahan itu berakhir dengan karena kematian, perceraian dan lain sebagainya. Bangsa Indonesia yang berdasarkan pancasila telah memiliki undang undang perkawinan nasional yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yang telah dimuat dalam lembarann negara No. 1 Tahun 1974, yang sifatnya dikatakan menampung sendi-sendi dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan masyarakat yang berbeda. 3 Di dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 memberikan definisi Perkawinan adalah : Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pasal 1. Untuk itu, penjelasan umum poin 4 huruf a menyatakan : suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan melengkapi kesejahteraan spiritual dan material. 4 Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya pasal 2 ayat 1. Selain itu juga, Bangsa Indonesia telah memiliki Kompilasi Hukum Islam KHI yang terdiri dari hukum perkawinan, kewarisan dan perwakafan. Untuk mereka yang beragama Islam, KHI ini berdasarkan Instruksi Presiden 3 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat dan Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 1990, h. 2 4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2000, ed. Ke-1, cet. Ke-4, h. 268 Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 dan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 1991. Dalam KHI dinyatakan bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalidzan untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah pasal 2. Akan tetapi, kenyataan membuktikan bahwa memelihara kelestarian dan kesinambungan sebuah perkawinan tidaklah mudah, berbagai godaan dan rintangan siap menghadang bahtera perkawinan, sehingga sewaktu-waktu perkawinan dapat putus di tengah jalan. Putusnya perkawinan dapat terjadi karena berbagai hal, baik karena meninggal dunia atau faktor lain seperti : faktor biologis, psikologis, ekonomis serta perbedaan pandangan hidup dan sebagainya, seringakali merupakan pemicu timbulnya konflik dalam perkawinan. Jika faktor-faktor tersebut dapat diselesaikan dengan baik, maka akan dapat mempertahankan mahligai perkawinannya. Namun sebaliknya, jika faktor-faktor tersebut tidak dapat diselesaikan, maka akan timbul perceraian sebagai jalan keluar terakhir yang akan ditempuhnya. Perceraian menurut hukum Islam pada prinsipnya dilarang, hal ini dapat dilihat pada isyarat sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa talak atau perceraian adalah perbuatan halal namun dibenci oleh Allah. ﺱ 2 , . B ﺹ B , , , E + 0 5 T UVK . E UW QX 3 9 V Y W 2 7 5 Artinya : Dari Ibn Umar Ra berkata : bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda : Sesuatu perbuatan yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak perceraian. Riwayat Abu Daud, Ibnu Majjah dan al-Hakim dari Ibnu Umar. Oleh karea itu, isyarat tersebut menunjukkan bahwa talak atau perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai pintu darurat yang boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. 6 Setelah terjadi perceraian bukan berarti persoalan-persoalan rumah tangga langsung berakhir, justeru dengan adanya perceraian banyak persoalan yang harus diselesaikan oleh suami isteri, salah satunya adalah mengenai persoalan harta bersama dan pengaturannya. Salah satu isi Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam buku I tentang Perkawinan, membahas perihal harta kekayaan dalam perkawinan. Permasalahan ini dianggap penting untuk dicantumkan dalam KHI, mengingat dunia perkawinan selain berbicara mengenai ketenangan hidup juga tidak terlepas dari segala kemungkinan yang pahit dalam kehiupan yang rumah tangga. Perceraian, salah satu sengketa rumah tangga yang terburuk yang mungkin terjadi bagi siapa saja, perlu mendapat antisipasi dan pembelajaran sebelumnya agar para pasangan suami-isteri merasa siap dalam menghadapi 5 Al-Imam Hafidz Abi Daud Sulaeman, Sunan Abi Daud, Kairo, Dar al-Harin, 1988 M1408 H, juz 2, h. 261 6 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia., h. 269 konflik-konflik yang mungkin terjadi di kemudian hari, termasuk masalah pembagian harta bersama ketika terjadi perceraian. Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur tentang harta perkawinan, pada bab VII dalam judul harta bersama dalam perkawinan. Menurut pasal 36 Undang-undang Tahun 1974 tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan harta bersama adalah : 1. Harta Benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta Bawaan dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dinawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menetukan lain. Jadi pengertian harta bersama adalah harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan, maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau usaha sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Kemudian dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dijelaskan bahwa : apabila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing . Dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan yang dimaksud dengan hukum masing-masing adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. Dengan demikian hukum agama dan hukum adat termasuk bagian dari sistem hukum yang ada di Indonesia. Hukum agama dalam hal ini Syariat Islam tidak mengenal percampuran harta kekayaan antara suami isteri karena perkawinan artinya harta isteri menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya. Begitupun harta suami, tetap menjadi milik suami dan dikuasai penuh olehnya. Akan tetapi karena menurut agama Islam dengan perkawinan menjadilah sang isteri Syarikat al-rajuli fi al-hayati kongsi sekutu seorang suami dalam melayani bahtera hidup. Maka antara suami isteri terjadilah Syirkah al-mufawwadlah atau perkongsian tak terbatas. Jika selama perkawinan memperoleh harta, maka harta tersebut adalah harta syirkah yaitu harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami isteri. Oleh karena masalah pencarian bersama suami isteri adalah termasuk perkongsian atau syirkah, maka untuk mengetahui hukumnya perlu dibahas lebih dahulu tentang macam-macam perkongsian sebagaimana telah dibicarakan oleh para ulama dalam kitab fikih. 