Posisi incumbent diakui sangat menguntungkan bagi kandidat. Keuntungan bagi incumbent yang bisa digunakan secara idak sah atau paling tidak secara tidak etis pada
pelaksanaan Pilkada adalah: 1.
Kepala Daerah yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan program-program dan anggaran pemerintah baik dari pusat maupun daerah untuk
mengkapitalisasi popularitasnya. 2.
Memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan pejabat daerah serta dengan aparat birokrasi di bawahnya termasuk kepala dinas, camat, hingga
lurahkepala desa. Jadi seluruh hubungan vertikal maupun horizontal bisa dijadikan modal.
3. Potensi penyimpangan menjadi demikian terbuka karena tidak tegasnya
ketentuan mengenai kampanye terutama mengenai kampanye sebelum waktunya serta sanksi bagi pelanggarnya. Sebelum tahapan kampanye yang
ditentukan KPUD, incumbent akan dengan leluasa melakukan berbagai kegiatan untuk “kampanye” dengan berbagai dalih.
4. Kurang memadainya ketentuan perundang- undangan akan membuat
penyimpangan dalam perolehan dan penggunaan dana kampanye serta money politics menjadi semakin meluas.
10. Distribusi Jawaban Arahan ada untuk memilih calon tertentu No
Arahan Untuk Memenangkan
Jumlah Persentase
1 Ya
2 Tidak
99 99
3 Tidak Tahu
1 1
Pegawai Negeri Sipil Kecamatan Medan Sunggal tidak mendapatan arahan atau perintah untuk mendukung atau memenangkan calon tertentu. Itu terlihat dari jawaban di atas
yang menyatakan 99 menyatakan tidak mendapatkan arahan atau perintah untuk mendukung dan memenangkan calon tertentu baik langsung ataupun tidak langsung.
Sedangkan 1 menyatakan tidak tahu apakah ada perintah atau larangan untuk memenangkan calon tertentu.
Analisa Data
Netralitas birokrasi menjadi barang mahal dalam setiap pelaksanaan pilkada. Potensi pelanggaran atas netralitas birokrasi muncul dari ketentuan yang tidak tegas menyangkut para
pejabat negara atau pemerintahan yang terlibat dalam pilkada. UU No. 32 Tahun 2004 tidak secara tegas melarang pejabat negara. Pasal 79 Ayat 1 menyebutkan pelarangan terhadap:
hakim di semua jenis dan tingkatan peradilan; pejabat BUMNBUMD; pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri; dan kepala desa.
Tidak adanya aturan tegas mengenai keterlibatan pejabat negara dalam hal ini pimpinan lembagalembaga negara menyebabkan kampanye pilkada selalu menjadi ajang
ketokohan figur nasional yang berafiliasi kepada partai politiknya masing- masing. Hal ini menyebabkan terjadinya bias profesionalisme dan independensi pejabat publik pejabatan
negara di hadapan masyarakat. Padahal seyogiyanya mereka harus mengatasi segala perbedaan di dalam masyarakat. Mereka seharusnya telah menjadi milik masyarakat dan
bertugas hanya untuk melayani masyarakat. Di samping itu, potensi pelanggaran netralitas birokrasi terdapat pada kondisi di suatu
daerah yang kepala daerah menjabat incumbent ikut maju dalam pilkada. Berdasarkan beberapa data peluang incumbent untuk meraih kemenangan dalam pilkada sangat besar.
Permasalahan tentu timbul jika ternyata kemenangan yang diraih para incumbent dilakukan dengan memanfaatkan jabatannya secara tidak adil dan amanah.
Adalah sangat wajar jika pejabat yang sedang menjabat mengerahkan segenap daya upaya ternasuk dalam hal pengerahan unsur birokrasi yang berada di bawahnya untuk sama-
sama memenangkan Pemilukada. Yang menjadi permasalahan adalah bila unsur pegawai di tingkat bawah misal pegawai kelurahan menolak perintah lurah maka tentu saja
membahayakan posisi pegawai tersebut.
