Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “Permen Sukoka” di Televisi ( Studi Semiotik Tentang Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “ Permen Sukoka” di Televisi ).

(1)

i   

Sukoka “ di Televisi)

Disusun Oleh :

ATIKA ZAHRA NIRMALA NPM. 0643010076

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui, Pembimbing Utama

Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1

Mengetahui, DEKAN

Dra. EC. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 030 175 349  


(2)

ATIKA ZAHRA NIRMALA NPM 0643010076

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Pada 15 April 2010

Menyetujui, Pembimbing Utama

Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1

Tim Penguji : 1. Ketua

Dra. Dyva Claretta, M.Si NPT. 3 6601 94 0025 1

2. Sekretaris

Dra. Herlina Suksmawati, M.Si NIP. 030 223 611

3. Anggota

Drs. Catur Suratnoaji, M.Si NPT. 3 6804 94 00281

Mengetahui, D E K A N

Dra. EC. Hj. Suparwati, M.Si NIP. 030 175 349


(3)

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas segala rahmat dan ridhonya, maka penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul: REPRESENTASI PENCITRAAN PEREMPUAN DALAM IKLAN “ PERMEN SUKOKA” DI TELEVISI (Studi Semiotik Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “ Permen Sukoka” di Televisi). Penulisan Skripsi ini merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Komunikasi di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan pengetahuan yang penulis miliki, baik dalam penyajian material maupun dalam pengungkapan bahasanya.

Disadari bahwa dalam penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari segala bimbingan, bantuan, dan dorongan dari Dra. Dyva Claretta, M.Si sebagai dosen pembimbing Utama yang telah banyak memberikan pengarahan dan dorongan yang sangat bermanfaat sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini, maka pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati ingin menyatakan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Hj, Ec. Suparwati, Dra M.Si. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Bapak Juwito, S. Sos, MSi. Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi


(4)

iv

5. Dan semua pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang secara langsung telah banyak membantu dalam penyusunan Skripsi ini. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan Skripsi ini.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surabaya, Mei 2010

Penulis


(5)

ii iii v viii ix x 1 1 10 11 11 12 12 12 16 19 23 24 HALAMAN PENGESAHAN………. KATA PENGANTAR……….. DAFTAR ISI ………... DAFTAR GAMBAR……… DAFTAR LAMPIRAN……… ABSTRAKSI……… BAB I PENDAHULUAN……….. 1.1.Latar Belakang ……….……… 1.2.Perumusan Masalah ……….………… 1.3.Tujuan Penelitian ……….……… 1.4.Manfaat Penelitian ……….……….. BAB II KAJIAN PUSTAKA……….……….

2.1. Landasan Teori ……….……….. 2.1.1. Televisi Sebagai Media Periklanan ……….…….. 2.1.2. Periklanan……… …….……. 2.1.3. Representasi…. ………..……… 2.1.4. Eksistensi Perempuan Dalam Iklan ……… 2.1.4.1. Seksisme Perempuan ……….……...


(6)

2.1.8. Konsep Makna……….... ………..………. 2.1.9. Respon Psikologi Warna……….…………. 2.1.10. Iklan Permen Sukoka………..………….. 2.2. Kerangka Berpikir ……….………. BAB III METODE PENELITIAN ………..……… 3.1. Metode Penelitian… ……….……….. 3.2. Kerangka Konseptual………..……….

3.2.1. Corpus………..………... 3.2.2. Definisi Operasional Konsep…….………. 3.2.2.1 Representasi Pencitraan Perempuan………...………. 3.2.3. Unit Analisis………...………. 3.3. Teknik Pengumpulan Data ………..………… 3.4. Teknik Analisis Data ………..…………. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……….……….

4.1. Gambaran Umum Obyek Penelitian dan Penyajian Data…..….. 4.2. Analisis Data………..……..

41 44 45 48 51 51 52 52 52 52 54 58 58 61 61 66 66 68 68 4.2.1. Iklan Permen Sukoka………..……… 4.2.2. Paradigma Pada Level Realitas………..………. 4.2.2.1 Setting………..………....


(7)

vii

4.2.3.2. Makna Interpretasi Secara Umum

Iklan Permen Sukoka Di Televisi……….. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………...

5.1. Kesimpulan………..………… 5.2. Saran………..……….. DAFTAR PUSTAKA ………..…………..…... LAMPIRAN……….……….

86 91 91 92 93 95


(8)

x   

Perempuan Dalam Iklan “ Permen Sukoka” di Televisi ).

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui representasi pencitraan perempuan dalam iklan Permen Sukoka yang ditayangkan di televisi. Representasi pencitraan perempuan dapat dilihat dari sejauhmana eksistensi keterlibatan sosok perempuan sebagai model utama dalam dua faktor utama, yaitu : perempuan adalah pasar yang sangat besar dalam industri periklanan dan perempuan secara luas dipercaya mampu menguatkan pesan iklan. Artinya, secara tidak langsung tubuh perempuan dapat dikonstruksi kedalam citra positif dan citra negatif.

Teori yang digunakan dalam penelitian adalah televisi sebagai media periklanan, periklanan, representasi, eksistensi perempuan dalam iklan, seksisme perempuan, pencitraan perempuan, respon psikologi warna dan menggunakan teori John Fiske dan Charles.S.Pierce, dimana kedua teori tersebut saling menunjang satu sama lain.

Penelitian kualitatif ini menggunakan semua tanda yang berupa gambar, tulisan dan warna yang menjadi latar belakang dalam iklan permen sukoka, yang kemudian diinterpretasikan dalam suatu level representasi dan realitas. Kemudian data tersebut akan dianalisis dalam ikon, indeks dan simbol kedalam sistem tanda komunikasi yang berupa gambar-gambar, tulisan dan warna yang terdapat dalam iklan tersebut sebagai unit analisisnya.

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa tokoh perempuan dalam iklan permen sukoka ini telah sengaja dikonstruksi oleh pihak pengiklan dan medianya kedalam kategori citra peraduan, yakni dimana seluruh kecantikkan dan keindahan bagian sensual dari tubuh perempuan, seperti lekukan tubuh dan belahan payudaranya tersebut memang sengaja disediakan dan diekspos secara berlebihan oleh pihak pengiklan guna membangun persamaan pandangan tentang bagian tubuh sensual dari tokoh perempuan tersebut sama dengan jenis produk yang ditawarkan oleh PT. Unican melalui kegiatan pemuasan seksual yang berupa sentuhan dan rabaan laki-laki.

Harapannya, adalah untuk dapat memberikan dampak segera pada masyarakat tontonan (khususnya, kaum laki-laki untuk mencoba menikmati sensasi kenikmatan dan kehangatan yang terdapat dalam kandungan produk permen Sukoka tersebut), setelah jenis iklan produk makanan padat atau hard candy ini disampaikan ditengah masyarakat.


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali melihat ratusan tampilan iklan dengan menggunakan sosok perempuan sebagai model utama baik di televisi, radio, suratkabar, majalah ataupun media yang lainnya. Keterlibatan sosok perempuan sebagai model utama ini didasarkan oleh dua faktor utama, yaitu : perempuan adalah pasar yang sangat besar dalam industri periklanan dan perempuan secara luas dipercaya mampu menguatkan pesan iklan (Widyatama, 2007:41). Menurut Mulyana, 2008 dalam bukunya yang berjudul komunikasi massa kontroversi, teori dan aplikasi mengatakan bahwa diperkirakan 90% periklanan di Indonesia telah memanfaatkan wanita sebagai model iklannya. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa sebagian besar produk industri periklanan diciptakan bagi manusia jenis kelamin perempuan (Widyatama, 2007:41).

Faktor pertama yaitu perempuan adalah pasar yang sangat besar dalam industri periklanan sejalan dengan hasil penemuan Survey Research Indonesia (SRI), yang menunjukkan bahwa kecenderungan produk komersial yang diiklankan TV adalah alat-alat perlengkapan kecantikan seperti kosmetik, sabun, sampo, pasta gigi, deodorant, dan lain-lain (Kompas, 25 Juni 1995 dalam Mulyana, 2008). Sudah tentu, semua produk


(10)

tersebut tidak dibutuhkan laki-laki, oleh karena itu tidak heran bila pada gilirannya, perempuan selalu menjadi target iklan (Widyatama, 2007 : 42).

Contoh lain adalah iklan produk makanan dan minuman. Iklan produk ini berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan makanan dan minuman. Misalnya saja produk roti, mie instant, permen, buah, air minum dalam kemasan, coklat dan sebagainya adalah beberapa produk yang biasa digunakan untuk mempengaruhi agar orang mau membeli dalam hal ini ditujukan kepada wanita (Widyatama, 2007 : 120). Karena para pengiklan sadar bahwa kaum wanita lebih mudah dirayu untuk membelanjakan uang mereka, baik untuk keperluan mereka sendiri, anak-anak atau juga keperluan rumah tangga (Mulyana, 2008: 87).

Hal ini karena Kaum wanita umumnya lebih sering menonton televisi daripada kaum pria, karena antara lain lebih banyak wanita yang tinggal di rumah daripada kaum pria. Acara-acara yang mereka saksikan terutama adalah soap opera, telenovela, sinetron, film lepas, infotainment, reality show, dan acara bincang-bincang (talk show). Kaum wanita yang potensial menjadi sasaran iklan ini adalah mereka yang berusia remaja hingga usia dewasa (15-40 tahun) (Mulyana, 2008: 85). Senada dengan Mulyana, Dominick dan Rauch 1972 dalam buku cultural and communication studies mencatat bahwa wanita dalam periklanan biasanya secara esensial merupakan makhluk yang terikat rumah; para wanita digambarkan berada di dalam rumah dua kali lebih sering dibandingkan berada di luar rumah; dan lima kali lebih sering di dalam rumah


(11)

dibandingkan dengan dalam latar bisnis dan hanya 19 % saja penggambaran wanita yang menunjukkan berada di luar rumah, padahal penggambaran pria 44 % berada di luar rumah (Fiske, 2007: 190).

Faktor kedua, adalah bahwa perempuan secara luas dipercaya mampu menguatkan pesan iklan (Rendra Widyatama & Siswanta,1997 : 42). Hal yang sependapat juga dikemukakan oleh Ashadi Siregar, 1995 dalam iklan komersial pandangan hegemonik pria secara otomatis akan menjadikan wanita dan daya tarik seksual mereka sebagai obyek. Perempuan merupakan suatu elemen yang mempunyai unsur menjual. Artinya, nilai mereka sebagai manusia direduksi menjadi sebatas makhluk biologis semata. Maka tidak mengherankan bila kaum prialah yang mendefinisikan peran wanita, tidak hanya dalam penyajian berita, feature, opini, tapi juga dalam penyajian. Melalui iklannya, televisi leluasa untuk memperteguh pandangan, kepercayaan, sikap, dan norma-norma yang sudah ada. Kepercayaan itu antara lain adalah pentingnya wanita menjadi cantik secara fisik (bugar,ayu,ramping,muda,dsb). Tidak mengherankan bila iklan sabun tertentu menggunakan artis-artis terkenal dan cantik untuk memancing pemirsa agar memakai sabun tersebut untuk kelihatan cantik. Sementara, pemirsa wanita sebenarnya membeli ilusi untuk menjadi cantik seperti bintang iklan yang bersangkutan, mereka menjadi mangsa kaum kapitalis (transnasional) bermodal besar. Hal ini sejalan dengan idiologi kapitalisme periklanan di Indonesia, dimana sang kapitalis berusaha merayu kaum wanita agar membelanjakan uang mereka, baik untuk


(12)

kepentingan mereka sendiri ataupun kepentingan keluarga mereka. Yang untung tentu saja perusahaan yang barang atau jasanya diiklankan (Mulyana, 2008: 83).

