5.2.2. Analisis Faktor Eksternal
Hasil analisis faktor eksternal terkait peluang dan ancaman bagi kawasan TNGL dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 8. Matriks EFAS Hasil Analisis Faktor Eksternal
Faktor ‐faktor Strategis Eksternal
Bobot Rating
Skor
Peluang 1.
Dukungan penegak hokum 0,091
3,45 0,32
2. SK Menkokesra penyelesaian pengungsi
0,090 3,38
0,30 3.
Status TNGL sebagai warisan dunia 0,091
3,54 0,32
4. Isu perubahan iklim dan carbon trade
0,089 3,48
0,31 5.
Keberadaan lembaga local 0,088
3,52 0,31
6. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat
0,087 3,53
0,31
Total
Ancaman 1.
Keberadaan pengungsi korban konflik Aceh 0,095
2,52 0,24
2. Perambahan Hutan dan Jual Beli lahan
0,093 2,76
0,26 3.
Illegal Logging 0,093
2,79 0,26
4. Tumpang Tindih peruntukan lahan
0,089 2,99
0,27 5.
Kecemburuan sosial masyarakat sekitar hutan 0,093
3,36 0,31
Total 1,000
3,19
Hasil analisis faktor eksternal peluang memperlihatkan bahwa status TNGL sebagai warisan dunia mendapat skor tertinggi 0,32, hal ini menunjukkan bahwa
status TNGL sebagai warisan dunia dapat dimanfaatkan sebagai salah satu peluang dalam meminta komitmen dan dukungan para pihak dalam melestarikan kawasan
TNGL. Dukungan para pihak dalam mengelola kawasan TNGL sangat dibutuhkan
oleh manajemen TNGL karena dengan segala keterbatasan yang dimiliki tidak akan mungkin dapat mengelola kawasan yang begitu luas tersebut, jumlah SDM yang tidak
Universitas Sumatera Utara
sebanding dengan luas kawasan merupakan salah satu diantaranya. Jumlah pegawai yang hanya 23 orang untuk mengurusi kawasan hutan seluas 125.000 Ha tentunya
bukan pekerjaan yang mudah, apalagi dengan dukungan hanya 11 orang polhut. Kondisinya sangat memprihatinkan bagi kawasan hutan yang statusnya word heritage
dan TN model ini, namun itulah faktanya bahwa keinginan untuk menjaga dan melestarikan kawasan hutan ini tidak sebanding dengan dukungan sumber daya
manusia yang memadai. Status TNGL sebagai warisan dunia dan perkembangan iklim global
merupakan modal yang sangat besar dalam meminta dukungan dari para pihak terutama LSM international dan para donator lainnya untuk memperhatikan kawasan
yang sangat penting ini. Beberapa LSM international yang selama ini mendukung dan menjalankan programnya di kawasan TNGL-SPTN VI Besitang adalah Fauna Flora
International FFI, Wild Conservation Society WCS, Sumatera Orangutan Conservation Program SOCP, Orangutan Conservation Service Program OCSP
dan Yayasan Leuser International YLI, disamping itu ada juga dukungan dari pemerintah Spanyol dan Unesco. Sedangkan lembaga lokal yang paling aktif
mendukung program TNGL di Besitang adalah Yayasan Orangutan Sumatera- Orangutan Information Centre YOS-OIC dan beberapa lembaga lokal bentukan
TNGL seperti LPT, KETAPEL, LPRD, GEPAL, OPEL. Selain dukungan dari LSM, manajemen TNGL SPTN VI juga mendapat dukungan penegakan hukum dari
kepolisian Resort Langkat dan dukungan pengembangan pariwisata dari pemerintah Kabupaten Langkat serta dukungan-dukungan lainnya dari para pemerhati lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
Dukungan lembaga konservasi international diberikan dalam bentuk kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penyadaranpenyuluhan, monitoring dan
investigas, rehabilitasi kawasan, survey potensi dan berbagai kegiatan lainnya yang ada kaitan dengan pelestarian kawasan konservasi. Fokus kegiatan para penggiat
konservasi di kawasan TNGL terutama di SPTN Wilayah VI Besitang dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 9. Fokus Kegiatan Lembaga Konservasi di Wilayah Kerja SPTN VI No
Nama Lembaga Fokus
Keterangan
1. Fauna Flora International
FFI Awarenes, Penegakan
hukum, Ekowisata, Konservasi Gajah
Sumatera Program unggulan
Conservation Response Unit
2. Wild Conservation Society
WCS Awarenes, Konservasi
Harimau Sumatera 3.