Posisi semacam ini sebenarnya menjadi rentan bila kita berbicara tentang pemilukada dan netralitas birokrasi tersebut. Akan sangat mustahil diharapkan munculnya netralitas
birokrasi dengan situasi yang tidak mendukung terciptanya independensi birokrasi saat ini. Terkait dengan potensi pelanggaran calon incumbent damal Pemilu Menurut Topo
Santoso, paling tidak, terdapat empat jalan potensi pelanggaran yang dapat dilakukan oleh para calon incumbent. Pertama, kepala daerah yang sedang berkuasa dapat memanfaatkan
program-program dan anggaran pemerintah baik dari pusat maupun daerah untuk mengkapitalisasi popularitasnya. Memang program-program pembangunan itu sudah diatur.
Jadi yang dilakukan hanya “mendompleng” secara cerdas sehingga rakyat memuji, ia berjasa memajukan daerahnya. Masyarakat yang kritis seharusnya tidak terpengaruh sebab bukankah
sudah seharusnya pemerintah melakukan tugas-tugas menyejahterakan rakyat? Mengapa upaya itu tidak dilakukan sejak dulu? Pemanfaatan program dan anggaran daerah juga terlihat
dari banyaknya poster, spanduk, dan iklan incumbent mengatasnamakan kepala daerah dengan dalih kampanye, publikasi atau sosialisasi program daerah. Dan tentu saja hal tersebut
dilakukan dengan menggunakan kas APBD. Kedua, memanfaatkan relasi dengan pejabat pusat dan daerah serta dengan aparat
birokrasi di bawahnya termasuk kepala dinas, camat, hingga lurahkepala desa. Jadi seluruh hubungan vertikal maupun horizontal bisa dijadikan modal. Hubungan berlandaskan
administrasi pemerintahan seperti itu tidak dimiliki para pesaing. Ini akan diperparah jika sudah ada keberpihakan dari pejabat pusat dan daerah kepada sang kepala daerah.18
Penyimpangan harus lebih diperhatikan terjadi di daerah-daerah yang dominasi satu partai politik amat besar meski bisa terjadi di daerah yang konfigurasi politik lebih seimbang.
Termasuk dalam konteks ini adalah pemanfaatan atau penyalahgunaan hubungan melalui forum “muspida”. Banyak dugaan penyimpangan jenis ini sudah dan akan mewarnai tahapan
pilkada, misalnya, pemilihan pelaksana teknis pemilihan, seperti anggota PPK, PPS, dan
KPPS. Potensi pelanggaran yang sering terjadi lainnya, meskipun sulit dibuktikan, adalah kesempatan incumbent untuk mempengaruhi proses pendaftaran pemilih. Di sejumlah
pilkada, kasus semacam ini selalu mencuat karena proses pemutakhiran data pemilih dalam pilkada dilakukan oleh Dinas Kependudukan yang notabene adalah aparat birokrasi di bawah
sang incumbent tersebut. Potensi incumbent dalam mempengaruhi independensi penyelenggara dimungkinkan terjadi juga karena penyelenggara pilkada telah secara intensif
berhubungan dengan kepala daerah incumbent dalam rangka penyusunan anggaran pilkada bersama pemerintah daerah dan DPRD yang biasanya pengesahannya dilakukan sejak 6
bulan sebelum pilkada digelar. Ketiga, potensi penyimpangan menjadi terbuka karena tidak tegasnya ketentuan
mengenai kampanye terutama kampanye sebelum waktunya serta sanksi bagi pelanggarnya.19 Ketentuan perihal kampanye pada pilkada dengan kampanye pemilu
legislatif dan pilpres. Ketentuan tentang definisi kampanye dalam peraturan pemerintah, misalnya, justru membuat aneka penyimpangan kampanye pilkada menjadi sulit
ditanggulangi secara hukum. Sebelum tahapan kampanye yang ditentukan KPUD, sang incumbent akan dengan leluasa melakukan berbagai kegiatan untuk “kampanye” dengan
berbagai dalih. Keempat, kurang memadainya ketentuan perundang-undangan akan membuat
penyimpangan dalam perolehan dan penggunaan dana kampanye serta money politics kian meluas. Untuk dana kampanye, mekanisme audit lebih sering melindungi ketidakbenaran
materiil di lapangan. Betapa banyak kasus penyumbang fiktif yang ditemukan pemantau dan panwaslu pada Pemilu 2004 ternyata tidak bisa digunakan untuk memasalahkan sang
kandidat, karena secara formal audit sudah memenuhi syarat. Betapa banyak, peserta pemilu tidak melaporkan dana kampanye dan tidak bisa dijatuhi sanksi.