Namun, di sisi lain, seringkali ditemukan iklan-iklan yang memuat unsur pornografi dengan menggunakan simbol perempuan sebagai daya tarik. Tubuh perempuan didefinisikan sebagai tubuh yang mengandung sensualitas yang dapat menimbulkan hasrat seksual laki-laki, sehingga secara keseluruhan setiap bagian tubuh perempuan seperti wajah, dada, paha, kaki dan lain-lain merupakan sasaran utama bagi para pengiklan untuk menarik perhatian pemirsa. Persoalan seksualitas perempuan dalam media seperti halnya iklan-iklan di televisi memicu timbulnya eksploitasi secara besar-besaran dan berlebihan dalam tubuh perempuan sebagai daya tarik. (Ibrahim dan Suranto, 2007:14).

Seperti yang digambarkan pada iklan Permen Sukoka atau hard candy (permen padat), dimana iklan ingin menampilkan seorang tokoh perempuan yang seksi yaitu dengan hanya mengenakan kemben dan kain pantai di salah satu kedai makanan dan minuman yang berada di sebuah kawasan wisata. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian kaum laki-laki untuk segera menghampirinya, khususnya dalam hal pemuasan seksual. Hal ini dapat dilihat dari gerakan nonverbalnya, berupa mimik wajah dari tokoh perempuan dan laki-lakinya serta lenggokkan bahasa tubuhnya yang seksi, meski ia tidak mempertontonkan payudaranya secara keseluruhan. Namun dari pembahasan tubuhnya yang seksi tersebut membuat laki-laki


(13)

yang berada dihadapannya tertarik untuk meminta susu dengan ekspresi tatapan mata nakal yakni dengan sesekali menatap bentuk buah dada dan postur tubuh yang dilenggok-lenggokkan oleh tokoh perempuan tersebut. Karena kaget tokoh perempuan itupun secara spontan mengangkat salah satu telapak tangannya kearah kemben yang dipakainya sedangkan tangan yang satunya mengambil permen tersebut dari dalam kemben yang diselipkan diantara payudara sembari berucap “hah susu, mau nyusu sukoka” dengan ekspresi wajah ceria tanpa malu. Saat menikmati permen tersebut seakan-akan tokoh laki-laki memperoleh sebuah sensasi kenikmatan dan kehangatan pelukan perempuan saat dibonceng dengan menggunakan sepeda motor. Hal ini digambarkan dengan adegan dimana tokoh pria berangan-angan membonceng wanita dengan menggunakan sepeda motor dan terlihat sangat menikmatinya seakan-akan dekapan hangat yang diberikan tokoh perempuan dalam konteks iklan ini ingin menggambarkan adanya penguatan analogi kenikmatan rasa permen sukoka dengan sesekali menggesekkan payudara pada punggung laki-laki yang ada dalam iklan permen Sukoka. Dengan harapan setelah kita mengkonsumsi permen tersebut, tubuh kita menjadi lebih bergairah dan rasa mengantuk pun hilang seketika. Karena telah mendapatkan tambahan tenaga untuk memudahkan aktivitas padat yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Ketertarikan peneliti akan iklan Permen Sukoka karena biasanya suatu iklan lebih menonjolkan produknya, tetapi dalam iklan tersebut lebih


(14)

menonjolkan perempuan sebagai obyek seksualitas. Padahal menurut Bungin dalam buku Porno media menjelaskan bahwa perempuan tidak hanya sekedar obyek saja, namun juga bisa dilihat sebagai subyek pergulatan perempuan dalam menempatkan dirinya dalam realitas sosial, walaupun tak jarang perempuan lupa bahwa mereka telah dieksploitasi dalam dunia hiper-realitas (Pseudo-Reality), yaitu sebuah dunia yang hanya ada dalam media, dunia realitas yang dikonstruksi oleh media massa dan copywriter melalui kecanggihan telematika (2005 : 104). Dalam iklan tersebut digambarkan dengan mengkonsumsi permen tersebut seperti memiliki kekuatan baru (stamina dan kalsium yang ada didalam tubuh semakin bertambah setelah mengkonsumsi permen tersebut). Padahal Permen Sukoka sendiri bukanlah makanan dan suplemen penambah kalsium dan stamina seperti biskuat, Jacob, fatigon, hemaviton dan lain-lain.

Di dalam masyarakat tontonan (Society of Spectacle), perempuan mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditi (sales girl, cover girl, model girl). Masyarakat tontonan menurut Guy Debord adalah masyarakat yang didalamnya setiap sisi kehidupan menjadi komoditi dan setiap komoditi tersebut menjadi “tontonan”. Di dalam masyarakat tontonan, “tubuh perempuan” sebagai obyek tontonan dalam rangka menjual komoditi atau tubuh itu sendiri. Bagi sebagian perempuan, menjadi “tontonan” merupakan jembatan atau jalan pintas untuk memasuki pintu gerbang dunia budaya popular, guna


(15)

pencapaian popularitas, untuk mengejar gaya hidup serta untuk memenuhi kepuasan material tanpa menyadari bahwa mereka sebetulnya telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal, dunia obyek, citra dan komoditi (Ibrahim dan Suranto, 2007:14).

Sehubungan dengan eksploitasi terhadap wanita tersebut, Iklan Permen Sukoka yang disajikan terlalu vulgar tersebut kemudian diberi peringatan oleh KPI. Alasannya, iklan tersebut menuai protes dari berbagai sumber melalui situs Pengaduan Komisi Penyiaran Indonesia baik secara online maupun lewat sambungan telepon. Salah satu arsip pengaduan pemirsa yang telah diterima oleh situs pengaduan KPI, yaitu: Aye Rachman, DKI Jakarta “Dear KPI, Iklan permen SUKOKA kenapa bisa lolos tayang yah. Sungguh bukan iklan yang pas untuk ditayangkan. karena isinya lebih kearah pornografi, menonjolkan payudara pemeran iklannya mentang – mentang (seolah – olah) itu permen SUSU. Sampai – sampai rentengan permen di tarik keluar dari belahan Payudaranya, apakah itu sesuai dengan budaya negara kita? Mohon KPI lihat dan kasih penilaian, apakah layak tayang atau tidak “

(www.kpi.go.id/index.php?etats=pengaduan&nid=6758).

Prof. S. Djuarsa Sendjaja, Phd selaku perwakilan KPI ( Komisi Penyiaran Indonesia Pusat ) melalui Dialog Publik “Memantau Program Televisi di Indonesia” menjelaskan bahwa KPI tingkat pusat telah mengatur Standarisasi Isi Program Siaran ( SPS ) baik kepada pemilik program siaran maupun pada pengiklan. Hal itu dilakukan dengan harapan


(16)

agar pemilik program siaran maupun pengiklan dalam menyampaikan sebuah informasi kepada khalayak tidak menyimpang dari ketentuan UU Penyiaran Nomor 32 tahun 2002 tentang Pelanggaran Isi Siaran dan sanksi yang akan diberikan bagi pelanggar isi program siaran.

Namun, upaya tindak tegas KPI dalam memantau program TV di Indonesia, ternyata masih dilanggar oleh para pengiklan, salah satunya iklan Permen Sukoka yang sebelumnya tidak ada perubahan alur cerita dari cerita sebelumnya menjadi perubahan alur yang disertai penambahan alur cerita dari sebelumnya permen tersebut dikeluarkan dari dalam kemben menjadi permen tersebut dikeluarkan dari dalam genggaman tangan model perempuan serta ada penambahan alur cerita yang sebelumnya tidak menampilkan gambar model perempuan yang dibonceng dengan menggunakan sepeda motor oleh model pria menjadi ditampilkannya gambar model perempuan yang dibonceng dengan menggunakan sepeda motor oleh model pria tersebut.

Dampaknya, bila tayangan iklan ini tidak segera diberhentikan dan tetap ditayangkan pada setiap hari pada pukul 22.00 WIB di Stasiun Televisi yakni SCTV, akan mengakibatkan jam menonton anak usia remaja melebihi jam sekolah (menonton 4,5 jam sedangkan sekolah 4 jam, 2 kali lipat anak Australia, 3 kali lipat anak Amerika dan 5 kali lipat anak Kanada) atau dengan kata lain lama menonton televisi sekitar 3-5 jam perhari untuk semua kategori umur, dan 5 jam sehari untuk anak-anak dibawah 10 tahun dan di Amerika Serikat anak-anak menonton televisi


(17)

rata-rata 4 jam sehari, pola menonton menggeser jam belajar serta rentan terhadap tindakan peniruan atau imitation ( Dr. Catur Suratnoaji dalam Diet Media dan peran orang tua sebagai gate keeper). Hal ini dikarenakan pada pukul tersebut sebagian anak-anak atau pelajar masih aktif menonton televisi. Menurut hasil Survey Research Indonesia (SRI) menunjukkan bahwa dalam dua minggu pertama di tahun 2009 (1-17 Januari) ini hampir 20 % pemirsa adalah anak-anak, 22% adalah pemirsa dewasa muda, dan 19% adalah dewasa 30-39 tahun terlihat merajai kepemirsaan TV pada pukul 02.00-07.00, 11.00-13.00, dan 16.00-23.00 masih aktif menonton televisi (www.AGB%20Nielsen%20Newsletter%20Nov-Ind.pdf.co.id).

Hal yang senada juga diungkapkan Lukiati dalam buku Komunikasi Massa menjelaskan bahwa acara atau program siaran untuk anak-anak biasanya disiarkan sore hari sampai menjelang pukul 18.00 WIB, karena pagi dan siang hari anak sekolah, dan diasumsikan dari pukul 18.00 sampai 20.00 anak belajar, setelah itu mereka tidur. Jadi, kalau stasiun televisi pada pukul 20.00 menyiarkan untuk orang dewasa, seperti film penuh dengan adegan kekerasan atau percintaan dan ternyata ada anak-anak yang menonton, yang tidak benar adalah orang tuanya dan bukan penanggung jawab stasiun Televisi. Karena sesungguhnya mereka sudah menempatkan acara pada waktu yang tepat. (2004 : 7.17).

Lukiati juga menjelaskan bahwa bagi semua stasiun televisi, antara pukul 19.30 sampai pukul 22.00 WIB dianggap sebagai waktu utama (Prime Time), yakni waktu yang dianggap paling baik untuk


(18)

menayangkan acara pilihan, karena pada waktu itulah seluruh anggota keluarga berkumpul dan punya waktu untuk menonton televisi. Karenanya, tidak heran pada acara tersebut selalu dipenuhi oleh iklan (2004:7.17).