Sumatera Orangutan Conservation Program
SOCP Awarenes, Konservasi
Orangutan Sumatera
4. Orangutan Conservation
Service Program OCSP Kebijakan Konservasi
Orangutan 5.
Yayasan Leuser International YLI
Perlindungan Pengamanan Hutan
Konservasi Kawasan Ekosistem leuser
6. Unesco
Awarenes, Ekowisata, Restorasi Ekosistem,
7. Yayasan Orangutan
Sumatera Lestari- Orangutan Information
Centre YOSL-OIC Awarenes, Ekowisata,
Rehabilitasi kawasan, Konservasi Orangutan
Sumber: Balai Besar TNGL, 2009 Dukungan para pihak dalam pengelolaan kawasan konservasi merupakan suatu
keharusan dan memiliki peran yang sangat strategis bagi pengelolaan dan
Universitas Sumatera Utara
pengembangan kawasan konservasi di masa yang akan datang. Hal ini pun sejalan dengan Permenhut no.P.19menhut-II2004 tentang pengelolaan kolaboratif, yang
mengharuskan kepada manajemen kawasan konservasi agar merubah paradigma pengelolaan kawasan konservasi dalam 4 empat hal strategis, yaitu:
1. Dari satu stakeholder menjadi multi stakeholder, dari governments-based
management menjadi multi stakeholders based managementcolborative management.
2. Dari kawasan yang semata-mata untuk perlindungan keanekaragaman hayati
menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang guna mendukung pembangunan yang
berkesinambungan. 3.
Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat beneficiary pays principle.
4. Dari close access menjadi regulated open access.
Manajemen SPTN VI Besitang menyadari betul keterbatasan sumber daya manusia yang dimilikinya sehingga mendorong para pihak terutama masyarakat sekitar
hutan agar berkontribusi dalam menjaga dan melestarikan kawasan TNGL. Masyarakat diberi ruang yang cukup untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan, namun
partisipasi mereka itu harus diberikan melalui lembaga lokal yang telah terbentuk. Manajemen berpendapat bahwa komunikasi dan kerjasama dengan kelompok akan
lebih mudah dan lebih nyaman dibandingkan dengan perseorangan, sehingga kewajiban bagi mereka untuk membentuk lembaga lokal di desanya masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
Konsep ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat sekitar hutan, mereka juga menyadari hal itu dan sepakat untuk bekerjasama dengan manajemen TNGL melalui
lembaga lokal yang ada, sekitar 90,9 responden mendukung konsep tersebut seperti yang terlihat dalam gambar di bawah ini.
Gambar 8. Dukungan terhadap Pelibatan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Pengelolaan Kawasan TNGL Melalui Pembentukan Lembaga Lokal
di Desanya Masing-masing
Hingga saat ini sudah terbentuk 8 delapan lembaga lokal di wilayah kerja SPTN VI Besitang dari sekitar 12 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan
TNGL, artinya 67 desa sudah punya lembaga lokal. Hal ini tentunya sangat positif dan merupakan modal yang sangat penting dalam menerapkan konsep manajemen
kolaboratif di wilayah ini. Lembaga Pariwisata Tangkahan LPT merupakan lembaga lokal yang pertama terbentuk 2001 dan sudah eksis serta menjadi contoh bagi
lembaga lokal lainnya yang baru terbentuk. Lembaga lokal lainnya baru terbentuk sekitar 2-3 tahun yang lalu, namun sudah mulai terlibat dalam berbagai aktivitas
Universitas Sumatera Utara
TNGL seperti pengamanan dan perlindungan hutan, restorasi kawasan dan ekowisata. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 10. Lembaga Lokal yang telah Terbentuk di Wilayah Kerja SPTN VI No
Nama Lembaga Desakelurahan
Fokus Keterangan
1. Lembaga Pariwisata
Tangkahan LPT Namo Sialang Sei
serdang kec. Batang Serangan
Ekowisata dan
pengamanan hutan
Terbentuk tahun 2001
inisiasi masy. lokal
2. Lembaga Permata Rimba
Damar Hitam LPRD Mekar Makmur
kec.Sei Lepan Ekowisata
dan pengaman hutan
Terbentuk tahun 2007
3. Organisasi Pecinta
Leuser OPPEL PIR ADB kec.
Besitang Pengamanan
hutan dan restorasi
Terbentuk tahun 2007
4. Gerakan Peduli Alam
danLingkunganGEPAL Sekoci kec.