Dari banyak permasalahan Pilkada, salah satu permasalahan yang paling sering disoroti adalah adanya calon kepala daerah yang tengah memerintah atau sering disebut
sebagai calon incumbent yang ikut mencalonkan diri. Kepala daerah yang tengah memerintah calon incumbent mempunyai kesempatan mempergunakan fasilitas negarapemerintah serta
mencoba mempengaruhi kalangan pegawai negeri sipil agar ikut dan turut serta dalam proses mendukung dirinya dalam Pilkada.
Penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh incumbent dapat digolongkan sebagai “political corruption”, yaitu “setiap penggunaan kekuasaan pemerintahan yang tidak sah dan
tidak etis untuk keuntungan pribadi dan keuntungan politik”. Korupsi ini untuk meraih dua tujuan: materi dan kekuasaan.
Salah satu syarat agar pemilihan umum, khususnya pemilihan kepala daerah secara langsung dapat berlangsung adil sehingga mampu melahirkan pemimpin yang baik,
mensyaratkan netralitas birokrasi PNS. Ini menjadi prasyarat wajib karena birokrasi sangat rentan untuk dipolitisasi guna mendukung perolehan suara salah satu peserta Pilkada.
Syarat ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 2 UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok- pokok Kepegawaian. Di situ dinyatakan pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua
golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas pegawai negeri, maka pegawai negeri dilarang
menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Konsep netralitas pegawai negeri ini kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan
Pemerintah No. 5 Tahun 1999 tentang Pegawai Negeri Sipil yang Menjadi Anggota Partai Politik, Pasal 3 menyebutkan, “Dalam kedudukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pegawai Negeri Sipil harus bersifat netral dan menghindari penggunaan fasilitas negara untuk golongan tertentu.”
Meski demikian ternyata ada responden yang menyatakan pernah terlibat secara langsung dalam kampanye mendukung salah satu kandidat peserta pemilihan kepala daerah.
Bahkan ada oknum Pegawai Negeri Sipil Kecamatan Medan Sunggal pernah memberikan fasilitas pendukung milik pribadi untuk kepentingan pemenangan salah satu calon. Yang
lebih mengkhawatirkan, menyatakan pernah memberikan dan atau meminjamkan fasilitas dinas untuk kepentingan pemenangan salah satu calon. Kekhawatiran ini masih bertambah
mengingat ada responden menggunakan jabatan untuk kepentingan salah satu calon. Cara-cara yang umum dilakukan untuk menggerakkan dukungan birokrasi PNS
untuk pemenangan salah satu calon kepala daerah, menurut responden, pernah melihat atau mendengar pimpinan memberikan perintah secara tegas untuk memilih salah satu pasangan
calon dalam Pilkada. Biasanya dilakukan dengan memberikan arahan umum yang intinya bisa disimpulkan merupakan perintah untuk mendukung salah satu calon dalam pemilihan
kepala daerah. Terkait dengan perintah tegas yang diberikan, biasanya diikuti dengan pemberian reward dan punishment. Responden menyatakan perintah ini selalu diikuti
pemberian hadiah jika mengikuti perintah, dan responden mengaku menerima ancaman akan dijatuhi sanksi jika tidak mengikuti perintah. Tetapi umumnya responden yang lainnya
menyatakan tidak pernah ada ancaman sanksi ataupun janji pemberian hadiah dalam hal melaksanakan atau tidak melaksanakan perintah untuk mendukung salah satu pasangan calon.