Oleh karena itulah, Penelitian ini akan mencoba menelaah eksistensi perempuan pada produk makanan padat seperti iklan permen sukoka, yang diharapkan dapat menggambarkan pencitraannya dalam dunia periklanan khususnya di Indonesia. Adanya paradoks antara eksploitasi terhadap perempuan dan kebutuhan promosi suatu produk merupakan isu yang penting untuk dibahas, agar dapat menggambarkan pentingnya perempuan dalam dunia periklanan dan tidak hanya sebagai obyek seksualitas untuk promosi produk. Oleh sebab itulah penelitian ini penting untuk memahami tentang pencitraan wanita yang semakin beragam dalam dunia periklanan yang difokuskan pada produk makanan padat di televisi.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah “Bagaimana representasi pencitraan perempuan dalam iklan permen “Sukoka” yang ditayangkan di televisi?”


(19)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui representasi pencitraan perempuan dalam iklan Permen “Sukoka” yang ditayangkan di Televisi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat peneliti ambil dari penelitian ini adalah, sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan atas wawasan serta bahan referensi bagi mahasiswa komunikasi pada jenis penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan semiotika. Sehingga dapat memberikan pengetahuan tentang pencitraan perempuan dalam iklan permen “Sukoka” di Televisi. 2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat menjadi kerangka acuan bagi pihak produsen dan pengiklan agar dapat meningkatkan angka penjualan dari produk yang telah diiklankan melalui media Televisi. selain itu, diharapkan dapat membantu pemirsa dalam memahami makna tentang representasi pencitraan perempuan dalam iklan permen “Sukoka” di Televisi.


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1

Landasan Teori

2.1.1 . Televisi sebagai Media Periklanan

Televisi saat ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Banyak orang yang menghabiskan waktunya lebih lama di depan pesawat televisi dibandingkan dengan waktu yang digunakan untuk ngobrol dengan keluarga atau pasangan mereka. Bagi banyak orang televisi adalah teman, televisi menjadi cermin perilaku bagi masyarakat dan televisi dapat menjadi candu (Morrisan, 2004:1). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan pada masyarakat Amerika Serikat mencatat bahwa hampir setiap orang dibenua itu yang menghabiskan waktunya antara 6-7 jam per minggu untuk menonton televisi. Waktu yang paling tinggi terserap pada waktu musim dingin. Di Australia anak-anak sekolah terlambat bangun pagi ke sekolah karena banyak menonton TV di malam hari, sementara di Indonesia pemakaian televisi di kalangan anak-anak bisa meningkat pada waktu libur , bahkan bisa melebihi 8 jam per hari (cangara, 2005:123).

Oleh karena itu, tidak heran bila televisi merupakan salah satu media yang paling disukai oleh para pemasang iklan dan masyarakat. Hal ini karena Televisi memiliki suatu keistimewaan yang


(21)

terletak pada audio visualnya dalam menyampaikan pesan sifat audio visualnya yang tidak lain yang penanyangannya mempunyai jangkauan yang relatif tidak terbatas dengan modal audio visual yang dimiliki siaran televisi sangat komunikatif dalam memberikan pesannya. Karena itulah televisi sangat bermanfaat sebagai upaya pembentukkan sikap perilaku dan sekaligus perubahan pola pikir. Pengaruh televisi lebih kuat dibandingkan dengan media massa lainnya, hal ini dikarenakan televisi mampu menampilkan gambar-gambar dan warna yang sesuai dengan aslinya (Komala, 2004:7.14).

Selain itu, para pengiklan percaya bahwa televisi mampu menambah daya tarik iklan dibanding media lainnya, televisi juga diyakini sangat berpotensi mengingatkan khalayak terhadap pesan yang disampaikan. Hal inilah yang menyebabkan nilai belanja iklan di televisi semakin lama semakin meningkat (Kasali, 1992:172).

Senada dengan Kasali, Basri Djabar dalam sumartono (2002:5) mengatakan bahwa pentingnya beriklan merupakan salah satu upaya kreatif untuk memperkenalkan suatu produk melalui media, apapun medianya. Dengan kata lain, dengan beriklan masyarakat akan mengenal suatu produk dan keberhasilan dalam mempromosikan suatu produk dan keberhasilan dalam mempromosikan suatu produk akan menggulirkan suatu kegiatan ekonomi, mulai dari produsen kepada masyarakat (konsumen).


(22)

Pernyataan di atas juga diperkuat oleh Mc.luhan yang mengatakan bahwa kecenderungan yang pasti dari periklanan adalah selalu berusaha menampakkan produk sebagai salah satu bagian integral dari produk sosial dan kebutuhan sosila yang luas (Bungin, 2001:122).

Dengan kata lain, televisi merupakan media periklanan yang efektif, karena mempunyai kelebihan-kelebihan dalam beriklan, antara lain:

a. Lebih dapat menarik perhatian.

b. Lebih mudah mempengaruhi khalayak.

c. Dapat memilih waktu dalam menampilkan iklan.

d. Dapat menempatkan iklan pada program siaran yang dikehendaki (Lowe, 2003:16).

Bukti keefektifan televisi sebagai media beriklan disebabkan oleh beberapa kekuatan yang dimiliki media televisi, sebagaimana dinyatakan oleh Kasali (1992 :121) sebagai berikut :

1. Efisiensi biaya

Banyak para pemasang iklan memandang televisi sebagai media yang paling efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komersial atau non komersial. Salah satu keunggulannya adalah kemampuan menjangkau khalayak sasaran yang sangat luas. Jutaan orang menonton televisi secara teratur. Televisi tidak hanya menjangkau khalayak


(23)

sasaran yang dapat dicapai oleh media lainnya, tetapi juga khalayak yang tidak terjangkau oleh media cetak.

2. Dampak yang kuat

Keunggulan lainnya adalah kemampuannya menimbulkan dampak yang kuat terhadap konsumen atau penonton, dengan tekanan pada sekaligus dua indera, yaitu penglihatan dan pendengaran. Televisi juga mampu menciptakan kelenturan bagi pekerjaan-pekerjaan kreatif dengan mengkombinasikan gerakan, kecantikan, suara, warna, drama dan humor.

3. Pengaruh yang kuat.

Televisi mempunyai kemampuan yang kuat untuk mempengaruhi persepsi khalayak sasaran. Sebagian besar masyarakat meluangkan waktunya di depan televisi, sebagai sumber berita, hiburan dan sarana pendidikan. Sebagai calon pembeli lebih percaya pada perusahaan yang mengiklankan produknya di televisi daripada yang tidak sama sekali, sebab hal itu merupakan cerminan bonafiditas pengiklanan.

Dari beberapa pendapat di atas tampak bahwa televisi merupakan media komunikasi iklan yang efektif dan efisien. Hal ini bisa dilihat dari beberapa faktor, misalnya efisiensi biaya hingga daya tarik yang ditampilkan melalui media televisi sangat kuat. karena


(24)

adanya unsur kata-kata, musik, sound effect dan unsur visual berupa gambar hidup yang mampu menimbulkan kesan yang mendalam pada penonton. Dengan kata lain, dampak yang dihasilkan dari iklan sangat kuat dan juga pengaruh yang dihasilkan dari media televisi juga sangat kuat. Hal ini yang membuat para pengiklan berbondong-bondong menggunakan televisi sebagai sarana pengiklanan. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian khalayak agar segera terdorong untuk melakukan suatu tindakan yang sesuai dengan apa yang diinginkan dari pihak pengiklan.

2.1.2 . Periklanan

Periklanan merupakan penggunaan media bayaran oleh seorang penjual untuk mengkomunikasikan informasi persuasif, tentang suatu produk, jasa ataupun organisasi dan merupakan alat promosi yang kuat. Iklan mempunyai berbagai macam bentuk (nasional, regional, lokal, konsumen, industri, eceran; produk, merek, lembaga dan sebagainya) yang dirancang untuk mencapai berbagai macam tujuan (penjualan seketika, pengenalan merek, preferensi dan sebagainya) (Suyanto, 2007:143).

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Wells, Burnet dan Morianty 1998, mendefinisikan periklanan sebagai berikut :


(25)

“Advertising is paid non personal communication from an identified sponsor using mass media to persuade or influence an audience.”

”Iklan bukanlah komunikasi pribadi yang dibiayai dari sponsor terkenal yang menggunakan media massa untuk membujuk atau mempengaruhi suatu pendengar.”

Dari definisi diatas dapat dijelaskan bahwa definisi periklanan tersebut mengandung enam elemen (Sutisna, 2001: 275) antara lain:

1. Periklanan adalah bentuk komunikasi yang dibayar, walaupun tidak semua bentuk periklanan dibayar, seperti iklan layanan masyarakat, biasanya menggunakan ruang khusus yang gratis, kalaupun harus membayar maka dengan jumlah yang sedikit.

2. Dalam periklanan terjadi proses identifikasi sponsor, pesan yang disampaikan tidak hanya mengenai kehebatan produk yang ditawarkan saja, tetapi juga sekaligus menampilkan pesan mengenai perusahaan yang memproduksi produk yang ditawarkan tersebut.

3. Dalam periklanan terdapat upaya membujuk dan mempengaruhi konsumen.

4. Periklanan memerlukan elemen media massa sebagai elemen media penyampaian pesan.


(26)

5. Bersifat non personal (bukan pribadi) karena periklanan dikategorikan sebagai komunikasi massa.

6. Adanya audiens.

Hedges pun menambahkan bahwa iklan dapat dioperasikan dalam sejumlah tingkatan. Tingkatan tersebut antara lain:

a. Secara sederhana meningkatkan rasa suka, kesadaran akan keberadaan suatu merek produk. Seorang lebih suka membeli merk yang mereka kenal sebelumnya meskipun secara tidak sadar hal itu berhubungan dengan ingatan mereka terhadap iklan.

b. Iklan menunjukkan suatu informasi baik berupa slogannya maupun kemasannya.

c. Boleh jadi suatu iklan mengitari merk dengan asosiasi khusus seperti perasaan atau suasana hati.

d. Kadangkala argumentasi rasional ditempatkan diawal. Alasannya pada tingkatan itulah konsumen menaruh perhatian seperti yang diinginkan (Wilmshurt dalam Hizbul 2005:9).

Jadi, pengertian periklanan sendiri merupakan salah satu tahapan dalam pemasaran. Produk barang atau jasa, baik penamaannya, pengemasannya, penetapan harga dan distribusinya tercemin dalam kegiatan periklanan atau dengan kata lain tanpa adanya periklanan, maka berbagai produk tidak akan dapat mengalir secara


(27)

lancar ke para distributor atau penjual, atau bahkan sampai ke tangan konsumen atau pemakainya (Suyanto, 2007 : 143).

Oleh karena itu, tidak heran bila iklan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menarik perhatian, minat khalayak, serta memiliki karakteristik tertentu dan persuasif. Sehingga khalayak akan tertarik untuk memperhatikan setiap pesan yang ditayangkan iklan di televisi dan pada tahap selanjutnya khalayak secara sukarela terdorong untuk melakukan sesuatu tindakan yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pengiklan (Jefkins, 1997:18).