Besitang Restorasi dan
pengamanan hutan
Terbentuk tahun 2006
5. Kelompok Tani
Pelindung Leuser KETAPEL
Haleban kec. Besitang
Restorasi dan Pengamanan
hutan Terbentuk
tahun 2007
6. RELASI
Sei Musam kec. Batang Serangan
Pengamanan hutan
Terbentuk tahun 2009
7. Lembaga Ekowisata
Sikundur Indah LESI Bukit Mas kec.
Besitang Ekowisata
dan pengamanan
hutan Terbentuk
tahun 2009
8. Raja Gunung RAGUN
Trenggulun kec. Trenggulun Aceh
Tamiang Restorasi dan
Pengamanan hutan
Terbentuk tahun 2009
Sumber: Balai Besar TNGL 2009
Hasil analisis untuk faktor ancaman memperlihatkan bahwa keberadaan pengungsi korban konflik Aceh memiliki skor terendah 0,24, hal ini menunjukkan
bahwa ancaman terbesar dalam pelestarian kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang adalah keberadaan pengungsi korban konflik Aceh, sehingga diperlukan
upaya yang sungguh-sungguh dan serius dalam menyelesaikan persoalan ini.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan fakta tersebut diperlukan penjelasan yang lebih rinci terkait andil mereka dalam pengrusakan kawasan konservasi ini.
Keberadaan Pengungsi Korban Konflik Aceh
Keberadaan pengungsi korban konflik Aceh di dalam kawasan TNGL Besitang semakin lama semakin membebani kawasan konservasi tersebut. Para pihak terutama
oknum perambah selalu menanyakan legalitas mereka yang terkesan dibiarkan di dalam kawasan, sementara aktivitas illegal yang dilakukan pihak-pihak lain selalu
mendapat tindakan dari petugas. Sementara di sisi lain, manajemen TNGL juga mengalami hambatan dalam mengeluarkan mereka dari kawasan. Rencana relokasi ke
tempat lain yang tidak bermasalah juga belum terlaksana walaupun sudah ada tim bentukan menko kesra. Padahal bila persoalan pengungsi ini bisa dituntaskan maka
persoalan lainnya yang masih berlangsung di dalam kawasan TNGL akan lebih mudah penanganannya. Masyarakat sekitar hutan dan para pihak serta pengelola kawasan
memandang bahwa penyelesaian persoalan pengungsi korban konflik Aceh merupakan kunci bagi penyelesaian persoalan lainnya di dalam kawasan TNGL. Pernyataan ini
didukung oleh hasil kuisioner yang disebarkan kepada 198 responden yang merupakan masyarakat sekitar hutan bahwa 93,4 diantaranya setuju kalau penyelesaian
persoalan pengungsi korban konflik Aceh merupakan kunci bagi penyelesaian persoalan lainnya di dalam kawasan TNGL.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 9. Persetujuan Masyarakat Sekitar Hutan bahwa Persoalan Pengungsi Korban Konflik Aceh merupakan Kunci Penyelesaian Persoalan
lainnya di Kawasan TNGL SPTN Wilayah VI Besitang
Sejarah Keberadaan Pengungsi Korban Konflik Aceh
Pasca dicabutnya status darurat militer di Aceh pada tahun 1998 yang lalu, maka eksistensi kelompok Gerakan Aceh Merdeka GAM kembali muncul ke
permukaan. Kondisi ini menyebabkan keberadaan suku-suku non Aceh terutama Jawa semakin tidak nyaman di Aceh karena kelompok GAM ini beranggapan bahwa
terjadinya ketidakadilan di Aceh karena besarnya peran suku Jawa dalam pengelolaan pemerintahan di Aceh. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya eksodus besar-besaran
terhadap suku Jawa yang ada di Aceh, diperkirakan ada sekitar 14.000 empat belas ribu orang yang tersebar di berbagai kecamatan dalam Kabupaten Langkat.
Pada tahun 1999, ada sekitar 6 KK pengungsi tersebut yang masuk ke dalam kawasan TNGL di BH Damar Hitam Resort Sei Lepan. Keberadaan pengungsi
Universitas Sumatera Utara
tersebut kurang mendapat respon dari pejabat TNGL pada saat itu,
sehingga jumlahnya terus bertambah menjadi 554 KK pada saat ini.