Jika dilihat dari angka-angka tersebut, memang kecil sekali persentase PNS yang tidak menempatkan dirinya sesuai dengan tuntutan perundang-undangan. Tetapi angka kecil
ini cukup kuat untuk memberikan dugaan bahwa pada kenyataannya PNS belum seratus persen menjaga netralitas birokrasi. Kecenderungan keberpihakan PNS ini dilakukan dengan
berbagai alasan, antara lain harapan akan lancarnya karier ke-PNS-anya. Akibatnya, seperti yang diungkapkan oleh Hasan Aminuddin, Bupati Probolinggo, pola rekruitmen jabatan
menjadi tidak objektif. Sebab pengangkatan jabatan tidak dilaksanakan berdasarkan
pertimbangan golongan kepangkatan, prestasi kerja dan senioritas, namun promosi jabatan berdasarkan mendukung atau tidaknya pejabat terhadap calon kepala daerah.
Jika rekruitmen jabatan sudah dilaksanakan dengan tidak mempertimbangkan aspek prestasi dan profesionalitas, akibat yang muncul adalah terhambatnya pelayanan kepada
masyarakat. Hal senada diungkapkan oleh pengamat politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, bahwa ketidak netralan itu akan berbahaya, yang akan mempengaruhi perilaku
birokrasi menjadi cenderung partisan. Dalam mengambil posisi akan ada pihak yang cenderung pada kepentingan praktis, bukan strategis negara. Ujungnya, kondisi ini
berimplikasi pada memburuknya pelayanan publik. Dengan demikian penegasan Ari Dwipayana seakan menjadi kenyataan, yaitu tidak
ada birokrasi netral dan seolah-olah mengabdi pada kepentingan negara. Birokrasi sudah berpolitik dengan kekuatan yang dimilikinya. Birokrasi itu boleh berpolitik, yang dijamin
adalah proses berpolitik dalam rangka balancing power yang ikut menentukan publik untuk menentukan birokrasi.
Gairah pejabat-pejabat birokrasi untuk melibatkan diri dalam usaha dukung- mendukung calon dalam pilkada sebetulnya sangat tinggi. Buktinya, jika tidak ada larangan
secara tegas dalam perundang-undangan yang melarang PNS terlibat secara langsung dalam pemilihan umum atau Pilkada, maka PNS akan memberikan dukungan penuh, baik materiil
maupun moril, untuk mendukung salah satu pasangan calon. Kehadiran partai politik dalam pemerintahan memang tidak bisa lagi dihindari. Akan
tetapi kebutuhnan menciptakan sistem birokrasi pemerintahan yang netral, profesional, dan mantap tidak bisa juga dihindari. Keduanya merupakan kebutuhan yang esensial yang
mestinya disadari oleh Presiden. Kelembagaan birokrasi pemerintah mestinya memperoleh perhatian yang pertama sebelum semuanya diperbaiki.
Selain kehadiran sistem politik yang berlainan dan keadaan krisis ekonomi dan anggaran yang belum nampak perbaikannya, maka faktor lain adalah rendahnya akuntabiliyas
publik yang dilakukan oleh kelembagan birokrasi pemerintah. Keadaan seperti ini, bisa dipergunakan sebagai salah satu strategi perubahan atau
reformasi birokrasi pemerintah. Strategi ini bisa diawali dengan perubahan kelembagaan birokrasi pemerintah. Lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang
mengandung struktur dan kultur. Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai values, sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya
yang mencerminkan perilaku dari sumberdaya manusianya. Oleh karena itu reformasi
kelembagaan birokrasi meliputi reformasi susunan dari suatu tatanan birokrasi pemerintah, serta reformasi tata nilai, tata sistem, dan tata perilaku dari sumber daya manusianya.
Pengamatan saya bahwa tidak adanya akuntabilitas publik, tidak adanya transparansi dan kurang adanya pertanggung jawaban selama pemerintahan yang lalu yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap tindakan publik, karena pendekatan kekuasaan sangat sentral.