2.1.3 Representasi

Representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2006:24). Representasi juga berarti sebuah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia: dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa. Ada empat komponen dasar dalam industri media yang mengemas pesan dan produk.:

1. Khalayak yang memperoleh pesan dan mengkonsumsi produk.


(28)

3. Teknologi yang selalu berubah, yang membentuk baik industri maupun bagaimana pesan tersebut dikomunikasikan.

4. Serta Penampakkan akhir dari produk itu tersebut.

Komponen-komponen ini yang secara bersamaan berinteraksi di sekitar dunia sosial dan budaya, menempati suatu ruang yang diperjuangkan secara terus-menerus. Perubahan garis bentuk ruang ini dapat menimbulkan pola-pola dominasi dan representasi yang berbeda-beda. Film dan televisi mempunyai bahasanya sendiri dengan sintaksis (susunan kalimat) dan tata bahasa yang berbeda.

Tata bahasa itu terdiri dari bermacam-macam unsur yang akrab, seperti pemotongan gambar (Cut) pengambilan gambar jarak dekat (close up), pengambilan dua gambar (two shot) dan lain-lain. Akan tetapi, bahasa tersebut juga meliputi kode-kode representasi yang lebih halus, yang tercakup dalam kompleksitas dari penggambaran visual yang harfiah hingga simbol-simbol yang paling abstrak dan arbitret (berubah-ubah) serta metafora. Tingkatan representasi yang paling sederhana mencakup sekedar penggambaran informasi budaya nyata seorang pria berjalan pada sebuah jalan. Akan tetapi, bahasa film mulai bermain begitu kita ingin melakukan lebih banyak: memperlihatkan wajah dari jarak dekat, memperlihatkan dari depan bergerak menuju kamera, dari belakang menjauhi kamera, dan seterusnya. Representasi gabungan akan mengedit seluruh


(29)

penggambilan gambar yang berbeda kedalam satu rangkaian. Rangkaian-rangkaian inilah merupakan sumber dasar film (Sardar, Ziaudin, 2005:156).

Menurut Stuart Hall (1977), Representasi adalah salah satu praktek penting yang memproduksi kebudayaan. Kebudayaan merupakan konsep yang sangat luas, kebudayaan menyangkut pengalaman berbagi. Seseorang dikatakan berasal dari kebudayaan yang sama, membagi kode-kode kebudayaan yang sama, berbicara dalam bahasanya yang sama dan saling berbagi konsep-konsep yang sama.

Bahasa adalah medium yang menjadi perantara kita dalam memahami sesuatu, memproduksi dan mengubah makna. Bahasa mampu melakukan semua ini karena ia beroperasi sebagai sistem representasi lewat bahasa (simbol-simbol dalam tanda tertulis, lisan atau gambar) kita mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide tentang sesuatu, makna sesuatu hal sangat tergantung dari cara kita mempresentasikannya. Dengan mengamati kata-kata dan image yang kita gunakan dalam mempresentasikan sesuatu atau bisa terlihat jelas nilai-nilai yang kita berikan pada sesuatu tersebut.

Untuk menjelaskan bagaimana representasi makna lewat bahasa bekerja, kita bisa memaknai representasi. Pertama adalah pendekatan reflektif. Disini bahasa berfungsi sebagai cermin yang mereflesikan makna yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada di


(30)

dunia. Kedua, pendekatan intensional dimana kita menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan sesuatu sesuai dengan cara pandang kita terhadap sesuatu. Dan pendekatan yang ketiga, adalah pendekatan konstruksionis, pendekatan ini kita percaya bahwa kita mengkonstruksi makna lewat bahasa yang kita pakai.

Bagi Stuart Hall, ada dua proses representasi. Pertama mental yaitu konsep tentang sesuatu yang ada dikepala kita masing-masing (peta konseptual). Representasi mental ini masih berbentuk sesuatu yang abstrak. Kedua bahasa berperan penting pada proses konstruksi makna. Konsep abstrak yang ada dalam kepala kita harus diterjemahkan dalam bahasa yang lazim, supaya kita dapat menghubungkan konsep dan ide-ide kita tentang sesuatu dengan tanda dan simbol-simbol tertentu.

Kata lain, konsep representasi pada penelitian ini merujuk pada pengertian tentang bagaimana seseorang, sebuah kelompok atau sebuah gagasan ditujukan dalam media massa (Eriyanto, 2001:113). Dalam film, alat-alat representasi itu sebuah narasi besar, cara bercerita, skenario, penokohan, dialog dan beberapa unsur lain didalamnya. Menurut Gramere Turner (1991:128), makna film sebagai representasi dari realitas masyarakat berbeda dengan film sekedar sebagai refleksi dari realitas. Sebagai refleksi dari realitas, film sekedar memindah ke layar tanpa mengubah realitas itu. Sementara, sebagai representasi dari realitas, film membentuk dan menghadirkan kembali


(31)

realitas berdasarkan kode-kode, konvoi-konvoi ada ideologi kebudayaannya (Irawanto, 1999:15).

2.1.4 Eksistensi Perempuan Dalam Iklan

Pada pertengahan abad XIX (19) kreativitas iklan di media massa berkembang sangat cepat. Misalnya, iklan obat merek Borax

pada tahun 1880, sudah menampilkan gambar perempuan. Pada titik kreativitas ini, perempuan pertama kali mulai dipergunakan sebagai ilustrasi iklan. Pabrik obat mempergunakan perempuan bugil untuk mengomunikasikan obat penghilang rasa sakit. Sejak saat itulah, banyak kesempatan kerja bagi perempuan untuk menjadi model iklan, karena iklan menggunakan perempuan sebagai modelnya. Model dalam iklan akan menjadi stereofikasial untuk memberi image dan persuasi barang produksi. Visualisasi yang stereotif tentang perempuan dalam iklan tetap dominan. Stereotif ini, dimanfaatkan habis-habisan untuk menggaet konsumen di tengah-tengah pasar yang sangat tajam persaingannya (Kuswandi, 2008:65).

Dalam kenyataan sehari-hari keberadaan dunia perempuan pada umumnya, antara lain:

a. Tubuh, yaitu perawatan tubuh, kosmetik, fashion dan aksesori. b. Dapur, yaitu melayani makan seluruh keluarga.

c. Kasur, yaitu melayani suami di tempat tidur.


(32)

e. Kantor, yaitu urusan yang berhubungan dengan pekerjaan, karena pada umumnya perempuan kini bekerja.

Dari lima kenyataan dunia perempuan diatas menandakan bahwa peran perempuan bukan hanya bergerak dalam lingkungan domistik (rumah tangga), tetapi juga publik yakni aktif di organisasi dan bekerja. Dengan demikian, citra perempuan bukan hanya berperan ganda tetapi juga berbeban ganda (Kuswandi, 2008:66).

2.1.4.1 Seksisme Perempuan

Menurut Drs. Wawan Kuswandi dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Massa, Analisis Interaktif Budaya Massa, menjelaskan bahwa iklan sudah merajalela di media massa. Tampilan ilustrasi dan gambar iklan baik TV maupun media cetak, sebagian besar memuat perempuan sebagai objeknya. Akibatnya, muncul istilah seksisme perempuan dalam iklan. Istilah ini dikumandangkan akhir tahun 1960-an oleh para pembela hak perempuan.

Seksisme dalam konteks ini adalah penampilan, tingkah laku dan tindakan lainnya yang mengekspresikan penilaian bahwa citra perempuan lebih kurang, lebih lemah, dan lebih rendah (inferior) daripada laki-laki.

Seksisme dalam iklan bisa berbentuk berbagai wujud ragam ekspresi yang mengabaikan, menyingkirkan (eksekusi), bahkan memusuhi dan memerangi perempuan (2008:67).


(33)

NOW ( National Organization For Woman) di Amerika Serikat ini telah melakukan riset terhadap iklan yang menampilkan perempuan dan hasilnya adalah :

1. Perempuan sebagai obyek seks.

2. Perempuan ditampilkan sebagai sosok yang kurang rasional.

3. Perempuan ditampilkan sebagai Ibu Rumah Tangga yang ketinggalan zaman (Kuswandi, 2008: 68).

Menurut Alldi Vanjatesh dalam bukunya Changing Roles Of Woman, perempuan dapat dikelompokkan berdasarkan pola perilaku dan sikap, diantaranya ialah :

A. Tradisionalists, yaitu kaum perempuan yang berpegang pada konsep tradisional. Perempuan adalah Sub-Ordinate dari kelompok pria dan berperan sebagai ibu rumah tangga (Wives Not Employed). Perempuan tipe ini adalah seorang perempuan yang penurut dan menghargai peran pria sebagai kepala rumah tangga.

B. Moderates, yaitu perempuan yang mulai mengalami masa transisi (perubahan) konsep peran. Disini perempuan berperan sebagai Partner (rekan pria), tetapi juga mampu berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Sifat perempuan ini selalu terbuka dan kompromi.


(34)

C. Feminists, yaitu perempuan modern yang mandiri yang beranggapan bahwa perempuan dapat berperan sejajar bahkan lebih baik dari pria (Kuswandi, 2008: 68).

Penggelompokkan perempuan berdasarkan pola perilaku dan sikap, memang tidak pernah ada kesamaan pendapat tentang penilaian keberadaan perempuan sebagai obyek iklan TV. Masing-masing kelompok mempunyai penilaian dan argumentasi sendiri. Namun, di kelompok mana pun perempuan itu berada, tetap saja perempuan selalu berperan sebagai pengguna (user) serta pembeli (buyers) yang mempunyai posisi vital dalam menentukan pola konsumsi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya kebutuhan rumah tangga (Kuswandi, 2008: 69).

2.1.5 Pencitraan Perempuan

Media, di satu pihak, telah berhasil menyebarkan ke seluruh tubuh sosial nilai pembebasan dan kesetaraan sehingga lebih banyak orang menyadari akan haknya; di lain pihak, media juga gencar menyebarkan dan menawarkan nilai hedonis. Maka, tidak mengherankan bahwa harapan yang diletakkan pada media untuk menjadi pelopor budaya yang berkualitas, akhirnya jatuh dalam hal pemberitaan hal yang remeh, gosip selebritis, dan kriminalitas. Bahkan berbagai bentuk iklan semakin memacu konsumsi. Dan sudah menjadi rahasia umum, bila keprihatinan utama media adalah keuntungan, yang


(35)

tentu saja perlu dihiasi dengan pernik-pernik idealisme kemanusiaan. Keuntungan hanya mungkin kalau punya pengaruh. Maka, mempengaruhi dan membentuk citra bergeser menjadi obsesi media. Pencitraan mendiskualifikasikan kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas (J. Baudrillad, 1981:17).

Dalam konteks penelitian iklan permen sukoka ini, pencitraannya lebih berorientasi pada simbol kehidupan yang sengaja dibangun oleh pengiklannya. Alasannya karena pencitraan tersebut merupakan suatu gambaran yang sengaja dibangun oleh pihak para pengiklan dan media untuk mempengaruhi cara manusia mengorganisasikan citranya tentang lingkungan dan dari pencitraan inilah yang mempengaruhi cara manusia berperilaku. Oleh sebab itu, tidak heran bila langkah strategi pesan dari pengiklan disebut dengan strategi citra merek atau brand image. Dalam strategi citra merek terdapat bentuk strategi yaitu strategi differensiasi. Maksudnya adalah sampai di mana produk atau brand tersebut mampu membangun image

khusus, unik, atau berbeda pada masyarakat tontonan

(http://google.co.id//logika-waktupendek-media//).