7 Wirjono Prodjodikoro, mengemukakan bahwa Hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta milik suami dengan harta milik isteri, masing-masing pihak bebas mengatur harta milik masing-masing dan tidak diperkenankan adanya campur tangan salah satu pihak dalam pengaturannya. Ikut campurnya salah satu pihak hanya bersifat nasihat saja, bukan penentu dalam pengelolaan harta milik pribadi suami atau isteri tersebut. Ketentuan hukum Islam tersebut sangat realistis, karena kenyataannya percampuran hak milik suami isteri menjadi harta bersama banyak menimbulkan masalah dan kesulitan sehingga memerlukan aturan khusus untuk menyelesaikannya. Meskipun hukum Islam tidak mengenal adanya percampuran harta pribadi 7 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta, PT Kencana Prenada Media Group, 2006, cet. Ke-I, h. 111 masing-masing ke dalam harta bersama suami isteri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian antara suami isteri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak hubungan suami isteri yang menjurus kepada perceraian. Apabila dikhawatirkan akan timbul hal-hal yang tidak diharapkan, maka hukum Islam memperbolehkan diadakan perjanjian perkawinan sebelum pernikahan dilaksanakan. Perjanjian ini dapat berupa penggabungan harta milik pribadi masing-masing menjadi harta bersama, dapat pula ditetapkan tentang penggabungan hasil harta milik pribadi masing-masing suami isteri dan dapat pula ditetapkan tidak adanya penggabungan milik pribadi masing-masing harta bersama suami isteri. Jika dibuat perjanjian sebelum pernikahan dilaksanakan, maka perjanjian itu adalah sah dan harus dilaksanakan. 8 Pengaturan harta bersama dalam hukum Adat cukup beragam. Hal ini dikarenakan ada beberapa puluh daerah hukum Adat di Indonesia. Hukum Adat Jawa berbeda dengan hukum Adat Minangkabau, Aceh, Bugis dan sebagainya. 9 Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 88 menyatakan : apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pada umumnya perselisihan harta bersama ini baru muncul ketika suami isteri akan memutuskan ikatan perkawinan bercerai. Dalam hal ini apabila suami atau isteri menginginkan agar semua masalah yang berkaitan 8 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Perjanjian-perjanjian Tertentu, Bandung, Sumur, tanpa tahun, hlm. 170 9 Majalah Nasehat Perkawinan dan Keluarga BP-4, No : 265Tahun XXIIIJuli 1994 , h. 12 dengan perceraian salah satunya pembagian harta bersama sekaligus tuntas. Maka Pengadilan Agama memperbolehkan suami atau isteri tersebut untuk menggabungkan tuntutan perceraian dengan tuntutan pembagian harta bersama tersebut dalam satu surat gugatan. Ditinjau dari segi berperkara, tata cara seperti ini paling efisien dan tidak banyak membuang waktu, karena pada saat penggugat mengajukan gugatan, sekaligus mencakup gugatan pokok gugatan perceraian dengan gugatan pembagian harta bersama. Di Pengadilan Agama sendiri penyelesaian perkara perceraian bersamaan dengan gugatan harta bersama, sudah diterapkan yaitu dengan cara mendudukkan gugat pembagian harta bersama sebagai gugat assesor terhadap guagatan perceraian. Cara assesor-nya dapat ditetapkan dalam suatu acuan jika gugat perceraian ditolak otomatis gugat pembagian harta bersamapun dinyatakan tidak dapat diterima. Begitupun sebaliknya jika gugat perceraian dikabulkan bari terbuka kemungkinan untuk mengabulkan pembagian harta bersama sepanjang barang-barang yang ada dapat dibuktikan sebagai harta bersama. 10 Adapun kebolehan menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama ini, berdasar pada pasal 86 ayat 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yaitu : gugatan soal penguasaan anak, nafkah isteri dan harta bersama suami isteri dapat mengajukan bersama-sama dengan gugatan 10 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Sinar Grafika, 2001, ed. 2, h. 267 perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Menurut penjelasan pasal 82 ayat 1 menyatakan : hal tersebut adalah demi tercapainya prinsip atau asas bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan , yang tercantum dalam pasal 4 ayat 2 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Jika merujuk pada pasal 86 ayat 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1989. Pasal ini memberi pilihan bagi penggugat, apakah dia ingin menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, atau akan menggugatnya tersendiri setelah perkara perceraian memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam kebebasan memilih tata cara dimaksud, sudah barang tentu lebih bermanfaat menggabung gugat perceraian dengan pembagian harta bersama, karena sekaligus dapat diselesaikan kedua permasalahan tersebut dengan tidak menghabiskan banyak waktu, tenaga dan biaya. Sehingga suami isteri dapat lebih cepat menikmati harta bersama tersebut.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah