Analisis Citra Landsat HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Analisis Citra Landsat

Hasil analisis citra landsat tentang kondisi kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah kerja Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah VI Besitang dapat dilihat pada tabel di bawah ini: Tabel 6. Hasil Analisis Citra Landsat di Wilayah Kerja SPTN VI Besitang Tahun ha No Uraian 1989 2001 2003 2006 2009 1 Tutupan Hutan 120.058 115.838 119.498 80.116 104.384 2 Deforestasi 1.469 3.134 2.011 3.179 3 Degradasi 2.106 2.074 2.553 3.989 4 Sawit 397 746 247 267 5 Awan 3.962 4.277 187 29.943 12.803 6 Bayangan Awan 1.715 1.648 96 10.865 1.113 Total 125.735 125.735 125.735 125.735 125.735 Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa terjadi fluktuasi luas tutupan hutan di antara tahun-tahun yang dianalisis. Luas tutupan hutan cendrung menurun sejalan dengan meningkatnya kerusakan hutan. Penurunan luas tutupan hutan tersebut tidak sepenuhnya disebabkan oleh kerusakan hutan namun dipengaruhi juga oleh kondisi cuaca pada saat pengambilan gambar. Kondisi demikian sangat jelas terlihat pada hasil analisis citra landsat tahun 2006 dengan luas tutupan awan dan bayangan awan mencapai angka ± 40.000 Ha, sehingga kalau angka itu dianggap kondisi hutan yang masih baik maka sebenarnya luas tutupan hutan pada tahun 2006 tidak berbeda jauh dengan data tahun 2003. Kondisi demikian juga terlihat pada data hasil analisis tahun 2009, dimana luas tutupan awan mencapai angka ± 12.000 Ha lebih, sehingga kalau 38 Universitas Sumatera Utara dianggap kondisi hutannya masih baik, maka luas tutupan hutan juga tidak terlalu signifikan kenaikannya dibandingkan data tahun 2006. Kondisi ini tidak jauh beda dengan deforestasi dan degradasi yang cendrung meningkat dari beberapa tahun yang dianalisis, Tahun 1989 tidak ada deforestasi dan degradasi tetapi pada tahun-tahun berikutnya mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Data ini menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2009, kerusakan hutan TNGL di kawasan SPTN Wilayah VI seluas 3.179 Ha + 3.989 Ha + 267 Ha = 7.435 Ha. Luas hutan yang telah rusak kalau dibandingkan dengan luas kawasan pengelolaan masih relatif kecil yaitu sebesar 5,95 , namun bila tidak ada upaya yang sungguh- sungguh untuk menghentikan laju kerusakan hutan ini, maka angka tersebut akan terus mengalami peningkatan. Tabel 5.1 juga memperlihatkan bahwa selama kurun waktu 8 tahun terakhir 2001-2009 laju deforestasi hutan TNGL di wilayah kerja SPTN VI Besitang sebesar 213,075 Hatahun sedangkan laju degradasi hutan seluas 235,375 Hatahun. Total laju kerusakan hutan selama 8 tahun terakhir adalah 213,075 Ha + 235,375 Ha = 448, 450 Ha tahun. Dari data diatas juga diperoleh bahwa ada penurunan data deforestasi yang sangat signifikan pada tahun 2006 seluas 1.128 Ha dibandingkan data tahun 2003, kemudian pada tahun 2009 kembali terjadi kenaikan seluas 1.168 Ha. Penurunan laju deforestasi pada tahun 2006 diperkirakan akibat kurang bagusnya cuaca pada saat pengambilan gambar citra. Kondisi cuaca yang kurang bagus akan menyebabkan banyaknya awan dan bayangan awan yang tampak sehingga lokasi-lokasi yang Universitas Sumatera Utara seharusnya memunculkan data-data yang diperlukan jadi tertutup, akibatnya data yang muncul juga kurang akurat. Tarigan et al 2003, mengatakan keterbatasan data juga dipengaruhi oleh citra yang tertutup awan dan ketiadaan peta kontur untuk sebagian area. Pada tahun 2004 sd 2006 juga ada upaya dari manajemen TNGL dalam menyelesaikan persoalan perambahan hutan dan penebangan liar. Kemudian karena tidak ada keberlanjutan upaya penanganan persoalan pada tahun-tahun berikutnya terutama keberlanjutan program dan konsisitensi serta komitmen manajemen, maka pada tahun 2009 laju deforestasi kembali meningkat menjadi 3.179 ha. Triono 2008 mengatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan pengelola lingkungan hidup dan pengelola hutan, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat adalah tidak konsisten dalam menjalankan pengelolaan lingkungan hidup yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah dibuat sebelumnya. Pertengahan tahun 2004, manajemen TNGL mulai berbenah diri dan mencoba melakukan sesuatu untuk menghambat aktivitas penebangan liar dan perambahan hutan yang semakin memprihatinkan di wilayah kerja SPTN VI Seksi Konservasi Wilayah IV pada saat itu. Tindakan manajemen TNGL ini tidak terlepas dari inisiatif Fauna Flora International FFI yang membentuk Conservation Response Unit Mobile CRU-Mobile. CRU-Mobile merupakan salah satu program lembaga konservasi international tersebut untuk mengurangi laju kerusakan hutan di Besitang dengan tindakan represif. Program ini juga merupakan pengembangan dari program CRU yang telah berjalan 2 dua tahun sebelumnya di Resort Sekoci dan Tangkahan. Universitas Sumatera Utara Program CRU, kegiatannya bersifat prefentif dan persuasif dengan tugas pokok melakukan patroli untuk mengumpulkan data dan informasi terkait aktivitas ilegal di kawasan TNGL Besitang. Kegiatan ini dianggap sudah cukup dan tidak akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap kawasan, makanya FFI menggagas program CRU-Mobile untuk menindaklanjuti hasil temuan tim CRU dengan tindakan represif dan penegakan hukum secara adil di lapangan. Tim CRU Mobile unit beranggotakan polhut-polhut TNGL terpilih, yang memiliki integritas tinggi sehingga diharapkan dapat menjawab tantangan tugas tersebut. Tim ini telah berhasil menangani 44 kasus dengan tersangka dari berbagai latar belakang pekerjaan termasuk oknum aparat penegak hukum seperti yang tertera pada lampiran 8. Penegakan hukum yang konsisten di wilayah kerja SPTN VI Besitang terjadi antara tahun 2005 sd 2007, puncaknya disaat pelaksanaan Operasi hutan Lestari OHL II poldasu yang berhasil mengeluarkan 33 kk perambah hutan dari resort Sekoci. Gebrakan yang dilakukan manajemen TNGL saat itu telah membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap kawasan, aktivitas penebangan liar sudah menurun, muncul rasa takut dari orang-orang yang akan melakukan aktivitas illegal , beberapa kawasan hutan terutama di Resort Sei Betung dan Trenggulun sudah mulai pulih kembali hutannya dan kepercayaan para pihak terhadap manajemen TNGL sudah mulai tumbuh kembali. Selain faktor cuaca yang kurang baik pada saat pengambilan gambar citra landsat dan upaya yang sungguh-sungguh dari manajemen TNGL dalam Universitas Sumatera Utara menyelesaikan persoalan antara tahun 2004 – 2006, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan gerhan yang sudah berjalan sejak tahun 2004 memberikan sedikit harapan bagi pemulihan kawasan hutan di wilayah ini, Iskandar dan Nugraha 2004 menyatakan bahwa rehabilitasi merupakan salah satu solusi terhadap kerusakan hutan, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. Kerusakan hutan kawasan TNGL Seksi Pengelolaan TN Wilayah VI Besitang telah dimulai sejak tahun 1977 yang lalu statusnya masih suaka margasatwa ketika Direktorat Perlindungan dan Pelestarian Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian melaksanakan proyek pembinaan habitat pada areal seluas 30.000 Ha, yang mencakup Aras Napal-Sei Betung sampai dengan Sei Lepan. PT. Raja Garuda Mas RGM yang melaksanakan proyek ini diberi izin untuk mengeksploitasi jenis pohon tertentu berdiameter di atas 50 cm. Proyek ini dihentikan pada tahun 1978 karena implementasinya sudah tidak sesuai lagi dengan yang