Selain itu, menurut Tamrin Amal Tomagola Ph.D, M.A., sosiolog Universitas Indonesia, mengatakan bahwa eksploitasi perempuan dalam iklan harus terus dipersoalkan, karena telah melanggengkan kemapanan dari subsistem dan struktural yang


(36)

sebenarnya tidak memberikan tempat setara, dan tidak adil antara perempuan dan laki-laki serta menutup kemungkinan memunculkan potensi-potensi dari perempuan (Kuswandi, 2008:69).

Untuk memperkuat argumentasinya, sosiolog ini membuktikan lewat hasil penelitiannya, tentang perempuan. Dalam penelitian itu terungkap ada lima citra yang melekat dari seorang perempuan dalam setiap obyek iklan, yaitu:

1. Citra Pigura: Dalam citra ini perempuan digambarkan sebagai makhluk yang halus dan memikat. Untuk itu ia harus menonjolkan ciri biologis, seperti buah dada, pinggul maupun ciri keperempuanan yang dibentuk budaya, seperti rambut panjang, betis ramping dan mulus.

2. Citra Pilar: Dalam citra ini perempuan digambarkan sebagai pilar pengurus rumah tangga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tetapi kodratnya berbeda. Sehingga wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya adalah di dalam rumah tangga. Sebagai pengurus rumah tangga, perempuan berkewajiban atas keindahan fisik rumah, suami, pengelolaan sumber daya rumah tangga (financial maupun SDM termasuk di dalamnya ialah anak-anak).

3. Citra Peraduan: Dalam citra ini, perempuan diasumsikan sebagai obyek pemuasan nafsu laki-laki, khususnya pemuasan


(37)

seksual. Seluruh kecantikkan (alamiah dan buatan) perempuan disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan menyentuh, memandang dan mencium. Iklan jenis ini, ingin memberi kesan bahwa perempuan merasa dirinya presentable, acceptable, dihargai, dan dibutuhkan laki-laki. Dalam jenis iklan permen sukoka ini menggunakan asosiasi untuk membangun persamaan pandangan tentang perlunya sentuhan dan rabaan laki-laki dengan jenis produk yang ditawarkan dalam iklan. Sehingga akan memunculkan sebuah penganalogian rasa susu yang terdapat dalam kandungan permen tersebut dengan rasa sentuhan payudara wanita ketika sedang mengendarai sepeda motor, ia secara otomatis teringat pada sentuhan rasa yang dikandung dalam permen sukoka dengan payudara wanita, dan sebaliknya pada saat ada sentuhan payudara dari pasangannya, ia akan teringat pada Permen Sukoka.

4. Citra Pinggan: Dalam citra ini digambarkan bahwa setinggi apa pun pendidikan maupun penghasilan kerja perempuan kewajibannya adalah di dapur. Tetapi berkat kemajuan teknologi, kekuatan perempuan di dapur tidak berat lagi. Jadi pembagian kerja secara seksual antara perempuan dan pria, kini berubah secara drastis. Ciri menarik dari jenis iklan ini ialah dalam body copy, nyaris tidak ada suggestiveinformation, yang


(38)

ada adalah property produk tertentu. Justru yang diberikan sangat metodis, seolah-olah mengatakan bahwa dengan cara do it your self, kegiatan dapur tidak jauh berbeda dengan dunia pabrik. Dengan gaya ini, maka akan timbul ilusi psikologis bagi perempuan.

5. Citra Pergaulan : Dalam citra ini perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi dengan kekhawatiran tidak memikat, tidak menawan, tidak bisa dibawa ke tempat umum dan sebagainya. Iklan ini mengesankan bahwa perempuan sangat ingin diterima oleh lingkungan sosial tertentu. Untuk dapat diterima, perempuan harus memiliki penampilan fisik yang menarik seperti bentuk lekuk tubuh, aksentuasi tertentu dengan menggunakan kosmetik atau aksesori yang selaras, sehingga bisa tampil anggun. Ini artinya, kaum perempuan dianjurkan untuk membuat statement tentang kepribadiannya melalui hal-hal fisik seperti pakaian, perihasan sehari-hari (Kuswandi, 2008 : 69).

2.1.6 Pendekatan Semiotik dalam Iklan Televisi

Menurut John Fiske dalam introduction to communication studies, komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal, namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat membaginya dalam dua perspektif,


(39)

yaitu : segi proses, serta sisi produksi dan pertukaran makna (Fiske, 2006: 9). Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua yakni: sisi produksi dan pertukaran makna.

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi, karena ada pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikansinya dan bukan kejelasan sebuah pesan yang disampaikan. Untuk itulah, pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks (iklan) dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.

Menurut chandler pada tahun 2002 model linguistik seringkali mengarahkan unit analisis sebuah media audio visual pada analogi-analogi linguistik. Pada semiotik film (iklan), model ini mengeneralisasikan secara kasar bahwa dalil-dalil dalam film (iklan) sama dengan bahasa tulis, seperti : frame sebagai morfem atau kata, shot sebagai kalimat, scene sebagai paragraph, dan sequence sebagai bab. Bagi anggota dari Glasgow University Media Group, unit analisis sebuah film (iklan) adalah shot yang dibatasi oleh cuts dan camera


(40)

kemungkinan digunakan shot sebagai analisis adalah sangat kecil, karena tingkat kesulitan yang tinggi. Akhirnya, untuk menghindari pertentangan term linguistik tersebut, Algidras Greimas menggunakan

term “seme” yang merupakan unit bermakna dari sebuah tanda (www.aber.ac.uk).

Artinya, dalam menerapkan pendekatan semiotik pada iklan televisi, kita harus memperhatikan aspek medium televisi yang berfungsi sebagai tanda. Dari sudut pandang inilah, pengambilan kamera untuk selanjutnya disebut Shot dan kerja kamera (camera work) saja. Hal ini karena, dengan cara ini peneliti bisa memahami

shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Misalnya, Close-Up (CU) Shot yaitu, pengambilan kamera dari leher ke atas atau menekankan bagian wajah. Makna dari (CU) shot adalah keintiman dan sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera, yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya

Panning-Up atau Pan-Up yaitu gerak kamera mendongak pada poros horizontal atau dengan kata lain kamera melihat ke atas dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada obyek yang diambil. (Berger, 1982: 37)

Sumarno menambahkan bahwa tidak hanya Shot dan Camera Work yang harus diperhatikan, tetapi suara juga harus diperhatikan. Karena, suara meliputi Sound Effect dan musik. Televisi sebagai media audio visual tidak hanya mengandung unsur visual, namun juga suara.


(41)

Sebab suara merupakan aspek kenyataan hidup. Seperti halnya, suara menghentak, lemah dan sebagainya memiliki makna yang berbeda-beda. Artinya, setiap suara mengekspresikan sesuatu yang unik. (Sumarno, 1996: 71).

Pembuatan iklan diasumsikan sama dengan pembuatan film cerita. Hal ini dikarenakan analisis semiotik yang dilakukan pada cinema atau film layar lebar menurut Fiske disetarakan dengan analisis film (iklan) yang ditayangkan di Televisi. Sehingga, analisis yang dilakukan pada iklan “ Permen Sukoka “ dibagi menjadi dua level, yaitu:

1. Level Realitas

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan

make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku, ucapan, gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis. Kode-kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa:

1. Penampilan, kostum dan make-up yang digunakan oleh model diiklan “ Permen Sukoka ”. Dalam penelitian ini tokoh yang menjadi obyek penelitian adalah tokoh wanita perayu yang ada di dalam versi iklan tersebut. Bagaimana pakaian yang digunakan dan penampilan bahasa tubuh yang diperagakan, serta apakah kostum dan penampilan yang ditampilkan tersebut


(42)

memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.

2. Lingkungan atau Setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.

3. Dialog, apa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog.

2. Level Representasi

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog,

setting, tagline, casting dan sebagainya

(http://G:/level_representasi_w.html). Level representasi meliputi: a. Teknik Camera

Ada tiga jenis Shot gambar yang paling dasar, yaitu :

1) Long Shot (LS), Shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot

(LES), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar Long Shot ini menggambarkan dan memberikan informasi


(43)

kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk body language, ekspresi tubuh, gerak cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan itu.

2) Medium Shot (MS), Shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari Medium Shot dapat dikembangkan lagi menjadi Wide Medium Shot (WMS), gambar Medium Shot tetapi agak melebar kesamping kanan-kiri. Pengambilan gambar Medium Shot

menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan Long Shot.

3) Close-Up (CU), Shot gambar yang jika obyeknya adalah manusia, maka diukur dari bahu hingga sedikit ruang diatas kepala. Pengambilan gambar Close Up

menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.

4) Extreme Close-Up, menggambarkan secara details ekspresi pemain dari suatu peristiwa (lebih detail pada


(44)

ekspresi tubuh, contohnya : mata, bibir, tangan, dan sebagainya).

Sedangkan untuk teknik perpindahan kamera, antara lain: 1) Zoom, gerakan kamera yang secara cepat, baik

sesungguhnya maupun buatan, menuju suatu objek. Selain itu juga, diterapkan ketika menjauhi objek (Effendy, 2002 : 156). Biasanya, digunakan untuk memberi kejutan pada penonton, penekanan dialog dan atau tokoh, setting serta informasi tentang situasi dan kondisi.

2) Dollying, pergerakan kamera selama pengambilan gambar dengan menggunkan kendaraan beroda yang mengakomodasikan kamera dan operator kamera (Effendy, 2002: 135). Kecepatan dollying ini mampu mempengaruhi perasaan penonton.

3) Follow Shot, pengambilan gambar dengan kamera bergerak berputar untuk mengikuti pergerakkan pemeran dalam adegan (Effendy, 2002: 138).

4) Swish Pan, gerakan panning ketika kamera digerakkan secara cepat dari sebuah sisi ke sisi lain, menyebabkan gambar di film menjadi kabur untuk memunculkan kesan gerakan mata secara cepat dari sisi ke sisi yang


(45)

lainnya. (Effendy, 2002: 152) untuk menciptakan kondisi psikis penonton terlibat dalam adegan.

5) Teknik Editing

Editing merupakan proses pemilihan potongan film yang telah dihasilkan dan digunakan sehingga membentuk urutan kesatuan cerita yang koheren. Beberapa teknik editing, antara lain :

1. Cut, transisi instant dari suatu gambar ke gambar lainnya. Menunjukkan bahwa tidak ada jeda waktu.

2. Cut Back, mengubah gambar dalam film secara cepat dari adegan saat ini ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya. Pemotongan ini dilakukan tanpa ada transisi.

3. Cut To.., secara cepat mengubah gambar dalam film dari adegan masa kini ke adegan lainnya, tanpa ada transisi (Effendy, 2002: 133).

4. Jump Cut, melakukan pemotongan dari suatu pengambilan gambar ke gambar lainnya pada sebuah film tanpa ada penyesuaian (Effendy, 2002:140). Biasanya cut ini bertujuan membuat adegan dramatis.


(46)

b. Pencahayaan c. Penataan Suara d. Penataan Musik

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada pencahayaan, penataan suara dan musik yang ada dalam level representasi, karena ketiganya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi pencitraan perempuan di iklan “ Permen Sukoka “.Penggunaan semiotika dalam iklan telah menjadi bagian penting dalam masyarakat modern. Analisis iklan dengan pendekatan semiotika dapat dilakukan mengingat iklan yang merupakan fenomena semiotika (advertisement semiotic activity). Masyarakat sekarang lebih berorientasi pada apa yang dilihatnya dan telah banyak menggunakan sistem tanda lain di luar sistem tanda verbal (Panut, 1992: 56).

