Analisis Faktor Analisis Swot

5.2.1. Analisis Faktor

Internal Hasil analisis faktor internal dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 7. Matrik IFAS Hasil Analisis Faktor Internal Faktor ‐faktor Strategis Internal Bobot Rating Skor Kekuatan 1. Komitmen petugas lapangan 0,101 3,43 0,35 2. Dukungan manajemen TNGL 0,100 3,44 0,34 3. Keberadaan Pal Batas di lapangan 0,101 3,39 0,34 4. Peraturan perundang‐undangan 0,100 3,43 0,34 5. Penerapan strategi pengamanan hutan 0,102 3,53 0,36 Kelemahan 1. Kuantitas dan kualitas tenaga polhut 0,100 3,14 0,31 2. Koordinasi dengan pihak terkait belum maksimal 0,100 3,04 0,30 3. Penyelesaian masalah tidak fokus dan tuntas 0,099 3,07 0,30 4. Inventasi dana untuk persoalan strategis 0,099 2,93 0,29 5. Sarana dan prasarana belum memadai 0,100 3,08 0,31 Total 1,002 3,24 Hasil analisis matrik IFAS kekuatan memperlihatkan bahwa penerapan strategi pengamanan hutan memiliki skor yang paling tinggi 0,36, hal ini menunjukkan bahwa strategi pengamanan hutan yang diterapkan manajemen TNGL sudah cukup baik dalam menurunkan aktivitas ilegal di wilayah kerja SPTN VI Besitang, walaupun masih terdapat aktivitas ilegal di beberapa lokasi tertentu seperti di blok hutan Sei Minyak dan Barak Induk Resort Sekoci serta blok hutan Damar Hitam Resort Sei Lepan. Secara umum kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan dapat dilakukan dalam 3 tiga tahapan kegiatan, yaitu Pre-emtif penyadaran, Preventif patroli dan Represif penindakan. Hal inipun yang dilakukan manajemen TNGL dalam Universitas Sumatera Utara melindungi kawasan hutan dari aktivitas illegal yang masih berlangsung. Pada lokasi- lokasi tertentu, strategi ini dianggap berhasil karena berhasil menurunkan frekuensi aktivitas illegal yang secara tidak langsung menurunkan laju kerusakan hutan di lokasi tersebut. Resort Trenggulun, Sei Betung, Cinta Raja dan Tangkahan merupakan lokasi- lokasi yang dimaksud sedangkan Resort Sekoci dan Sei Lepan dianggap gagal sehingga perlu dipikirkan strategi lain yang lebih tepat. Polisi kehutanan dalam menyelesaikan persoalan illegal yang berlangsung di wilayah kerjanya lebih memprioritaskan penanganan dengan pola pre-emtif dan preventif. Bila menemui pelaku penebangan liar atau perambah hutan, mereka akan memberikan pengarahan dan pembinaan kepada pelaku bahwa kegiatan yang sedang dilakukan ini salah, beresiko dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan akhir dari tindakan ini hanya membuat surat pernyataan agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya. Bila dalam perjalanannya, pelaku yang sama mengulangi lagi perbuatannya maka petugas sudah mempunyai dasar yang kuat untuk menangkap pelaku dan memprosesnya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Tindakan polisi kehutanan tersebut mendapat apresiasi dari masyarakat sekitar hutan, sekitar 94,4 dari mereka sependapat dengan pola itu seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 7. Universitas Sumatera Utara Gambar 7. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Penerapan Strategi Pengamanan Hutan oleh Manajemen TNGL dalam Menyelesaikan Masalah di Lapangan Terhadap para aktor, strategi di atas tidak berlaku karena mereka sudah sangat paham dengan aturan dan sudah berpengalaman dalam aktivitas illegal, sehingga petugas tidak memberi toleransi sedikit pun dan akan mengambil langkah tegas bila petugas berhasil menangkapnya. Namun dalam implementasinya, petugas mengalami banyak tantangan dan hambatan sehingga sangat sulit menangkap para aktor ini. Ada beberapa hal yang menyebabkan sulitnya petugas melaksanakan pekerjaan ini, antara lain : 1. Pelaku lapangan sangat sulit mengaku siapa yang menyuruhnya untuk melakukan pekerjaan illegal itu, padahal pengakuan mereka sangat dibutuhkan untuk menangkap pelaku di atasnya terutama aktor intelektual. Universitas Sumatera Utara 2. Dalam hal jual beli lahan, petugas lapangan sangat sulit mendapatkan bukti transaksi jual beli tersebut, hal inipun yang mengakibatkan pelaku di atasnya sangat sulit ditangkap termasuk aktor intelektualnya. 3. Aktor intelektual biasanya punya jaringan yang kuat dengan penentu kebijakan terutama oknum aparat penegak hukum, sehingga kalaupun ada pelaku lapangan yang menyebutkan keterlibatannya selalu ada celah baginya untuk tidak diproses hukum. Kegagalan penerapan strategi pengamanan hutan di Resort Sekoci dan Sei Lepan dikarenakan belum tuntasnya penyelesaian persoalan pengungsi korban konflik Aceh yang hingga saat ini masih berada di dalam kawasan TNGL. Permasalahan ini sudah menjadi perhatian nasional sehingga penyelesaiannya pun diharapkan berada pada level nasional. Upaya-upaya yang dilakukan oleh manajemen TNGL di lokasi ini sifatnya hanya menghambat dan mengurangi ruang gerak pelaku aktivitas illegal agar tidak terjadi perluasan areal yang dirambah atau dirusak . Manajemen TNGL sudah berkomitmen bahwa persoalan pengungsi Aceh harus diselesaikan dengan pola-pola yang lebih manusiawi dan bermartabat, penerapan