Upaya Penyelesaian
Pada tahun 2000 atas kerjasama dengan Unit Manajemen Leuser UML, sebanyak 124 KK pengungsi berhasil dipindahkan ke Mahato Propinsi Riau. Pada
akhir tahun 2003, sebanyak 30 KK pengungsi juga berhasil dipindahkan ke dusun Siarti kecamatan Batang Toru Tapanuli Selatan Sumatera Utara, kegiatan ini juga atas
kerjasama TNGL, UML dan pemda setempat. Pada tahun 2005, seiring dengan upaya penegakan hukum yang sedang
dilakukan, manajemen TNGL membuka komunikasi dengan pengungsi korban konflik Aceh. Manajemen menginginkan keterlibatan pengungsi sejak awal dalam proses
penyelesaian persoalan tersebut, pola itu diharapkan dapat menumbuhkan kembali kepercayaan mereka terhadap pemerintah yang dirasa semakin luntur akhir-akhir ini.
Keterlibatan para pihak juga dirancang dari awal dengan harapan mereka merasa dihargai dan punya komitmen yang sama dalam menyelesaikan persoalan ini.
Manajemen TNGL juga menyadari bahwa penyelesaian persoalan ini harus melibatkan pihak-pihak dalam skala yang lebih luas dan besar sehingga diupayakan agar masalah
ini masuk menjadi agenda nasional. Pada tahun 2008, upaya tersebut mendapat respon positif dari Jakarta sehingga dikelurkannya SK Menko Kesra no.
14SkepMenkoKesraV2008 tanggal 14 Mei tahun 2008 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penanganan Eks Pengungsi Korban Konflik Aceh di dalam Kawasan
Taman Nasional Gunung Leuser Sumatera. Namun hingga saat ini, implementasi dari
Universitas Sumatera Utara
SK ini masih belum maksimal dan terkesan jalan di tempat walaupun sudah ada hasil- hasil yang cukup menggembirakan. Kabupaten Solok Sumatera Barat ditetapkan
sebagai tujuan relokasi pengungsi, namun masih terkendala dengan status kawasan yang sebagian diantaranya merupakan kawasan hutan lindung. Lokasi relokasi sudah
dimasukkan dalam RTRWK Kabupaten Solok dan RTRWP Propinsi Sumatera Barat, kepastian lokasi masih menunggu persetujuan Menteri Kehutanan dan DPR RI.
Pola penyelesaian yang ditawarkan pemerintah Balai TNGL mendapat respon positif dari para pihak termasuk masyarakat sekitar hutan, mereka menyadari kalau
pengungsi juga manusia sehingga proses penyelesaianpun hendaknya ditempuh dengan pola-pola yang manusiawi juga, sebenarnya mereka tidak menghendaki
tinggal di dalam kawasan TNGL namun situasi dan kondisi yang mengharuskan mereka berada di lokasi tersebut hingga saat ini. Sekitar 94,4 responden masyarakat
sekitar hutan mendukung proses penyelesaian pengungsi dengan pola relokasi atau pola lainnya sesuai undang-undang seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 10. Dukungan Masyarakat Sekitar Hutan terhadap Penyelesaian Persoalan Pengungsi Korban Konflik Aceh dengan Pola Relokasi
atau Pola lainnya sesuai UU Jumlah pengungsi yang mendiami kawasan TNGL SPTN Wilayah VI dari
tahun ke tahun terus mengalami perubahan, baik dalam hal jumlah maupun luas lahan yang digarap. Menurut data tahun 2008, jumlah pengungsi di dalam kawasan TNGL
cendrung menurun namun lahan garapan semakin luas, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 11. Perkembangan Jumlah Pengungsi dan Luas Areal Garapan
2000 2005
2007 No
Lokasi Jumlah
kk Luas
Areal ha
Jumlah kk
Luas Areal
ha Jumlah
kk Luas
Areal ha
1. 2.
3. Damar Hitam
Barak Induk Sei Minyak
200 350
150 250
250 250
82 479
164 500
1000 750
71 357
126 750
1500 1000
Jumlah 700
750 725
2.250 554
3250
Sumber: Hasil Pendataan oleh Pengungsi dan Petugas TNGL Tahun 2008
Penambahan luas areal garapan seperti yang terlihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa ada peningkatan aktivitas perambahan di lokasi ini. Aktivitas
illegal ini dominan dilakukan oleh orang-orang yang bukan berstatus sebagai pengungsi namun oknum perambah yang mengatasnamakan pengungsi terus
mengincar lahan yang sangat strategis tersebut.
5.2.3. Analisis Swot