2.1.7 Semiotika Charles S. Pierce

Teori dari Pierce menjadi Grand Theory dalam semiotika. Gagasan bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasikan partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal (Sobur, 2002: 97 - 98).


(47)

Pierce mendefinisikan semiotik sebagai suatu hubungan antara tanda, obyek dan makna (Littlejohn,1999: 60 – 61). Teori segitiga makna (triangle meaning) Pierce, terdiri atas:

a. Sign (tanda), yang mempresentasikan suatu obyek

(object). Bagi Pierce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas tanda dapat “ berarti ” sesuatu bagi seseorang jika hubungan yang “ berarti “ ini diperantarai oleh interpretasi (Sudjiman, 1996: 43).

b. Object (objek), sesuatu yang diwakili oleh sign (Cobley, 1997: 22).

c. Interpretant (interpretasi), suatu konsep mental yang diproduksi baik oleh tanda maupun pengalaman, pengetahuan user atau penerima pesan (Fiske, 2000: 42). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara, interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh sebuah tanda. Apabila, ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Pembahasan dari teori segitiga makna adalah persoalan tentang bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya


(48)

ditampilkan sebagai tampak dalam gambar berikut ini : (Fiske, 1990: 42 dalam Sobur, 2002: 115).

SIGN

INTERPRETANT OBJECT Gambar 2.1 : Elemen Makna Model Pierce

Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya-interpretant (Fiske, 2006: 63).

Dengan kata lain, masing-masing elemen dapat dimaknai atau hanya dapat dipahami jika ketiganya saling berhubungan. Sign

mengacu pada sesuatu diluar dirinya, yaitu Object yang dipahami oleh seseorang dan memiliki efek dalam pikiran pemakainya atau penerimanya yang disebut interpretant. Dalam hal ini interpretant bukanlah pemakai tanda tentang obyek yang dimaksud. Obyek dikategorikan menjadi tiga, yakni :

a. Ikon (Icon), ketika sign berhubungan dengan obyek atas dasar kemiripan atau keserupaan.

b. Simbol (Symbol), ketika sign berhubungan dengan obyek berdasarkan makna konvensional.


(49)

c. Indeks, ketika sign berhubungan sebab-akibat dengan obyek (Cobley, 1997: 33).

Gambar 2.2 Model Kategori Tanda Pierce

Seperti contoh, interpretasi kata “ cinta ” bagi seseorang merupakan hasil pengetahuan, pengalaman pemakai tanda tentang kata tersebut, dan tentang perasaan yang disebut disini “ cinta” sebagai obyek. Interpretasi tidak dapat ditentukan secara pasti seperti halnya terjemahan kamus, tetapi dapat bervariasi sesuai dengan batas-batas pengetahuan atau pengalaman dari pemakainya. Batas-batas tersebut terbentuk oleh konvensi sosial dan variasi terjadi karena perbedaan sosial psikologis masing-masing individu pengguna tanda tersebut (Fiske, 2000: 42).

2.1.8 Konsep Makna

Ada dua model makna yang sangat berpengaruh. Pertama, model dari filsuf dan ahli logika, CS Pierce, Ogden, dan Richard. Kedua, model dari ahli linguistik Ferdinand de Saussure.

IKON

INDEKS


(50)

Pierce, ahli semiotika dari Amerika, menjelaskan modelnya secara sederhana. Tanda adalah sesuatu yang dikaitkan pada seseorang untuk sesuatu dalam beberapa hal atau kapasitas. Tanda menunjukkan pada seseorang, yakni menciptakan di benak orang tersebut suatu tanda yang setara, atau barangkali suatu tanda yang lebih berkembang. Tanda yang diciptakannya dinamakan interpretant, dari tanda pertama. Tanda itu menunjukkan sesuatu, yaitu obyeknya. (Pierce mengutip Zaman dalam Fiske, 1990).

Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan object adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda (Suprapto, 2009: 100).

Ketiga istilah Pierce tersebut menunjukkan panah dua arah yang menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu kepada sesuatu diluar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang serta ini memiliki efek dibenak penggunanya-interpretant. Apabila, ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka muncullah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut (Suprapto, 2009: 101). Konsep makna sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Fisher (1986: 343) merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian para ahli filsafat dan teorisi ilmu sosial selama 2000 tahun silam adalah makna dari sebuah wahana tanda yang


(51)

merupakan satuan kultural dan diperagakan oleh wahana-wahana tanda lainnya serta dengan begitu secara sematik menunjukkan pola ketergantungan pada wahana tanda sebelumnya (Pateda, 2001:7).

Menurut Kempson, ada tiga hal yang dijelaskan para filsuf dan linguistic sehubungan dengan usaha menjelaskan istilah makna. Tiga hal tersebut, yaitu : (1) menjelaskan makna secara ilmiah, (2) Mendeskripsikan kalimat secara ilmiah dan (3) Menjelaskan makna dalam proses komunikasi (Pateda, 2001:79).

Agar dapat mengungkapkan makna, perlu dibedakan beberapa pengertian, antara lain (1) Terjemah atau translation, (2) Tafsir atau interpretasi, (3) Eksplantasi, dan (4) Pemaknaan atau

meaning (Muhadjir, 1998:1380). Menurut Devito, makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Manusia menggunakan makna yang diinginkan memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarga laki-laki dan perempuan yang menjadi tanggunggannya, berikut budak laki-laki maupun perempuan. Istilah “

Patriarkhi “ ini menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak didalam keluarga, dan ini berlanjut pada dominasi semua lingkup kemasyarakattan lainnya. “ Patriarkhi ” adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan, kesehatan, iklan, agama, dan bahwa pada dasarnya perempuan tercabut dari akses terhadap kekuasaan itu. Namun pada


(52)

kenyataannya, dalam masyarakat patriarkhi perempuan dijadikan sebagai obyek represif dan diskriminasi berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang dikonstruksi melalui sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Tampilan media yang menempatkan kaum perempuan lebih banyak pada peran reproduktif (di sektor domestik) dibandingkan dengan peran produktif (di sektor publik). Hal ini disebabkan oleh dominannya nilai-nilai budaya patriarkhi dalam kehidupan ini.

2.1.9 Respon Psikologi Warna

Warna merupakan simbol yang menjadi penandaan dalam suatu hal. Warna juga boleh dianggap sebagai satu fenomena psikologi. Respon psikologi dari masing-masing warna:

1. Merah :Power, energi, kehangatan, cinta, nafsu, agresi,bahaya.Merah jika dikombinasikan dengan putih, akan mempunyai arti “ bahagia “ di budaya oriental.

2. Biru :Kepercayaan, konservatif, keamanan, technologi, keberhasilan dan keteraturan.

3. Hijau :Alami, sehat, keberuntungan dan pembaharuan. 4. Kuning :Optimis, harapan, filosofi, ketidakjujuran, pengecut

(untuk budaya barat) dan pengkhianat.

5. Ungu/ Jingga :Spiritual, misteri, kebangsawanan, transformasi, kekerasan, keangkuhan.


(53)

6. Orange : Energi, keseimbangan dan kehangatan.

7. Coklat : Tanah/ bumi, reliability, comfort dan daya tahan. 8. Abu-abu : Intelek, masa depan (seperti warna millennium),

kesederhanaan dan kesedihan.

9. Putih :Kesucian, kebersihan, ketepattan, ketidak bersalahan, seteril dan kematian.

10.Hitam :Power, seksualitas, kecanggihan, kematian, misteri, ketakutan, kesedihan, dan keanggunan (http:// google.co.id//07-tips-bentukwarna1//).

Warna dan artinya, mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap sesuatu yang dilekatinya. Warna juga memberi arti terhadap suatu objek, hampir semua bangsa di dunia memiliki arti tersendiri pada warna. Hal ini dapat dilihat pada bendera nasional masing-masing, serta upacara-upacara ritual lainnya yang sering dilambangkan dengan warna-warni (Cangara, 2005: 109).

2.1.10 Iklan Permen Sukoka

Permen Sukoka merupakan produk baru dari PT Unican Surya Agung yang sebelumnya terkenal dengan produknya Jagoan Neon dan Milkita Candy. Permen ini termasuk jenis permen padat atau hard candy dengan rasa susu kopi dan kalsium (Sukoka). Komposisi dalam permen ini antara lain: Gula, Glukosa, Susu kental manis,


(54)

Lemak Nabati, Kopi Bubuk, Kalsium Karbonat, Perisa Kopi, Pengemulsi Nabati.

Susu biasanya dikenal sebagai minuman penguat tulang dan gigi karena kandungan kalsium yang dimilikinya. Tetapi, sebenarnya ada banyak kandungan nutrisi yang ada, misalnya fosfor, zinc, vitamin A, vitamin D, vitamin B12, vitamin B2, asam amino dan asam pantotenatyang memiliki manfaat sebagai:

1. Potasium, yang menggerakkan dinding pembuluh darah agar tetap stabil, menghindarkan Anda dari penyakit darah tinggi dan jantung. 2. Zat besi, mempertahankan kulit tetap bersinar.

3. Tyrosine, mendorong hormon kegembiraan dan membuat tidur lebih nyenyak.

4. Kalsium, menguatkan tulang.

5. Magnesium, menguatkan jantung dan sistem saraf sehingga tidak mudah lelah.

6. Yodium, meningkatkan kerja otak besar. 7. Seng, menyembuhkan luka dengan cepat.

8. Vitamin B2, meningkatkan ketajaman penglihatan.

Kopi merupakan stimulan atau perangsang dalam arti positif, yaitu dengan secangkir atau permen kopi bisa mengawali hari yang baru dengan penuh semangat, karena tubuh terasa lebih segar sehingga gairah kerja meningkat. Hal ini disebabkan di dalam kopi terdapat zat yang dapat membantu merubah cadangan lemak menjadi energi yang


(55)

disebut dengan kafein. Kafein merupakan bagian dari kelompok senyawa yang dikenal sebagai metilsantin, sedangkan bagian lain dari senyawa ini dikenal sebagai trofilin dan teobromin yang terdapat secara alamiah dalam 63 jenis species tumbuhan. Dan salah satu sumber utama kafein adalah kopi. Kafein memang masuk dalam golongan zat yang punya kemampuan menstimultan otak. Manfaat bagi yang mengkonsumsinya yakni, akan mendapatkan kekuatan ekstra untuk berperang melawan rasa lelah. Hal ini karena munculnya semangat yang tinggi (file:///G:/.manfaat-kopi.html).