Jika kita menginginkan melakukan restrukturisasi dan reposisi birokrasi kita yang memungkinkan pertanggung jawaban publik bisa dijalankan, maka kondisi perubahan sistem
politik ini hendaknya perlu memperoleh pertimbangan. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam menyusun kelembagaan birokrasi pemerintah pusat mapun daerah
ialah diubahnya mindset para pemimpin politik kita, dari mewarisi sikap dan perilaku orde baru yang single mayority dan otoritarian menjadi sikap demokratis yang multi partai.
Perwujudan dari perubahan ini dalam kelembagaan pemerintahan disediakan dan dibedakan secara jelas akses politik dalam birokrasi pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar partai politik
tidak mempergunakan back street dalam bermain politik di birokrasi pemerintah. Ingin
menguasai birokrasi pemerintah dengan mengeser jabatan karier birokrasi berpindah ke tangan orang-orang politiknya.
Menurut teori liberal bahwa birokrasi pemerintah itu menjalankan kebijakan- kebijakan pemerintah yang mempunyai akses langsung dengan rakyat melalui mandat yang
diperoleh dalam pemilihan. Dengan demikian, maka birokrasi pemerintah itu bukan hanya didominasi oleh para birokrat saja, melainkan ada bagian-bagian tertentu yang diduduki oleh
pejabat politik Carino, 1994.
31
Bentuk solusi executive ascendancy diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat
yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal rakyat atau
berasal dari public interest.The political leadership bases its claim to supremacy on the mandate of God or of the people, or on some notion of the public interest. Supremasi
mandat ini diligitimatisasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model sistem liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat
melalui perwakilannya political leadership kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai “overhead democracy”
Redford, 1969. Demikian pula sebaliknya bahwa di dalam birokrasi
pemerintah itu bukan hanya dimiliki oleh pimpinan politik dari partai politik saja melainkan ada juga pimpinan birokrasi karier yang profesional.
Ketika keinginan memasukkan pejabat politik dalam birokrasi pemerintah itu timbul, maka timbul pulalah suatu pertanyaan tentang hubungan keduanya. Pertanyaan ini harus
dijernihkan dengan jawaban yang tepat. Hubungan antara pejabat politik political leadership dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan ajeg antara fungsi kontrol dan
dominasi Carino, 1994. Dalam hubungan seperti ini maka akan senantiasa timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang
32
31
Ledivina V Carino., 1994, Bureaucracy for Democracy, the dynamics of executive bureaucracy interaction
during governmental transitions, College of Public Administration, University of the Philippines.
32
Emmette S Redford., 1969, Democrcay in the Administrative State, Oxford University Press, New York,
Rakyat yang mestinya memperoleh pelayanan dari birokrasi pemerintah, karena konstelasi kekuasaan seperti itu maka situasinya di balik, rakyat melayani birokrat. Rakyat
yang seharusnya dilayani dan diperjuangkan kepentingannya oleh elite partai politik berbalik rakyat melayani pimpinan partai politik dengan memberikan suara dalam pemilu.
Penggunaan kekuasaan seperti itu lebih memberikan penekanan pada sisi power dilihat dari perspektif capacity to act.
33
Di Kota Medan pilkada langsung dua kali digelar, namun PNS Kecamatan Medan Sunggal sudah lebih cerdas dan dewasa dalam menentukan pilihannya terhadap calon
Oleh karena penekanannya pada kemampuan untuk melakukan tindakan, maka kekuasaan dijadikan sebagai sarana dominasi an instrument of domination.
Birokrasi pemerintah mendominasi rakyat melalui kekuasaan yang disandangnya, sehingga terbentang hubungan yang tidak imbang unequal relation antara birokrasi pemerintah yang
berkuasa dengan rakyat yang dikuasai. Partai politik menggunakan rakyat untuk memenangkan pemilu dan menghantarkan elite pimpinannya menjadi pimpinan negara dan
pemerintah, sementara itu setelah menang partai politik melupakan kepentingan rakyat dengan memperkaya dirinya sendiri.
Selanjutnya dalam kajian ini dapat ditemukan bahwa adanya perubahan paradigma dalam pilkada tahun 2010 di Medan khususnya birokrasi di Kecamatan Medan Sunggal telah
terjadi pula perubahan perilaku pemilih. Perubahan perilaku terjadi karena ada perubahan dasar hukum dalam pilkada, terutama yang mengatur hak-hak politik PNS dalam pilkada.