langkah represif merupakan alternatif terakhir bila upaya persuasif gagal. Keluarnya SK Menko Kesra tentang pembentukan tim koordinasi penanganan pengungsi korban konflik Aceh di dalam kawasan TNGL Sumatera merupakan wujud dari strategi tersebut. Pemerintah menginginkan agar pengungsi korban konflik aceh tersebut dapat di relokasi ke tempat lain yang lebih aman dan nyaman dengan pola transmigrasi artinya semua kebutuhan hidup terpenuhi. Tim bentukan Menko Kesra ini bertugas Universitas Sumatera Utara menyiapkan segala fasilitas standar yang diharapkan oleh pengungsi tersebut seperti rumah, lahan, fasilitas listrik, kesehatan, sekolah dll. Bila kebutuhan ini telah tersedia di lokasi relokasi, maka pengungsi korban konflik Aceh yang masih bermukim di dalam kawasan TNGL wajib meninggalkan kawasan tanpa terkecuali dan bila mereka tidak mau dengan kebijakan tersebut, maka pemerintah akan mengeluarkan mereka dengan paksa upaya represif akan ditegakkan. Sebenarnya strategi ini cukup aman dan nyaman, baik bagi pengungsi maupun bagi pengelola kawasan namun hingga saat ini implementasi dari program ini masih terkendala dengan lokasi relokasi yang belum ada kejelasannya. Hasil analisis faktor internal menunjukkan bahwa komitmen petugas lapangan dalam mendukung pengelolaan kawasan juga cukup tinggi 0,35, hal ini tentunya sangat positif dan akan sangat membantu manajemen TNGL dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi di lapangan. Modal penting ini harus dapat dimanfaatkan oleh manajemen dengan sebaik-sebaiknya, sekaligus bisa jadi alat bargaining dengan para pihak agar turut mendukung proses penyelesaian. Sudah menjadi rahasia umum di hampir seluruh instansi pemerintah di negeri ini sangat rawan terjadinya penyimpangan yang justru dilakukan oleh orang dalam institusi sendiri, faktor inilah yang menyebabkan sulitnya menyelesaian persoalan yang dihadapi oleh institusi tersebut. Komitmen petugas untuk tidak terlibat dalam aktivitas illegal yang ditunjukkan oleh petugas TNGL SPTN VI Besitang tentunya perlu diapresiasi oleh kita semua, namun demikian kita pun tidak bisa memastikan Universitas Sumatera Utara apakah kondisi ini akan bertahan lama atau akan kembali goyah dengan godaan- godaan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Perlu juga diketahui bahwa mentalitas petugas TNGL di Besitang ini pernah mengalami masa suram terutama di akhir tahun 90-an sampai dengan pertengahan tahun 2004. pada saat itu, petugas lapangan ikut terlibat dalam aktivitas illegal, baik itu menerima fee, mengawal dan membocorkan rencana operasi sehingga sangat jarang pelaku aktivitas illegal dapat ditangkap. Artinya bahwa masih ada kemungkinan mereka akan kembali lagi pada kondisi yang tidak diinginkan tersebut bila tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari manajemen untuk mengawal atau merawatnya dengan tindakan nyata dan positif. Triono 2008 mengatakan bahwa penyebab kegagalan pengelolaan lingkungan hidup dan pengelolaan hutan meliputi faktor materi substansi hukum, faktor penegak hukum, penegakan hukum, sarana dan fasilitas, kebudayaan serta masyarakat. Hasil analisis untuk faktor kelemahan memperlihatkan bahwa pendanaan tidak diinvestasikan untuk persoalan strategis menduduki skor terendah 0,29, hal ini menunjukkan bahwa kurangnya efektivitas dan efisiensi manajemen TNGL dalam memanfaatkan dana yang tersedia. Distribusi dana secara merata untuk semua persoalan dalam satu sisi sangat positif karena bisa mengakomodir keinginan lapangan tetapi dalam sisi lain justru kurang efektif karena dapat menghambat penyelesaian persoalan-persoalan strategis yang harus mendapat perhatian serius. Manajemen TNGL terus mengupayakan perbaikan dan penambahan anggaran untuk menyelesaikan persoalan strategis di wilayah kerja SPTN Wilayah VI Besitang, Universitas Sumatera Utara sebagai contoh dukungan penganggaran untuk kegiatan operasional pokja perambahan, pokja pengungsi dan pokja rehabilitasi kawasan. Dukungan anggaran ini tidak akan maksimal bila tidak diikuti oleh dukungan dan komitmen manajemen dalam mengawal dan mengimplementasikannya secara sungguh-sungguh untuk menyelesaikan masalah. Pendanaan konservasi alam memang masih menjadi persoalan klasik di Indonesia, disatu sisi kita dituntut untuk menyelamatkan kawasan konservasi namun disisi lain dukungan pendanaan masih sangat terbatas. Sistem pendanaan biasanya berdasarkan pagu dan sesuai dengan kuota secara nasional, kalaupun ada inisiatif dari kepala balai untuk meminta perhatian lebih terhadap persoalan strategis, tanggapannyapun tidak seperti yang diharapkan. Wiratno et al 2001 mengemukakan bahwa secara umum jumlah dana yang dianggarkan untuk kebutuhan pengelolaan kawasan konservasi sudah ada peningkatan namun masih jauh dari cukup, sebagai contoh dana yang dianggarkan pada tahun 19992000 hanya Rp. 537.720 per km² tentunya tidak akan mampu menjawab tantangan pengelolaan kawasan konservasi yang begitu berat. Universitas Sumatera Utara

5.2.2. Analisis Faktor Eksternal