Hampir 99% kalsium dalam tubuh disimpan dalam tulang dan gigi. Sisanya tersebar di darah dan jaringan lunak, yang memiliki peran sangat penting. Tanpa adanya kalsium, otot tidak dapat berkontraksi dengan benar, darah tidak bisa membeku, dan saraf tidak dapat membawa pesan. Manfaat dari kalsium adalah untuk meringankan sindrom pramenstruasi (PMS), membentuk tulang dan gigi. Oleh karena itu, tidak mengherankan, bila semakin Menjamurnya suplemen dan makanan padat yang mengandung kalsium dan susu kalsium tentu perlu disikapi dengan bijaksana. Yang perlu diperhatikan, ada tiga jenis suplemen kalsium : kalsium karbonat, kalsium sitrat, dan kalsium fosfat. Kalsium karbonat memang paling banyak digunakan dalam suplemen dan produk makanan padat. Karena, Jenis ini paling baik diserap ketika dicerna bersama makanan. Berlawanan dengan itu, kalsium sitrat justru penyerapannya paling


(56)

baik jika dicerna tanpa makanan. Pada manusia normal, penyerapan dua jenis kalsium itu tidak banyak berbeda dan sebaik penyerapan kalsium dari susu (file:///G:/. Manfaat_suplemen_kalsium.html).

2.2 Kerangka Berpikir

Iklan dan media massa, khususnya televisi merupakan satu kesatuan magnet yang utuh bagi perusahaan dalam mempromosikan produk yang dimilikinya, dengan harapan agar dapat menarik masyarakat untuk melakukan peniruan terhadap penampilan model iklan. Tujuannya, tidak lain adalah untuk meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk yang ditawarkan dan yang untung tentu saja perusahaan yang barang atau jasanya diiklankan.

Oleh karena itu, Tidak mengherankan bila peran perempuan selalu dibutuhkan sebagai alat dalam penyampaian pesan. Karena tanpa kehadirannya, mustahil rasanya bila sebuah iklan di televisi akan memperoleh perhatian pemirsa, sehingga dapat dipastikan bahwa perempuan dalam iklan menjadi faktor dominant dalam sosialisasi nilai atau pesan pada iklan.

Dari berbagai macam iklan yang tayang di televisi, peneliti tertarik untuk meneliti iklan “Permen Sukoka”. Karena iklan ini menceritakan bagaimana seorang model perempuan dalam iklan ini lebih menonjolkan ciri biologis yang dimilikinya seperti bentuk dan rasa buah dada yang disamakan dengan kandungan rasa susu yang ada


(57)

dalam permen Sukoka, ketika ia tiba-tiba didatangi seorang model laki-laki yang meminta permen sembari melihat buah dada model perempuan dan menggoyangkan lidahnya. Efek yang terjadi setelah mengkonsumsi permen tersebut, sang model laki-laki membayangkan apakah rasa yang ada didalam permen ini sama dengan rasa ketika dia membonceng model perempuan dan mengerem sepeda motor secara mendadak yang seakan-akan rasa permen yang mengandung susu tersebut sama dengan rasa kandungan buah dada yang ditonjolkan oleh model perempuan. Ataukah setelah itu badan sang model laki-laki menjadi semakin bergairah dan bugar. Hal ini dapat dilihat dimana seorang model laki-laki tersebut mampu menggendong model perempuan di tempat umum, tanpa ada rasa canggung atau malu dari kedua model yang ditampilkan dalam iklan tersebut.

Berdasarkan konteks ini bagaimana realitas sosial dibentuk oleh iklan televisi, kemudian bagaimana proses konstruksi iklan televisi atas realitas sosial, apa makna dan implikasi sosial suatu simbol realitas sosial iklan televisi bagi masyarakat. Kekuatan konstruksi sosial iklan televisi memiliki kemampuan mengkonstruksi realitas sosial dan keputusan konsumen, sehingga yang terjadi pada pemirsa iklan televisi bahwa realitas iklan televisi membentuk pengetahuan dan pola pikir pemirsa tentang citra sebuah produk. Iklan ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan model semiotika Charles.S. Pierce, yang membagi tanda berdasarkan objeknya, yaitu :


(58)

ikon, indeks dan simbol. Selain itu, juga menggunakan tanda (Sign) sebagai representasi dari suatu makna di luar tanda atau makna yang sebenarnya, yaitu objek (object) dan dipahami oleh peserta komunikasi (interpretant).

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Iklan : Permen

Sukoka

Analisis Semiotik : Ikon, Indeks, Simbol

Interpretasi (Triangle Of Meaning)


(59)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Di dalam representasi penggambaran perempuan dalam iklan “ Permen Sukoka “ harus diketahui terlebih dahulu tanda-tanda yang terdapat didalamnya, adapun digunakannya metode deskriptif kualitatif karena metode ini akan lebih mudah menyesuaikan bila dalam penelitian ditemukan kenyataan ganda, kemudian deskriptif kualitatif lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 1995: 5) selanjutnya akan menjadi corpus dalam penelitian ini. Dan kemudian secara khusus penelitian menggunakan metode penelitian analisis semiotika. Dengan menggunakan metode semiotik, peneliti berusaha menggali realitas real yang didapatkan melalui interpretasi atau memaknai tanda-tanda yang ditampilkan dalam iklan “Permen Sukoka” di televisi . karena iklan merupakan bidang kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.


(60)

3.2 Kerangka Konseptual 3.2.1. Corpus

Dalam penelitian kualitatif diperlukan adanya suatu pembahasan masalah yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsur akan memelihara sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat sehomogen mungkin, baik homogen pada taraf waktu (sincrony) (Kurniawan, 2001: 70).

Corpus adalah kata lain dari sample, yang bertujuan khusus dipergunakan untuk analisis semiotika dan analisis wacana. Pada penelitian kualitatif ini memberikan peluang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif. Corpus dalam penelitian ini adalah citra perempuan dalam iklan permen Sukoka.

3.2.2. Definisi Operasional Konsep

3.2.2.1. Representasi Pencitraan Perempuan

Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris

represent yang bermakna stand for, artinya berarti, atau juga act as delegate for yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Representasi juga, dapat diartikan sebagai proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Oleh karena itu, yang


(61)

dimaksud dengan representasi wanita perayu dalam iklan “ Permen Sukoka” berarti bahwa di dalam iklan ini terdapat sistem tanda pada tokoh wanita perayu yang memiliki makna tentang eksistensi dan seksisme perempuan.

Pencitraan dalam konteks iklan ini merupakan suatu gambaran yang cenderung mempengaruhi cara manusia mengorganisasikan citranya tentang lingkungan dan citra inilah yang mempengaruhi cara manusia berperilaku tanpa citra manusia akan selalu berada dalam suasana yang tidak pasti. Alasannya karena pencitraan tersebut merupakan suatu gambaran tentang realitas dan tidak harus selalu sesuai dengan realitas. Atau dengan kata lain pencitraan adalah dunia menurut persepsi yang sengaja dibangun oleh pihak pengiklan dan media itu sendiri.

Seksisme adalah adalah cara pikir, sikap, tingkah laku dan tindakan lainnya yang mengekspresikan penilaian bahwa perempuan lebih kurang, lebih lemah, dan lebih rendah (inferior)

daripada laki-laki. Akibatnya, muncul istilah perempuan sebagai objeknya atau yang dikenal dengan istilah seksisme perempuan dalam iklan.

Model perempuan dalam iklan “Permen Sukoka” ini digambarkan sebagai citra peraduan, karena perempuan dianggap sebagai obyek pemuasan nafsu laki-laki, khususnya pemuasan seksual dengan lebih menonjolkan ciri biologis yang dimilikinya


(62)

seperti bentuk dan rasa buah dada yang disamakan dengan kandungan rasa susu yang ada dalam permen Sukoka. Tidak mengherankan, bila sebagian orang mengadu pada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia).

3.2.3. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah setiap tanda yang berupa gambar, kata-kata serta warna yang terdapat dalam iklan Permen Sukoka, berupa tokoh perempuan yang seksi dan sedang asyik bercengkrama dengan seorang laki-laki yaitu dengan hanya mengenakan kemben dan kain pantai di salah satu kedai makanan dan minuman yang berada di sebuah kawasan wisata. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian kaum laki-laki untuk segera menghampirinya, khususnya dalam hal pemuasan seksual. Hal ini dapat dilihat dari gerakan nonverbalnya, berupa mimik wajah dari tokoh perempuan dan laki-lakinya serta lenggokkan bahasa tubuhnya yang seksi, meski ia tidak mempertontonkan payudaranya secara keseluruhan. Namun dari pembahasan tubuhnya yang seksi tersebut membuat laki-laki yang berada dihadapannya tertarik untuk meminta susu dengan ekspresi tatapan mata nakal yakni dengan sesekali menatap bentuk buah dada dan postur tubuh yang dilenggok-lenggokkan oleh tokoh perempuan tersebut. Karena kaget tokoh perempuan itupun secara spontan mengangkat salah satu telapak


(63)

tangannya kearah kemben yang dipakainya sedangkan tangan yang satunya mengambil permen tersebut dari dalam kemben yang diselipkan diantara payudara sembari berucap “hah susu, mau nyusu sukoka” dengan ekspresi wajah ceria tanpa malu. Saat menikmati permen tersebut seakan-akan tokoh laki-laki memperoleh sebuah sensasi kenikmatan dan kehangatan pelukan perempuan saat dibonceng dengan menggunakan sepeda motor. Hal ini digambarkan dengan adegan dimana tokoh pria berangan-angan membonceng wanita dengan menggunakan sepeda motor dan terlihat sangat menikmatinya seakan-akan dekapan hangat yang diberikan tokoh perempuan dalam konteks iklan ini ingin menggambarkan adanya penguatan analogi kenikmatan rasa permen sukoka dengan sesekali menggesekkan payudara pada punggung laki-laki yang ada dalam iklan permen Sukoka. Dengan harapan setelah kita mengkonsumsi permen tersebut, tubuh kita menjadi lebih bergairah dan rasa mengantuk pun hilang seketika. Karena telah mendapatkan tambahan tenaga untuk memudahkan aktivitas padat yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Harapan setelah kita mengkonsumsi permen tersebut, tubuh kita menjadi lebih bergairah dan rasa mengantuk pun hilang seketika. Karena telah mendapatkan tambahan tenaga untuk memudahkan aktivitas padat yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Namun, karena terkena pencekalan akhirnya iklan ini mengalami perubahan alur dan


(64)

penambahan alur, seperti : permen yang dikeluarkan bukan berasal dari belahan payudara melainkan dalam dekapan tangan yang berada disela payudara dan penambahan alur cerita dalam iklan ini adalah dengan menampilkan scene bayangan antara perempuan dan laki-laki yang sedang berboncengan, dari perubahan dan penambahan alur inilah yang dapat memberikan hubungan sebab-akibat dalam iklan Permen Sukoka. Tanda yang berupa ikon, indeks, dan simbol yang terdapat pada pembagian level analisis oleh fiske. Fiske membagi analisis semiotik menjadi beberapa level, yaitu level realitas, level ideology, dan level representasi.

Unit analisis yang terdapat pada level realitas adalah sebagai berikut :

1. Latar (setting), terdiri dari :

Simbol - simbol yang ditonjolkan, fungsi serta maknanya. 2. Kostum dan Make up

Kostum dan make up yang dikenakan oleh model

(www.google.co.id//level-realitas//).