Undang-undang No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah serta Surat Edaran MENPAN RI No. SE08M.PAN32005
menjadi dasar dalam memberikan kesempatan PNS untuk menggunakan hak-hak politiknya dalam pilkada, telah membuahkan perubahan perilaku PNS untuk bisa berpolitik tanpa
mengurangi netralitasnya sebagai pilar birokrasi.
33
Larry B Hill.Edt. 1992,The State of Public Bureaucracy, ME Sharpe, Inc., Armonk, New York
pimpinan pemerintah daerah. Kekurangtahuan PNS terhadap figur-figur kandidat, isu- isuprogram politik kandidat dan partai-partai yang mengusung kandidat, mendorong PNS
untuk secara aktif memburu media massa yang menyajikan informasiberita tentang pilkada. Sedangkan untuk memahami secara mendalam dan lebih dekatpribadi terhadap latar
belakang kandidat, kemampuan, pendidikan, pengalaman, perilaku dan sikap pribadi kandidat-kandidat, para PNS berusaha mengembangkan berbagai informasi dari media massa
melalui komunikasi interpersonal yaitu dengan perbincangan-perbincangan dengan sesama PNS, dengan masyarakat atau dengan keluarganya.
Perubahan perilaku PNS dalam pilkada dapat dilihat pula dari orientasinya terhadap figur pasangan kandidat. Perilaku PNS dalam pilkada sudah lebih rasional, karena mereka
sudah merasa bebas dari segala bentuk ancaman, tekanan dan sanksi dari lingkungan kerjanya karena tidak lagi diarahkan oleh pimpinannya untuk memilih pada salah satu kandidat yang
dicalonkan dari partai politik tertentu. Figur kandidat yang intelek, memiliki kredibilitas, memiliki kemampuan dalam mengelola organisasi pemerintahan dan jujur serta tidak
memihak pada salah satu golongan, menjadi dasar yang penting bagi PNS untuk menentukan pilihannya.
Disamping itu, orentasi PNS terhadap isu-isu program politik kandidat yang lebih mengutamakan pada program pembenahan kedalam organisasi pemerintahan atau
”penyempurnaan birokrasi” menjadi isu-isu program politik yang paling menarik bagi PNS sebagai pemilih. Hal ini dengan alasan bahwa Kepala Daerah terpilih pada akhirnya akan
menjadi manager dilingkunan kerjanya. Oleh karena itu pembenahan kedalam organisasi pemerintahan akan memberikan pengaruh pada pengembangan karir PNS serta peningkatan
kinerjanya. Disamping juga adanya penegakan hukum dan keadilan yang bisa membuahkan tertatanya kembali mekanisme dan prosedur kerja yang jelas.
Kemudian orientasi PNS terhadap partai politik yang mencalonkan kandidat. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan bagi PNS untuk memilih kandidat, tidak terlepas dari
citra partai politik yang mengusungnya. Ada catatan penting bagi PNS sebagai pemilih, justru terhadap pendukung salah satu partai politik yang tidak siap menerima kekalahan.
Pengalaman pahit dimasa lalu mesih menyisakan catatan buruk bagi PNS sehingga mendorong PNS untuk lebih berhati-hati dalam menentukan pilihannya.
Namun yang menjadi tambahan adalah bahwa tidak bisa diketahui secara lebih jelas tentang bentuk keterlibatan PNS secara real dalam Pemilukada Medan. Namun satu hal yang
bisa diambil adalah secara normatif para PNS di Kecamatan Medan Sunggal mengatahui setidaknya aturan normative tentang tidak bolehnya PNS terlibat dalam kegiatan politik baik
sebagai pengurus partai politik,kampanye dan lain-lain seperti peraturan Undang-undang No. 32 tahun 2004 sebagai revisi dari Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah serta Surat Edaran MENPAN RI No. SE08M.PAN32005.
BAB III ANALISA DATA