direncanakan sebelumnya. Kebijakan yang kurang tepat ini dampaknya sangat besar, hingga saat ini masyarakat terutama pelaku aktivitas illegal terus mempertanyakannya dan selalu dijadikan alasan untuk merambah kawasan konservasi tersebut. Masyarakat sekitar hutan juga melihat bahwa ada yang tidak benar dengan kebijakan tersebut, hal ini sesuai dengan hasil isian kuisioner masyarakat sekitar hutan yang menyatakan bahwa sekitar 80,3 responden sepakat kalau kesalahan kebijakan dalam proyek pembinaan habitat merupakan awal kerusakan hutan Besitang. Seperti yang terlihat pada Gambar 5 berikut ini. Universitas Sumatera Utara Gambar 5. Pendapat Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Kesalahan Kebijakan Pemerintah Pusat dalam Mengelola Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang Kebijakan tersebut tidak berlangsung lama sehingga tidak menimbulkan banyak kerusakan terhadap kawasan hutan. Hal demikian juga terjadi pada tahun 1990-an, aktivitas penebangan liar dalam skala kecil sudah mulai berlangsung di kawasan konservasi ini, penanganan yang cepat oleh manajemen TNGL saat itu menyebabkan aktivitas ilegal ini dapat dihentikan sehingga tidak menimbulkan kerusakan hutan yang signifikan. Kerusakan kawasan hutan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang mulai meningkat tajam pada awal tahun 2000-an ketika pengungsi korban konflik Aceh mulai mendiami kawasan konservasi ini. Keberadaan pengungsi ini diperkirakan sebagai awal peningkatan kerusakan hutan di kawasan ini, keberadaan pengungsi dijadikan tameng bagi oknum perambah untuk melakukan aktivitas illegal di dalam kawasan TNGL sehingga laju kerusakan hutan semakin tidak terbendung. Pada tahun 2005 dan 2006 Universitas Sumatera Utara memang ada upaya yang siginifikan oleh Balai TNGL dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di lapangan, mulai dari operasi kecil sampai dengan Operasi Hutan Lestari OHL II Polda Sumatera Utara yang berhasil menangkap puluhan tersangka dan mengamankan ratusan Ha kawasan hutan yang telah dikuasai oleh perambah sebelumnya. Kondisi kawasan hutan TNGL selama kurun waktu pengambilan data dapat dilihat pada gambar di bawah ini. Detailnya gambar untuk setiap periode pengambilan gambar dapat dilihat pada Lampiran 9-13. Universitas Sumatera Utara Gambar 6. Peta Hasil Analisis Citra Landsat Kawasan Hutan TNGL Wilayah Kerja SPTN VI dalam Kurun Waktu Tertentu Universitas Sumatera Utara Lanjutan Gambar 6 Universitas Sumatera Utara Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa kerusakan hutan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan terutama di lokasi-lokasi yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk. Hal ini seiring dengan kebutuhan akan lahan dan semakin menipisnya kawasan hutan produksi HP, hutan produksi terbatas HPT atau areal penggunaan lain APL yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan. Kawasan hutan produksi atau hutan produksi terbatas di Kabupaten Langkat hanya ada di atas peta, di lapangan sudah berubah menjadi lahan perkebunan sawitkaret. Kondisi demikian hampir terjadi di seluruh wilayah Republik Indonesia bahwa kawasan hutan yang tersaji di atas peta tidak semua masih berhutan, sebagian sudah berubah menjadi lahan perkebunan atau peruntukan lainnya. Forest Watch Indonesia 2001 menyebutkan bahwa tutupan hutan sesungguhnya ternyata hanya 86 dari lahan yang didefinisikan sebagai hutan di Indonesia. Hal ini seharusnya menjadi perhatian para rimbawan dan pemerhati lingkungan di Indonesia bahwa sudah saatnya kita tertib dan terbuka dengan data yang ada, bukan luasan hutan yang ditonjolkan tetapi kualitas pengelolaan yang perlu diperbaiki agar kelestarian hutan dapat terjamin selamanya.

5.2. Analisis Swot