Selain itu, menurut Fiske (1990:189), dalam level realitas juga dianalisis beberapa kode-kode sosial yang merupakan realitas secara persis dapat didefinisikan dalam medium melalui ekspresi seperti warna kulit, pakaian, ekspresi wajah, perilaku dan sebagainya. Sedangkan pada level representasi dan ideologi yang diamati adalah bagaimana penstransmisian kode–kode representasi lewat kerja


(65)

kamera, pencahayaan, musik, casting, editing dan narasi dengan menggunakan ideologi kapitalis dalam iklan. Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada teknik editing, pencahayaan dan penataan musik yang ada dalam level representasi. Hal ini dikarenakan keduanya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi pencitraan perempuan dalam iklan permen sukoka. Oleh karenanya, peneliti menginterpretasikan iklan tersebut tidak hanya dengan menggunakan model John fiske saja, melainkan juga menggunakan model Peirce sebagai model pendukung dari model yang telah dikemukakan Fiske terhadap iklan Permen Sukoka ke dalam beberapa kategori, antara lain: Ikon, indeks dan Simbol.

1. Ikon ( icon ) dalam penelitian ini: a. Model perempuan dan laki-laki 2. Indeks dalam penelitian ini:

a. Tulisan Kalsium

b. Taqline “ nyucu kopi ahh…!!!” 3. Simbol dalam penelitian ini:

a. Scene bayangan sepeda motor b. Logo Permen Sukoka

c. Background bus, mobil, serta pinggir jalan.

d. Gaya bahasa tubuh yang diperagakan oleh model wanita


(66)

e. Warna putih dan orange pada baju perempuan. f. Warna hitam dan panjang pada rambut perempuan. g. Tatapan dan senyuman model.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik dokumentasi dan mengamati secara langsung keseluruhan iklan “ Permen Sukoka ” yang ditayangkan di Televisi. Serta untuk melakukan studi keperpustakaan, tujuannya tidak lain untuk melengkapi data-data dan bahan yang dapat dijadikan sebagai referensi.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis semiotika termasuk dalam analisis strukturalis. Analisis strukturalis memiliki perbedaan terhadap teks dan analisis isi. Perbedaan pertama adalah pada persoalan kuantifikasi. Analisis isi tradisional pada dasarnya bersifat item-item serta menggunakan perhitungan dengan angka-angka. Sedangkan, strukturalis sangat jarang menggunakan perhitungan angka. Apapun soalnya, tidak ada alasan bahwa item yang kerap muncul adalah paling penting dan paling signifikan dalam suatu struktur keseluruhan. Akan tetapi, tempat yang diduduki melalui unsur-unsur yang berbeda, jauh lebih penting daripada jumlah waktu kemunculannya (Irawanto, 1999: 30).


(1)

oleh tokoh perempuan tersebut. Karena kaget tokoh perempuan itupun secara spontan mengangkat salah satu telapak tangannya kearah kemben yang dipakainya sedangkan tangan yang satunya mengambil permen tersebut dari dalam kemben yang diselipkan diantara payudara sembari berucap “hah susu, mau nyusu sukoka…ahhh…sukoka” dengan ekspresi wajah ceria tanpa malu. Saat menikmati permen tersebut seakan-akan tokoh laki-laki memperoleh sebuah sensasi kenikmatan dan kehangatan pelukan perempuan saat dibonceng dengan menggunakan sepeda motor. Hal ini digambarkan dengan adegan dimana tokoh pria berangan-angan membonceng wanita dengan menggunakan sepeda motor dan terlihat sangat menikmatinya seakan-akan dekapan hangat yang diberikan tokoh perempuan dalam konteks iklan ini ingin menggambarkan adanya penguatan analogi kenikmatan rasa permen sukoka dengan sesekali menggesekkan payudara pada punggung laki-laki yang ada dalam iklan permen Sukoka. Dengan harapan setelah kita mengkonsumsi permen tersebut, tubuh kita menjadi lebih bergairah dan rasa mengantuk pun hilang seketika. Karena telah mendapatkan tambahan tenaga untuk memudahkan aktivitas padat yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Perempuan dalam iklan “Permen Sukoka” ini digambarkan sebagai citra peraduan karena perempuan seringkali diasumsikan sebagai obyek pemuasan nafsu laki-laki, khususnya pemuasan seksual. Seluruh kecantikkan (alamiah dan buatan) perempuan disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan menyentuh dan memandang.


(2)

90

Tujuannya tidak lain adalah untuk membangun persamaan pandangan tentang perlunya sentuhan, rabaan dan ciuman laki-laki dengan jenis produk yang ditawarkan dalam iklan baik cetak maupun elektronik.

Secara keseluruhan visualisasi dalam iklan ini adalah gambaran tentang eksistensi penggunaan tokoh perempuan yang ada dalam iklan permen Sukoka. Dimana pihak para pengiklan semakin berani memasukkan unsur pornografi didalamnya tanpa memperhatikan dampak yang akan ditimbulkan dari penanyangan iklan tersebut terhadap masyarakat tontonan, khususnya remaja dan anak-anak. Artinya, para pengiklan semakin giat mengeksploitasi tubuh perempuan sebagai tubuh yang mengandung sensualitas yang dapat menimbulkan hasrat seksual laki-laki, sehingga secara keseluruhan setiap bagian tubuh perempuan seperti wajah, dada, paha, kaki dan lain-lain merupakan sasaran utama bagi para pengiklan untuk menarik perhatian pemirsa.

Oleh karena itu, tidak heran bila pada gilirannya Persoalan seksualitas perempuan dalam media seperti halnya iklan-iklan di televisi memicu timbulnya eksploitasi secara besar-besaran dan berlebihan dalam tubuh perempuan sebagai daya tarik yang memiliki nilai jual. Atau dengan kata lain Perempuan adalah bumbu sebuah iklan. Pelibatan perempuan dalam iklan, akan membuat iklan makin sedap dinikmati (Widyatama, 2007:42) .


(3)

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisa data dan pembahasan hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa pencitraan perempuan yang terdapat dalam iklan permen sukoka tersebut termasuk dalam kategori citra peraduan. Hal ini karena seluruh kecantikkan dan keindahan bagian sensual dari tubuh perempuan sengaja disediakan dan diekspos secara berlebihan oleh pihak pengiklan guna membangun persamaan pandangan tentang bagian tubuh sensual dari tokoh perempuan tersebut dengan jenis produk yang ditawarkan oleh PT. Unican dalam iklan Permen Sukoka melalui kegiatan sentuhan dan rabaan laki-laki. Tujuannya adalah untuk dapat memberikan dampak segera pada masyarakat tontonan (khususnya, kaum laki-laki untuk mencoba menikmati sensasi kenikmatan dan kehangatan yang terdapat dalam kandungan produk permen Sukoka tersebut), setelah jenis iklan produk makanan padat atau hard candy ini disampaikan ditengah masyarakat. Dari sinilah peneliti beranggapan bahwa disatu sisi pihak pengiklan tersebut sebenarnya ingin memberikan sebuah pemahaman pada masyarakat tontonan mengenai sebuah konsep gender, dimana adanya sebuah perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan yang telah sesuai dengan kodratnya. Namun pada realitasnya, selama ini masih banyak sekali ditemukan program siaran yang menampilkan laki-laki yang


(4)

92

tidak sesuai dengan kodratnya dan cenderung melecehkan perempuan. Disisi lain peneliti juga beranggapan bahwa apa yang pihak pengiklan lakukan hanyalah untuk menyenangkan orang lain, khususnya kaum laki-laki. Hal ini karena pihak pengiklan sengaja ingin membangun citra perempuan sebagai obyek seks.

5.2 Saran

1. Berdasarkan penelitian ini, peneliti menyarankan bahwa sebaiknya bagi pengiklan perlu meninjau kembali tentang iklan yang memuat unsur pencitraan perempuan yang dibungkus dengan unsur pornografi melalui penonjolan seksisme secara berlebihan. Agar dikemudian hari tidak membingungkan pola pikir masyarakat terhadap keterkaitan hubungannya antara konsep seksime dengan produk yang akan ditawarkan pada publik secara luas.

2. Peneliti juga menyarankan agar hasil representasi tentang pencitraan perempuan dapat digunakan sebagai acuan produsen iklan, bahwasannya terdapat tanda-tanda dalam iklan tersebut untuk mengetahui pemaknaan dari representasi pencitraan perempuan dalam iklan “ Permen sukoka” di televisi dan dapat memberikan masukan atas wawasan serta bahan referensi bagi mahasiswa komunikasi pada jenis penelitian semiotik dan dapat diaplikasikan dengan perkembangan ilmu komunikasi yang sedang berkembang.


(5)

93   

Bungin, Burhan, 2005. Pornomedia: Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, dan Perayaan Seks di Media Massa (Edisi Revisi), Jakarta: Kencana.

Cangara, Hafied, 2005. Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Effendy, Onong Uchjana, 2002. Hubungan Masyarakat Suatu Studi Komunikologis, Bandung; PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto, 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara

Haryatmoko, 2007. Etika Komunikasi, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Kuswandi, Wawan, 2008. Komunikasi Massa: Analisis Interaktif Budaya Massa, Jakarta: Rineka Cipta.

Komala, Lukiati, 2004. Komunikasi Massa, Jakarta: Universitas Terbuka.

Mulyana, Deddy, 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif Dengan Pendekatan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Mulyana, Deddy, 2008. Komunikasi Massa: Kontroversi, Teori Dan Aplikasi, Bandung: Penerbit Widya Padjadjaran.

Moleong, Lexy J, 2005. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suprapto, Tommy, 2009. Pengantar Teori Dan Manajemen Komunikasi, Yogyakarta: Media Pressindo.

Suyanto, M, 2007. Marketing Strategy: Top Brand Indonesia, Yogyakarta: Andi Offset

Sobur, Alex, 2004. Semiotika Komunikasi, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Widyatama, Rendra, 2006. Bias Gender Dalam Iklan Televisi, Yogyakarta: Media


(6)

94   

NON BUKU :

Sendjaja, Djuarsa, 2009. Artikel Dialog Publik: Memantau Program Televisi di Indonesia, FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.

Suratnoaji, Catur, 2009. Artikel Dialog Publik: Diet Media Dan Peran Orang Tua Sebagai Gate Keeper, FISIP UPN “Veteran” Jawa Timur.


Dokumen yang terkait

Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

19 130 119

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi).

2 14 115

Representasi Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Iklan Torpedo (Studi Semiotik Representasi Eksploitasi Tubuh Perempuan dalam Iklan Torpedo versi “Gigi Palsu” di Media Televisi).

0 15 123

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN AXE (Studi semiotik representasi sensualitas perempuan dalam iklan axe versi axe effect di televisi).

6 11 197

“REPRESENTASI EKSPLOITASI PEREMPUAN DALAM IKLAN TOP ONE” (Studi Semiotik Representasi Eksploitasi Perempuan dalam Iklan Top1 Action Matic versi “Ringgo-Raffi” di Media Televisi).

5 11 98

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi).

2 8 86

Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Televisi (Analisis Semiotika Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Wrp Diet To Go Di Televisi Swasta) Medan

1 3 9

REPRESENTASI CITRA PEREMPUAN DALAM IKLAN PRODUK LAKI-LAKI (Studi Semiotik Mengenai Representasi Citra Perempuan Dalam Iklan Axe Deodorant Bodyspray versi ”Harga Minim” di Media Televisi)

0 0 19

Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “Permen Sukoka” di Televisi ( Studi Semiotik Tentang Representasi Pencitraan Perempuan Dalam Iklan “ Permen Sukoka” di Televisi ).

0 0 19

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi)

0 1 99